Skip to Content

Gadis Kecilku Yang Lelah

Foto edi sst

Gadis Kecilku Yang Lelah

oleh edi sst

        Wajah tirus gadis kecil itu masih menunduk, tampak sedikit pias. Berkerudung sederhana warna kecubung, agak lusuh, duduk di sampingku. Jemarinya memainkan bunga rumput liar. Tiba-tiba dia menoleh ke arahku. Mataku bersitatap dengan bening matanya.
        “Apakah telah Kakak tuliskan jejak itu?” tanya dia.
        Aku terdiam. Kubuang pandangan ke sela-sela daun ilalang yang merumpun di tikungan jalan di timur kali kecil sebelah sana.
        “Apa yang Kakak tunggu dalam sunyi ini?”
        Aku mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan.
        “Pada mulanya adalah sunyi. Lalu akan kutuliskan jejak demi jejak yang papa,” ujarku.
        “Aku tak ingin jejak itu jadi makna yang terlupa,” balasnya lirih.
        “Jangan khawatir Re, jejak itu tak akan sia-sia. Jejak itu menjadi torehan tak berkesudahan dari perjalanan menuju senja.”
        “Senjamu, Kak.”
        “Ya, senjaku.”
        Beberapa saat lalu kami membisu.
        “Aku ingin berjalan bersamamu menuju senja,” tiba-tiba suaranya mengagetkanku.
        Kutoleh wajahnya. Ada segurat cahaya yang meronta di matanya. Cahaya yang begitu hidup, begitu menyala. Aku tak ingin mematikan cahaya itu. Diam-diam aku berusaha mengusir sulur-sulur yang berkecambah begitu dalam tapi begitu terasa berdesir di dada. Akankah cahaya itu menerangi kelu di sudut kalbu yang membeku dalam rindu?
       “Senjamu masih jauh, Re. Kamu adalah kupu-kupu mungil yang bisa dengan riang bernyanyi sendiri, mendendangkan irama tra lala tri lili,” suaraku agak memberat.
       “Aku tak ingin melagukan sepi. Aku tak ingin lagu itu menjelma nada instrumentalia yang mengaduk sepi.”
       “Yakinlah iramamu akan menjadi derap konserto yang indah.”
       “Derap konserto yang begitu rapuh.” Wajah Re sedikit bersungut. Seperti biasa, saputan rona merah pipinya pun muncul. Biasanya dengan tersenyum simpul dan sedikit mencuri kucolek pipi mungil itu. Pipinya pun akan makin merona. Lalu, aku akan berteriak kecil karena cubitan di pinggangku. Tapi, kali ini dia tampak agak kesal.
       “Sudahlah, Re. Biarkan instrumentaliamu menjadi sebuah interlude yang keras. Yang membatu dalam irama rancak mengiringi langkah-langkahmu yang merentak. Maka hidupmu pun akan membakar sepi demi sepi dengan api yang berderak-derak.”
       Wajah gadis itu kini benar-benar makin merona. Dia benar-benar kesal.
       “Aku tak mau api hidupku hanya berguna untuk menerangi sudut-sudut yang terliput kabut. Sudut-sudut sunyi yang lantas menepi ke sudut sunyi yang lain,” ujarnya agak keras.
       “Tidak. Tidak begitu. Hidupmu akan benar-benar membara, Re. Kepak sayap mudamu yang begitu bertenaga akan melenting. Hinggap di kembang demi kembang yang merekah dengan putik bening. Kau akan tak sabar mencucup kuncup demi kuncup seolah-olah tak akan pernah cukup. Bagai gerak penari shasha bersitatap dengan liukan tubuh ballerina yang hening,” tandasku meyakinkannya. Tapi, akankah dia menjadi yakin?
       “Ya, tapi setelah itu sepi yang terbanting berkeping-keping menjelma jadi rasa hidup yang asing. Dan, jejak-jejakku pun tak akan pernah ada yang menuliskannya.”
       “Bukankah kau bisa menuliskannya sendiri, Re?”
       “Aku tak bisa merangkai kalimat seindah kamu. Aku ingin membaca kalimat-kalimatmu yang menggetarkan, Kak. Aku ingin kamu yang menuliskan untukku. Dan, itu akan bisa terjadi jika aku berjalan menjejakkan kaki bersamamu.”
       Jika sudah bersikukuh begini, gadis itu sulit dibengkokkan. Mungkin besok aku bicara lagi dengannya. Kutatap sekali lagi wajah manis di sampingku itu. Kembali aku berusaha mengusir sulur-sulur yang berkecambah begitu dalam tapi begitu terasa berdesir di dada. Ah, akankah rindu ini benar-benar membatu?
       “Lihatlah mendung itu, Re. Mau hujan. Mari pulang.”
       Aku mengajaknya bangkit. Dia pun bangkit. Kami berjalan bersama. Angin yang agak basah sempat sedetik membuat pucuk kerudungnya menampar wajahku.
       Sore ini adalah pertemuan kesekian kali dengan Re, membicarakan soal yang sama. Sekilas kulirik wajahnya. Ada guratan lelah di situ.

***

Diprosakan dari penggalan puisi “Ritus Perjalanan” bagian /1/ sampai dengan /3/ di http://www.jendelasastra.com/karya/puisi/ritus-perjalanan


Komentar

Foto Re

kok aku banget

kok aku banget

Foto edi sst

memang

memang ini
tentang kamu, Re, hehe ....

salam ... :-)

Foto Re

Akankah Re mendewasakan

Akankah Re mendewasakan dirinya untuk sebuah prolog yang berat bagi anak seusianya?
Re, terbitlah dalam jelmaan bidadari ... dan aku akan menunggumu ...

Foto edi sst

Bersama Re ...

ya, Re akan cepat dewasa. dia sedikit bengal tapi cerdas.
biarlah nanti Mas/Mbak SRI4AL yg menemani Re menuju senja, senja kalian berdua hehehe ...

tks, salam hangat ... :)

Foto Reni Nur Afifah-WAJ

lama tak membaca prosa...ren

lama tak membaca prosa...ren baca sekali lagi prosa ini....namun berkali2 ren merasa terjebak dalam situasi di senja yang mendung itu....seakan ikut duduk dan terlibat dalam percakapan itu....antara Re dan Kakak... indah.....

Foto Andi Kata

Inspiratir dan Menggugah Hati

Sebagai orang awam, saya sungguh terkesima pada pilihan kata Mas Edi. Bagi saya tulisan ini adalah refleksi jiwa tulus dari bangunan bernama Edi SST. Salam.

Foto edi sst

terjebak

@ Ren : Kayak apa ya jika Ren yg ingin berjalan menuju senja bersama kakak? Mungkin ceritanya jd lain hehe ... Selamat menikmati Re(n) ... salam :))

@ Andi : Sy tdk tahu apakah cerita tsb sebuah refleksi atau bukan. Sepertinya itu sbuah bangunan yg blm utuh ea, sebuah episode alit, yg sedikit menggelitik, mungkin. Terima kasih Mas Andi. Salam ... :)

Foto Reni Nur Afifah-WAJ

mungkin tak akan pernah bisa.

mungkin tak akan pernah bisa. tapi setidaknya bisa ikut hanyut didalamnya

Foto Samudera Yekti

sangat indah

tiada kata dapat terucap
selain indah indah indah
:)

Foto edi sst

lebih bermakna ...

ahahay ...

sesuatu yg tak terucap
sering lebih bermakna

trims, Fifi, hadirmu ... :)

Foto Re

boleh inta alamat email dari

boleh inta alamat email dari pak edi sst. saya mau konsultasi tentang cerpen beliau. Teman saya memiliki cerpen yang hampir mirip cerita di atas. dia mau bertanya apakah cerpennya termasuk plagiat saduran atau apa. terima kasih

Foto Re

ajarin bikin kalimat yg indah

ajarin bikin kalimat yg indah pak, cara merangkai kata yg indah shg tercipta cerita yg syahdu....hehehe

Foto Arpunug

glitik-glitik alfabet yang

glitik-glitik alfabet yang mempesona rasa

Foto edi sst

terima kasih ...

terima kasih arus, endang susilowati, dan Arpunug yg telah mampir ke lapak kumal ini hehe...

@ Arus : Boleh ajah Arus minta emailku. Mau aku kirim ke inboksmu, tp kayaknya akunmu blm aktif benar yak shg gak bisa dikirimi pesan. Apa aku yg gaptek yak hehehe... :)

@ Endang : Waduh Endang, aku juga masih belajar nee. Mari kita belajar bersama dg banyak membaca karya2 teman di sini. Ayo tetap semangat menulis yak ... :)

@ Arpunug : Siapa yg tergelitik hayooo ... :)

Salam hangat selalu utk Arus, Endang, n Arpunug ... :D

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler