Lantunan ayat-ayat cinta itu kembali hadir dalam kemarau hatiku yang kian gersang, dua ratus ayat cinta itu menggantikan sembilan puluh delapan harapan yang hanya menjadi kenangan yang kian menyesakkan. Kini seratus dua harapan baru telah menjemputku untuk menjadi wanita yang paling sempurna setelah jubah hitam sempat menyelimutiku saat aku merasa benar-benar rapuh.
Matahari baru saja turun dari petidurannya. Jalanan ramai, namun tidak padat seperti pada hari-hari kerja. Lapangan bundar di tengah empat persimpangan jalan itu mulai didatangi orang. Rumput basah sisa hujan semalaman diinjak beraneka ragam kaki. Ada yang kesana untuk berolah raga. Ada yang kesana untuk relaksasi. Ada yang kesana untuk mencari kenalan. Ada yang kesana untuk berkencan. Ada yang kesana untuk mengisi perut. Ada juga yang kesana untuk mencari peluang kenalan bisnis.
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam mau lebih banyak tahu. “Sudah lima anak bernyawa di sini, Aku salah satu!”
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai, Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut, Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai. Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Aku memang benar tolol ketika itu, mau pula membikin hubungan dengan kau; lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu, berujuk kembali dengan tujuan biru.
Komentar Terbaru