Puisi
MH. Dzulkarnain
Aku, Kau dan Hujan Di Bulan Juni
;Sherly
Apa kabar Sher...
Tadi pagi aku dapat selembar risalah dari Tuhan
Setelah aku baca,
Ternyata aku, kau dan hujan adalah saudara
Kita sama-sama dilahirkan dari rahim bulan juni
Dibesarkan oleh ombak peradaban negeri
Merasakan nikmat Tuhan lewat senyum ibu sejak dini
Menyeruput pahit pekat hidup dari secangkir kopi
Pada rahim bulan juni ini
Mari kita berdo’a mengepalkan tangan kanan-kiri
Semoga hari demi hari bukan sekedar mimpi sunyi
Dan setidaknya,
Di hari esok kita bisa merealitakan mimpi kemarin hari
Bersama hujan di rahim bulan juni ini
Kau dan aku adalah puisi
Mengalir dari sawah ke sungai mencari jati diri
Dari muara ke palung samudra mencari titik tepi
Annuqayah Mata Pena, 2021
Seorang Kekasih
Zikir-zikir tumpah
Di tubuh sajadah
Merayu Tuhan yang
Masih gundah dengan hambanya
Do’a-do’a merayap dari dinding ke jendela
Dari jendala ke plafon rumah
Dan di sanalah ia bertemu dan bertamu
Pada seorang kekasih yang sedang menyeduh rindu
Annuqayah Mata Pena, 2021
Senyummu
Senyummu yang lesung perawan
Telah janda di mataku seorang
Annuqayah Mata Pena, 2021
Cebong dan Kampret
Poligami antara cebong dan kampret
Menjadi sebab gedung parlemen kehilangan pencopet
Annuqayah Mata Pena, 2021
Hanya Di Mata
Di mataku kau datang
Di matamu aku pulang
Annuqayah Mata Pena, 2021
Keluarga Kecilku
Keluarga kecilku sering membungkus namanya
Lebih-lebih saat petang memeluk senja
Atau ketika malam mencibir purnama
Keluarga kecilku
Suka tertawa apabila ia menghampiriku dengan gundah
Keluargaku juga sering menangis apabila ia jarang aku tulis
Aku dan keluargaku selalu lancang mengecupnya
Ketika ia sedang berkencang denga keluarganya
Annuqayah Mata Pena, 2021
Di Kota Khatulistiwa
Di kota khatulistiwa
Aku punya rumah selaras nirwana
Tempat singgah bagi puisi dan prosa kita
Di sanalah mereka memeluk hangat dinginnya mimpi
Juga mencuci seberkas obituari dengan segelas kopi
Walau terkadang, sunyi kerap kali menjadi rekan para diksi
Di kota khatulistiwa
Aku mendapatkan banyak bongkahan cerita dari seorang kawi muda
Tentang bunga yang dijual murah meriah seharga sampah
Dan terkadang melonjak sektika seharga nilai sumpah
Bahkan adapula cerita yang membuat aku terharu dan terhura-hura
Tentang seekor anjing yang dijinakkan oleh seekor anak kucing
Di kota khatulistiwa
Aku juga sempat melihat sekelompok burung gereja terbang
Dengan membawa serpihan kata dari setiap lembaran buku kita
Lalu mereka memberikannya pada Tuhan
Sebagai arsip hidup tentang kisah pisah
Antara puisi dan melodi asmaraloka hidup kita
Annuqayah Mata Pena, 2021
Ibu
Begitu banyak penyiar dan penyair
Membangun rumah dengan kerikil-keriki zikir
Tempatmu ibu...
Mencuci cangkir hidupku yang fakir
Annuqayah Mata Pena, 2021
Ayah
Pada tulang bajamu
Kami berteduh utuh
Pada saku dadamu
Kami hidup layaknya benalu
Annuqayah Mata Pena, 2021
Wanita Berkerudung Hitam
Ingatkah engkau...
Wahai wanita berkerudung hitam
Saat kau terbit di mataku yang masih tenggelam
Pagi itu kau membangunkanku dengan kecupan
Mengajakku lari pagi ke bukit lancaran
Mencoba mencari jejak sajak seorang petualang
Burung-burung pun berkicauan
Menyambut kita dari atas dahan
Aku heran mengapa aku tersenyum
Ketika bibir molekmu melengkung
Mataku membinar tak berkedip
Meratap wajahmu yang maha dahayu
Namun sayang,
Aku teringat pada huruf-hurufku sendiri
Bahwa segala yang sempurna di bola mata
Belum tentu akan kita punya
Dan bahwa segala yang tuhan ciptakan
Belum tentu akan kita dapatkan
Annuqayah Mata Pena, 2021
Terimakasih Puisi
Aku berterimakasih padamu
Karena telah memperkenalkannya padaku
Aku berterimakasih padamu
Karena telah menjadikannya detak waktuku
Aku berterimakasih padamu
Karena telah menghadirkannya pada ruangku
Aku berterimakasih padamu
Karena telah menyerupainya pada setiap lembaranku
Dan terimalah semua terimakasihku ini
Karena engkau, dia tau siapa aku
Dan begitu pula dengan aku
Annuqayah Mata Pena, 2021
Mata Air Dan Air Mata Tanah Air Kami
Mata air tanah air kami
Mengalir dari sungai ke pinggir sawah
Dari muara ke palung samudra
Kita dapat melihat
Padi-padi merunduk menguning
Pada petani yang sedang duduk mengusap kening
Kita juga dapat melihat
Ikan-ikan lokan berlomba-lomba mendo’akan
Para nelayan yang sibuk memeluk angin dan angan
Sedangkan...
Air mata tanah air kami
Tersia-sia tumpah di pundak peradaban buana
Membasahi sajadah yang luas terbentang di dada
Menjelma hujan obituari di sudut koran atau di pojok majalah
Tangisan anak-anak, suara demontrasi pelajar menggema
Hingga celoteh-celoteh terngengeh para kaum lansia
Menampar wajahnya sendiri hingga mereka tak menyadari
Bahwa saudara sedarah sendirinya yang mengotori bumi ini
Aku seorang kawi hanya bisa meratapi alam buana ini
Ketika sunyi dan sepi bersetubuh di ranjang mimpi
Annuqayah Mata Pena, 2021
Memori Kosa Kata ‘Kisah Pisah Kita’
Mungkin tak ada lagi cerita yang bakal kita bahas tuntas
Jika benang layang-layang kasih sayang telah rela kau lepas
Mendiami ruang dengan raung di kening penuh kunang-kunang kenang
Hingga jangkrik, cicak dan nyamuk pun
Kerap kali gundah bahkan gaduh membuat irama lagu
Hanaya untuk mengganggu percakapan kita
Di balik hitamnya waktu yang tak berpintu
Dan itu semua telah kuarsip dalam buku catatan
Meski sedikit dari huruf-hurufnya berterbangan
Menjelma merpati yang setia hinggap di jendela
Namun tidak dengan dua kata
Yaitu aku dan kamu yang telah dikutuk selamanya
Menjadi Maha Kita
Dalam memori kosa kata ‘kisah pisah kita’
Annuqayah Mata Pena, 2021
Di Bibirmu #1
:Neng
Di bibirmu
Aku tersimpu malu
Mengeram dalam ucapan
Mendekap dalam kenangan
Jika Tuhan mempertemukan
Adam dan Hawa di baitul rahman
Maka Tuhan pula mempertemukan
Kau dan aku di baitul kalam
Tempat puisi kita bersemayang
Di bibirmu
Para malaikat
Tertidur lelap
Seakan-akan dosa tak pernah kau dekap
Jika ashabul kafi dan anjing nya
Tiga ratus tahun tidur lama nya
Demi mengelabui mereka
Maka satu detik merupakan
Awal bagi mu meracik kata yang sempat luka
Demi menyimpul kisah pisah kita
Annuqayah, 2020
Di Bibirmu #2
:Neng
Di bibirmu
Para penyair berzikir
Melumat nikmat Tuhan yang sempat hangat
Dan memeluk tubuh yang tabah
Dengan secerca do’a terucap indah
Kata-kata mengelus kendang telinga
Memberi kabar tentang pagi
Yang tak menyapah lagi pada seoarang kekasih
Di bibirmu
Aku melihat semacam peristiwa
Seorang perempuan yang gelebah
Dan seorang laki-laki yang menyimpan rahasia
Mereka berdua sama-sama punya rasa
Tapi tabir waktu terus menyelimutinya
Akankah mereka kembali bersua
Menyambung cerita Qois dan Laila
Atau mungkin mereka ingin membuat sejarah
Tentang ‘Asmara Kisah Pisah’
Annuqayah Mata Pena, 2021
*)Nama pena dari Noer Moch. Yoga Zulkarnain Pemuda Kelahiran Sumenep, 16 Juni 2003, Alamat rumah Desa Gunung kembar-Manding-Sumenep, Santri PP. Annuqayah Daerah Lubangsa, Siswa MA 1 Annuqayah, sedang merajut estetika hidup bersama Majelis Sastra Mata Pena (MSMP).
Komentar
Tulis komentar baru