Puisi-puisi Willy shayudana
Pantai dan cinta
Aku bertemu dengan kau waktu itu
Minggu cerah bersinar di atas kepala nelayan
Di ujung pantai, tak bertepi.
Ingatkah kau? Aku duduk di belakangmu
Mata ini tak berkedip
Seolah ingin memberi kabar
Aku bertanya; Darah di tubuh menjadi lautan cinta
Dari jauh pandangan, haruskah menyerah ?
Sekali lagi harus terulang
Kau diam tak bersuara, sedangkan burung-burung bernyanyi.
Di depanmu
Di depanmu
Membawa kabar cinta
Ataukah angin pantai menelantarkan kita ?
Di atas pasir jarak antara dua terhalang
Sesekali melirik, kenyataan hilang.
15, Juli 2020
Willy shayudana
Di bawah bulan sepi
Kutuliskan hujan dan kenangan wajahmu
Taukah kau ada kenangan yang masih mencintaimu?
Sekumpulan hujan yang datang dari langit melihatku tanpa suara
Di hadapan-hadapan kesaksian malam yang dingin waktu itu
Ada luka maupun bahagia, kau bercerita tentang segala cinta-
Cinta masa-masa yang lalu. Tubuhku yang menggigil kau juga yang
hangatkan, rambut-rambut basah dan bibir mengalir deras berada satu
dalam pelukan, kita berhenti di sebuah cahaya yang berkabut
Dan berkata: “takdir memang adil mempertemukan, tapi takdir enggan bercerita apa akhir dari semuanya”
Taukah kau ada kenangan yang masih mencintaimu?
Dan disana kita saling bertanya untuk segala cinta
Jangan khawatir, kutuliskan kisah yang paling sunyi buatmu
Di jalanan pemberhentian dan jemari-jemari malam yang sepi
Hujan memang begitu lama reda, begitu juga kenangan dan wajahmu
Malam itu, bahkan kau juga masih bersemayam di pikiranku yang berlabuh
Hingga ke dasar jiwa, kau yang juga pernah mencintaiku bukan, tapi diriku
enggan berkata pernah, karena akulah yang mencintaimu tanpa alasan itu
Taukah kau ada kenangan yang masih mencintaimu?
Tapi aku bukan lagi milikmu, hanya kenangan yang tak menanamkan
Apa-apa. Dan malam yang sepi, kenangan yang sepi, hujan yang sepi
Dan akulah yang kesepian tanpa dirimu.
Bintang yang hilang tertutup mendung, begitulah tanpa kehadiranmu
Wajah cinta yang berwana tak lagi berwarna seperti dulu bulan yang
bersungai cahaya, tak apa waktu kan mencari dirimu, di setiap penjuru
ketidakpastian, kau juga kan tak peduli bahkan tak kan kembali lagi.
Seperti hujan yang itu itu juga, seperti kenangan yang itu itu juga, seperti
wajah-wajah yang itu itu juga, kita yang dulu tiada kata akhir dan kini telah
berakhir, aku berhenti mencintaimu begitulah, tapi dulu, betapa cintanya
Diriku denganmu, sekarang kau telah berlabuh, juga telah menemukan
kebahagiaan itu, mungkin inilah luka terakhir yang kutuliskan atas dirimu
Dan juga puisi terakhirmu untuk ku lupakan
13 September, 2021
Willy shayudana
Aku baru kembali dari perjalanan dan derita
Sudah cukup lama kau menanti, ketika lampu malam beriak
menatap tajam Dalam sunyi. Sendirian aku melenggang ke arah langit
Dulu kau begitu mesra dan selembut bulu domba eropa, tidur di jiwa yang
Yang dingin dan penuh dendam kala itu.
Kini, aku baru kembali dari perjalanan dan derita
Mencari kehangatan, dan suara-suaramu yang menenangkan angin
Juga memainkan gitar, walau yang ku cari tak ku dapat, hanya kekeringan
Rindu yang sia-sia. Begitu pula darah yang meluap-luap di samudera, hanya
Mata menyaksikan laut bermain dengannya, dan disini aku menanti untuk
mencintaimu. Di tempat segala kenangan oleh segala tangisan duka.
Kini, aku baru kembali dari perjalanan dan derita
Melihat matahari di ujung derita telah membakar masa lalu
Ku liat sepotong cinta terbagi olehnya, di jendela mereka menari dari
Perjalanan yang jauh, pulau yang terpisah juga tubuhnya yang ku cinta
Kini sungguh telah kau berikan seluruh cinta kepadanya. Kekeringan langit
Sepanjang derita terus berlanjut di mataku.
Sungguh luka yang terdalam, begitu mudah kau memberi kunci pintumu
Di jiwa yang ku nanti berakhir sia-sia. Jika kau bersedia lupakanlah diriku
Juga aroma ingatan yang bersangkar di kepalaku, ambilah lupakan diriku
Kini, aku baru kembali dari perjalanan dan derita
Kalau setiap perjalanan kita hanya sebuah kebohongan, maka hapuslah
kenangan itu, juga musim gugur juga kan datang. Lewat kesepian hidupku
Anginkan membawa dirimu jauh menemukan apa yang kau ingin!
Sudah kau putuskan bukan ?
Kau akan meninggalkan segalanya dariku
Hati dimana akar tercabut oleh kekeringan
Dan akarku ku jaga dan ku bawah jauh berlabuh
Akan ku lepas akarku dari tanganmu
Dan ku tanam di negeri yang sunyi
Hingga tak ku dengar lagi suara mu
oleh angin yang membawanya!
Ingatlah
Kini, aku baru kembali dari perjalanan dan derita
Sendiri yang mencintaimu
Mencintaimu terbang di negeri yang sunyi
Tanpa suara-suara dan kehangatan itu lagi.
18 September, 2021
Willy shayudana
Luka yang paling dalam
Ambilah hatiku, ambilah wajahku serta mataku
Tapi jangan kau ambil luka 'ku kembali.
Luka yang paling dalam, berarti membuka sepi
Pada yang terulang-
Jauh kenangan di batas duka
Aku telah mencintaimu, sendiri di lautan lepas
seperti hutan yang dingin
Dan pohon-pohon menggigil biru
Angin berhembus membawa
Luka, luka yang paling dalam
Berhenti di dada, jika suatu saat nanti kau kembali
Seperti bunga yang gugur terbakar oleh kekasihmu
Aku membawa cinta, cinta yang paling sedih
Adalah pisaumu, adalah lukaku yang paling dalam
Dia yang kau temukan adalah takdir doamu
Oleh dia yang berhasil sebagai pemilik jiwa
Aku mencintaimu, sendiri. Sendiri. Sendiri.
Terbagi bahagia. Menyulut luka yang paling dalam
Kau begitu mesra, begitu mesra dengannya.
Meraut cinta yang baru, kali ku membeku sunyi
Diri. Sendiri meradang benci, biarlah ku pasrah
Dan berhenti disini. Berhenti mencintaimu
25 September, 2021
Willy shayudana
Kisah dan peristiwa
Sepanjang pertempuran jiwa; lalu badan bergema
Kencang lurus. Terkulit kisah dan peristiwa
Pandang gerah pada taman sekolah
Berhubung suatu cinta - suka tertajam mata
Saling menengok luka dan peristiwa
Ku kira takdir berkawan dan satu zat padaku
Suatu yang indah tiba pula hitam
Kering di permukaan suara yang memisah diri
Meminta cinta, segarang mulutku terbagi mulutmu
Disanalah segala kisah dan peristiwa
Kenangan kelabu penuh ombak di mata
Berpuluh warna dari segala warna
Kita bercinta bagai kapal tanpa lautan
Terhendus ombak menggaru kisah dan peristiwa
Juga melabuhkan sebentar saja harum karang
Tak berpadan mutiara. Hanya luka dan peristiwa
Kenangan masa itu, terkubur di segala ruang
Lalu kau pergi ?
Aku tak melarang, itu dasar hakmu
Sudah hanya kisah dan peristiwa
Tau juga kita sudah berjarak
Pulaumu bersebrang di Batavia
Pulauku di Paris sumatera
Tapi! Kenangan itu adalah kisah dan peristiwa
Jatungku berdetak pahit, mati di tepi
Air yang keruh terkusut cuaca sepi
Bermimpi pada zaman-
Kau juga kan bersuami, beranak dan bahagia
Sudah kau pilih dermaga jiwa
Sedangkan tubuhku terjungkit pada hidup
Udara mengalir dara
Cita-cita bermuram patah lalu bangkit
Mengejar cinta yang tak pasti
Ku pilih segalanya, hanya satu pembuktian
Aku kan berlayar meski terkikis duka
Sampai sejauh dunia memandang tinggi
Saat kematian abadi -
dalam kisah dan peristiwa.
Medan, 27 september 2021
Willy shayudana
Sebuah rumah tua
Kisah berlalu, sudah rupa berwajah jeri
Kelahiran bocah lelaki + tercabik derita
Rumah-rumah tua. Dan lelaki bangkot.
Hujan menyayat suara malam terintih
Terkenang taman depan halaman;
Rumah tua, dan kelahiran bocah lelaki.
Banyak gores belum pudar saja
Langit gelap, merintang dendam
Ku minta sekali lagi?
Kecewa datang bagai ombak besar
Menerjang luka + lagi sebuah rumah tua
Nyerah ?
Mulutku dan jiwaku terjait sekarang!
Setik menyesak. Menyesak.
impossible!
Biarlah ku terbang seperti pesawat Jepang itu
Membom-bardir pearlharbor, tenaga kan hidup bebas.
Kenang rumah tua dan perang merusak cinta
Antara papan dan ruang menyalah paham
Kita musti perbaikan ?
Rawat keluarga seperti cinta dulu
Lari tiada padaku. Ku minta satu hal!
Peggang janji pada api pada cerita yang terbakar
Oleh cinta. Juga Kemurnian tak kan padam!
Disini sebuah rumah tua
Aku bergantung lepas
Luas menjelajah rimba penuh serigala
Merangkak nyata-
Rantai terpanggang semangat muda
Kelahiran bocah lelaki tiba
Beri suatu tempat padanya
Juga darah mengalir kepalan tangan
Muda. Tempat. Dan rumah tua.
Menghebus diri sendiri lagi
Menyisir seluruh rumah dan harap mendekap
Tiada cinta bertepi, juga menyulut benci
Mimpi segala pudar. Tak ternggapai
Sekali penghabisan lain tidak!
28 september, 2021
Willy shayudana
Ingatkan aku jika kau menangis
Ingatkan aku, jika kau menangis di hempas badai malam
Oleh ombak di dada, serta langit mencekam
Aku masih menunggu kau kembali
Seperti dulu, harap beri suatu cinta terjadi
Ingatkan aku, ingat kan saja
Tak lebih, tak kurang, dengan jarak enggan meminta
Angin terpukul rindu, terpendam suara
Bikin Suatu tempat, menjadi kenangan-kenangan
Bulan yang bisu mendekat seperti kutukan
Nyesal tidak menikam rasa atau dengan penghianatan
Menangislah diantara laut yang menyurut muka
Kering juga kapal-kapal untuk bersinggah bahkan berlabuh
Sekali lagi, ingatkan aku jika kau menangis
Seperti bintang-bintang tanpa malam
Seperti luka yang bersarang oleh maut
Seperti ciuman mesra, kau adukan gigimu
Manis nafasmu, kau peluk seluruh jiwaku
Berpacu garang di tengah hujan yang setengah-setengah
Berdentum petir tiada henti di atas sorga
Setengah jam tak terhitung juga
Seperti kau dulu yang mencintaiku
Ingatkan dulu, ingatkan ku jika kau menangis
Oleh api dendam, oleh laut luas tak berujung
Berhenti disini, kapal terbang menjulang tinggi
Jauh megudara cemas
Kisah tak beri tempat lagi
Jauh mengabur, jauh tak tercapai
Oleh rindu yang menangis-
Kita adalah sia-sia yang terpanggang
Cemburu!
29 September, 2021
Willy shayudana
Love in vain blues
Sayangku!
Seperti tulisan-tulisanku yang lalu
Kutulisan di kaca kenangan
di balik stasiun kereta yang gugur itu
Tubuhku dan tubuhmu menari memisah awan-
Awan hitam yang memekat seluruh takdir
Antara pisau yang mencekik duluan
Kau dan aku.
Dalam laut yang kelabu
Tak ada yang mencari cinta
Katakan setiap akhir cinta adalah bencana
Juga di kepalaku yang biru merangkak udara
Seperti yang kau inginkan, ria pada dunia!
Sayangku!
Lihatlah aku, seperti bocah yang menangis
Hanya Merebut mainan murah yang di rampas kawannya
Hanya cuma dan percuma aku menangis
Jika air mata bocah itu menjadi sungai yang kering
Seperti tulisan-tulisanku yang lalu
Yang kutulis sebagai penyair miskin
Sebagai manusia yang jauh dari mobil Mercedez
Hadiah rumah juga impian jaminan tua
Burung camar terbang jauh ke sorga
Tujuh langit dan tujuh malaikat turun menanti giliran
Begitulah kata pembuka agama
Yang mesum di ujung gang rumah mertua
Seperti kanibal perempuan terokang pistol
Laki-laki tua. Berbekal hidung buaya di KerLip bintang
Angkasa.
Katanya: “bayar saja biaya semaumu,
tapi tak mencukupi juga harga susu anakku”
Hari ini atau hari esok
Kebutuhanlah yang utama
Toh, tak ada yang menanggung?
Sayangku!
Seperti tulisan-tulisanku yang lalu
Kesedihan adalah tanggung jawabku
yang terus menganggu tidurku dan tidurmu
Oleh wajah setan-setan yang mati di peceran!
Karena mabuk! Juga
Karena lobang pantat kita di koyak pendusta!
Tak ada yang mencari cinta-
Seperti kita, meradang luka
Yang akhirnya mati jua pada kemiskinan!
9 oktober, 2021
Willy shayudana
Desauda
Aku katakan
Pulang
Dalam cahaya
Sajak AAS
Dari jauh cinta membengkak di jiwaku
Udara menggantung rendah
Usia kelak bertabur ke depan
Pada kerja pertama, kawan!
Gudang tua kita bayangkan, terlucut tenaga
Masa hilang ke masa lain tiba
Kedepan sekali terbaring badan
Peras jalan menyolong usia
Memikirkan perempuan bikin bengkok kepala
Ku pikir pada kawanku: “toh kita tidak meminta"
Selepas kawin kau coba kemudi, kita kerbo jadi binasa
Di ikat waktu!
Uang sepuluh jam berdetak saling menengok
Jeru mata belokan kita, yang dunia bikin terkupak
Asal tau saja! Asingkan cita bertabur kedepan!
Negara yang kita ingat: “berhadap mulut seribu”
Lupa mereka mengunyah pinggang pada kawanku,
Nyeri meredam dada merengang usia dulu.
2022
Willy shayudana
Komentar
Tulis komentar baru