ke muara sungai mana akan kutumpah
lelehan wajahmu
yang menahun membanjiri mataku?
patahan-patahan bayangmu
masih kupapah ke sepenjuru arah.
melintasi curaman-curaman sunyi
serta segala tikungan-tikungan sepi yang menggerjaji
di sini. di desemberku yang ke dua puluh enam,
aku, letih, mengeja pelaminan
yang tak kunjung pulih dari kutuk sendiri
memang, akulah
juara atas segala tahta sunyi,
juga maha raja
di antara para pengoleksi luka-luka matahari
makanya, berbagai gelar sunyi
dan lencana luka bertaraf semesta
telah bertabur di dadaku
rasaku, waktu nyaris hangus terbakar,
dan, serasa esok
telah tinggal hanya semenit
ini: malam tahun terakhir bagi debar jantungku.
debar yang paling petir,
serta rindu yang paling menggasing
henti dulu. lajumu:
o bulan sabit yang membabibuta,
yang menjalar.
jangan dulu terobos pintu subuh!
sebelum kucerabut ulang segala duri
yang masih menancapi segala mimpi
agar esok,
saat bayi fajar mulai belajar membuka mata:
tak kan lagi kugendong duka-duka semalam.
dimana aku
tak kan lagi lelaki:
yang gemar memaki jalan dengan cemeti rindu
Samosir topi tao, Desember ’05
Komentar
Tulis komentar baru