Skip to Content

Cinta Takkan Menua

Foto Aslam Dhena Maysar

CINTA TAKKAN MENUA


    Pagi di hari Senin selepas Subuh aku pergi lari pagi ke taman kota. Sudah lama aku tak berolahraga, mengingat pola hidupku yang berantakan; malam buat aktivitas sementara siang aku jadikan buat tidur. Cukup lima keliling lapangan mataku sudah berkunang-kunang, buah betis rasanya menegang tak karuan dan tubuh telah lumer menjadi keringat menembus jaket yang aku kenakan. Aku istirahat, duduk di bangku taman dan mulai membuka buku kumpulan cerpen yang belum selesai kubaca.

    Di tengah asyiknya membaca, perhatianku dialihkan oleh seorang pria tua kira-kira berumur 60 tahunan dan wanita muda disampingnya kira-kira berumur 25 tahun jika dilihat dari garis wajahnya yang belum banyak mengerut, bisa saja tampilan mengelabui usia mengingat teknologi perawatan tubuh kini semakin canggih tetapi aku yakin wanita itu masih belia. Pria tua itu tampak seperti bapaknya atau mungkin hampir seperti kakeknya, tetapi tak ada kemiripan di raut wajah mereka. Perut wanita muda itu besar, tampaknya sedang mengandung. Seperti anak muda pada umumnya si wanita muda itu berjalan sambil memainkan gadget dan si pria tua sesekali melirik apa yang dimainkan si wanita muda di gadgetnya.

    “Ayo duduk dulu.” kata si wanita muda mengajak untuk istirahat sejenak. Wanita muda itu duduk di bangku taman kemudian si pria tua pergi ke pedagang asongan. Ia memesan kopi dan susu; kopi untuknya dan susu untuk wanita yang bersamanya.

    “Harus terus diajak jalan-jalan biar bayinya sehat.” ujar pria tua sambil meletakkan susu di pinggir si wanita muda.

    “Iya, tapi makin kesini makin terasa tendangan si orok, jadi takut.”

    “Lah, wajar kamu takut. Kan ini yang pertama, nanti yang kedua dan seterusnya pasti terbiasa.” kata pria tua sambil tertawa kecil.

    “Ini juga belum, jangan dulu buat rencana lagi deh.” Balas si wanita muda sambil memainkan bola matanya yang menurutku sangat indah; seperti dua buah gundu yang baru dibeli. Bibirnya yang ranum menyentuh tepi gelas plastik—menyeruput susu panas.

    Aku mengamati mereka dari bangku sebelah; setiap ucap dan geriknya. Entah aku merasa iri atau penasaran dengan mereka. Dugaanku mereka memang sepasang suami-istri, tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan pengamatanku.

    Wanita muda itu cantik sekali. Kulitnya putih bersih, senyumnya jarang terbentuk tiba-tiba, tetapi melalui proses yang sangat aku suka—susah diungkapkan. Pria tua itu tampak sederhana dengan jaket jeans dan celana jeans. Nampaknya bukan pria tua yang kaya, ia sederhana. Kebahagiaan mereka terpancar dari ekspresi mereka ketika bercakap-cakap. Si pria tua sesekali menyuapi si wanita muda makan roti yang di celup ke kopi miliknya.

    Sebelum di bangku yang sekarang aku duduki, terlebih dahulu duduk di bangku yang mereka tempati sekarang. Karena bau pesing maka aku pindah ke bangku sebelah, pikirku tak akan cocok menikmati udara pagi sambil membaca cerita serius karya Ahmad Tohari sementara bau pesing lewat dan masuk lubang ciumku tanpa permisi, sungguh kacau. Pagi ini bangku-bangku taman memang banyak yang kosong, tak seperti malam di akhir pekan—pemuda-pemudi komunitas motor biasanya memadati taman ini.

    Mereka menikmati pagi ini dengan halus, tanpa terburu-buru. Sesekali melihat-lihat taman dibelakangnya yang baru saja selesai dibangun oleh pemerintah kota. Konsep taman yang tidak terlalu bagus tentunya. Tetapi masih bagus daripada lahan itu hanya tumbuh tanaman-tanaman liar yang tidak terawat serta banyak pramunikmat yang mangkal disana seperti sebelum lahan itu dialihfungsikan menjadi taman kota. Aku lihat si wanita muda terus mengamati anak-anak yang bermain perosotan di taman itu. Dari sorot matanya yang terhalang oleh kacamata tampaknya ia sedang suka-sukanya pada anak-anak dan dunianya, mungkin bawaan si jabang bayi.

    “Nanti kalau sudah besar—bisa berjalan kita ajak main-main disini, main perosotan main pasir, main ayunan, pasti dia senang. Kita bisa memantaunya dari pinggir taman sambil minum kopi atau susu. Ah, umur tidak terasa, masa bujangku yang panjang ternyata dipotong sama kamu Neng. Entah kelak aku masih bisa melihat anak kita tamat sekolah atau tidak.” ujar si pria tua menyela keasyikan si wanita muda.

    “Dasar bujang lapuk!” balas si wanita muda sambil mengelus manja pipi si pria tua dan mereka pun tertawa kecil.

    Sudah kuduga bahwa mereka sepasang suami-istri. Dengan pandangan yang kosong, pria tua lalu mengelus perut istrinya yang muda dan cantik. Usia yang semakin senja terus meneropongnya dari kejauhan, entahlah usia tak bisa disangka—kadang ia memutuskan berlanjut atau berhenti tiba-tiba tanpa kompromi dan tampaknya si pria tua sedang memikirkan masa depannya, istri dan anaknya.

    Ditengah kemesraan mereka tiba-tiba bola plastik kecil mengenai perut busung si wanita muda.

    “Ambil-ambil!” celoteh sekelompok anak kecil yang tak sengaja menerbangkan bola itu tepat di perut si wanita muda. Si wanita muda merogoh bola plastik itu yang jatuh di bawah bangkunya, ia memberikan bola itu ke anak perempuan yang menghampirinya hendak mengambil bola itu.

    “Ini, lain kali hati-hati yah.” kata si wanita muda dengan rautnya yang keibuan dan halus.

    “Iya teteh.” balas si anak perempuan.

    Si pria tua hanya memandang dengan senyum di wajahnya. “Kamu mau perempuan atau lelaki, tampaknya kamu pengen perempuan?” kata pria tua.

    “Ah, sama saja. Hanya saja Neng lagi suka sama anak perempuan, Kang. Sepertinya Neng pengen anak pertama kita perempuan saja supaya nanti bisa temani Neng kalau bapaknya sedang kerja.”

    “Lelaki juga kan bisa, Neng.”

    “Iya, tapi beda. Buat anak pertama perempuan saja dulu. Nah, yang kedua baru laki-laki.”

    “Alah, tadi kata kamu jangan dulu bikin rencana?” kata pria tua sambil mencubit pelan pipi istrinya.

    “Neng ralat kalimat itu.” ujar si wanita muda dengan genitnya.

    Pagi ini aku seperti sedang menonton kisah-kisah romantis dalam fiksi. Tetapi ini lebih indah dari fiksi dan lebih sendu jika direnungkan olehku sendiri. Sebab sampai saat ini tak ada ikhtiar dariku untuk meminang seorang perempuan; karena kesibukan kerja dan lain sebagainya sehingga kalau urusan asmara ya mengalir saja. Dalam situasi seperti ini cinta memang buta, tetapi tidak dalam situasi sepertiku. Cinta menjadi sesuatu yang awas dan terjaga, kemanapun pecinta berdiam menunggu takdirnya.

    Mereka beranjak pergi setelah pria tua mengangkat telepon dari seseorang. Mereka bergegas menghabiskan minumannya. Si pria tua membantu istrinya beranjak dan menuruni trotoar taman. Aku hanya bisa memandanginya sampai habis tikungan dan kisahnya tentu akan aku renungkan.

 

Juli, 2015


Karya Aslam Dhena Maysar

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler