Skip to Content

Setangkai Anyelir

Foto M. Lufiah Sirhab

Sekumpulan kata-kata bisu bermekaran di batas pagi, tumbuh meliar di jenggala dada bersanding dengan degup yang berdetak terbata-bata mengeja sebuah rasa. Meski terasa namun tak teraba, tapi aku tau rasa itu ada. Liuk pena dalam tarian jemariku membahasakan yang tak dapat kupungkiri berapa kali pun aku menyangkal keberadaannya.
Hitam di atas putih menoktah, tentang rinduku.
Kutelisik jejakmu pada masa dimana senyum dan tawamu dikekalkan oleh lengan-lengan waktu. Mengenai ribuan senyum juga tawa yang bertautan dalam perbincangan kita di hari kemarin. Tatkala senyum rekahmu menghampar di kanvas buana kerap kali kuselipkan tanya, Bolehkah kupinta segaris senyummu atau bisakah kumiliki seutuhnya?
satu dari sekian banyak tanya tak terucap yang hanya berdiam diri tanpa mencari jawaban. Hingga kini masih kulipat rapat tanya itu tanpa harus kau tahu angan yang menggelitik benakku. Karna kutahu senyummu berpulang ketempatnya, begitupun dengan senyumku.
Kita memang berbagi senyum namun hanya sebatas senyum yang berlepasan diantara obrolan kecil kita. Perihal pemiliknya? Aku, kau tahu itu.
Tentang tawa, aku berlaku sama karna kita pun tahu kedalamannya. Tentang tawa yang berhamburan tetap tak berarti apa-apa karna kita tak mengartikan tawa yang lebih dari sekedar tawa biasa, tawa kita diartikan oleh hati masing-masing dalam artian bahagia yang berbeda. Atau mungkin sediakah kita saling memberinya arti di lain waktu? Mungkin.

Teruntuk sosok bergaun merah muda yang tengah berdansa bersama angin di bawah temaram lampu-lampu pelataran jalan. Aku tak pernah berencana merindukanmu, pagi memang selalu berembun tetapi pagi tak selalu tentangmu namun pagi yang sama selalu berulang saat aku merindukanmu. Lantas bagaimana denganmu.
Adakah hari dimana kau merindukanku?
Adakah aku dalam catatan cerita rindumu?
Adakah detakku yang kau maknai sebagai sesuatu?
Entahlah, ada kalanya tidak semua hal berujung pada rasa tahu, sebagian hal kadang hanya berangan-angan, bertanya-tanya, menduga-duga. Akan selalu ada saat-saat seperti itu. Sebab semesta selalu menyimpan kemungkinan dan aku tidak punya kuasa untuk setiap perkara hidup yang telah terjadi dan yang akan terjadi, selalu ada bagian kejadian yang tak diperkirakan sebelumnya.
Dengan itu kuartikan engkau sebagai segala kemungkinan yang aku semogakan dalam doa.
Aku merapal lirih namamu dalam doa-doa yang kupanjatkan di sepertiga malam untuk mereka, dia dan juga kau. Jikalau aku lupa menyebutmu dalam doa malamku, aku tahu kau bersembunyi di belakangku meski hanya sebentuk bayang semu. Maka tepuk saja pundakku, berbisiklah ingatkan aku.
Selebihnya biar jemari takdir dengan runcing pena jarum jam yang menulis kelanjutannya, kisah kita.

Setangkai anyelir di seberang jalan

Kekasihmu mungkin tak pernah tahu, di sudut pagi sesekali waktu rinduku lebih dulu mengecup lembut keningmu dan mengabarkan pagi.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler