Skip to Content

PERJUMPAAN MISTERIUS DI LERENG PESAGI

Foto M H Ramdhoni J
files/user/39/Istinjak_Darah.jpg
Istinjak_Darah.jpg

”Imannya kepada Illahi diuji oleh

kedatangan lelaki misterius pembawa

sebilah keris bergagang dan bersarung emas...”

 

MAULANA PERNONG akan selalu menyimpan dalam ingatan kejadian selepas sembahyang isya, di malam ketika bulan sabit sepenggal tampilkan jasad. Perjumpaan magis dengan lelaki misterius di lereng gunung Pesagi. Kala itu hujan rintik baru saja memukul-mukul negeri Sekala Bgha. Membuat udara menjadi lebih dingin dibanding biasanya. Kabut membekap lereng gunung keramat kemudian berebahan pada sulur-sulur dan dahan pohon Sekala. Suasana begitu sunyi, gigil dan menakutkan memaksa sebagian besar pengikut Jalan Yang Lurus memilih lelap di atas katil masing-masing. Maulana Penggalang Paksi dan ketiga anaknya juga sudah terlelap lebih sejaki satu tabuh canang yang lalu. Semua memilih hengkang ke alam mimpi tinggalkan kekisruhan yang terjadi belakangan ini. Hanya Maulana Pernong seorang diri yang tak juga mampu pejamkan mata. Tubuh dan pikirannya terasa lelah setelah seharian menempuh perjalanan pulang dari Bunuk Tenuar. Bukan hanya lelah fisik yang ia rasakan tapi juga kekalutan batin karena sambutan Ratu Sekeghumong yang mengecewakan. Permohonan ayahandanya agar mereka diizinkan menyebarkan ajaran Jalan Yang Lurus secara damai dimentahkan oleh makian nyinyir Sekeghumong. Ancaman sang ratu yang hendak menghabisi Maulana Bersaudara dan seluruh pengikut Jalan Yang Lurus tak urung membuat nyali mereka sempat luntur. Beruntung, Sindi dengan segala keberaniannya bersabung nyawa dan berhasil membujuk ibu ratunya untuk melepaskan mereka berlima.

"Tetapi itu hanya sementara. Sekeghumong akan menghabisi kami jika waktunya telah tiba. Bila itu terjadi seorang Sindi pun tak berdaya mencegahnya. Ia hanya seorang gadis ingusan yang dibutakan oleh cinta kepada Belunguh”, membatin Pernong. Pandangan matanya menyapu sekujur tubuh Belunguh yang terlelap di sampingnya.

“Bahkan tidur pun kau tak lupa tersenyum, Belunguh. Adakah kau jumpai putri Sekeghumong di alam mimpi?”, Pernong terkekeh melihat saudaranya tertidur dengan seulas senyum. Pernong beralih pandangi ayah dan kedua saudaranya yang lain. Ketiganya pun telah tertidur pulas. Berharap dapat tepiskan beban hidup yang tengah singgah, perjuangan hidup dan mati melawan ratu penyembah berhala dan pengikutnya. 

Rasa kantuk mulai menyergap Pernong namun entah mengapa kedua matanya tetap tak mau pejam. Ada gelisah yang tiba-tiba tandang tanpa permisi. Isyarat yang menalu-nalu hati kecilnya. Pernong tak tahu firasat apakah itu namun hati kecilnya memerintahkannya untuk segera keluar. Sepertinya sebuah kejadian penting di luar sana akan segera berlangsung dan memerlukan dirinya sebagai pelaku. “Siapakah engkau yang menungguku di luar sana?”, bisik Pernong pada sesuatu yang tak terlihat namun ada. Ia ambil jubah dari bulu domba yang dibuat salah seorang perempuan Tumi pengikut Jalan Yang Lurus. Jubah itu tak dapat menutupi seluruh tubuhnya namun cukup tebal untuk melindunginya dari deraan angin malam pegunungan yang membekukan darah. Di luar sana pandangan mata tak lebih dari satu depa. Kabut menghalau penglihatan manusia dan menggantinya dengan pandangan seputih kapas. Suara binatang malam bersetubuh dengan kegelapan. Juga angin dingin tak henti bersiut menambah mesum suasana. Pernong beranikan diri berjalan menerobos kabut tebal lereng gunung Pesagi. Ia lawan dongeng-dongeng yang pernah dituturkan para tetua suku Tumi ketika mereka pertama kali menjejakkan kakinya di negeri Sekala. “Dongeng-dongeng itu bagai labirin yang mencegah mereka terbebas dari kutukan leluhur yang menyesatkan.” Di benak Pernong melintas bermacam legenda tentang lelembut penguasa gunung Pesagi. Ia tak hirau apalagi takut pada cerita-cerita seperti itu. Bagi kaum beriman ketakutan dan kepatuhan hanyalah kepada Allah semata.           

Walaupun demikian Pernong tahu sesuatu yang gaib tengah menuntunnya. Ia berpasrah bukan jin atau iblis yang menuntunnya, melainkan Allah sendiri yang membimbingnya. Lelaki muda berzuriat Peureulak bersandar pada salah satu batu raksasa di lereng gunung Pesagi. Matanya berusaha menembus kepungan kabut. Samar-samar terlihat perkampungan di bawah sana. Beberapa titik cahaya kecil meneranginya namun tak sanggup bertanding melawan gelapnya malam. Nun jauh di seberang perkampungan itu terlihat Ibu Negeri Bunuk Tenuar benderang diliputi cahaya lampu damar berpendar-pendar. Lamban Dalom Sekala Bgha dikelilingi belasan bangunan petinggi kerajaan dan asrama prajurit. Masing-masing di sebelah barat, selatan dan timur Ibu Negeri Sekala Bgha itu terletak perkampungan hamba sahaya Bahway, Hujung Langit dan Haukh Kunjeh. Ketiganya nampak hanya seujung kuku dibanding kemegahan Bunuk Tenuar. Dari atas lereng gunung Pesagi Pernong saksikan betapa penguasa begitu acuh pada rakyatnya. Tak ada kemesraan antara Sekeghumong dengan pengikutnya sepertimana yang ia saksikan di Buay Kenyangan. Di bawah kuasa dan duli Sekeghumong perkampungan penduduk tersebar tak merata dan jauh dari pusat kekuasaan. Seperti anak ayam terpisah dari induknya.

“Betapa angkuh Ratu Sekeghumong yang mengasingkan diri dari rakyatnya sendiri, dan betapa rendah hati tuan Umpu Kenyangan. Ia biarkan istananya dikelilingi rumah rakyat jelata. Ia tak canggung meleburkan diri dengan rakyatnya sendiri. Sementara Ratu Sekeghumong teramat sibuk mempertahankan kuasanya dan semakin jauh dari rakyatnya, hmm… dua orang penguasa penyembah berhala mengajarkanku teladan yang berbeda”, batin Pernong pada diri sendiri.   

Bulan sabit makin meninggi. Menandakan malam semakin larut. Suara-suara binatang malam bersahutan menambah ngeri suasana di lereng gunung Pesagi. Maulana Pernong masih bersandar pada batu besar. Ia belum mau kembali ke rumah. Isyarat yang ditangkapnya selepas sembahyang Isya sangat jelas. Sesuatu akan terjadi dan ia diminta hadir sebagai pelakon utama. “Siapakah engkau yang menungguku di balik kabut tebal?”, tanya itu kembali menggantung di langit malam. Ia berdoa kepada Allah, siapa pun yang mendatanginya agar membawa maksud baik bagi kejayaan syiar Jalan Yang Lurus. Pernong percaya pada yang ghaib karena Allah sendiri-lah Yang Maha Ghaib. Segala yang ghaib di atas dunia ini hidup karena izin Allah semata. Dan demi isyarat dari Yang Maha Ghaib pula Pernong bersabar menunggu hingga saatnya tiba.

Cukup lama Pernong termangu tak tahu harus berbuat apa. Sementara malam semakin dingin. Jubah bulu domba tak sanggup lagi melawan gigil yang menyelinap hingga belulang. Pernong mulai ragu pada isyarat yang didapatnya.

"Ujian apa pula ini ya Allah? Aku tak pernah meragukan keghaiban-Mu. Sungguh aku bersaksi Engkau-lah Yang Maha Ghaib”, keluh Pernong.

“Jika ini takdir-Mu maka, kuatkanlah hati hamba-Mu yang lemah ini ya Rabbi. Mungkin ini hanya pengingat dari-Mu agar aku tak pernah ragu dan selalu bersandar pada kuasa-Mu”, pinta Pernong sambil beranjak menuju tempat tinggalnya. Ia melangkah gontai menahan kantuk. Kelelahan luar biasa tiba-tiba menyergapnya.

“Allah hanya menegur hamba-hamba-Nya yang beriman”, hibur Pernong pada diri sendiri. Pelan-pelan ia langkahkan kedua belah kakinya menuju rumah. Rasa kantuk yang hebat mulai menalu-nalu penglihatannya.       

“Salam Kemuliaan untuk anda, tuan Maulana”, sapa sebuah suara tepat ketika Pernong hendak membuka pintu rumahnya.

Pernong menggigil menyadari isyarat hatinya terjadi ketika ia tak siap menerima. Kantuknya lenyap berganti dengan ketakutan yang merayap dari ujung kaki menuju ubun-ubunnya. Bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya menari-nari. Ia sungguh tak siap tapi setiap peristiwa dalam hidup, tak kira betapa mengerikan hal itu, harus dijalani dengan ikhlas.

Perlahan-lahan ia tolehkan wajah menuju asal suara.

“Salam… siapakah tuan?”, Pernong beranikan diri bertanya. Suaranya terdengar bergetar menahan dingin dan takut. Ia perhatikan lelaki yang menyapanya dan ia merasa belum pernah berjumpa. Pernong hapal semua pengikut Jalan Yang Lurus di perkampungan lereng gunung Pesagi dan lelaki asing di depannya bukan salah seorang di antara mereka.

“Kiranya saya mengganggu istirahat tuan. Maafkanlah saya, tuan… saya Shailara hendak mengantar sesuatu untuk tuan Maulana”, jawab lelaki berpakaian hitam dengan rambut dikuncir. Ia bermata sipit dengan cambang menutupi kedua belah pipinya.

“Mengantar sesuatu untuk saya? Siapakah orangnya yang berbaik hati menyuruh anda berbuat demikian?”, Pernong bertanya kebingungan bercampur takut.

“Takdir Dewata yang mengutus saya mengantar benda ini kepada tuan Maulana”, jawab lelaki bermata sipit sambil membuka bungkusan kain putih yang ternyata berisi keris bersarung dan bergagang emas.

            Pernong menatap takjub benda aneh di depannya.

            “Terimalah senjata ini tuan Maulana. Saya hanyalah pengantar barang. Tiada hak saya untuk menahan benda itu kekal bersama saya. Tuanlah yang berhak menerimanya. Dewata telah mencatat kejadian ini di dalam takdirnya.”

            Pernong semakin bingung. Ia tak langsung menerima benda itu. Lelaki misterius di depannya adalah penyembah Dewa seperti Sekeghumong dan Umpu Kenyangan. Ia cemas jika menerima senjata itu hanya akan menerbitkan kemurkaan Allah semata.

            “Tuan Maulana, tak lama lagi Melasa Kepappang akan rubuh. Sekeghumong mati dan Sekala Bgha menyusul ditimbun kepongahannya sendiri. Semua itu adalah takdir Dewata yang mustahil dihindari”, berkata Shailara lelaki bermata sipit.

            “Lalu apa hubungannya semua peristiwa itu denganku?”, Pernong bertanya gugup.

            “Tuan Maulana bersama ayahanda dan ketiga saudara tuan adalah orang-orang yang akan membuka jalan bagi semua kejadian itu. Senjata ini akan menemani tuan membungkam mulut besar Sekeghumong.”

            “Omong kosong yang musykil!”, desis Pernong.

            “Saya tak berhak memaksa tuan untuk percaya. Tugas saya hanyalah mengantar senjata ini kepada tuan, persetan tuan menerimanya atau tidak”, pungkas Shailara sambil menyerahkan keris bersarung dan bergagang emas.

            “Terima kasih….”

Pernong menerimanya dengan ragu.

            Shailara memandang lekat-lekat Maulana Pernong. Lelaki muda yang dipandangnya masih terlihat kebingungan karena mendapat sebuah senjata bersarung emas secara tiba-tiba. Shailara tersenyum melihat tingkah Maulana Pernong.

            “Tugas saya sudah selesai, tuan Maulana. Sudah saatnya saya berpamit pulang”, lelaki bermata sipit meminta diri.

            “Tunggu sebentar! Siapakah tuan sebenarnya dan darimanakah tuan berasal? Siapa pula yang memerintahkan tuan mengantar senjata ini kepada saya?” Pertanyaan Maulana Pernong bagai semburan anak panah.

            Lelaki misterius bermata sipit tersenyum. Matanya begitu tajam menusuk Pernong hingga ke ulu hati. Seumur hidupnya belum pernah ia rasakan tatapan mata setajam ini. 

            “Saya bekas perwira Tentara Laut Çriwijaya. Puluhan purnama yang lalu ketika saya masih bertugas sebagai perwira Tentara Laut Çriwijaya, seorang lelaki tua yang mengaku sebagai pembuat senjata menyerahkan benda itu kepada saya”, Shailara memulai kisahnya, “Pertemuan itu terjadi tatkala kapal perang yang kami tumpangi membuang sauh di bumi Blambangan di Javadwipa untuk melakukan suatu tugas perondaan laut dan…”

            “Aku masih belum mengerti…”, potong Pernong.

            Shailara kembali tersenyum melihat Pernong yang semakin bingung.

            “…lelaki itu berpesan agar saya menyerahkan senjata itu kepada salah seorang para perantau dari Utara yang ditakdirkan Dewata untuk mengakhiri riwayat negeri Sekala, kampung halaman bangsa Çriwijaya”, imbuh Shailara.

            “Lalu mengapa mesti kepadaku anda menyerahkan senjata ini? Aku punya seorang ayah dan tiga saudara lelaki yang masih tertidur pulas. Mengapa bukan kepada mereka senjata ini diserahkan?”, Pernong tak habis pikir.

            “Pada saat saya bertanya bagaimana caranya mencari salah seorang dari para perantau dari Utara yang berhak memiliki senjata itu; ia berpesan kepada saya supaya pada suatu malam pada pertengahan bulan Asada mencari seorang lelaki muda sedang termenung di lereng gunung Pesagi Yang Suci. Sebelum menemukan tuan saya telah tinggal seminggu di bumi Sekala Bgha guna mencari keterangan tentang para perantau dari Utara. Penduduk yang saya tanyai mengatakan terdapat seorang lelaki dengan keempat anak lelakinya yang mengaku sebagai perantau dari Utara. Dari mereka pula saya mengetahui lelaki itu dan keempat anaknya bernama sama yaitu Maulana. Takdir Dewata-lah yang menginginkan tuan tengah termenung ketika saya datang kesini. Tuan-lah yang disebut lelaki tua dari Blambangan sebagai pemilik sah senjata itu”, Shailara menjawab tuntas.

            Pernong menggeleng-gelengkan kepala tak percaya pada cerita Shailara. “Mungkinkah para penyembah berhala memiliki kemampuan meramal seperti itu?”, sambil bergumam dalam hati ia timang-timang dan pandangi lekat-lekat keris bersarung dan bergagang emas itu.

            “Tuan Shailara, apakah keris ini memiliki nama?”, tanya Pernong sambil terus pandangi keris bergagang dan bersarung emas itu.

Tak ada jawaban. Hanya udara gigil menembus pepori.

Tiba-tiba Pernong merasa suasana kembali sunyi dan menakutkan. Binatang-binatang malam pun enggan bersuara seperti baru saja melihat sebuah peristiwa yang menakutkan. Pernong mendongak mencari Shailara. Tanpa ia sadari lelaki bermata sipit telah lenyap dari hadapannya.

 “Tuan Shailara!, tuan Shailara….!”, Pernong berteriak memanggil-manggil Shailara tapi lelaki yang mengaku sebagai bekas perwira Tentara Laut Çriwijaya telah hilang tak berbekas. Ia datang dan pergi tanpa jejak seperti lelembut.

            “Tak ku dengar langkah kaki ketika ia pergi. Ilmu macam apa yang dikuasainya? Ia lenyap begitu saja seperti ia datang tak tahu entah darimana”, Pernong membatin. Ia segera kuasai diri dari ketakutan. Pernong insyaf Allah tengah menguji imannya.

            “Ia mungkin sejenis jin atau penyembah berhala yang sakti. Hanya Allah yang mengetahui siapa dia sebenarnya.”

            Kini Pernong sadar bahwa isyarat yang diterimanya adalah benar. Allah mengujinya melalui ketibaan gaib seorang lelaki misterius dengan sebuah keris bersarung dan bergagang emas. Apakah ia teguh pada Allah Yang Tunggal ataukah ia tergoda pada cobaan gaib itu? Malam itu Pernong semakin sadar Allah amat mencintainya, melebihi kadar cintanya pada Syahr Banu permata terindah dari bumi Peureulak. Ia kepitkan keris bersarung dan bergagang emas dalam dekapannya. Cukuplah senjata itu menjadi rahasia yang ia simpan rapat-rapat. Hingga saatnya tiba baginya membuktikan ramal lelaki misterius bekas Perwira Tentara Laut Çriwijaya.    

 


 

 Keterangan :

Keris yang dimaksud adalah Keris Arya Istinjak Darah yang hingga kini masih menjadi Pemanohan (pusaka) Kepaksian Pernong Paksi Pak Sekala Bgha (Lihat foto)


M. Harya Ramdhoni dilahirkan di Surakarta pada 15 Juli 1981. Dua cerpennya “Perjumpaan Misterius di Lereng Pesagi” dan “Perawan Bukit Kulut” memenangkan Krakatau Award 2010. Sebelumnya sajaknya yang berjudul "Dikawinkan Kesumat" juga menjadi salah satu nominator pada Krakatau Award 2009. Ia merupakan Staf Pengajar FISIP-Unila dan Kandidat PhD Ilmu Politik di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Novel pertamanya "Perempuan Penunggang Harimau" diterbitkan oleh Penerbit BE Press pada bulan Januari 2011.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler