Skip to Content

Puisi-Puisi Moch Aldy MA

Foto Dead Poet

Pasca—Kontem-pler

Demi menjaga kesehatan psikis dan karena dihantam pandemi (tanpa huruf 'L' setelah 'P'), orang-orang mengevakuasi dunia nyata ke dunia maya. Mereka bangun toserba, sekolah, klinik, galeri, museum, alun-alun, bioskop, diskotik, bar, pasar malam, mall, studio musik, sampai biro jodoh secara fiktif. Tapi yang kulihat dari semesta maya menggunakan Teleskop Sosiologi tak lebih dari panti wreda; isinya orang-orang jompo, pesakitan, dan suka membuli. Kau mengakui itu.

 

Lihatlah apa yang mereka lakukan: seorang koruptor dikurangi masa tahanannya oleh hakim paling bijaksana seantero jagat raya—karena koruptor itu dengan senang hati memasukan segala caci maki dan sumpah serapah mereka ke dalam hatinya.


Aku tak kuat menahan tawa. Kotak tertawaku rusak. Lantas kau mengajakku berkelana, mencari adil sampai ke ruang sidang sang Tuhan. Kita dengar Tuhan juga tertawa di sana. Tiba-tiba kau menyidindir secara halus bahwa kau haus. Aku membeli boba favoritmu dengan uang digital yang takkan pernah bisa kusentuh. Uang yang kudapat dari berjudi di slot bernama Sweet Bonanza.

 

Sedang orang-orang masih di semesta maya, berganti-ganti alter-ego untuk yang kesekian kalinya. Aku kembali mengingatkanmu bahwa berpura-pura sedang baik-baik saja itu tak baik. Kau mengangguk sembari menyeruput boba. Kau berkata, setelah surga, Tuhan pasti menciptakan boba. Sial, aku ingin tertawa namun kotak tertawaku sudah rusak.

 

Kau tahu, di dunia yang dinamai nyata, semuanya juga terasa semu. Kau tahu, setiap kali kaki ini melangkah meninggalkan rumah—yang tersisa hanyalah karbon dioksida dan surat vaksin yang belum divaksin media elektronik. Seperti e-ktp yang belum e, masih harus difotokopi. Kalah oleh Siskaeee. E-nya tiga hehehe.

 

Kau tahu, semangatku sudah kabur bersama libido konsumsi—orang-orang yang kian meraksasa di setiap tikungan dan selokan. Kau tahu, kini omong kosong tergantung tinggi di spanduk, baliho, dan poster para pejabat yang bersolek melebihi pelacur yang baru magang. Mereplikasi tahi kucing. Dan kegilaan yang semakin sinting.

 

Di ujung jalan yang lain, kau tahu, sekumpulan ibu-ibu bercerita mengenai warung kecil sampai grosir yang berbenah diri agar tak kalah saing dengan juragan ritel: supermarket. Kau muak, menyalakan televisi, kemudian bertambah muak. Kau tahu, ketika televisi dinyalakan, kau melihat kotoran berserakan di sana. Acara-acara sampah yang malah mendapat rating tinggi, ah! Entah karena selera masyarakat memang rendah, atau karena jaringan televisi memanfaatkan peluang yang tinggi dari sesuatu yang picisan. Entahlah, tanyakan saja pada opera sabun yang tayang setiap hari. Satu yang pasti, di televisi, kau dan aku tahu negara ini dikutuk untuk terus berkembang.


Televisi, sejak perkembangannya merupakan senjata terampuh bagi setiap penguasanya. Begitu kata Noam Chomsky di bukunya yang pernah kubaca: Politik Kuasa Media. Dengan dipegangnya industri ini, berarti hampir setengah dari hidup orang-orang yang menyaksikannya menjadi dapat diatur. Ke kiri atau ke kanan. Sehingga produk-produk nirguna di zaman kontem-pler ini melaju pada durasi yang menjijikkan. Dengan janji-janji absurd dan tipu yang manis untuk dikecap: seperti es krim magnum yang menjadi penanda magnum opus; petanda dari kemewahan, keglamoran, dan eksklusivitas industri es krim.

 

Tapi sayang, apakah aku harus mengucapkan Bon Appétit dengan logat ala Français yang lebih terdengar seperti bonapeci agar terdengar berkelas? Apakah sebuah hati angsa di angkringan takkan pernah bisa satu kasta dengan Foie Gras? Mengapa harus Prancis yang menjadi penanda kemewahan? Tapi itu tak penting sebenarnya.

 

Bagian terpentingnya, bolehkah seorang pemberontak dalam pembuluh darahku menaruh kepala wakil rakyat yang ingin membeli sebuah Jas Louis Vuitton (baca: Lui Vitong) semasih rakyat kelaparan? Tentu ia akan menaruhnya di Guillotine. Persis seperti Raja Louis XVI, dari Prancis yang dipancung oleh rakyatnya sendiri karena berfoya-foya saat rakyatnya sedang kesusahan. Aku tak kuat menahan kesenjangan ekonomi dan akal sehat antara rakyat dan wakil rakyat. Aku juga jengah dengan semiotika yang semi-tolol ini. Aaaaaaaaaaaaaa.

(2021)

 

Kesurupan Serdadu Perang Dunia Kedua

Aku lari lebih jauh untuk berlari di atas pecahan masa lalu. Menziarahi setiap lekak-lekuk bentuk waktu. O andai peluru di Sarajevo tak menembus dada seorang pangeran. Kita akan hijrah dari losmen ke losmen tanpa harus mengunyah sebuah cerpen klasik di penghujung hari. Lalu aku, akan mengamati Garis Maginot sepanjang bulu matamu yang cantik. Yang tak mampu membuatku berhenti berlari.

 

Tapi Operasi Barbarossa, terlanjur menandai musim dingin yang abadi bagi Tentara Wehrmacht. Kubongkar Swastika di gudang senjata; kutemukan Vodka yang tak pernah mau bertegur sapa. Dingin. Ingin rasanya melupakan bau beruang di atap-atap Gedung Reichstag. Kabur dari kutukan berupa ingatan yang perlahan menguliti masa depan.

 

Mereka tahu, kita menyeberangi Selat Inggris dari Inggris ke Prancis yang sedang diduduki oleh orang-orang Nazi. Mengakhiri perang di Normandia yang berakhir tatkala—orang-orang Jerman tak pernah berani untuk membangunkan Der Fuhrer dari tidurnya. Mereka tahu. Kita saling menatap satu sama lain seperti seorang perantau yang bertemu perantau lain di tanah perantauan.

 

O andai Janji Versailles tak membuat Anggur Merlot merasa paling anggur di antara lautan anggur. Memulai ekspansi di gurun. Membakar mawar tepat di musim semi. Seperti seekor lebah yang dimabuk nektar pada saat seekor lalat hijau merindui rerumputan busuk. O sayang, betapa aku kesurupan serdadu perang dunia kedua yang belum merasa usai. Dan kau, masih membaca puisi ini sebelum perang di dalam kepalamu selesai dengan damai.

 

(2021)

 

Mesin Waktu dan Plandemi (circa 2039)

Di luar sana, orang-orang merayakan zaman yang sakit dengan perasaan sehat walafiat. Gawat kurasa, rasa-rasanya ini serupa hidup di akhir abad ke-19—kala segelas Absinthe dan satu dosis hisapan Opium mampu membuka gerbang menuju nirwana.

 

Atau seperti abad-abad bersamamu, abad 21 dasawarsa ke-2; tatkala bau parfum yang bermukim di beha renda-rendamu mampu membuat orang bebal sepertiku percaya bahwa surga itu benar-benar ada.

 

Sebuah monitor selebar 49 inchi menampilkan kebohongan yang dikemas dengan benar sehingga dianggap kebenaran. Untungnya, kita sudah tahu bahwa kita ada di tengah-tengah lautan informasi. Sialnya, kita juga tahu kita perlahan-lahan tenggelam sesaat sebelum ditelan mulut seekor monster: Massifikasi.

 

Tapi kita masih bersama. Berdua. Kau dan aku. Merayakan zaman yang mabuk berat dengan penuh kesadaran. Tanpa beban. Dengan ringan kita menari, bertelanjang dada, dan berciuman seperti besok kiamat kubra akan segera tiba lalu menuntaskan kepunahan massal ke-6.

 

Efek Rumah Kaca, Bangkai Freon, dan Bau Fluoride masih kita rasakan. Walaupun hidung kita sudah bosan; mampat dihantam Influenza dan Anosmia seperti orang-orang di luar sana. Meskipun, detak detik waktu yang kurang ajar tak mampu lagi kita kejar. Meleleh lalu larut dalam celoteh-celoteh tiada henti.

 

Masa demi masa menjadi masalah-masalah baru. Memukul masa depan tanpa ampun. Kini, kau melihat jam untuk memastikan pukul berapa biasanya kita bercinta. Tapi yang kau lihat hanyalah hologram 3 dimensi. Kau geram. Tiba-tiba chip di tengkuk leherku bersuara. Maaf sayang, aku harus kembali bekerja. Jika tidak, maka seseorang bernama Aldy akan terbunuh setelahnya. Pokoknya: "01001001 01001100 01011001 01010011 01001101"


Kau mengangguk tanda Amorfati. Kau memaksa untuk menerimanya, kendati tahu itu tak bisa diterima. Dalam hati kau berdoa: semoga perjalanan waktu itu nyata. Dalam pelukanku kau bahkan pernah berkata—bahwa kau rela untuk menurunkan massa badanmu, agar bisa bergerak di kecepatan cahaya. Kau merindui masa lalu.

 

Ah, betapa hidup ini berjalan seperti bajingan. Sialnya hanya itu yang kita punya, sayangku. Lantas aku mengemas bahasa tubuh yang belum divaksin. Seraya mencium cincin di jari manismu, tanpa tahu kapan aku akan beristirahat lagi—dalam dekapanmu yang membuatku mencintai takdirku ini.

 

(2021)

 

Anima dan Animus

Ia merasa ada yang mengganjal di jantung persepsi manusia. Maka berbicaralah sisi Anima dalam diriku, kepada sisi Animus dalam diriku. Perihal rahasia manusia di dalam manusia. Tentang orang-orang linglung yang lalu-lalang.

 

Dengan penuh keanggunan dan mulut yang bergetar-getar ia berseru: Mereka membawa badan tapi tidak dengan kesadaran. Mereka membawa pikiran tapi tidak dengan kebijaksanaan. Mereka membawa jiwa tapi tidak dengan cinta. O Animus, apakah mereka cerminan dari dirimu? Kulit-kulit berjalan ini, tak ubahnya seperti bangkai yang hanya mengenal mode berpakaian dan hanya terobsesi untuk unjuk kekuatan.

 

Bagian terburuknya, otot-otot mereka sering kali digunakan untuk merundung dan melecehkan sesamanya. Seperti merasa paling perkasa dan berkuasa. Seolah-olah mendominasi adalah persona yang harus dipuji juga dipuja. Mereka menyembah maskulinitas, seakan-akan menjadi yang paling maskulin di antara lautan terminologi manusia sejati adalah doktrin dan perkara paling utama dari Tuhan yang mereka kira seorang laki-laki.

 

Sedangkan dari sembilan puluh sembilan nama-nama Tuhan, kau tahu, delapan puluh persen diantaranya mewakili nama dan sifat-sifat feminin seorang perempuan. Lalu, adakah ruang untuk mereka menjadi seorang misogini? Lantas, sadarkah mereka bahwa berhala baru yang menghijabi hatinya itu adalah sesuatu bernama maskulinitas?

 

Lihat, betapa menyedihkannya mereka. Mereka mengira dalam setiap jenis kelamin hanya ada satu sisi saja. Tapi dari Psyche dan Logos, atau dalam bahasa mereka dinamai Psikologi, kau tahu bahwa dalam setiap jiwa manusia terdiri dari sisi Maskulin dan Feminin.

 

Sementara dari Philo dan Sophia, yang lazim mereka sebut dengan Filsafat, kau tahu bahwa pada hakikatnya, di dunia ini tak ada makhluk yang kekuatannya melebihi perempuan—karena tak ada makhluk yang lebih gila dari seorang lelaki sudah yang cinta mati kepada seorang perempuan.

 

(2021)

 

Anthropos dan Logos

Di Bukit Algoritma, kau menyaksikan sebuah kecerdasan buatan—yang kecerdasannya terasa semakin alami. Ia berbicara dengan pengkodean karakter UTF-8:
01000100 01100001 01110011 01100001 01110010 00100000 01101011 01101111 01101101 01110100 01101111 01101100.

 

Kau menyimak seraya bergumam. Hmmmm. Lalu, mencoba membaca bahasa biner dengan rasa bingung yang sedang kebingungan. Kemudian berteriak kencang: "Wahai Logos, mengapa semua kecanggihan ini malah membuatku bingung?". Ya, namanya juga bingung. Tapi Anthro, begitu sapaan akrabmu, sebingung-bingungnya manusia tentu lebih bingung robot yang semakin mirip manusia dan manusia yang semakin mirip robot.

 

Begitu kataku, dengan bahasa tubuh membingungkan seperti Meganthropus Paleojavanicus—yang sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang seluk beluk bahasa pemrograman; semasih kau mendengus kebingungan dan memegang kapak perimbas di tangan kanan.

 

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaasyuuuuuuuuuu! Dasar kom...-tol! Komputer tolol!" kau kembali berteriak dan tak sengaja memuntahkan bahasa masa depan.

(2021)

 

***

 

BIODATA

Mochammad Aldy Maulana Adha lahir di Bogor, Jawa Barat—pada 27 Maret 2000. Bukunya: Timbul Tenggelam Philo-Sophia Kehidupan (2020); Timbul Tenggelam Spirit-Us Kehidupan (2020); Trias Puitika (2021). Pembaca yang suka menulis ini adalah penerjemah, kreator sekaligus kurator puisi, prosa dan cerpen. Dirinya, antara lain: email-genrifinaldy@gmail.com; instagram-@genrifinaldy; twitter-@mochaldyma

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler