Skip to Content

FIRASAT BU LIK KOEM

Foto M H Ramdhoni J

 “Mengenang Almh. Bude Hastuti Soekirno”

 UNTUNG. Nama lelaki itu tak pernah benar-benar lenyap dari ingatannya. Lebih dari empat puluh tahun peristiwa itu telah berlalu. Namun kenangan bersamanya seringkali menyapa dari balik lemari masa silam. Kisah percintaan mereka menyeruak di antara heningnya pagi. Berlompatan di antara pikuknya siang. Berkejaran di antara peralihan senja yang ngambang. Kadang merayunya menuju relung-relung mimpi di malam hari. Percintaan abadi yang melampaui waktu namun hanya singgah sesaat. Orang Jawa percaya sebuah pepatah : witing tresno jalaran soko kulino[2]. Cinta bermula dari kebiasaan. Begitulah percintaan mereka. Tuti selalu melewati markas lelaki itu jika hendak pergi kuliah. Dan Untung, entah sengaja atau tidak, sering berpapasan dengan Tuti. Di awali kebiasaan bertukar sapa berlanjut dengan keinginan untuk saling mengenal. Kemudian cinta pun tumbuh subur di antara mereka. Cinta sederhana. Cinta orang-orang biasa. Ketika itu Tuti adalah gadis belia awal dua puluhan, mahasiswi sebuah sekolah kebidanan negeri di Solo. Sementara Untung berusia pertengahan tiga puluhan. Seorang perwira TNI Angkatan Darat berpangkat mayor. Namun cinta tak mengenal asal usul, umur dan kekayaan. Cinta merubuhkan batas-batas itu.

            “Aku mencintaimu, Ti”, suara Untung yang serak menggantung di langit basah bulan Desember. Saat itu ia baru pulang dari Irian Barat. Kampanye presiden Soekarno untuk merebut wilayah republik di ujung timur meminta kerelaan hati ribuan pemuda pergi bertempur. Lelaki kekasih hatinya adalah seorang di antaranya. Berperang demi sejengkal tanah yang entah milik siapa.

            “Aku sungguh mencintaimu, Ti. Aku ingin melamarmu”, Untung mengutarakan maksudnya. Pagi baru beranjak ketika Untung mengajak Tuti berbicara dari hati ke hati di markasnya di pinggiran kota Solo.

            Tuti menunduk. Senyumnya tersembunyi tanpa jejak. Senyum yang gamang. Ia tak tahu badai apa yang tengah berkecamuk di dadanya. Ia senang mendengar ketulusan hati kekasihnya. Ia tersanjung pada kesungguhan lelaki yang mulai beranjak baya itu. Namun ia juga risau kepada larangan bu liknya[3] yang melarang dirinya meneruskan hubungannya dengan Untung.

            “Untung terlalu tua untukmu, nduk.

Kalian berdua lebih pantas sebagai paman dan keponakan”, pungkas bu lik Koem beberapa hari setelah keberangkatan Untung ke Irian Barat.

Tuti tahu perkataan bu liknya hanyalah alasan yang dibuat-buat. Sang bu lik tengah menyembunyikan sesuatu tapi ia tak berdaya untuk bertanya gerangan apa itu. Tuti berpikir keras untuk mencari sebab perihal ketidaksetujuan bu liknya. Tapi dia selalu gagal mencari tahu. Tuti sadar betapa alasan bulik tak terjamah pola pikir modern. Ada sesuatu yang buruk berkaitan dengan Untung tapi entah bila hal itu akan terjadi. Bu lik Koem juga mungkin tak tahu mengapa firasatnya mengatakan bahwa seorang perwira santun dan bermasa depan cerah seperti Untung menyimpan keganjilan. Itulah rerasan seorang perempuan Jawa yang rajin laku prihatin dan berhubungan dengan Tuhan secara amat pribadi. Alam pikir yang tak sejalan dengan logika manusia modern. Tapi begitulah adanya. “Jangan samakan gaya berpikirku dengan cara berpikir kalian di kampus”, bu lik Koem pernah mengingatkan Tuti.

            “Jawablah, Ti”, suara lembut Untung membangunkan lamunan Tuti.

            Tuti sesaat bisu. Ia tak menyangka Untung hendak melamarnya secepat ini. Ia belum siap. Sekolah kebidanannya harus ditamatkannya setahun lagi. Belum lagi larangan bu likKoem. Duh, betapa nelangsa hati Tuti memikirkan itu.

            “Tak ada yang ku pikirkan selama berbulan-bulan di belantara Irian selain engkau, Ti.

            Ketika payung parasutku mengembang di atas langit Manokwari wajahmu muncul di pelupuk mata. Aku berdoa agar Allah memanjangkan umurku. Mimpiku menggandengmu ke depan penghulu tak pernah pupus. Aku ingin perang celaka ini segera berakhir. Aku rindu engkau, Ti. Aku ingin menikahimu”, suara Untung nyaris berbisik.

            Tuti mendongak. Matanya basah. Haru dan bahagia mengguncang jasad dan jiwanya.

            Sontak Untung menghapus linangan air mata itu dengan cinta yang terlalu.

            Tuti makin terharu. Kata-kata lindap dari bibirnya.

            Langit yang mendung seketika membuat suasana syahdu.

            “Bicaralah, Ti. Jangan biarkan lidahmu kelu”, Untung menguatkan hati kekasihnya.

            “Mas…….”, kalimat Tuti terpotong.

            Tiba-tiba tangisnya sesenggukan.

            “Mas…….”, kalimat itu terulang lagi.

            Air mata berhamburan semakin deras berebut tempat di pipi Tuti.

            Kali ini Tuti benar-benar tak sanggup menahan badai yang meronta-ronta dalam dadanya. Kepalanya pun rebah dalam pelukan Untung.

            “Kenapa, Ti? Perihal apa yang membuatmu risau?”, Untung berkata lembut dan datar.

            “Apakah selama ku tinggalkan beberapa bulan ini ada lelaki lain yang menghampiri hatimu?”, Untung bertanya menguji.

            Yang didapatnya hanyalah gelengan kepala dan tangis yang semakin isak.

            Ia tunggu air mata tumpas dan emosi kekasihnya mereda. Untuk urusan seperti ini Untung adalah lelaki penyabar.

            “Mas….”, suara Tuti masih tercekat.

            Untung sabar menunggu.

            “Sepertinya percintaan kita takkan berakhir dalam perkawinan, mas”, Tuti berkata dengan terbata-bata.

            Untung bisu.  Tiba-tiba hatinya dirusuhi perasaan misterius.

            “Engkau telah dijodohkan, Ti?”, suara Untung gemetar.

            Tuti menggeleng lemah.

            “Lalu kenapa?”, kesabaran Untung perlahan pupus.

            “Bu lik Koem melarangku menikah denganmu, mas”, jawab Tuti.

            Untung menatap lekat kekasihnya. Ada gulana dan kebingungan yang tiba-tiba menyerbu hatinya. Apakah gerangan itu Untung tak tahu.

            “Apa yang menyebabkan bu likmu melarang kita menikah?”

“Apakah karena weton[4] kelahiran kita yang bertentangan”,

“Dan kenapa harus bu likmu yang memiliki kekuasaan untuk melarang pernikahan kita?

Kenapa bukan kedua orang tuamu?”, Untung bertanya galau.

            “Kekuasaan bu lik Koem melampaui pengaruh ibuku sendiri. Itu telah terjadi sejak bertahun-tahun lalu tatkala kedua orang tuaku mengalihkan hak asuhku kepada bu lik Koem. Juga termasuk memilah siapa calon suami yang pantas untukku”

            “Namun larangan ini bukan karena weton atau alasan kepercayaan Jawa, mas”, jawab Tuti.

            “Lalu kenapa bu likmu melarangku menikahimu?”, tantang Untung.

            “Bu lik Koem sendiri tak mampu menjelaskan mengapa beliau melarang perkawinan kita. Yang jelas menurut firasatnya perkawinan kita akan berakibat buruk bagi kehidupan keluarga kami”, Tuti berusaha mengatur kata-kata sebaik mungkin. Ia takut kekasihnya tersinggung.

             “Akibat buruk seperti apa? Aku bekerja sebagai tentara dengan penghasilan layak dan tidak akan memberatkan keluargamu. Akibat buruk apa yang ditakutkan bu likmu? Aku akan membahagiakanmu seumur hidup, Ti”, tegas Untung.

            “Entahlah mas. Aku pun tak mengerti maksud bulik Koem”, Tuti menunduk.

            Sementara Untung terdiam. Hatinya geram.

            “Aku tak bisa menerima alasan bu likmu. Aku akan datang melamarmu ke rumah beliau di Manahan besok malam. Aku ingin mengawinimu dengan niat tulis, Ti”, perkataan Untung mengagetkan Tuti.

            “Jangan mas. Jika mas Untung bersikeras datang, beliau akan murka”, Tuti berusaha mencegah.    

            “Aku tak perduli. Aku akan datang”, pungkas Untung.

            Tuti tak berdaya menghalangi niat kekasihnya. Ia berharap-harap cemas menunggu hari esok tiba. Pertengkaran mungkin akan terjadi antara bu liknya dengan kekasihnya. Memikirkan itu hatinya semakin kalut.

* * * * *

Malam hari yang ditunggu dengan kalut dan takut akhirnya tiba. Untung datang ke Manahan dengan dikawal seorang bawahannya dengan mengendarai jip militer. Di ruang tamu perempuan separuh baya yang biasa dipanggil bu lik Koem menerima Untung dengan ramah dan santun. Tuti entah sembunyi dimana. Bu lik Koem ditemani suaminya pak lik[5] Tanto. Akan tetapi sang suami lebih bertindak sebagai pendengar yang bijak dibanding sebagai juru bicara keluarga. Bu lik Koem yang mengambil-alih tugas suaminya. Ia bicara dalam tata krama Jawa yang teratur dan lugas. Ciri khas perempuan Jawa terpelajar. Sisa terakhir pendidikan kolonial Belanda di tanah Mataram.

            “Apa yang bisa kami bantu sehingga ananda repot-repot datang ke kediaman kami?”,bu lik Koem membuka pembicaraan.

            “Saya mencintai Tuti, bu lik. Saya datang kemari hendak melamar keponakan bu liksebagai istri”, Untung mengungkapkan niatnya tanpa basa-basi. Tata kramanya sebagai lelaki Jawa tiba-tiba hilang. 

            Suasana bisu sesaat. Bu lik Koem dan Untung saling menakar perasaan masing-masing.

            “Ananda Untung, suatu kehormatan bagi kami sekeluarga apabila putri kami dilamar seorang perwira seperti ananda. Kami berterima kasih atas perhatian ananda Untung selama ini kepada putri kami. Akan tetapi tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada ananda, lamaran tersebut belum bisa kami terima karena Tuti masih harus menyelesaikan pendidikannya”, jawaban bu lik Koem amat spontan dan juga tanpa basa-basi.

            Suasana kembali hening.

            “Saya datang dengan niat baik bu lik….”, kalimat Untung tersendat.

            “Ya, saya percaya ketulusan niat ananda”, potong bu lik Koem.

            “Apakah masih mungkin bagi saya menunggu Tuti hingga lulus kuliah?”, tanya Untung.

            “Saya tak berani menjamin”, bu lik Koem menjawab dengan tegas namun tak mengurangi kesopanannya sebagai perempuan Jawa.

            “Kalau saya boleh tahu mengapa bu lik tidak bisa menjamin?”, kejar Untung.

            “Karena Tuti mesti menyelesaikan kuliahnya dan terikat ikatan dinas sebagai bidan”, jawab bulik Koem.

            Untung yakin jawaban bu lik Koem merupakan pernyataan yang mengada-ada. Tapi bukan Untung jika menyerah.

            “Saya tetap akan menunggu Tuti. Cinta saya untuknya tak pernah berakhir”, Untung tak gentar dengan jawaban bu lik Koem.

            “Silahkan saja. Tapi siapa yang bisa menjamin jerih payah ananda akan berhasil. Jodoh adalah urusan Gusti Allah, nak”, bu lik Koem tak mau kalah.

            “Apa pun alasan yang bu lik kemukakan, saya tetap akan menunggu Tuti”, suara Untung bergetar.

            “Nak Untung, saya dan suami adalah pengasuh Tuti sejak kecil. Ibunya yang merupakan mbakyu saya telah menyerahkan anak ini buat-bulat kepada saya termasuk dalam hal perjodohan. Tuti memiliki hak menentukan siapa pun lelaki yang disukainya. Akan tetapi haknya dibatasi oleh wewenang saya sebagai wakil ayah dan ibunya. Jadi silahkan saja jika nak Untung bersikeras menunggu Tuti. Namun seperti yang telah saya katakan tidak ada jaminan kesabaran ananda akan membuahkan hasil”, pernyataan bu lik Koem menyodok ulu hati Untung. Lamarannya ditolak secara telak. Sementara di depannya pak lik Tanto mengangguk-angguk entah sebagai isyarat setuju atau malah mengantuk.   

            “Sampai detik ini saya belum bisa menerima alasan bu lik menolak lamaran saya”, Untung gigih mengejar mimpinya.

            Bu lik Koem tersenyum sambil mengangguk penuh pengertian mendengar ketidakpuasan Untung. 

            “Saya mengerti perasaanmu begitu rusuh, nak. Saya pun menyesal tidak bisa memenuhi permintaan dan niat tulusmu”, bulik Koem mencoba menyabarkan Untung.

            Bu lik Koem menarik nafas dalam-dalam. Sesuatu yang mengganjal hendak ia ungkapkan kepada Untung. Sesuatu yang teramat berat untuk diceritakan.

            Keduanya lama membisu. Bu lik Koem sempat berbasa-basi mempersilahkan tamunya menyeruput teh hangat. Untung menyesap secangkir teh itu dengan enggan.

            “Nak….”, kalimat bu lik Koem terpotong sebentar. Ia kembali menarik nafas dalam-dalam.

            “Saya bu lik”, jawab Untung sopan.

            “Sebenarnya ada hal lain yang membuat saya memutuskan menolak lamaran ananda”,bu lik Koem mengutarakan alasan sebenarnya dengan berat hati.

            “Alasan apa lagi bu lik?”, kejar Untung tak sabar.

            Pandangan mata bu lik Koem pilu menatap Untung.

            “Sebagai orang Jawa, ananda tentu tahu amat berartinya sebuah firasat bagi seorang Jawa yang masih menjunjung tinggi keyakinan lama nenek moyang”, bu lik Koem mulai menjelaskan.  

Untung mengangguk lemah.

            “Saya memiliki firasat yang kurang baik berkenaan dengan hubungan ananda Untung dengan putri kami. Jika kalian sampai menikah maka, saya meyakini kelak keluarga besar kami akan menerima dampak buruknya.”

            Jawaban bu lik Koem pelan-pelan membenarkan ucapan kekasihnya.

            “Dampak buruk apa yang akan ditanggung keluarga besar bu lik?”, Untung bertanya tak sabar.

            “Saya bekerja sebagai perwira tentara dan tidak akan menyusahkan kehidupan keluarga bu lik”, lanjut Untung.

Bu lik Koem tersenyum kecut sambil mengangkat bahu.

            “Perasaan saya tidak ada hubungannya dengan masalah kesulitan keuangan. Saya yakin ananda mampu menghidupi anak kami dengan layak. Tapi saya juga yakin bahwa nasib buruk itu akan menimpa kami sekeluarga apabila membiarkan kalian berdua menikah.”

“Saya bukan dukun, nak. Tapi perkawinan kalian harus dicegah”, lanjut bu lik Koem.

            Pernyataan bu lik Koem bagaikan penyakit langka tanpa obat penawar.

            Sepersekian detik Untung masih termangu. Ia ragu untuk melangkah maju tapi mundur dari arena pertempuran akan mencoreng mukanya sebagai pengecut. Ia prajurit elite. Ia taklukkan rimba raya Irian Barat dan melumpuhkan prajurit angkatan darat Belanda semasa operasi Trikora. Semua itu ia arungi dengan gagah berani. Haruskah percintaan seorang prajurit dari kesatuan elite TNI Angkatan Darat berakhir di depan wanita setengah baya yang berperangai lembut dan terlihat tak berdaya?

            “Nak Untung, ini bukan permasalahan menang atau kalah; jantan atau pecundang; pemberani atau penakut. Ini berkaitan dengan masalah keyakinan yang mustahil diruntuhkan. Apabila ananda Untung melepaskan Tuti dengan ikhlas, hal itu bukan berarti ananda kalah atau menyerah. Sebaliknya kalau pun ananda berhasil menikahi anak kami, tidak bermakna ananda adalah petarung ulung”, bu lik Koem seolah memahami jalan pikiran Mayor Untung.

            “Pergilah nak. Lupakan Tuti untuk selamanya. Semua ini untuk kebaikan kita bersama. Saya doakan dengan tulus ananda akan segera mendapatkan yang lebih baik sebagai pengganti Tuti”, bu lik Koem menepuk bahu Untung seraya menguatkan hati lelaki itu.

            Malam itu berakhir damai. Tiada pertengkaran sepertimana dikhawatirkan Tuti. Untung mencoba menerima walaupun hatinya menyerupa serpihan kaca. Ia pulang dengan langkah gontai. Tiada kata perpisahan terucap untuk Tuti. Hanya senyuman dan anggukan keibuan daribu lik Koem sebagai penawar. Sementara Tuti disibuki sedu sedannya yang berubah menjadi tangisan histeris. Malam itu menjadi neraka baginya. Mengapa percintaan yang tulus mesti digagalkan oleh cara berpikir tradisional dan animistik? Tuti, juga Untung, tak pernah menerima perlakuan ini dengan ikhlas. Malam menggantung tanpa bulan dan bintang. Esok pagi percintaan mereka akan menjadi pelipur lara di saat duka tiba-tiba meraja.

* * * * *

Tiga tahun telah pun berlalu sejak peristiwa itu. Melampaui hari, minggu dan tahun Tuti bertempur menindas perasaan yang membuat hatinya lebam. Kadangkala ia memenangkan pertempuran itu namun seringkali ia dicundangi kerinduannya terhadap Untung. Ia simpan rapat-rapat berjuta kenangannya bersama Untung. Bila ia merindukan lelakinya, remah-remah kenangan manis dan pahit dikumpulkannya sebagai penyambung hati yang patah. Gadis ranum sebelia itu mesti merelakan cintanya yang sedang tumbuh dipangkas tanpa welas asih. Dan yang mencampakkan cinta sucinya bukanlah perjodohan atau sebab-sebab lain. Akan tetapi tak lain dan tak bukan hanyalah sebuah nujum yang aneh dan ganjil. Sesuatu tak berdasar yang berasal dari keyakinan lama nenek moyangnya. Apa pun itu Tuti mestilah patuh. Ia gadis Jawa yang baik. Anak kandung Tamadun Jawa yang dilahirkan dari rahim pusat spritualisme Mataram nan purba.  

“Bangun, Ti. Ada suara Untung di radio nasional”, sepagi itu bu lik Koem telah membangunkannya dari tidur.

“Mas Untung?”, Tuti bertanya kaget sambil menguap menahan kantuk.

“Ya, mantan pacarmu yang lamarannya bu lik tolak”, Bu lik Koem tersenyum masam.

Tuti termangu di atas ranjang. “Apa yang telah terjadi sehingga mas Untung bisa berbicara di depan radio nasional seperti seorang pejabat negara?”, Tuti berpikir keras. Tak mau larut dalam seribu duga Tuti segera menuju ruang tengah tempat radio berada.

            Pagi itu 1 Oktober 1965 melalui RRI Pusat Jakarta Letkol Untung Syamsuri, Komandan Cakrabirawa atau lebih dikenal sebagai Pasukan Pengawal Pribadi Paduka Yang Mulia (PYM) Presiden Soekarno merangkap Perdana Menteri Republik Indonesia dan Panglima Tertinggi ABRI, mengumumkan keberhasilannya menyelamatkan nyawa PYM Presiden Soekarno dari ancaman kudeta Dewan Jenderal yang kontra revolusioner. Ia juga mengumukan terbentuknya Dewan Revolusi yang mendemisioner kabinet pemerintahan sebelumnya. Kekuasaan negara pun praktis berada di tangan Untung.

            Tuti semakin tidak mengerti apa yang diperbuat oleh mantan kekasihnya. Ia hanyalah gadis lugu yang tak paham politik. Namun detik ini ketika suara Untung membahana dari pulau We hingga Biak, ia mulai meyakini firasat bu lik Koem benar adanya. Nujum sang bu likmenampakkan dirinya dalam wujud yang nyata dan banal.

            Empat puluh tahun kemudian Tuti menyadari bahwa ramalam bu lik Koem telah menyelamatkan jiwa dan kehidupannya. Andai ketika itu ia berkepala batu menikahi Untung, mungkin nasibnya tak semanis menjadi istri petinggi salah satu bank pemerintah ternama. Lelaki yang dulu mencintainya dengan lembut dan kebapakan menjadi buruan nomor satu di negeri ini. Dialah yang terbukti memimpin percobaan perampasan kuasa di seputar Jakarta. Dia pula sebagai muasal pembunuhan enam jenderal angkatan darat dan seorang perwira pertama. Yang lebih mengagetkannya lelaki pujaannya ternyata membangun persekutuan keji dengan Partai Komunis.

Ia insyaf pernah khilaf memilih Untung sebagai pelabuhan terakhir. Jika mengingat gula-gula percintaan mereka, Tuti sering menangis. “Kemana perginya sikap santun dan penyayangmu, mas? Mengapa bertukar wajah menjadi pembunuh tak bermoral?”, gumam Tuti lirih di hari ketika putusan hukuman mati terhadap Untung diumumkan secara nasional. Rasa sesalnya ialah cintanya yang tersisa terhadap Untung. Namun lelaki itu bukan Untung yang dulu. Lelaki itu serupa iblis penghuni neraka.

Tuti bersyukur Gusti Allah telah menjauhkan keluarganya dari nasib buruk yang mungkin menimpa. Tak terbayangkan olehnya apabila dulu dia yang dipilih Gusti Allah sebagai istri Letkol Untung bin Syamsuri, Komandan Cakrabirawa, Detastemen Kawal Pribadi Presiden Republik Indonesia; tentu seluruh keluarga besarnya akan terseret ke dalam nasib buruk yang dialami jutaan pengikut Partai Komunis. Bagaimana mungkin ayah dan ibunya mesti turut menanggung hinaan ini? Aib bermenantukan lelaki bejat penghisap darah para jenderal. Duka cita terdalam juga akan dialami bu lik Koem yang sejak kecil mengasuhnya tanpa pamrih. Atau pak lik Tanto yang sabar meladeninya bermanja-manja sejak dirinya masih kanak-kanak. Kini Tuti baru mengerti makna olok-olok bu lik Koem bahwa nama Untung ternyata buntung. Nama yang tak seberuntung nasib dan kisah hidupnya yang tragis.

 

Hentian Kajang, Malaysia, 7-8 Sept 2009

 

 


 

[1]   M. Harya Ramdhoni Julizarsyah, dilahirkan di Surakarta, Jawa Tengah pada 15 Juli 1981. Dia staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP-Unila dan Mahasiswa Program Ph.D Ilmu Politik, Universitas Kebangsaan Malaysia. Sajak dan cerpennya dimuat di Harian Umum Lampung Post Minggu. Saat ini MHR tengah menyelesaikan penulisan novel keduanya berjudul “Perempuan Penunggang Harimau” yang berlatar belakang sejarah keruntuhan kerajaan Hindu-Animisme Sekala Bgha dan kebangkitan kerajaan Islam Paksi Pak. Sementara novel pertamanya tidak diterbitkan.  

[2]   Cinta lahir dari kebiasaan 

[3]   Bu lik (ibu cilik), Panggilan untuk adik perempuan ayah atau ibu. 

[4] Prediksi Perwatakan seseorang menurut Hari dan Pasaran tanggal kelahiran menurut hitungan Jawa.

[5] Pak lik (bapak cilik), Panggilan untuk adik lelaki ayah atau ibu.

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler