KUMPULAN PUISI AGUNG GEMA NUGRAHA
"DIA MASIH DI BANDUNG"
LELAKI YANG TERBUANG
Siangnya simalakama
tanpa saudara
Malamnya asmaragama
bekas singgah senja
Karir kerja saksinya jembatan
Dahulu waktu bekerja
Semenjak PHK
Pilihannya jemur pakaian
Matahari menghujat badan
Air sungai berkilatan
Seperti pelangi
Di kejauhan
Sayangnya di depan mata
Rumah dari terpal kertas koran
Bambu kayu lantai atap berdebu
Oh karung oh arena bertarung
Senandungku dihadang mendung
Jiwanya membisu
Pikiran menjadi tabu
Pinggiran tak lagi paham
Arti kasih sayang
Egoistis gelanggang kehidupan
Buyarkan keharmonisan
Bagai gunung dan lahar
Melumat apa yang terlewat
Siapa mengira
Perabotan tempurung kelapa
Minumnya tetesan hujan
Cairan coklat tidak jelas rasanya
Lelaki tak ada kata lelah
Kata terbuang mesti dibuang
Dari segenap nurani
Berdiri
Tangguh dan berani
DIA MASIH DI BANDUNG
Angin menendang pohonan
Tersungkur jatuh ke badan harapan
Menusuk paru-paru dan tulang
Cederai lagu yang kunyanyikan
Di Bandung
Panas berganti mendung
Hujan mengguyur penantian
Aku masih mengamen
Tanpa pegangan untuk hari depan
Dalam pergulatan debu jalanan
Noda-noda masa silam
Kerinduan persaudaraan
Aku bertanya:
Apakah ini perjuangan?
Ataukah garis kegagalan?
Tiap kali melewati hari
Ada sembelit di pikiran
Mengikat seluruh menit dan jam
Besok melangkah ke arah mana?
“Acara tadi pagi
Mesti berganti wajah
Korupsi baru lagi
Di suatu negeri
Yang sedang merekah.”
Tidak, bukan, bukan di kotaku
Entah di belahan cakrawala
Tak kukenal tak kusangkal
Aku saksikan dari sini
Cermin ajaib
Kenyataan menjadi gaib
Karena kemajuan teknologi
Mungkin mistik
Bahkan masuk ke politik
Gitarku, aku merindukanmu
Genjreng genjreng
Menggelandang semerbak keringat
Adalah tetesan berlian tanah keramat
MARISSA
Marissa
yang pernah hilang
dari saku bajuku
Dalam udara panas
Membuatku cemas
Kamu bagai anggur
Ungu sempoyongan menggelinding
Pikiran memecah rindu
Saat lelahku bertemu kamu
Papermint
Hausku menderu
kudapat di jalan berdebu
Marissa
Sirnalah rasa naasku
Kamu di halaman teras rumahku
KEKASIH TANAH PARAHYANGAN
Ada yang tertinggal
Setelah kepergiannya
Subuh syahdu
Nafas alami tanah parahyangan
Kisah senja
Para penderma
Mekar senyum menawan
Di cakrawala
Canda ria kesederhanaan
Dan malam lantunan doa
Kekasih tanah Parahyangan
Akan selalu terkenang
PEREMPUAN TERLUNTA-LUNTA
Hari-hari rasa mahoni
Yang dikunyah menempel di gigi
Duri di sekujur tubuh
Ke mana ia harus berlabuh
Sebab hutang telat membayar
Rumahnya disita saat mega
Perempuan terlunta-lunta
Ingin bekerja
Umurnya tak memungkinkan
Dia janda
Suaminya tak ada
Mati setelah tinggalkan beban
Perempuan berjuang
Dari desa ke desa
Mengembara bersama satu anaknya
Dari kota ke kota
Melupakan masa birunya
Ya angin ya debu
Ya malam ya dingin
Hatinya hening
Perempuan tak bergeming
“Sungguh bumi itu miring”
Perempuan berjingkrak
Ia perlu mendobrak
Berontak
Nasib bukan tak berpihak
Perempuan mengubah cara pandang
Dengan tenang menyambung batang
Setelah sempat lelah dan patah
Adalah rahmat
Menyelimuti harapan
Nyamuk tak kasat mata
Bak setan pernah singgah
Tapi ia bertahan
Dalam prinsip istimewa
Menjaga diri dan rasa syukur
Perempuan tidak terjebak
“Mulut itu kecil lubangnya
Tapi besar pengaruhnya”
Perempuan terlunta-lunta
Karena kesabarannya
Temannya datang
Memberinya barang dagangan
Sedikit tapi pasti
Karena kesabarannya
Banyak orang sayang
Membeli barangnya
Bergolanglah
Bagai pohon berbuah
Ibarat akar tumbuh
Daun berbunga berkembang
Indah di pandang
Perempuan terlunta-lunta
Kehormatan modal utama
Dia pun kembali perkasa
Menggapai cahaya
DALAM BANJIR
Bukan kayu, sampah dan hunian liar
Mantra berlari dari sepi ke sanggar
Angin merunduk di bawah awan
Adalah mitos ikan siluman
Penjaga sungai
Bijak dan baik hati
Yang dipancing lalu dimakan
Pantrangan
Rayuan keserakahan
Melabrak pagar para leluhur
Dangiang berbicara
Didengar senja
Dilangkahi fajar pertama
Banjir itu bandang
Menaburkan gemericik tanya
Hembusan buhul-buhul berita
Akal tak sanggup meraba
Dalam banjir
Tiap tahun dan bulan penghujan
Segala cara dilakukan
Bendungan dibangun gagah
Tapi lepas jalan keluar
Karena kata sudah supata
Menggores bumi terluka
PUTRI PENJAGA AIR
Dari tanah ini
Seorang putri pewaris kerajaan
Mewangi sebagai seorang sakti
Tidak, bukan bicara cerita
Tapi timur, barat, utara, selatan
Mengabarkan hal yang sama
Penjaga air
Danau purba tenang wibawanya
Jangan lukai jiwanya
Kita terhormat karena leluhur
Pembawa cahaya
Membangun irigasi, saluran air
bendungan dan kesejahteraan
Dermawan dalam cinta kasih
Berbagi harta, hewan, pakaian,
Dan hasil bumi
Putri penjaga air
Selama diingat meski dalam hening
Sumur menolak untuk kering
LEMBAH TANGKUBAN PERAHU
Di tangkuban Perahu
Ada rindu
Di bawah lembahnya
Yang kini menjadi desa
Maka kusematkan sajakku
Untuknya karena kasih
Menemui sejatinya
Bukan khayal
Atau kisah samar
Tapi jalan takdir
Menghadirkan dua cinta
Satu bahasa mewujud sejuta makna
Frasa bertali-temali menjadi mantra
Kekuatan ajaib dari kehadiran
yang menciptakan pertemuan
Berubah keberkatan
SILUMAN KUDA
Meringkik
Meminta jatah
Apa y
ang dicari
Adalah waktu
Tempat tinggalnya
Bukan hutan tempat angker
Tapi kota diamnya
Pada malam
Kabut dilumat rembulan
Siluman kuda kesepian
Eyang menceritakan
Dia liar dan masih terdengar
Entah sebab apa
Sejak lama dia di sana
Mendahului bapa moyang
Umurnya sudah tua
Wajahnya awet muda

Komentar
Tulis komentar baru