Sang Biduk bertahta di langit, dalam kerlap kerlip nan anggun.
Awan-awan putih bergulir seiring purnama yang mengembang.
Bagai sang Dewi sedang bersolek.
Senyumnya menyorot penuh di tanah lapang tempatku duduk mencangkung.
Aku termangu dalam diam.
Kebisuan yang sempurna.
Angin seolah berhenti berhembus.
Desah rumpun bambu seakan kehilangan gairahnya.
Merunduk bisu dalam keremangan malam.
Tanah ini terasa hangat, bau rumput kering terasa manis dan memabukkan.
Berpusing aku diantara khayal dan harap.
Mabuk aku didekap kerinduan.
Rindu kekasih, menari-nari di atas luka dan patahan-patahan mimpi lalu.
Mabuk yang mencekam, mabuk yang melelahkan.
Manis sesaat, getir sekejap, indah sebentar, buram seketika.
Madu itu telah kureguk, bersama asam dan garam dari cawan-cawan terserak.
Dan hidup ini jadi seperti pelangi.
Penuh warna, pesona yang muncul sehabis hujan.
Basah namun indah.
Ah, angin malam..
Jangan berhenti berhembus.
Bawalah luka dan rinduku bermuara di samudra lepas.
Biar larut dalam air yang bergejolak dan karam.
Aku akan berkencan dengan Sang Biduk yang menghiasi petala langit malam ini.
Yang selalu bertahta di tempatnya yang tetap.
Ordinasi yang sempurna.
Dalam telanjang mataku, dan tiap langkah kakiku.
Tanah hangat ini, bau rumput dan senyum purnama, terbingkai sudah.
Kerinduanku pada kekasih adalah mabuk semu, akan pudar sewaktu-waktu.
Tapi kerinduanku pada Pemilik Hidup Matiku adalah mabuk yang menenangkan.
Takkan boleh pudar.
Aku akan mati kehausan jika cawan-cawanku kubiarkan kering tanpa terisi Rahmat-Nya.
Jika purnama hilang, tak berarti langit tak indah lagi.
Jika langit tak berbintang tak berarti malam hilang pesonanya.
Jika hatimu belum disentuh cinta sang kekasih, tak berarti Cinta-Nya hilang dari hidupmu.
Mungkin kamu yang pergi meninggalkan-Nya.
Maka dekatilah DIA.
Dan kau akan dicintai selamanya ..
Komentar
Tulis komentar baru