Skip to Content

Sepasang Mata Saga

Foto Ucha Zelebour

Pagi yang tidak biasa saat menginjakkan kaki di sebuah kampung—jalannya tidak beraspal. Pohon asam meranggas di tepi kanan-kirinya. Deretan rumah berdinding setengah betek. Genangan air selepas hujan. Sekolahan dengan tembok kusam dan internitnya nyaris jebol digerogoti rayap. Di situlah kemudian aku mendidik dan tinggal di rumah kontrakan.

Setelah sekian minggu, aku merasakan ada sesuatu yang ganjil berkaitan dengan sepasang mata yang kerap mengawasiku setiap waktu. Sepasang mata yang menurutku mirip perempuan terpasung, warnanya merah saga, selalu mengusik kemana pun aku pergi. Sorot matanya tak menyiratkan kecurigaan, namun membuatku merasa terdikte. Entah apa yang menyebabkan sepasang mata saga selalu mengamati gerak-gerikku.

Aku sudah berusaha mencari tahu. Meski sejauh ini tak ada keterangan yang dapat menuntaskan rasa penasaranku. Malah semakin larut aku memikirkan sepasang mata saga yang kerap mengawasiku.

Besok, besok, dan besoknya lagi, sepasang mata saga kembali mengawasiku. Kadang dari rumpun ilalang, dari balik pohon asam, dari pojok sekolah, di antara tikungan jalan, dalam pancaran bulan yang layu, sepasang mata saga seolah mengepung. Anehnya setiap kali aku berusaha menghampirinya, sepasang mata saga menghilang begitu saja.

Telah kurencanakan memburu sepasang mata saga yang mirip perempuan terpasung itu. Jika perlu mengelilingi kampung. Dan bila kemudian memergokinya, hendak kutanyakan; mengapa selalu mengawasiku?

Aku mendapati sepasang mata saga di sebuah kedai. Berbaur di antara kerumunan pengojek motor yang asyik berbincang seraya menikmati secangkir teh manis atau segelas kopi pahit di pagi yang kelabu. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera mendekati kedai dengan harapan dapat duduk di sampingnya. Dengan demikian akan leluasa bertegur-sapa, membuka perbincangan, lalu kutanyakan; mengapa ia mengawasiku?

Seolah memiliki sepasang mata lain di punggungnya yang melengkung,  sepasang mata saga mengetahui kedatanganku di kedai itu. Tampak tergesa-gesa sepasang mata saga menghabiskan minuman dan beranjak pergi. Kuurungkan niat duduk-duduk di kedai. Kususul langkahnya yang sudah jauh menyapu jalan desa tanpa aspal.

Kurasa dia tahu jika aku membuntutinya. Sepasang mata saga terus melenggang tanpa beban. Tubuhnya seperti melayang terhempas angin. Begitu cepat menyusuri jalan desa dan memasuki tiap-tiap gang. Aku kewalahan mengejarnya. Merasa aneh saja, ketika kupercepat jalanku semakin tidak dapat menyusulnya. Sepasang mata saga semakin menjauh. Berkali-kali aku meneriakinya, berkali-kali pula aku memintanya berhenti. Sepasang mata saga tidak begitu menghiraukan.

Tepat pada satu tikungan, aku kehilangan jejak sepasang mata saga. Nyaris tidak percaya. Sepasang mata saga yang tubuhnya renta, punggung melengkung dan ubannya hampir memenuhi kepala mampu berjalan secepat lari kuda. Aku terengah-engah, kehabisan separuh napas. Di tikungan itu aku bagaikan seorang anak yang mengejar layangan putus. Membumbung di angkasa. Sebelum hilang dari pandangan, anak itu terlebih dahulu menyerah. Aku memutuskan untuk kembali ke kedai dengan tubuh yang lunglai.

Tidak seorang pun tahu sepasang mata saga baru saja singgah dan menenggak segelas kopi di kedai itu. Aku ngotot, jelas sekali aku melihat sepasang mata saga membayar dengan tiga lembar uang sebelum kemudian berlalu. Kupaparkan ciri-cirinya. Pengojek pun bersikeras, mereka tidak melihat siapa pun selain kawan-kawan mereka.

“Jika Pak Guru tidak percaya, tanyakan saja sama Sumi!” ujar salah seorang pengojek.

“Semenjak tadi tidak melihat seorang pun selain kami.” Lanjutnya. Penasaran, kutanyakan pada Sumi, pemilik kedai. Dari jawabannya yang berbelit-belit aku dapat menyimpulkan bahwa Sumi pun tidak merasa melayani sepasang mata saga yang kumaksudkan tadi.

Tidak semestinya aku memikirkan sepasang mata saga. Apa untungnya. Lebih baik aku kosentrasi pada pekerjaanku untuk tiga tahun ke depan. Setelah itu kemungkinan aku segera mengajukan permohonan pindah ke kota, di mana Hindun, tunanganku, sudah menanti dan berharap kunikahi.

***

Sebuah kampung yang jalannya tanpa aspal. Sekolahan dengan tembok  kusam. Deretan rumah berdinding separuh betek. Air menggenang selepas hujan, kerik jangkrik dan jeritan kodok, lolong anjing di kejauhan, cahaya bulan yang layu, dan sepasang mata saga yang sedang mengawasiku dari balik pohon asam merangkum malam yang sunyi.  

Separuh rokok kretek belum sepenuhnya habis. Secangkir kopi belum terasa dingin, aku duduk di beranda membiarkan sepasang mata saga mengawasiku. Sama sekali aku tidak berminat menghampirinya, sebab dapat kupastikan; sepasang mata saga akan ngliyus seperti kejadian tempo hari.

Entah mengapa tiba-tiba sepasang mata saga perlahan-lahan mendekatiku. Tubuhnya yang renta tampak tertatih-tatih. Berbeda ketika tempo hari. Ada perasaan yang ganjil. Makin dekat, semakin bulu kudukku meremang dan otot-otot di sekujur tubuhku terasa kaku.  

“Selamat malam, Pak Guru!” Suaranya terdengar parau. Pandanganku tersudut pada sepasang matanya, bila kusimpulkan, tatapannya itu kosong, selintas mirip perempuan yang terpasung. Dan kalau saja dia tidak menepuk pundakku, mungkin tidak menyadari kehadiran sepasang mata saga di hadapanku.

Dengan tergeregap aku menyilakan sepasang mata saga duduk di kursi. Tanpa basa-basi sepasang mata saga membuka percakapan. Mengenalkan dirinya sebelum kemudian bercerita sekilas isteri dan anak perempuannya yang semata wayang. Sesungguhnya tak banyak yang kutangkap dari perbincangan itu karena sepasang mata saga terlampau cepat berbicara.

Dengan suara parau dan mata sayu dia ceritakan sikap penduduk desa memperlakukan perempuan yang sudah cukup usia namun belum juga menikah. Gadis yang menginjak usia 13 tahun harus dinikahkan. Jika lebih dari usia itu belum juga menikah disebut perawan sunti. Penduduk kampung akan mengolok-olok, mencibir, mencaci dan kerap menjadi bahan pergunjingan karena dianggap sebagai sumber malapetaka. Kelak desa ini akan tertimpa bencana. Dan sesuatu yang menakutkan itu dialami anaknya yang semata wayang. Ia sering dicibir, diolok-olok dan dicaci

Tidak tahan diperlakukan seperti itu, anaknya sering mengurung diri di kamar. Tidak lagi mau bergaul. Keluarganya tidak tahan menanggung malu. Karena tak kuasa, sepasang mata saga pernah menyuruh anaknya untuk keluyuran ke mana pun, dan melarang pulang sebelum mendapatkan pasangan. Ketika anaknya tidak menuruti, sepasang mata saga murka. Dalam kondisi tak terkontrol sepasang mata saga sempat melayangkan pukulan cukup keras yang mengakibatkan lembam-lembam di wajah anak perawannya.

“Demikian Pak Guru,” Ujarnya dingin. Sejenak kami saling diam. Aku menawarkan rokok dan segelas kopi.

“Masih menanggung malu!” Lanjutnya seperti berbicara untuk dirinya sendiri. Sementara pikiranku membayangkan sesuatu yang tidak kupahami.

“Aku minta tolong, sudikah Pak Guru menikahi anakku!” Pintanya tanpa tedeng aling-aling. Gila! Aku mendadak tercengang.

“Aku mohon, nikahilah dia. Sebulan, seminggu bahkan satu hari pun kemudian Pak Guru menceraikannya, tidak masalah. Yang penting anakku tidak lagi terhina.” Pikiranku tidak menentu. Apa yang kurasakan malam itu; kerik jangkrik, jerit kodok, deru angin, pekatnya malam dan sepasang matanya seolah menyatu dan mengepung perasaanku.

“Jika Pak Guru tidak mau menerimanya, sepasang mataku ini akan terus mengawasi! Dan terus mengawasi! Sampai kapan pun terus mengawasi!”

Tiba-tiba aku seolah mendengar gemuruh halilintar. Seribu kilatnya yang runcing bernafsu mencabik-cabik sekujur tubuhku. Aku tidak kuasa menghindar.

Tetangga depan rumah keluar, membuang setumpuk puntung di halaman. Perbincangan terhenti sesaat. Kosentrasi pandangku terbagi olehnya. Tetangga menengok ke arahku.

Lho, midangnya sendirian saja Pak Guru! Apa tidak butuh teman?” Serunya. Sendiri? Bukankah ditemani sepasang mata saga? Di kepala kusiapkan sanggahan atas permintaan sepasang mata saga. Begitu tetanggaku beranjak masuk, kualihkan pandangan kepada sepasang mata saga kembali. Namun apa yang kulihat, sebatas sudut kosong. Sempat terkejut. Sepasang mata saga itu telah lenyap dari tempat duduknya.

Aku rayapkan pandangan; ke samping dan ke halaman rumah dengan seksama. Tak mendapati sepasang mata saga. Cuma keheningan yang tidak cukup menghibur. Entah kemana perginya sepasang mata saga.

Sebuah kampung jalannya tanpa aspal. Sekolahan yang bobrok. Sebuah rumah kontrakan dengan dinding setengah betek, dan pikiran yang melayang pada perkataan sepasang mata saga, tidak membuatku lekas tidur.

***

Suatu pagi yang hambar, aku ceritakan pada tetanggaku tentang pertemuanku tadi malam dengan sepasang mata saga. Aku ungkapkan apa saja yang dikatakannya. Dan selanjutnya aku berterus-terang bahwa aku sesungguhnya merasa terganggu dengan perlakuan sepasang mata saga yang selalu mengawasiku. Kulihat wajah tetangga itu sedikit pucat mendengar keteranganku.

“Apakah yang dimaksud Pak Guru itu Saiman?” Tanya tetangga itu dengan terbata-bata.

“Iya. Semalam dia menyebutkan nama itu!” Jawabku. Wajah tetanggku semakin pasi.

“Sebaiknya kau lupakan saja!” Sarannya menggantung.

“Kenapa?” Tanyaku penasaran. Dan aku tahu sepasang mata saga itu sedang mengawasiku dari balik pohon asam.

Lalu dengan sedikit ketakutan dan ragu-ragu, tetanggaku itu membeberkan perihal sepasang mata saga. Bahwa benar dia adalah penduduk kampung ini dan punya anak perawan, namanya Nining. Dan yang membuatku terkejut, sepasang mata saga itu sudah meninggal lama sebelum aku menginjakan kaki di kampung ini. Sontak buluk kudukku meremang.

Tetanggaku melanjutkan ceritanya. Kini tentang bagaimana kematian sepasang mata saga, yang konon, karena tak tahan menanggung malu, ia khilaf, lalu membunuh dirinya. Awalnya mereka hanya menduga. Namun apa yang disaksikan penduduk mengenai seutas tali yang menggantung di dahan pohon asam—di mana jasad sepasang mata saga itu ditemukan, meyakinkan sebagian mereka yang menyimpulkan; Saiman mati bunuh diri.

Selepas kematian yang tragis itu tersiar kabar; sepasang mata saga kerap mengawasi siapa pun guru pendatang di kampung ini.

“Itulah mengapa banyak guru tidak betah tinggal di sini. Umumnya hanya sebulan hingga dua bulan lamanya, setelah itu mereka kabur meninggalkan murid-muridnya.”

Sebuah kampung jalannya tanpa aspal. Sekolahan kusam. Rumah-rumah berdinding setengah betek, genangan air sehabis hujan, sepasang mata saga dan malam dengan cahaya layu rembulan, aku merasa gamang. *** 

   Cirebon, Januari 2011

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler