Skip to Content

BENIH CINTA TERLARANG

Foto M H Ramdhoni J
“Belunguh, kaukah itu?”, suara lembut seorang perempuan berdesir dibawa angin. Sesosok tubuh sintal turun dari punggung kuda berwarna cokelat.
Lelaki muda yang dipanggil Belunguh bersirobok pandang seraya tersenyum.
“Inilah sahaya Tuan Puteri”, jawab lelaki itu sambil membungkuk sepenuh hormat.
“Tak perlu memanggilku dengan sebutan itu. Panggil saja aku Sindi, Umpu Sindi”, jawab gadis menawan bernama Umpu Sindi.
“Tuan putri tentu bergurau. Mustahil sahaya memanggil nama Tuan Putri tanpa panggilan kehormatan.”
“Sahaya hanyalah jelata. Sedang Tuan Putri adalah putri tunggal Pun Beliau Ratu Sekeghumong, Ratu Sekala Bgha. Tak pantas sahaya memanggil nama kecil Tuan Putri”, pungkas lelaki muda.
“Aku tak sedang bergurau, Belunguh!”, Sindi berucap serius.
“Usiamu tentu lebih tua dibanding aku. Semestinya aku memanggilmu abang. Abang Belunguh”, kilah Sindi sambil tersenyum manja.
Tatapan mata Umpu Sindi yang nakal menguji iman Belunguh. Ia merasa kadar imannya mulai meleleh perlahan. Di depannya berdiri seorang perempuan muda cantik, bertubuh indah dan putri penguasa Sekala Bgha. Ia mempesona. Belunguh terpesona oleh pukau sang putri. Sebagai lelaki, Belunguh tak menampik hasrat mudanya memerlukan penyaluran. Akan tetapi sebagai pengikut setia Jalan Yang Lurus ia pun harus menemukan jalan yang pantas sebagai umat sang Nabi. Menikah sesuai perintah kitab suci dengan sesama pengikut ajaran Jalan Yang Lurus. Sementara perempuan yang ada di depannya adalah seorang penyembah berhala. Akankah Allah Yang Maha Tahu meridhoi perkawinan ini? Ia tak ingin lena pada godaan duniawi dan badaniah ini tapi ia pun tak tahu sampai bila dirinya mampu menahan lonjakan nafsu kelaki-lakiannya.
“Kau terima suratku, abang Belunguh?”, tanya Sindi sambil bercanda.
“Tuan Putri tak perlu memanggil sahaya dengan sebutan abang. Cukuplah panggil nama sahaya saja Belunguh”, jawab Belunguh.
“Sahaya telah terima surat dari Tuan Putri dua hari yang lalu”, imbuh Belunguh.
“Kau begitu lugu Belunguh”, Sindi tertawa kecil.
“Terima kasih kau telah datang kemari memenuhi undanganku”, berkata putri Sekeghumong.
Belunguh mengangguk takzim.
“Kita telah berjumpa beberapa kali di pasar rakyat. Aku jatuh kagum pada sosokmu yang bersahaja dan budiman”, puji Sindi.
“Aku tahu dari tatap matamu engkau juga begitu terhadapku”, Sindi berkata lalu tertawa terpingkal-pingkal.
Merah padam muka Belunguh mendengar pernyataan Sindi. Ia tak menyangka perempuan muda yang berdiri di depannya ini berani berkata sebebas itu. Ia terhenyak antara pukau dan galau. Hari ini rasanya ia mendapat ujian bertubi-tubi dari Allah. Ia tak yakin mampu memenangkan ujian ini.
“Hei, kenapa wajahmu bersemu seperti itu. Aku hanya bergurau”, kali ini Sindi tersenyum sopan.
Belunguh masih bergelut dengan rasa malu yang membuncah.
“Sebenarnya sudah lama aku ingin berjumpa denganmu tetapi Ibunda Ratu selalu mengawasi kemana saja aku pergi. Belum lagi sepasukan pengawal yang menjadi ekorku setiap saat”, ratap Sindi.
“Begitulah sepatutnya kehidupan seorang putri Lamban Dalom Sekala Bgha. Barisan pengawal selalu setia menemaninya bahkan ke hujung dunia sekalipun”, Belunguh mencoba mencairkan ketegangan.
“Tetapi hari ini Ibunda Ratu sedang melawat ke pekon yang jauh. Aku bebas pergi kemana pun tanpa pengawal”, Sindi tiba-tiba tersenyum riang.
“Kepergian Tuan Putri tanpa pengawalan akan membahayakan jiwa Tuan Putri sendiri. Keadaan wilayah terluar Ibu Negeri Bunuk Tenuar sedang genting. Para pengacau mulai membuat rusuh di pekon-pekon pinggiran”, berkata Belunguh.
Sindi menyunggingkan senyum mengejek. Sementara Belunguh heran pada sikap sang putri yang tak terbaca. Perempuan muda yang berdiri di depannya adalah putri kesayangan Ratu Sekala Bgha. Seorang perempuan yang terbiasa dengan kemewahan. Selalu ingin menang sendiri dan berwatak manja. Tentu saja sesosok perempuan dengan perilaku yang tak mudah diramal.
“Kau pikir aku tak tahu siapa sebenarnya dirimu Belunguh?”
Belunguh semakin bingung dengan sikap gadis belia di depannya.
“Kaulah diantara para pengacau yang membuat resah kerajaan ibuku”, berkata Sindi sambil tertawa geli.
Belunguh tak menyangka Sindi telah mengetahui jati dirinya. Tiba-tiba ia dilanda kalut, bingung dan takut. “Apakah undangan Sindi adalah jebakan? Mungkinkah ratusan balatentara Sekala Bgha akan bermunculan dari balik semak-semak itu? Kemungkinan besar pula Sindi diperintah ibunya untuk memancingku keluar”, kegalauan Belunguh memuncak.
Melihat kekalutan dan kebingungan yang dialami Belunguh, Sindi malah tertawa terpingkal-pingkal. Perilaku Sindi membuat Belunguh semakin khawatir. “Tamat riwayatku. Mengapa aku terperdaya oleh pukaunya. Alangkah bodohnya diriku”, Belunguh memaki dirinya. Apabila ia ingat beberapa kali perjumpaannya dengan Sindi di pasar rakyat, tentu ia akan mengutuki kebodohannya yang selalu menatap kagum sang putri. Sindi dan rombongan pengawalnya melewati pasar kadang-kadang ditandu oleh beberapa prajurit namun kadangkala menunggang kuda pilihan. Sementara Belunguh menanti pujaannya dari pinggir jalan menuju pasar rakyat. Dari atas tandu atau dari atas punggung kuda, Sindi membalas tatapan lelaki muda perantau Pasai ini dengan sepenuh hati bercampur kekaguman meraja. Bibit percintaan meletup di pasar jelata. Bersaing dengan teriakan penjual dan tawaran pembeli. Percintaan yang menembus batas keyakinan. Bibit cinta antara seorang pengikut Jalan Yang Lurus dengan seorang penyembah berhala.
“Tak perlu takut, Belunguh. Aku bukan diutus Ibunda Ratu untuk menjebakmu. Aku pun tak membawa serta prajurit kerajaan untuk menangkapmu”, ucapan Sindi seolah mampu membaca ketakutan yang melanda Belunguh.
Ketakutan Belunguh sedikit mereda tapi tak urung keragu-raguan terhadap perkataan Sindi masih bertahta.
“Aku menemuimu tanpa sepengetahuan ibuku dan para pengawal. Perempuan yang mengantar suratku adalah salah seorang dari rakyatku yang bersimpati kepada agamamu. Adakah ia bercerita sesuatu kepadamu?”, tanya Sindi.
Belunguh menggeleng lemah. Perempuan setengah baya yang membawa surat dari Sindi untuk dirinya memang tidak berkata apa-apa. Akan tetapi ia ingat sesuatu. Setelah menyerahkan surat yang dibebankan kepadanya, perempuan itu mengucap “Asalammualaikum” sebelum berpamit meninggalkannya. Ketika Belunguh hendak bertanya, perempuan itu hanya tersenyum dan bergegas pergi. Hingga petang ini ketika Sindi menceritakan perihal perempuan utusannya, identitasnya tak lagi misterius bagi Belunguh.
“Sebenarnya apa keinginan Tuan Putri?”, tanya Belunguh mencoba mengusir kekagetannya.
Lagi-lagi Sindi tersenyum penuh misteri.
“Aku ingin kau bersama kelompokmu berdamai dengan Ibunda Ratu”, jawab Sindi.
Belunguh terperanjat.
“Maksud Tuan Putri kami harus menyerah kalah kepada kerajaan ini?”, bertanya Belunguh.
“Tak sudi kami melakukan perbuatan sehina itu. Kami perjuangkan keyakinan ini sampai nyawa terputus dan darah tertumpah!”, tantang Belunguh tanpa memberi kesempatan Sindi untuk bicara.
“Hei, bersabarlah Belunguh. Bukan itu maksudku”, potong Sindi.
“Aku ingin kau bersama kelompokmu membujuk ibunda ratu agar melakukan perjanjian damai”, jelas Sindi.
“Perjanjian damai? Setelah penindasan yang kami alami?”, Belunguh tercekat.
“Aku fahami kerugian yang kalian alami selama ini. Pengejaran, penyiksaan bahkan pembunuhan yang dilakukan prajurit kerajaan terhadap dirimu dan pengikutmu takkan termaafkan. Lalu apakah semua ini menutup peluang perdamaian antara kita?”, desak Sindi.
Belunguh terdiam sesaat.
“Mulanya kami datang dengan niat baik dan cara damai. Kami ingin mewartakan Jalan Yang Lurus sambil tetap menghormati istiadat wangsa Sekala Bgha. Akan tetapi sambutan yang kami terima tak seindah yang kami duga”, Belunguh memulai kisahnya.
“Beberapa pengikut Jalan Yang Lurus ditangkap ketika terjadi penyerbuan ke pekon kaum budak di Haukh Kunjekh. Mereka disiksa tanpa ampun. Dua orang pengikut kami Sedadigogh dan Layang Taji entah bagaimana nasibnya?”, Belunguh bertanya cemas.
“Mereka masih hidup dan berada dalam pengawasan prajurit kerajaan. Aku menjamin keselamatan mereka”, potong Sindi.
Maulana Belunguh menatap Sindi seolah tak percaya.
“Kita kembali kepada permasalahan. Bagaimana dengan tawaranku? Jika kalian setuju aku akan mengatur pertemuan kalian dengan Ibunda Ratu”, desak Sindi.
Maulana Belunguh terdiam. Ia pandangi lekat-lekat wajah Sindi. “Adakah tawaran Sindi ini bukan merupakan jebakan?”, pikir Belunguh.
Dipandangi dengan cara seperti itu tak membuat Sindi kikuk atau merasa malu. Ia malah menyunggingkan senyum manja kepada lelaki muda yang diam-diam ia kagumi.
“Kenapa tersenyum?”, tanya Belunguh yang tiba-tiba justru merasa kikuk dengan ulah Sindi.
“Tak bolehkah aku tersenyum?”, Sindi bertanya manja.
Belunguh terdiam. Sindi masih tersenyum simpul mengagumi ketampanan paras Belunguh.
“Masih tersenyum! Dasar putri mahkota berakal kurang!”, Belunguh mengumpat dalam hati.
Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Ku pertimbangkan undanganmu itu. Namun aku harus meminta persetujuan ayahanda dan saudara-saudaraku yang lain”, suara Belunguh tiba-tiba memecah keheningan.
“Baiklah. Kapan kau akan menyampaikan keputusanmu kepadaku?”, senyum Sindi makin mengembang.
“Kirimlah perempuan kurirmu itu ke lereng pesagi dua senja dari sekarang. Akan ku sampaikan keputusan kami kepadanya”, jawab Belunguh.
“Ku tunggu kabar darimu abang Belunguh”, ucap Sindi sambil tersenyum genit menggoda.
Belunguh tersenyum kecut.
Putri mahkota Kerajaan Sekala Bgha itu segera memacu kudanya meninggalkan jerebu di muka Belunguh. Ia sempat menoleh ke belakang namun lelaki yang dikaguminya telah hilang entah kemana.
“Dia tampan, sopan dan berhati mulia. Adakah Ibunda Ratu mau bermenantukan dia?”, Sindi menghela kudanya sambil tersenyum sendiri.
Sementara di arah yang bertolak belakang Belunguh berjalan dengan langkah lunglai menuju perkampungan pengikut Jalan Yang Lurus di lereng gunung Pesagi.
Sesekali dia mengumpat memikirkan dirinya yang hampir menjadi korban jebakan Sindi.
“Kalau saja Sindi mau berbuat jahat dengan membawa sepasukan prajurit kerajaan, tamat sudah riwayatku. Tetapi dia menginginkan kami berdamai dengan ibunya. Putri mahkota yang cerdas dan pemberani namun bertingkah laku aneh. Atau adakah dia….? Ah tak mungkin”, Belunguh berjalan gontai seraya menepis dugaan yang tiba-tiba merasuk kalbunya. Namun tak urung ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa kecil.
“Sejak kapan ada seorang putri ratu penyembah berhala jatuh cinta kepadaku?”, tawa Maulana Belunguh tiba-tiba lepas. Tawa penuh hasrat lelaki muda usia pertengahan dua puluhan.


Hentian Kajang, Malaysia, September 2009

M. Harya Ramdhoni Julizarsyah, lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Juli 1981. Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung ini tengah menempuh studi Program Doktor Ilmu Politik, Universitas Kebangsaan Malaysia.

Komentar

Foto mirzawan

mudah-mudahan kita dapat

mudah-mudahan kita dapat tergali.....lagi dan lagi

Foto mirzawan

Kereen..

Kereen..

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler