Skip to Content

Prosa Puitika Ummi Azzura Wijana

Foto Ummi Azzura Wijana

 

Sum
: Goresan Luka

Sum menyingkap jarik Sidomukti yang hanya dililit seadanya. Kebaya kusamnya justru memerlihatkan kuning langsat kulitnya yang tanpa kerut dimakan usia. Rambut panjang ia gelung ke atas. Parasnya semakin terlihat cantik.

Ia letakkan cangkir bermotif blirik di pangkuannya. Pandangannya jauh ke depan. Menerobos tirai jendela rumahnya yang tertiup sepoi angin sore ini. Berulang-ulang ia putar cangkir warna hijau itu. Ia angkat, seruput sedikit lalu ia letakkan di atas pangkuannya kembali. Kedua tangannya ia tangkupkan. Seakan mengharap hangat dari kepulnya yang tak seberapa.

Sejurus tak ada yang ia lakukan. Dia hanya terdiam. Sesekali ia ambil nafas berat. Pendek, seperti ada beban dalam dadanya yang menimpa berton-ton. Ia usap wajah ayunya dengan telapak tangan kanan. Badannya agak membungkuk. Pandangannya beralih pada jari-jari kaki kecilnya. Tanpa alas di atas lantai batu putih yang dingin. Ia mainkan kakinya yang ramping dan panjang. Masih tak ada suara.

Terdengar gemerisik daun bambu di ujung halaman rumahnya. Tak mengusik lamunannya yang jauh mengembara. Mungkin telah sampai pada ngarai, lembah, dan mendaki gunung terjal. Pengembaraan tanpa ujung. Dari pagi mentari bersinar. Hingga saat terik, garang membakar kegetiran hatinya.

Suwung, mata Sum kosong. Seperti keberadaannya di rumah ini yang sendirian tanpa siapa-siapa. Sering hari ia habiskan untuk membaca buku-buku bersampul lusuh, kertas warna coklat, yang sibuk ia bolak-balik. Kadang ia lama sekali menatap kanvasnya. Kwas tak segera ia goreskan. Saat dia puas memandang, warna warni lembayung tak seperti pelangi menghias kanvas di depan tempat duduknya. Melukis hati dan pikirannya. Tak peduli kilat bersabung di atas wuwungan rumahnya. Ia akan terus melukis.

Ia alihkan pandangan, ke arah kiri. Tatapnya sendu, walau tak mengurangi parasnya yang cantik, nampak duka bergejolak. Ia tahan tarikan nafasnya. Seruputan terakhir, ia habiskan teh tanpa gula di tangannya. Ia letakkan cangkir di atas dipan tempat ia duduk. Beranjak ke arah lukisan berukuran sedang, tak terlalu besar.

Ia usapkan jari-jarinya di atas kanvas. Pipinya basah, ia biarkan air mata jatuh di atas kebayanya. Bergeming, lekat tatap dari balik matanya yang sayu.

"Sum, bangkitlah. Biarkan irama ini mengiring perjalananmu. Jangan biarkan gersang menghabiskan semangatmu." Bisiknya lirih.

Angin bersautan, menghamburkan daun pintu menutup sendiri. Menimbulkan kebisingan. Daun-daun bambu beterbangan masuk ke halaman, satu-satu masuk teras rumah Sum.
Berserakan.

Magelang, 26122017

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler