Skip to Content

Cacing Tetaplah Cacing

Foto Asmuni

CACING TETAPLAH CACING

 

“Waw…, dunia permukaan memang selalu mengagumkan, mahakarya Tuhan yang begitu indah”.

 

Setiap kali cacing keluar dari dalam tanah, kalimat-kalimat kekaguman akan keindahan dunia selalu saja tercurah dari mulutnya dengan begitu deras. Dunia dengan keberagaman warna, rupa dan rasa memang sangat indah, karena Tuhan menciptakan semesta ini dengan cinta yang sempurna. Tak ada cinta yang sempurna, sesempurna cinta Yang Maha Sempurna. Segala keindahan dunia permukaan benar-benar selalu mampu menghilangkan kepenatan dalam dirinya. Keindahan-keindahan dunia permukaan terlihat jelas, karena mentari pagi telah menebarkan cahayanya. Udara pagi yang segar membawa harumnya aroma bunga-bunga. Nada-nada riang dari burung-burung cantik yang menyambut pagi benar-benar menyempurnakan relaksasi jiwa cacing yang lelah. Cacing muncul ke permukaan memang untuk refresing, melepas lelah dan penat, setelah sekian lama menjalankan tugasnya sebagai penyubur tanah. Pekerjaan cacing bukanlah pekerjaan yang mudah, karena tanah semakin rusak, rusak karena zat-zat kimia yang digunakan manusia, sebagai realisasi dan reaksi modernisasi. Modernisasi yang selalu mengancam alam, sehingga kerusakan dan pengrusakan kerap terjadi. Berbagai bencana alam, cuaca yang tidak jelas dan perubahan suhu udara yang ekstrim adalah bahasa alam yang ditujukan untuk manusia, bahasa alam yang mungkin belum dimengerti oleh manusia. Entah belum dimengerti, entah tak mau mengerti.

 

“Hai cacing, apa kabar, wah…, lama baru kelihatan”.

 

Seekor ulat bulu tengah asik bertengger di sehelai daun bayam liar yang tinggal separuh, karena yang separuhnya lagi telah habis dimakannya. Ulat bulu itulah yang tadi menyapa cacing. Ulat bulu itu berwarna hitam, dia sahabat cacing.

 

“Hai ulat bulu sahabatku, alhamdulilah kabarku sangat baik, wah…, lama tak bertemu kau makin menyeramkan saja, hahaha…”.

 

“Ah kamu cacing, masih suka bercanda saja, senang bertemu denganmu lagi cacing”.

 

“Hayo…, kangen ya…”.

 

“Iya, habis selama kamu di dalam tanah, aku tidak ada temannya, kan cuma kamu yang mau berteman denganku”.

 

“Makannya…, jadi binatang jangan menyeramkan, lihat bulu-bulu kamu yang runcing dan berwarna hitam itu, menakutkan, makanya binatang lain takut sama kamu”.

 

“Yah…, mau bagaimana lagi, sudah kodrat, mau tidak mau harus diterima, kita harus ikhlas dan bersukur, kalau tidak kita berdosa, karena tidak tahu berterima kasih, karena Tuhan menciptakan kita semua dengan cinta, di balik kekurangan pasti ada kelebihan”.

 

“Wuih…, tambah pintar saja kamu”.

 

“Aku pintar seperti ini berkat kamu”.

 

“Kok berkat aku?”

 

“Ya iya dong, kamu telah menyuburkan tanah di sekitar sini, hingga semua tumbuhan tumbuh dengan subur, sehingga daun-daun yang aku makan bergizi tinggi dan rasanya sangat enak, membuat aku selalu lahap saat makan daun-daun di sini, jadinya aku pintar deh”.

 

“O…, hehe…, kok kamu tidak berterimakasih sama aku”.

 

“O iya, terimakasih sobatku yang lembek dan menggelikan, hahaha…”.

 

Lama tak berjumpa, membuat pertemuan mereka begitu hangat. Mereka begitu asik berbincang-bincang dan bercanda ria. Mereka saling bertukar cerita. Lama tak bertemu tentunya banyak cerita yang tersimpan dalam memori otak mereka. Humor-humor segar membuat tawa mereka kerap terdengar. Suasana di tempat itu menjadi riang karena mereka. Namun keriangan itu terhenti sejenak. Mata mereka menangkap sesuatu di langit, langit yang sedang berwarna biru langsat, yang disinari mentari pagi yang masih hangat. Di langit sebelah barat ada seekor burung yang sedang terbang pelan. Melayang-layang seakan tengah menikmati udara bebas yang segar di atas sana. Seekor burung yang gagah, dengan paruh dan kuku-kuku yang terlihat kekar, menambah kegagahan dan pesonanya. Terbangnya yang melayang pelan terlihat begitu santai, tapi bila melihat matanya, tak terlihat santai sama sekali. Matanya yang hitam nyalang begitu tajam. Matanya tengah mencari, melempar pandang jauh ke bawah, ke hamparan alam liar tempat tersimpannya hidangan-hidangan segar kesukaannya. Tak lama kemudian gerakan melayang burung yang dilihat cacing dan ulat bulu itu berubah menjadi gerakan meluncur, menukik ke bawah dengan cepat. Setelah mencapai bawah burung itu langsung terbang ke atas kembali. Ketika terbang ke atas terlihat ada sesuatu yang dicengkram kuku-kuku kakinya yang kuat dan tajam. Burung itu terbang ke arah timur, di mana di sana ada hutan belantara, dan burung itupun menghilang ke dalam hutan itu.

 

“Waw…, aku baru lihat makhluk yang sebegitu gagah, sangat rupawan, sangat jelas terlihat kekuatan di setiap bagian tubuhnya, luar biasa”.

 

Cacing benar-benar terpesona pada burung itu.

 

“Akh…, biasa saja, di dunia permukaan banyak makhluk kuat”.

 

Cacing tak pedulikan ucapan ulat bulu.

 

“Hai ulat, makhluk apa tadi”

 

“Burung”, jawab ulat dengan sedikit ketus, ulat merasa jengkel karena ucapannya tadi tak dipedulikan oleh cacing.

 

“Aku tahu itu burung, maksudku burung apa”.

 

“Itu burung elang, dan yang dibawanya itu adalah tikus, makanannya”.

 

“Elang…, betapa senangnya jadi elang, kuat, bisa terbang, matanya tajam, dia bisa pergi kemanapun dia mau, tanpa takut siapapun atau apapun, tak ada yang berani sama dia”.

 

“Huh…, baru lihat elang, bagaimana kalau lihat harimau, buaya, ular, komodo dan masih banyak lagi”.

 

“Akh…, tak mungkin ada yang lebih hebat dari elang, elang adalah makhluk yang sempurna”.

 

“Hey…, hey…, kagum boleh-boleh saja, tapi jangan berlebihan begitu, di dalam dunia fana ini tak ada yang sempurna. Ingat…, di balik kekurangan pasti ada kelebihan, begitu juga sebaliknya, di balik kelebihan pasti ada kekurangan”.

 

“Ya…, ya…, terserah kaulah”.

 

Cacing senyum-senyum sendiri, sembari melihat ke arah menghilangnya burung elang pujaannya. Ulat bulu menjadi kesal karena tak dianggap oleh sahabatnya itu. Ulatpun tak peduli, dia lanjutkan sarapannya, melahap daun bayam yang berwarna hijau segar itu.

 

“Bagaimana ya caranya jadi elang”.

 

“Waduh…, mulai tidak waras ini mekhluk lembek”.

 

“Kenapa?”.

 

“Mana ada cacing jadi elang, cacing ya cacing, tidak bisa jadi elang”.

 

“Kenapa tidak bisa, kamu saja bisa jadi kupu-kupu”

 

“Ya beda cacing…, kami bangsa ulat bisa menjadi kupu-kupu karena menjadi kupu-kupu adalah cara kami berkembang biak, ulat dan kupu-kupu itu satu, sedangkan cacing dan elang adalah dua jenis hewan yang berbeda”.

 

“Akh…, aku tak peduli, yang jelas sekarang aku merasa yakin kalau hewan apapun bisa berubah menjadi hewan apapun, sudah banyak contohnya, ulat jadi kupu-kupu, kecebong jadi katak, rayap jadi laron. Kalau hewan-hewan lain yang tidak berubah, itu karena mereka tak tahu caranya, atau karena tidak mau berubah. Aku harus cari tahu caranya”.

 

“Janganlah kau terobsesi dengan hal yang tak kau mengerti, hiduplah dengan apa adanya sobat, semua ada takarannya masing-masing, Tuhan menciptakan semuanya dengan takaran dan tempat yang seharusnya. Tuhan menciptakan kita dengan segala kelebihan dan kekurangan, lebih baik kita maksimalkan kelebihan kita, dari pada kita memaksakan diri untuk menghilangkan kekurangan kita.

 

“Bukankah Tuhan memerintahkan kita untuk selalu berusaha menjadi lebih baik”.

 

“Betul…, tapi bukan berarti kita boleh merubah kodrat dan menghalalkan segala cara”.

 

“Siapa yang menghalalkan segala cara, aku mencari tahu cara manjadi elang itu tidak sembarangan, aku mencari cara yang benar”.

 

“Cacing…, merubah bentuk fisik hanya untuk sekedar telihat rupawan, apalagi kalau  dengan niat jahat, itu tidak dibenarkan oleh Tuhan, dosa…”.

 

“Alah…, sudahlah, membahas ini denganmu tak ada habisnya, lama-lama waktu liburanku di dunia permukaan ini bisa habis, lebih baik aku mulai pencarian ini sekarang juga”.

 

“Urungkanlah niatmu sobat, percuma, tak akan bisa”.

 

Cacing sudah tak berselera lagi menjawab apapun yang diucapkan ulat. Cacing pergi begitu saja, meninggalkan ulat yang masih berseru melarangnya pergi. Sebenarnya cacing sedari tadi berusaha keras agar semua ucapan ulat tak masuk ke otaknya, agar otaknya tak terpengaruhi ucapan-ucapan ulat. Ego cacing telah mencapai puncak, langkah pencariannya sudah mulai diayun, dan ego mengharamkannya kembali. Apapun yang terjadi dia tak boleh kembali sebelum menjadi elang. Dia takut jika dia kembali dengan tetap berwujud cacing, ulat akan menertawainya. Dia berjalan lurus ke arah hutan, tempat menghilangnya burung elang itu. Cacing berjalan cepat, secepat yang dia mampu. Dia berjalan terus, terus dan terus. Dia berjalan tanpa istirahat, seakan tak pernah merasa lelah ataupun takut. Sampai akhirnya dia bertemu dengan serumpun pohon pisang, yang membuatnya harus sedikit memutar. Saat itu cacing mendengar suara teguran dari arah pohon pisang.

 

“Sahabat cacing…, tunggu…”.

 

Suara itu membuat cacing berhenti. Dia mencari asal suara yang sangat dia kenal itu. Ternyata asal suara itu dari makhluk yang menempel di batang pohon pisang.

 

“Eh, sahabat bekicot”.

 

“Lama tidak bertemu, rupanya kau sudah lupa kalau aku tinggal di sini”.

 

“Maaf bekicot, karena terlalu buru-buru aku jadi lupa padamu”.

 

“Ya sudahlah tidak apa-apa, bagaimana kabarmu cacing”.

 

“Alhamdulilah, kabarku baik, tapi maaf ya bekicot aku sedang buru-buru”.

 

“Buru-buru mau ke mana? Tinggallah di sini sebentar, apa kau tak rindu denganku sobat”.

 

“Tentu saja aku rindu sama kamu, aku juga ingin tinggal di sini, mendengar cerita-cerita lucu darimu, seperti dulu, tapi aku benar-benar sedang ada perlu penting, lain kali saja ya aku ke sini lagi”.

 

“Sebenarnya ada urusan apa sih? Sepertinya penting sekali”.

 

“Kau lihat tidak burung elang yang tadi menangkap tikus”.

 

Ditanya malah balik bertanya.

 

“Ya, aku lihat”.

 

Bekicot menjawab dengan nada bicara yang menggambarkan rasa aneh. Dia merasa aneh dengan pertanyaan cacing. Dia tak bisa menangkap maksud dari pertanyaan cacing, namun otaknya tak sempat mencernanya, karena cacing langsung mengajukan pertanyaan yang ke dua.

 

“Apa kau tahu tempat tinggalnya”.

 

“Di pohon yang paling tinggi dan paling besar di pinggir hutan sana. Kenapa kau menanyakan itu? Apa kau mau menemuinya?”.

 

“Iya”.

 

Mendengar itu bekicot kontan tertawa.

 

“Kok tertawa, memangnya kenapa?”.

 

“Memangnya kau ingin menyerahkan diri, ingin mati, hahaha…”.

 

“Tadi saya ngobrol dengan ulat bulu, dia tak bilang tuh kalau elang suka makan cacing, lagi pula elang itu sudah kenyang makan tikus”.

 

Cacing bicara dengan sedikit ketus. Emosinya sedikit terpancing, karena bekicot menertawainya. Cacing merasa terhina.

 

“O iya ya, elang tidak akan memakanmu, karena elang takut kalau memakanmu perutnya akan sakit, sakit cacingan, hahaha…”.

 

Cacing benar-benar marah. Ingin rasanya dia memarahi bekicot, tapi dia urungkan keinginannya itu, karena dia tak mau membuang waktu lebih banyak lagi. Dia pergi meneruskan perjalanannya dengan hati yang penuh amarah. Di dalam hatinya dia bersumpah, kalau dirinya sudah menjadi elang, binatang pertama yang akan dia makan adalah bekicot. Setelah berjalan cukup jauh, langkahnya terhenti. Ada hewan yang menghadangnya. Hewan itu datang dari atas dan hinggap di pucuk rumput.

 

“Hai cacing, perkenalkan saya belalang, saya binatang pemakan daun”.

 

“Kenapa kau menghadangku”.

 

“Saya tahu kau sedang terburu-buru, tapi sebaiknya kau dengarkan saya dulu”.

 

“Baiklah, cepat katakan, waktuku tak banyak”.

 

“Tadi saya mendengar pembicaraanmu dengan bekicot”.

 

“Tidak sopan”.

 

“Maaf, saya tidak sengaja, kebetulan saya sedang mencari makan di situ”.

 

“Lalu apa yang kau inginkan? Apa kau mau menertawaiku juga”.

 

“Jangan salah paham dulu, sekarang saya menemuimu dengan maksud baik, saya ingin mengingatkanmu, sebaiknya kau urungkan niatmu menemui elang, itu sangat berbahaya”.

 

“Terimakasih atas keperdulianmu. Aku sudah mempersiapkan semuanya, aku yakin aku bisa menghadapi dan bicara dengannya”.

 

“Elang itu binatang buas, dia kejam, semua binatang kecil adalah makanannya. Kalau kau menemuinya sama saja menyerahkan nyawa, kau akan langsung dimakannya sebelum kau sempat bicara”.

 

“Kau tenang saja, dia tadi habis makan tikus yang cukup besar, dia pasti sedang kekenyangan sekarang, dia tidak akan berselera denganku”.

 

“Saya tahu, tadi saya juga melihatnya, tapi tempat tinggal elang itu masih jauh dari sini, akan memakan waktu yang lama untuk sampai di sana, karena kau jalannya lambat, sesampainya kau di sana, elang itu sudah lapar lagi”.

 

“Tenang saja, masih banyak binatang yang lebih besar dari kita, dia akan memilih binatang yang besar, yang bisa mengenyangkannya, sudah…, aku mau melanjutkan perjalanan”.

 

“Ya sudah kalau kau tak percaya dengan saya, tapi bolehkah saya tahu tujuanmu menemui elang itu apa?”.

 

“Aku mau bertanya sama dia, bagaimana caranya menjadi elang”.

 

“Hah…”.

 

“Kenapa? Aneh, kau sama saja dengan ulat bulu dan bekicot”.

 

“Sebaiknya kau pulang dulu, pelajari dulu ilmu pengetahuan tentang kehidupan dunia permukaan, setelah kau mengerti, kau putuskan lagi, mau melanjutkan niatmu ini atu tidak”.

 

“Apalagi ini, sudah, jangan berbelit-belit, apa maksud ucapanmu tadi”.

 

“Cacing…, tak pernah ada sejarahnya, cacing berubah menjadi elang, tidak akan bisa”.

 

“Aku yang akan membuat sejarah itu, dan kau akan menjadi saksi sejarahnya, selamat tinggal”.

 

Seperti dengan ulat bulu dan bekicot, sekarangpun cacing pergi meninggalkan belalang dengan membawa amarah. Hati cacing semakin keras. Mata hatinya menjadi buta, tertusuk amarah dan ego ketamakan. Sumpah serapahnya berhamburan di sepanjang perjalanannya. Begitu kesalnya cacing pada teman-temannya, membuatnya tak perduli dengan apapun. Dia tak takut dengan berbagai macam bahaya yang sangat mungkin merintangi perjalanannya. Karena kemarahanpun membuatnya tak sadar kalau hari mulai siang, dan matahari semakin panas, dia terus saja berjalan. Dia tak sadar kalau panas matahari bisa menghilangkan kelembaban tubuhnya, yang akhirnya dapat membuatnya mati.

 

Lama dia berjalan menelusuri padang rumput yang cukup lebat, sehingga terasa cukup teduh. Tanahnya yang lembab membuat perjalanannya terasa nyaman. Panas matahari tak begitu terasa, karena tidak hanya teduh dari rumput yang lebat, tapi dia juga masih bisa mendapatkan cairan dari tanah lembab yang dilewatinya, sehingga kelembaban tubuhnya tetap terjaga. Namun dia cukup kaget, karena kini dia bertemu dengan dataran berbatu yang cukup luas. Dia menjadi ragu karena keadaan ini.

 

“Waduh…, bagaimana ini, pohon besar itu sudah sangat dekat, tapi…, akh…, kenapa banyak batu sih. Kalau aku memutari bebatuan ini jadi jauh lagi, lewat sebelah kanan atau sebelah kiri sepertinya sama-sama jauh”.

 

Cacing terdiam. Menimbang-nimbang keputusan. Mau memutari bebatuan, dengan resiko perjalanannya jadi tambah jauh dan lama, atau melewati bebatuan yang terlihat panas itu. Dia melihat ke atas, langit masih biru langsat. Dia juga melihat matahari yang terlihat menyilaukan.

 

“Seandainya saja turun hujan, pasti perjalanan ini akan lebih mudah, tapi sepertinya hari ini tidak akan turun hujan, jangankan hujan, awan saja tidak ada, kalau menunggu malam, masih lama”.

 

Keputusan belum didapat, tiba-tiba terbayang wajah teman-temannya. Terbayang hinaan dan ejekan seandainya dia gagal. Terdengar kembali suara tawa bekicot yang meremehkannya. Dan semua itu membuat emosi cacing kembali membungkus sekujur jiwanya. Menutup akal sehatnya. Membuatnya semakin tak sabar ingin segera sampai tujuan.

 

“Sepertinya matahari belum terlalu terik, batu-batu itu juga sepertinya belum terlalu panas. Aku harus bergegas, karena semakin siang matahari semakin terik, dan bebatuan itupun akan semakin panas”.

 

Cacing memilih melewati bebatuan itu. Dia mulai melangkah. Dia awali langkahnya dengan langkah yang pelan, karena keraguan masih sedikit menyelimuti hatinya. Ternyata perkiraannya benar, batu pertama yang dipijaknya masih hangat. Diapun jadi merasa gembira, karena dia merasa keberhasilan sudah di depan mata. Gagahnya dirinya saat menjadi elangpun terbayang.

 

Cacing tak mau membuang waktu lagi. Dia pacu langkahnya secepat mungkin. Sambil berjalan cepat dia memandangi pohon besar tempat burung elang itu tinggal. Dia tak menyangka kalau perjalanannya akan selancar dan semudah ini.

 

“Ulat bulu, bekicot dan belalang, tunggu saja, sebentar lagi aku akan segera kembali dan menemui kalian semua dengan wujudku yang baru, burung elang. Kalian bertiga harus mencatat ini dalam sejarah, cacing berubah menjadi elang, dan setelah seluruh dunia tahu wujud elangku, kalian bertiga akan aku makan, hahaha…”.

 

Cacing terus melangkah dengan cepat. Terus, terus dan terus. Langkah cepatnya masih setabil, namun semangatnya sepertinya mulai kendur.

 

“Kok, tidak sampai-sampai”.

 

Ternyata dataran berbatu itu sangatlah luas bagi binatang sekecil cacing. Namun cacing terlambat menyadari itu. Dia sudah jauh memasuki kawasan berbatu itu. Hampir di tengah-tengah. Percuma kembali, kembali sama jauhnya dengan meneruskan perjalanan. Berjalan jauh di medan yang kering membuat kelembaban tubuhnya semakin hilang.

 

“Air…, aku butuh air…”.

 

Cacing seperti memohon, tapi entah memohon pada siapa, karena di tempat itu tak ada siapa-siapa. Langkahnya mulai melamban. Tubuhnya melemah karena kekurangan cairan. Air bagi cacing seperti udara bagi hewan darat dunia permukaan. Langkahnya semakin lambat, karena tubuhnya semakin lengket, tapi dia terus berusaha untuk dapat melangkah. Dia tak mau kalah dengan keadaan ini.

 

“Aku harus bisa…, aku pasti bisa…”.

 

Namun keadaan semakin parah. Matahari semakin terik dan bebatuan semakin panas. Tak ada satu bagianpun dari bebatuan itu yang mengandung air. Semua air di tempat itu telah menguap karena panas matahari. Dan akhirnya, segala daya yang dimiliki cacing telah habis semua. Tak ada yang bisa diupayakan lagi. Dengan terpaksa cacing harus mengaku kalah. Tubuhnya tak berdaya, melekat erat di sebuah batu yang terpanggang matahari. Pada saat itu, semua wajah hadir di pelupuk matanya, semua suara hadir di gendang telinganya, dan segala kesadaran berkumpul dalam palung hatinya. Dia sadar bahwa kepercayaan dirinya adalah kesombongan, dan kesombongan itu kini telah membuatnya kehilangan segalanya.

 

Indramayu, 07-07-2011

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler