Skip to Content

Clurit dan Linggis

Foto ainin najib

Aku terdiam memangu ketika mendengar suara bising dari arah samping rumaku – tetangga. Sering kali pasangan suami istri itu bertengkar, tak jarang keluar jancukannya bahkan kalimat-kalimat pencerai secara tidak sadar terucap. Namun keesokan harinya mereka akur kembali, tengkar lagi, akur lagi. Sepertinya rumah tangga mereka mengambang.

Berbeda jauh dengan keadaan keluaragaku, aku sebagai anak pertama dari 4 bersaudara tak acap kali pertengkaran antara adik-adikku itu yang sering terjadi. Kalau itu terjadi aku hanya bisa diam menatap mereka dan memasang wajah sangar. Tak lama mereka akan ikut terdiam dan berbalik menatapku. Mungkin tatapanku seperti bilah samurai yang siap memenggal leher musuhnya, sehingga membuat mereka lari terbirit-birit sebelum aku melakukan apa-apa.

Tak terasa pertengkaran mereka telah mereda setelah suara benda yang pecah karena terbanting, entah dari pihak si laki atau pihak si biniknya.

Sebenarnya aku sudah dari tadi ingin beranjak dari tempat untuk mengambil clurit peninggalan Mbah Kakungku dan aku akan menghampiri mereka dengan tatapan gendruwo. Menghunus clurikut ke atas pundak di belakang bahu dan aku sabetkan tepat di leher si laki – terkulai mengejang. Biniknya menjerit histeris melihat apa yang aku lakukan, sekali lagi aku sabetkan tepat di perut si laki yang sudah tak beraya itu. Isi perutnya terkoyak dan berhamburan di mana-mana. Biniknya mulai keingungan karena takut akan bahaya yang mengancam. Aku menoleh ke arahnya, ia menggelayap di tembok bersimpuh menyujud memohon-mohon kepadaku. Aku tetap menatapnya, perlahan aku menghampirinya. Bagaimana tidak aku melihat lelehan air bening kekuningan mengambang di lantai tepat di bawah si binik. Bak seekor kucing yang sedang rebutan kawin. Sementara ia menyujud aku serentak melempar cluritku dan mengenai tengkuknya, kepalanya terantuk lantai. Untungnya ia hanya terkena gagang cluritku, balum apa-apa ia sudah lemas pingsan. Aku tak mengambil pusing, aku ambil lagi cluritku dan menyabetkannya tepat di leher si binik. Darah merah tua kehitaman membuyar semburat nyiprat mengenai wajahku.

Namun ketika tersadar aku baru tahu bahwa aku tetap dalam kontrol. Ketika mendengar keributan yang lebih identik dengan pertengkaran, secara tidak sadar otakku bereaksi. Ada semacam proyektor di hadapanku dan menampilkan kejadian-kejadian tragis yang aku sebagai tokoh utamanya – membunuh. Aku menyebutnya dengan trauma masa lalu.

Hal itu berawal 3 tahun yang lalu ketika aku melihat perdebatan anatara Pakdeku dan Pakku. Mereka mempertentangkan masalah pembagian warisan, entah bagaimana sistem pembagiannya yang sampai-sampai membuat Pakku tidak terima dengan warisan yang ia peroleh – mungkin karena terlalu sedikit menurutnya.

Pakku bersikukuh tidak terima dengan keputusan pembagian warisan itu, mungkin nalurinya sebagai adikPakdeku itu yang membuatnya berpikiran bahwa ia harus dapat lebih banyak. Ditambah karena memang sejak dulu Mbah Kakungku diurus oleh keluargaku.

Adu mulut terjadi lama, sampai-sampai Pakku melontarkan sumpah serapahnya. Aku sebagai anak hanya bisa diam melihat apa yang terjadi layaknya menonton sebuah film. Pakku terlihat sangat memerah ketika argumennya tak dihiraukan oleh saudara-saudaranya. Sampai-sampai jancuk dan asu pun disamngkutpautkan. Andai jancuk dan asu tahu, mungkin mereka yang akan mengganyak Pakku.

Entah di mana letak hati nurani Pakku pada saat itu yang membuatnya tak mau ikhlas dan qona’ah, ia malah memilih pertengkaran dari pada persaudaraan. Padahal memang sudah jelas status mereka adalah sudara.

Tiba-tiba Pakku beranjak dari tempatnya menuju dapur, entah apa yang akan ia lakukan dan sedang lakukan. Suasana pun mencair. Saudara-saudaraku mulai memberi dukungan kepada Pakdeku untuk lebih sabar menghadapi Pakku.

Tak lama kemudian Pakku kembali dengan wajah yang datar dan kedua tangannya bersedekap di belakang. Ia menghampiri Pakdeku sambil berucap “Baiklah aku ikhlas dan menerima atas pembagian warisan ini.”. Serentak Pakdeku berdiri berjalan menghampiri dan berniatan memeluknya.

Tak dinyana clurit peninggalan Mbah Kakungku mendahului pelukan Pakdeku yang jadinya Pakdekumemeluk angin dan terantuk clurit di bagian kepalanya. Darah mengucur deras. Aku masih sangat ingat waktu itu ada cipratan darah sedikir di wajahku. Aku terhenyak melihat kenyataan seperti itu. Pakkusecara tidak sadar mengajariku dan aku pun tak sadar menerima ajaran itu dengan terbuka. Darah merah menggenang di mana-mana. Saudara-saudaraku menjauh – takut. Pakku terdiam dan sempoyongan meroboh, njungkel njlungop, tiba-tiba bersujud. Entah apa maksudnya aku hanya mlongo.

Keesokan harinya aku bangun dari tidurku, aku tak menemukan Pakku yang biasanya membangunkanku – malah Paklekku. Paklekku memelukku dan berbisik lirih “Berdoalah semoga Pakdemu  diterima disisi-Nya dan bersabarlah menghadapi kenyataan.” Aku terbelalak dan bertanya mengheran “Ada apa?”

Ternyata Pakku telah diringkus oleh aparat kepolisian dan kini meringkuk di balik jeruji besi. Entah berapa lama aku pun tak tahu. Pernah aku tanyakan tapi malah mendapat jawaban yang terkesan membijak.

Di sekolahan aku terpojokk oleh pengucilan – terasingkan. Berita tentang Pakku sudah menyebar ke seluruh desa sampai-sampai teman sekelasku pun tahu tentang berita itu. Selain pengucilan aku pun mendapatkan cacian memaki, mereka menganggap aku adalah anak seorang pembunuh. Aku hanya bisa terdiam dan mengernyitkan dahi ketika mereka mengolok-olokku seperti itu.

Anak almarhum Pakdeku pun begitu, ia seperti bertemu babi saat bertemu denganku. Ia selalu menjauh seperti enggan denganku. Kini semakin berat dan kejam laku kehidupanku, dengan keterasingan yang seperti ini membuatku merasa saki – sakit batin. Tak terasa kini aku menjadi lebih pendiam dan acuh tak acuh atas keadaan sekitar.

Lamunanku akan masa lalu tiba-tiba membuyar hilang oleh suara gebrakan pintu di rumah sampingku yang tadi. Pintu tertutup tapi suara pertengkaran mereka masih sangat kentara di telingaku. Terdengar suara pipiditempeleng keras dan berulang kali dan disertai jerit tangis si binik.

Otakku pun secara spontan bereaksi tetapi bukan lagi sorotan cahaya dari proyektor tapi ini tidakan dari alam bawah sadarku yang terwujud secara nyata. Di dapur aku tak menemukan clurit peninggalan Mbah Kakungku tapi aku menamukan linggis yan berukuran kecil tapi lumayan panjang yang biasa dipakaiPaklekku untuk memanen ketela pohon di kebun depan rumahku. Mungkin pikirku saat ini waktuku memanen dengan bringasan dengan mencongkelnya tepat di dada sebelah kiri.

Aku mengetuk pintu berkali-kali namun tak kunjung dibuka, aku muak langsung mendobrak pintu. Tapi tidak berhasil. Perlahan aku mendengar umpatan dari dalam, aku yakin itu si laki. Suara biniknya terdengar menangis memilu. Pintu terbuka dan wajah si laki yang penuh dengan amarah itu menatapku nanar, jancukpun keluar. Tapi jancukannya belum sepenuhnya terucap, linggis yang semula ada di tanganku kini berpindah di dada sebelah kiri si laki.

Aku masih terdiam ketika menatap si laki yang sudah terkapar membujur mengaku. Tak sadar ternyata sudah 2 jam aku berdiri mematung di depan mayat si laki. Sampai pada akhirnya rumah si laki itu sudah berjumbal dengan orang-orang yang menatap miris.

Adikku menerobos masuk dari kerumunan orang itu untuk menemuiku. Ketika ia sudah berada di belakangku, ia memanggilku “Mas…” Aku menoleh ke arahnya “Ada apa dik?” ujarku dengan santai dan tersenyum sumringah. Sementara di antara kerumunan orang sekilas terdengar suara memuntah mungkin karena jijik melihat darah yang mengambang di lantai teras rumah si laki.

“Sampeyan ini psikopat ternyata, ayo muleh.” Ucap adikku sambil menarik tanganku. Aku pun menurutinya dan tetap tersenyum . mayat si laki itu tetap terkulai perlahan-lahan mengaku seperti dalam tumpukan salju dan membeku. Aku melihat sang binik keluar dari rumah, ia tersenyum kepadaku dan aku pun menyambut senyumannya dengan senyumku.

Ketika aku melakukan itu aku cuma punya satu pikiran dan tujaun; ingin segera menyusul Pakku di balik jeruji besi karena aku sangat merindukannya. Kini itu pun terwujud, aku bertemu dengan Pakku – ini bahagiaku.

 

S E L E S A I
01:12 – Kamis, 13 Maret 2014
Moh. Miftahul Ainin Najib – Jember Pantai Selatan(Puger)
yang lebih di kenal dengan panggilan; Ainin Najib(Can Nin)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler