Skip to Content

The Play of Merely Life (Hanya Sebuah Sandiwara Hidup Belaka)

Foto Nista Nihil Nadir

Chapter I,

act I,

scene III,


    Di suatu tempat dalam pikiran setiap manusia, di sebuah antidimensi tanpa ruang dan waktu.

 

    Berkatalah ia, "Kebahagiaan, seperti halnya kesedihan, hanyalah salah satu babak dari sebuah drama adiluhung,

yang kusebut kehidupan. Layaknya siang dan malam, suka cita dan ironi akan selalu hadir silih berganti dalam hidup ini.

Jadi, janganlah terpaku pada satu adegan saja!" Lanjutnya. "Bila engkau hanya mengamati dan menjiwai adegan sedihnya

saja, engkau takkan pernah mengerti keseluruhan drama besar ini! Engkau akan buta terhadap keseluruhan ceritanya;

orientasi, komplikasi yang terjadi, resolusinya, bahkan plot hingga latarnya."

 

    "Buka matamu! Mata hati-mata batin-pikiran-bola matamu, lebar-lebar! Inginkah seumur hidupmu menyebut

kehidupan ini hanya sebagai sebuah misteri? Akankah engkau, terus-menerus sepanjang hidupmu,

takkan mengerti alur ceritanya? Seseorang yang menganggap hidupnya hanya sebatas satu babak pendek saja,

dengan adegan yang selalu seperti itu; entah bahagia ataupun menderita, akan selalu terpuruk, tertahan, terjebak,

dalam penjara-penjara paradigma buatannya, hingga akhirnya ia akan terasing dari kehidupan sebenarnya!

Sebuah mahakarya Tuhan, drama terkompleks namun terstruktur sempurna, dengan babak sangat luas,

bagai tak terhingga, tak terduga, penuh kejutan dan keseluruhan makna, ada segalanya di setiap dialognya."

 

    Bila kata anda itu benar, wahai alter ego dari kebukansiapasiapaan ini. "Salahkan aku bila menganggap hidupku sudah

ditentukan segala sesuatunya oleh Maestro Kehidupan itu? Walau aku bisa memilih plotnya, merubah latarnya,

bersandiwara sesuai yang aku inginkan, hingga memilih peranku dalam drama adiraya ini."

"Tidakkah faktor terpentingnya sudah didefinisikan Tuhan -bahkan dengan absolut, terlebih dahulu?"

"Tidakkah engkau berpikir, jati diri ini, esensi ini, kesedihan yang selalu aku rasakan ini, kondisi dan tempat aku

dilahirkan dan berkembang, konflik yang membuat aku menjadi sekarang ini, sudah ditentukan olehnya?"

Dan vonis takdir demikian jelasnya : Engkau takkan bisa menghindari itu semua!

"Sebagian manusia terlahir untuk suatu drama ringan tentang dongeng, cinta sejati, dan happily ever after,

sebuah akhir yang sempurna; selebrasi dari makna kehidupan itu sendiri."

"Dan konsekuensinya, sebagian yang lain harus menjalani hidup yang demikian ironis, tragis, kontradiktif,

kejam dan memangsa, tak adil, kelam, dan segalanya yang bertentangan dengan kondisi pertama;

sebuah penderitaan hingga epilog terakhir. Itu pun sebuah perayaaan duka lara yang begitu raya."

"Aku termasuk mereka yang berada pada skenario ke dua, sebuah antitesis sempurna dari kebahagiaan . . ."

. . .


Penggalan naskah esai pseudo dramatis.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler