Skip to Content

Dari jauh jarak yang hilang

Foto Willyshayudana
files/user/9130/VAPORGRAM1623839594169.jpg
VAPORGRAM1623839594169.jpg

Puisi-puisi Willy shayudana

Pantai dan cinta 

 

 

Aku bertemu dengan kau waktu itu
Minggu cerah bersinar di atas kepala nelayan
Di ujung pantai, tak bertepi.
Ingatkah kau? Aku duduk di belakangmu

Mata ini tak berkedip
Seolah ingin memberi kabar
Aku bertanya; Darah di tubuh menjadi lautan cinta
Dari jauh pandangan, haruskah menyerah ?

Sekali lagi harus terulang
Kau diam tak bersuara, sedangkan burung-burung bernyanyi.
Di depanmu
Di depanmu

Membawa kabar cinta
Ataukah angin pantai menelantarkan kita ?
Di atas pasir jarak antara dua terhalang
Sesekali melirik, kenyataan hilang.

15, Juli 2020
Willy shayudana

 

Di bawah bulan sepi

Makam yang bertanya kenapa kesepian berada kembali
Di langit yang merah, bulan yang merah
Kau memberai suatu dunia!
Pernah dulu kita di buru, dan bibir beradu ke arah surga
Pecah terbenah di bawah kaki sepasang gagak
Berteriak di kelopak mata bulan yang memerah
Dan sedikit hitam mengalir air mata itu,
Rasa cemas luas pandang segala arah.
Bagaimana bisa?
Kau sungguh menggila untuk bercium
Gigitan merasai luka, dan terasai
Sungguh pun lebar kepuasan o, kekasih
Apalah bulan memandang tajam
Hai manusia ku menyinari cinta dan bayang-bayang!
Hai manusia ku menyinari cinta dan bayang-bayang!
O, kekasih sekali hari itu mengulang lagi,
Lagi kepada kisah yang baru, mata mata
Aku dan kau. Begitu erat di malam yang sepi
Bayang-bayang sendiri akan meminta suatu kini
Jika hanya malam mengarungi kisah yang baru
Ku terbuka segala pintu, segala yang dulu pernah membentuk. Akulah yang tak pernah membagi,
Diantara kisah yang melupa dan mati di bulan sepi
Medan, Juni 2021
Willy shayudana

Kutuliskan hujan dan kenangan wajahmu

 

Taukah kau ada kenangan yang masih mencintaimu?

Sekumpulan hujan yang datang dari langit melihatku tanpa suara

Di hadapan-hadapan kesaksian malam yang dingin waktu itu

Ada luka maupun bahagia, kau bercerita tentang segala cinta-

 

Cinta masa-masa yang lalu. Tubuhku yang menggigil kau juga yang

hangatkan, rambut-rambut basah dan bibir mengalir deras berada satu

dalam pelukan, kita berhenti di sebuah cahaya yang berkabut

Dan berkata: “takdir memang adil mempertemukan, tapi takdir enggan bercerita apa akhir dari semuanya”

 

Taukah kau ada kenangan yang masih mencintaimu?

Dan disana kita saling bertanya untuk segala cinta

Jangan khawatir, kutuliskan kisah yang paling sunyi buatmu

Di jalanan pemberhentian dan jemari-jemari malam yang sepi

 

Hujan memang begitu lama reda, begitu juga kenangan dan wajahmu

Malam itu, bahkan kau juga masih bersemayam di pikiranku yang berlabuh 

Hingga ke dasar jiwa, kau yang juga pernah mencintaiku bukan, tapi diriku

enggan berkata pernah, karena akulah yang mencintaimu tanpa alasan itu

 

 

Taukah kau ada kenangan yang masih mencintaimu?

Tapi aku bukan lagi milikmu, hanya kenangan yang tak menanamkan

Apa-apa. Dan malam yang sepi, kenangan yang sepi, hujan yang sepi

 Dan akulah yang kesepian tanpa dirimu.

 

Bintang yang hilang tertutup mendung, begitulah tanpa kehadiranmu

Wajah cinta yang berwana tak lagi berwarna seperti dulu bulan yang

bersungai cahaya, tak apa waktu kan mencari dirimu, di setiap penjuru

ketidakpastian, kau juga kan tak peduli bahkan tak kan kembali lagi.

 

Seperti hujan yang itu itu juga, seperti kenangan yang itu itu juga, seperti

wajah-wajah yang itu itu juga, kita yang dulu tiada kata akhir dan kini telah

berakhir, aku berhenti mencintaimu begitulah, tapi dulu, betapa cintanya

Diriku denganmu, sekarang kau telah berlabuh, juga telah menemukan

kebahagiaan itu, mungkin inilah luka terakhir yang kutuliskan atas dirimu

Dan juga puisi terakhirmu untuk ku lupakan

 

13 September, 2021

Willy shayudana

 

 

Aku baru kembali dari perjalanan dan derita

 

 

Sudah cukup lama kau menanti, ketika lampu malam beriak

menatap tajam Dalam sunyi. Sendirian aku melenggang ke arah langit

Dulu kau begitu mesra dan selembut bulu domba eropa, tidur di jiwa yang 

Yang dingin dan penuh dendam kala itu.

 

Kini, aku baru kembali dari perjalanan dan derita

Mencari kehangatan, dan suara-suaramu yang menenangkan angin

Juga memainkan gitar, walau yang ku cari tak ku dapat, hanya kekeringan 

Rindu yang sia-sia. Begitu pula darah yang meluap-luap di samudera, hanya

Mata menyaksikan laut bermain dengannya,  dan disini aku menanti untuk

mencintaimu. Di tempat segala kenangan oleh segala tangisan duka.

 

 

Kini, aku baru kembali dari perjalanan dan derita

Melihat matahari di ujung derita telah membakar masa lalu

Ku liat sepotong cinta terbagi olehnya, di jendela mereka menari dari 

Perjalanan yang jauh, pulau yang terpisah juga tubuhnya yang ku cinta

Kini sungguh telah kau berikan seluruh cinta kepadanya. Kekeringan langit

Sepanjang derita terus berlanjut di mataku.

 

Sungguh luka yang terdalam, begitu mudah kau memberi kunci pintumu

Di jiwa yang ku nanti berakhir sia-sia. Jika kau bersedia lupakanlah diriku

Juga aroma ingatan yang bersangkar di kepalaku, ambilah lupakan diriku

 

Kini, aku baru kembali dari perjalanan dan derita

Kalau setiap perjalanan kita hanya sebuah kebohongan, maka hapuslah

kenangan itu, juga musim gugur juga kan datang. Lewat kesepian hidupku

Anginkan membawa dirimu jauh menemukan apa yang kau ingin!

Sudah kau putuskan bukan ?

Kau akan meninggalkan segalanya dariku

Hati dimana akar tercabut oleh kekeringan

Dan akarku ku jaga dan ku bawah jauh berlabuh 

Akan ku lepas akarku dari tanganmu 

Dan ku tanam di negeri yang sunyi 

Hingga tak ku dengar lagi suara mu

oleh angin yang membawanya!

Ingatlah

Kini, aku baru kembali dari perjalanan dan derita

Sendiri yang mencintaimu

Mencintaimu terbang di negeri yang sunyi

Tanpa suara-suara dan kehangatan itu lagi.

 

18 September, 2021

Willy shayudana

 

Luka yang paling dalam 

 

 

 

Ambilah hatiku, ambilah wajahku serta mataku

Tapi jangan kau ambil luka 'ku kembali.

Luka yang paling dalam, berarti membuka sepi

Pada yang terulang- 

Jauh kenangan di batas duka 

 

Aku telah mencintaimu, sendiri di lautan lepas

seperti hutan yang dingin

Dan pohon-pohon menggigil biru 

Angin berhembus membawa 

Luka, luka yang paling dalam

 

Berhenti di dada, jika suatu saat nanti kau kembali

Seperti bunga yang gugur terbakar oleh kekasihmu

Aku membawa cinta, cinta yang paling sedih

Adalah pisaumu, adalah lukaku yang paling dalam

Dia yang kau temukan adalah takdir doamu

Oleh dia yang berhasil sebagai pemilik jiwa 

Aku mencintaimu, sendiri. Sendiri. Sendiri.

Terbagi bahagia. Menyulut luka yang paling dalam

 

Kau begitu mesra, begitu mesra dengannya.

Meraut cinta yang baru, kali ku membeku sunyi

Diri. Sendiri meradang benci, biarlah ku pasrah

Dan berhenti disini. Berhenti mencintaimu

 

25 September, 2021

Willy shayudana

 

 

Kisah dan peristiwa

 

Sepanjang pertempuran jiwa; lalu badan bergema

Kencang lurus. Terkulit kisah dan peristiwa 

Pandang gerah pada taman sekolah 

Berhubung suatu cinta - suka tertajam mata

Saling menengok luka dan peristiwa

 

Ku kira takdir berkawan dan satu zat padaku

Suatu yang indah tiba pula hitam

Kering di permukaan suara yang memisah diri

Meminta cinta, segarang mulutku terbagi mulutmu

 

Disanalah segala kisah dan peristiwa

Kenangan kelabu penuh ombak di mata

Berpuluh warna dari segala warna 

Kita bercinta bagai kapal tanpa lautan

 

Terhendus ombak menggaru kisah dan peristiwa

Juga melabuhkan sebentar saja harum karang 

Tak berpadan mutiara. Hanya luka dan peristiwa

Kenangan masa itu, terkubur di segala ruang

 

Lalu kau pergi ?

Aku tak melarang, itu dasar hakmu

Sudah hanya kisah dan peristiwa 

Tau juga kita sudah berjarak

Pulaumu bersebrang di Batavia 

Pulauku di Paris sumatera 

 

Tapi! Kenangan itu adalah kisah dan peristiwa

Jatungku berdetak pahit, mati di tepi

Air yang keruh terkusut cuaca sepi

Bermimpi pada zaman-

Kau juga kan bersuami, beranak dan bahagia

Sudah kau pilih dermaga jiwa 

Sedangkan tubuhku terjungkit pada hidup

Udara mengalir dara

 

Cita-cita bermuram patah lalu bangkit

Mengejar cinta yang tak pasti

Ku pilih segalanya, hanya satu pembuktian 

Aku kan berlayar meski terkikis duka 

Sampai sejauh dunia memandang tinggi

Saat kematian abadi -

dalam kisah dan peristiwa.

 

Medan, 27 september 2021

Willy shayudana

 

 

 

Sebuah rumah tua 

 

 

Kisah berlalu, sudah rupa berwajah jeri

Kelahiran bocah lelaki + tercabik derita

Rumah-rumah tua. Dan lelaki bangkot.

 

Hujan menyayat suara malam terintih

Terkenang taman depan halaman;

Rumah tua, dan kelahiran bocah lelaki.

Banyak gores belum pudar saja

 

Langit gelap, merintang dendam 

Ku minta sekali lagi?

Kecewa datang bagai ombak besar 

Menerjang luka + lagi sebuah rumah tua

 

Nyerah ?

Mulutku dan jiwaku terjait sekarang!

Setik menyesak. Menyesak.

impossible!

 

Biarlah ku terbang seperti pesawat Jepang itu

Membom-bardir pearlharbor, tenaga kan hidup bebas.

Kenang rumah tua dan perang merusak cinta 

Antara papan dan ruang menyalah paham 

 

Kita musti perbaikan ?

Rawat keluarga seperti cinta dulu

Lari tiada padaku. Ku minta satu hal!

Peggang janji pada api pada cerita yang terbakar

Oleh cinta. Juga Kemurnian tak kan padam!

 

Disini sebuah rumah tua

Aku bergantung lepas 

Luas menjelajah rimba penuh serigala

Merangkak nyata- 

 

Rantai terpanggang semangat muda

Kelahiran bocah lelaki tiba 

Beri suatu tempat padanya

Juga darah mengalir kepalan tangan 

Muda. Tempat. Dan rumah tua.

 

Menghebus diri sendiri lagi

Menyisir seluruh rumah dan harap mendekap

Tiada cinta bertepi, juga menyulut benci

Mimpi segala pudar. Tak ternggapai

Sekali penghabisan lain tidak!

 

28 september, 2021

Willy shayudana

 

 

 

 

Ingatkan aku jika kau menangis

 

 

Ingatkan aku, jika kau menangis di hempas badai malam

Oleh ombak di dada, serta langit mencekam

Aku masih menunggu kau kembali

Seperti dulu, harap beri suatu cinta terjadi

 

Ingatkan aku, ingat kan saja

Tak lebih, tak kurang, dengan jarak enggan meminta

Angin terpukul rindu, terpendam suara 

Bikin Suatu tempat, menjadi kenangan-kenangan 

 

Bulan yang bisu mendekat seperti kutukan 

Nyesal tidak menikam rasa atau dengan penghianatan

Menangislah diantara laut yang menyurut muka

Kering juga kapal-kapal untuk bersinggah bahkan berlabuh

 

Sekali lagi, ingatkan aku jika kau menangis

Seperti bintang-bintang tanpa malam

Seperti luka yang bersarang oleh maut

Seperti ciuman mesra, kau adukan gigimu

 

Manis nafasmu, kau peluk seluruh jiwaku 

Berpacu garang di tengah hujan yang setengah-setengah

Berdentum petir tiada henti di atas sorga

Setengah jam tak terhitung juga 

 

Seperti kau dulu yang mencintaiku

Ingatkan dulu, ingatkan ku jika kau menangis

Oleh api dendam, oleh laut luas tak berujung

Berhenti disini, kapal terbang menjulang tinggi

 

Jauh megudara cemas 

Kisah tak beri tempat lagi

Jauh mengabur, jauh tak tercapai

Oleh rindu yang menangis-

Kita adalah sia-sia yang terpanggang 

Cemburu!

 

29 September, 2021

Willy shayudana

 

 

 

Love in vain blues

 

 

Sayangku!

 

Seperti tulisan-tulisanku yang lalu 

Kutulisan di kaca kenangan

di balik stasiun kereta yang gugur itu

Tubuhku dan tubuhmu menari memisah awan-

 

Awan hitam yang memekat seluruh takdir

Antara pisau yang mencekik duluan 

Kau dan aku.

Dalam laut yang kelabu

 

Tak ada yang mencari cinta

Katakan setiap akhir cinta adalah bencana 

Juga di kepalaku yang biru merangkak udara

Seperti yang kau inginkan, ria pada dunia!

 

Sayangku!

 

Lihatlah aku, seperti bocah yang menangis

Hanya Merebut mainan murah yang di rampas kawannya

Hanya cuma dan percuma aku menangis

Jika air mata bocah itu menjadi sungai yang kering

 

Seperti tulisan-tulisanku yang lalu

Yang kutulis sebagai penyair miskin 

Sebagai manusia yang jauh dari mobil Mercedez

Hadiah rumah juga impian jaminan tua 

 

Burung camar terbang jauh ke sorga

Tujuh langit dan tujuh malaikat turun menanti giliran

Begitulah kata pembuka agama

Yang mesum di ujung gang rumah mertua

 

Seperti kanibal perempuan terokang pistol

Laki-laki tua. Berbekal hidung buaya di KerLip bintang

Angkasa.

Katanya: “bayar saja biaya semaumu,

tapi tak mencukupi juga harga susu anakku”

 

Hari ini atau hari esok

Kebutuhanlah yang utama 

Toh, tak ada yang menanggung?

 

Sayangku!

 

Seperti tulisan-tulisanku yang lalu

Kesedihan adalah tanggung jawabku

yang terus menganggu tidurku dan tidurmu

Oleh wajah setan-setan yang mati di peceran!

Karena mabuk! Juga

Karena lobang pantat kita di koyak pendusta!

 

 

Tak ada yang mencari cinta-

Seperti kita, meradang luka

Yang akhirnya mati jua pada kemiskinan!

 

9 oktober, 2021

Willy shayudana

 

 

 

Desauda

Cinta!
Tiga warna 
Abu, hitam, merah.
Kau dan aku merusuk dia
Jauh...
Kamar habis perhitungan!
Suara-suara bintang-meluas Cahya
Bahagia tutup telinga. Jika terusik!
Ambil peduli, ambil darah mendidih.
Kosong bulan di atas kepala kita.
Menari sepi, dan tangisan bocah berlari.
Mengoyak cita ke dada, mengarungi cemas?
Saban tercatat. Muda perlambat usia 
Dan pepohonan hilang. Dan pepohonan hilang.
Membelah laut sekujur badan terbilang
Oleh ombak mata-mata kekasih! 
Mengosong tiada cinta dan segalanya
Tiada mengerti! Sendiri?! Sendiri?!
14, Oktober 2021
Willy shayudana

 

 

 

Aku katakan

Aku katakan pada malam terbenam di saat gerimis jatuh
Kali kita tiba sekali nyatakan cinta serupa
Menarik seluruh tubuhku seorang diri kepangkuanmu
Terpegang suatu suara yang biasa saja
Sewaktu pintu kau buka: kita ria bersama.
Seperti bocah pijakan hidupnya yang menyala
Aku katakan pada malam terbenam di saat gerimis jatuh
Darah kita mengalir nyeluruh. Menyinggung keras dunia.
Cemas bertuba menggigir ruang - kita juga yang bentuk!
Dan cinta sekarang mengabur. Melepas diri.
Tinggal terpadam suara tak jadi apa-apa
Aku katakan pada malam terbenam di saat gerimis jatuh
Aku kan melepas diri, biar kita putuskan!
Rontok segala jalan terkenang juga suram
Penghabisan melapang dada dan lekas berlalu
Cinta adalah derita. tiba sekali, besok 'kan lekas memudar.
2021
Willy shayudana

 

 

 

Pulang

 


 

Dari bermula jalan yang melengkung
Oleh poros juga keadaan bikin suatu janji
Buat kita. 
Di hadapan sajak dan buku baru lahir jadi kenangan
Terjadi nyata, sedia hadap berpancar luka
Waktu hanya permainan. Percayalah!
Tak saling bertatap, ada juga kecewa 
Biarlah, kita disini! Dari jauh jarak yang hilang. 
Kita mesti hidup. Tumbuh nyala membara: di
jiwa.
Keadaan memang sulit di perkira
Impian dan cita-cita lahir menyatu
Kejar bayang-bayang mengikuti deras tubuh
Mari kita terbang melepas, tajam kepakan menjadi merpati.
Kita mesti hidup. Tumbuh nyala membara: di jiwa.
Mengenal laut -mengenal angin 
Beri kabar untukku!
 bagai api mengalir di darah tiba 
Tak terpadam. Buat kita menanti.
2021
Willy Shayudana

Dalam cahaya

Saban sore. Dalam ku termangu
Melihat Cemara diam membeku 
Dan burung-burung mempercepat angin
Halus suara, datang juga malam yang ku ingin!
Terbagi warna -mendua gedung terhimpit
Juga badanku yang mulai dingin -menembus terjaga.
Bahwa suatu langit terpeggang juga terikat
Lepaskahlah! Ia. Hidupnya menyia-nyia
Kita disini. Tenggelam menunggu senja
Yang akhirnya juga menyirna-
Menyirna- dalam ku termangu
Sendiri. Mati pula kita disini.
Pintu selalu terbuka?
Ku beri selalu ruang buat kita
Di antara ranting merapuh diri
Buatmu dalam cahaya Ada tempat di sisi.
Medan, 2021
Willy shayudana

Sajak AAS

 tak tau berapa lama kau larikan diri
Bersarang harap buat kita, juga mimpi
Lama. ku dengar kisah tercacar di kaca
Basah seluruh muka, apalagi jiwa?
Aku tak bisa memulai juga mengganti!
Tau juga derita bertolak muram,
Perempuan sekarang bikin mengeras di dada-
Mulut membeku, belum terucap “kecewa”
Mimpi dulu ada disini, sudah lama
Kubiarkan! Kenang saja, kenang sendiri
Masa rendah menghembus nyawa berdua.
luka bertukar warna, ku tau sekarang
Aku terbagi di antara kemudi!
Kita pastikan-
Gerimis di penghujung malam berganti
Aku menanti? Tiada lagi, 
Buat kita. kapal perhentian disini!
Desember, 2021
Willy shayudana

 

 

 

Dari jauh cinta membengkak di jiwaku

Di penghujung kota 
Saban hari menggelegak pudar
Ku tahu cinta melempar 
“Berhadap dan melihat mata"
Apa yang bisa menguba kecantikan hati?
Kalau derita menelan segala diri
Oh! Kekasih!
Mataku melaju pada jendela malam,
Aku disana! menulis rambutmu,
Menulis tubuhmu, menulis wajahmu
Dengan mesin ketik, aku mencatat!
Cintaku!
-membayangkan,
suatu kali kau ku bayangkan
Adalah kecemasan yang di dunia mati
Antara beda ku genggam dalam sehari 
kita, Hanya melihat penderitaan cinta sekarang!
Tidak tahu Lou Salome dan Nietzsche terbagi luka manusia
-Yang membusuk dan kotor!
“Dimana ranjang keduanya berpeluk atau menjadi gila”
Ataukah kita
setan hitam dan serigala hitam
 yang di buru;
Tidak tahu søren bercerai diri pada regina Olsen dalam kubur?
Lahir segala sesuatu menghidup nyawa baru
Ajal mendekat memburu arti pada perempuan dulu
Sudah terbagi
Jika Sudah di simpan, cuma kenangan 
Mengabur;
Karena itu bukan lagi menerima kecewa,
Asah, tanganmu
Jangan mengkerlip mata
Suara binatang malam peka
Di telinga;
Tulis tebang rindang pepohonan,
Mesin berkerja! Kertas pertama!
Febuari, 2022
Willy shayudana
 

Udara menggantung rendah

Kami duduk sama saling pandang
Terhentak dada, membusu cerita
Kawanku berdetak lapang
Hijau udara berkeling tanya 
Di sebelah, kami siapkan
Perempuan dan kelahirannya
Nyesak tiba bercumbu tiada 
Tau tidak bikin pecah akibat
O, Cemara mengguruh setengah langit
Tijam--terpejam--terbelam
Kami duduk sama saling pandang
Terbagi nyawa hidupkan ulang 
Waktu dan arti sama tau mati 
Kawanku! Sudah lama kita disini!
Mata ruang biru berlagu cemas
Di sebelah, kami siapkan!
Kubur atas perempuan?
Sekali hibur hati, jejak di dada
Di jiwa, bersender luka .
“Pucat meluas kian tubuh berjalan”
Kawanku!
Berdetak lapang sekarang?
---Udara berbusa-busa
Ucap tindak bersebelah!
Dan mataku bertimbun sajak-sajak
Ku kumpulkan segala yang tertulis
udara lemas menggantung rendah
Mengalir darah ke hulu tubuh 
Kami duduk sama saling pandang
Terhentak dada! Membusu cerita!

Usia kelak bertabur ke depan 

 

Pada kerja pertama, kawan!

Gudang tua kita bayangkan, terlucut tenaga

Masa hilang ke masa lain tiba 

Kedepan sekali terbaring badan 

Peras jalan menyolong usia 

 

Memikirkan perempuan bikin bengkok kepala 

Ku pikir pada kawanku: “toh kita tidak meminta"

Selepas kawin kau coba kemudi, kita kerbo jadi binasa 

Di ikat waktu! 

 

Uang sepuluh jam berdetak saling menengok 

Jeru mata belokan kita, yang dunia bikin terkupak 

Asal tau saja! Asingkan cita bertabur kedepan!

Negara yang kita ingat: “berhadap mulut seribu”

Lupa mereka mengunyah pinggang  pada kawanku, 

Nyeri meredam dada merengang usia dulu.

 

2022

Willy shayudana 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Willy shayudana adalah penyair asal Deli Serdang, Sumatera Utara.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler