Skip to Content

Hitamku

Foto dwi s

Kluthik... Kluthik...

Kata-kata itu muncul begitu saja, merangkak keluar dari kedalaman otakku, dan berebut tempat didalam ruang sadarku. Karena tak muat, merekapun meluber keluar dari ubun-ubun diatas kepalaku, lalu menetes diatas meja kerjaku. Seketika, para kata-kata itu mengeras, membentuk pecahan-pecahan puzzle dengan berbagai warna. Para puzzle warna yang kemudian menggeliat pelan, lalu bangkit berdiri dan mulai menari, seakan mereka memang sengaja melakukannya untuk menarik perhatianku.

Hmm.. Gerak-gerik para puzzle warna itu tak hanya menarik perhatianku, namun juga cukup menyenangkan bagiku. Mereka menari dan berputar, dengan menjadikan ujung kaki kanannya sebagai tumpuan tunggal, sambil sesekali melambaikan tangannya. Sebagian diantaranya malah mulai berteriak-teriak kepadaku.

Sepertinya, para puzzle warna itu sudah tak sabar menunggu uluran jemari tanganku untuk mengangkat tubuh lucu mereka, untuk kemudian menempatkan mereka kedalam sebuah kanvas lukis yang masih bersih, putih dan polos. Kanvas lukis yang tanpa kumengerti telah ada, berdiri disamping sebelah kiri meja kerjaku. Mungnkin karena para puzzle warna itu merasa bahwa kelak mereka akan menjadi bermakna saat mereka telah terangkai dalam wujud sebuah lukisan, lukisan yang berbicara dalam gambar yang ditampilkannya, lukisan yang berkata-kata.

Hihihihi... Gerakan dan tingkah polah para puzzle warna itu ternyata malah mampu memaksaku untuk mengkreasi sebuah garis lurus mendatar dengan lengkungan mengarah keatas pada kedua ujungnya di celah sempit diantara kedua bibirku. Hmm.. Akupun terpaksa tersenyum dibuatnya. Sebentuk tanya tiba-tiba hadir..

'Harus kumulai dari mana..?' gumanku dalam kebingungan yang seketika melanda.

Kupaksakan diri utk mengulurkan tangan kananku kearah mereka. Seketika itu juga suasana berubah menjadi gaduh dan ramai oleh pekik dan teriakan para puzzle warna yang berebut tempat diatas telapak tanganku. Kuambil beberapa warna sekaligus pada uluran tangan pertamaku dan bersegera menyematkannya kekanvas lukis berbingkai yang masih bersih, polos dan putih semata.

Para puzzle warna itu tampak kegirangan dan benar-benar sudah tak sabar lagi untuk segera mewarnai tempat-tempat yang mereka inginkan pada kanvas lukisku. Hal itu terlihat dari cara mereka mewarnai kanvas kosong. Para puzzle warna itu meloncat dari telapak tanganku sebelum telapak tanganku benar-benar merapat kekanvas lukis. Mereka segera bergulir, lalu memendarkan warnanya ditempat-tempat favorit yang mereka inginkan.

Sejenak kutatap lukisan itu . Ahh.. Hanya beberapa bercak warna tanpa bentuk yang berpendar acak tak beraturan saja, sesuatu hal yang tentunya belum bisa kutangkap bentuk yang hendak ditampilkannya..

Kualihkan tatap pandangku keatas meja dimana masih terdapat banyak puzzle warna aneka rupa disana. Seketika, suasana hingar-bingar itu kembali datang. Lagi-lagi senyumku kembali mengembang sempurna demi melihat tingkah-polah para puzzle warna yang semakin aktif mencari perhatianku. Suasana yang lebih riuh dari keriuhan sebelumnya. Mereka tak hanya menari karena sekarang mereka malah melompat-lompat sambil terus berteriak dengan tatap pandang penuh harap, yang tepat mereka arahkan kepadaku.

Sedikit kurendahkan kepalaku. Hihihihi.. Kali ini tak bisa kutahan tawa kecil yang terlepas begitu saja dari bibirku. 'Harus kuakui bahwa kalian telah benar-benar menghiburku kali ini..' gumanku dalam hati. Segera kurapatkan dan kuulurkan kedua belah telapak tanganku secara bersamaan keatas meja. Dengan begitu, aku berharap akan dapat membawa lebih banyak lagi puzzle warna untuk kusematkan kekanvas lukisku.

Kuarahkan kedua belah telapak tangan yang sudah kuposisikan sedemikian rupa itu menuju permukaan meja. Tanpa ada yang mengkomandoi, para puzzle warna itu bergerak menyingkir untuk memberikan ruang pada telapak tanganku. Namun sesaat kemudian para puzzle warna itu segera berebut naik keatas telapak tanganku.

Beberapa diantaranya terpaksa harus terjatuh lagi karena memang tak ada lagi tempat yang tersisa. 'Aduh..' Simerah malah sempat menjerit kecil, merasa kesakitan saat tubuh mungilnya terjepit diantara jari kelingking dan jari manis tangan kiriku. Kasihan simerah, meski ia telah berusaha, tubuh mungilnya terpaksa harus kembali terjatuh keatas meja saat aku mulai mengangkat telapak tanganku.

Meski kecewa, tapi simerah segera bangkit sambil lemparkan senyum tertahan kearahku. Hmm.. Senyum yang tak kumengerti maksud dan maknanya, namun tetap saja kubalas dengan sebentuk senyum yang sedikit kupaksakan, senyum yang bahkan aku sendiripun tak tahu untuk apa. Terkadang, tidak semua hal diantara kami harus dijelaskan dengan kata-kata karena sebagian diantaranya memang tercipta hanya untuk dimengerti dan dimaklumi saja. Meski tak saling mengerti, gak pa pa juga kali yah.. Mungkin karena bahasa senyuman adalah bahasa yang paling mudah dimengerti untuk saling menghibur dan menguatkan.

Segera kuangkat dan kubawa mereka menuju kanvas lukisku. Seperti yang sudah-sudah, mereka segera berhambur melompat, bergulir sebentar, lalu memendarkan warnanya ditempat-tempat pilihan mereka masing-masing.

Kutatap lagi lukisan itu. Hmm.. Kuhela nafas panjang, lalu kuhembuskan berlahan, lebih panjang dari helaan nafasku. Pola gambar pada kanvas lukis itu mulai terbentuk, namun masih terlalu samar, terlalu dini untuk menyimpulkan makna, maksud dan arti yang terkandung didalamnya.

Untuk yang kesekian kalinya, kuarahkan kembali tatap pandangku menyusuri segenap permukaan meja. Suasana hiruk-pikuk itu masih ada meski tak seramai sebelumnya. Ada sebentuk puzzle warna yang seketika itu juga menarik perhatianku, puzzle itu berwarna hitam.

Tidak seperti puzzle warna lain yang aktif mencari perhatianku, sipuzzle hitam malah memilih duduk terpekur membelakangi disalah satu sudut terjauh meja. Dadaku seketika berdesir. Keringat dinginpun seketika mengembun dikeningku seiring tarikan nafas yang mulai tak tertata.

Dan hitam..

Hitam adalah warna kesukaanku, warna yang masih saja kuhormati hingga kini, warna yang punya andil cukup besar untuk membangun karakter diri dalam proses pendewasaanku. Hitam jugalah yang selalu setia menemani saat-saat kesendirianku.

Inilah hitamku. Banyak orang mempersepsikan hitam sebagai sebuah warna negatif, kelam, suram, gelap, sepi.. Atau hal-hal lain yang berhubungan dengan kejahatan dan segala bentuk keburukan. Tapi aku malah mempunyai pandangan lain tentang sihitam.

Dalam, sebuah kegelapan, kita harus extra hati-hati untuk menempatkan langkah kaki karena kita tak pernah tahu apa yang akan kita jejak, apa yang akan kita tabrak. Hmm.. Tentu saja kita butuh lentera untuk memandu langkah kaki kita. Tapi ingatlah.. Saat kegelapan mengurung, mata kita menjadi jauh lebih peka terhadap cahaya, sehingga titik-titik cahaya gemintang dikejauhanpun akan tertangkap lebih indah, bahkan bibit-bibit temaram milik sang pagipun akan tergambar lebih indah dan nyata, sesuatu hal yang mustahil terlihat kala benderang meraja.

Kesedihan, kedukaan, dan rasa kehilangan mendalam.. Memaksa diri untuk merenung, kemudian mengingat hanya pada kesenangan-kesenangannya saja, sesuatu hal yang pada akhirnya mengendapkan sebuah pemikiran untuk lebih menghormati dan menghargai titik-titik keindahan dari lingkungan, alam dan orang-orang disekitar kita.

Kusapa sihitam diujung meja.. 'Hoe.. Ada apa denganmu wahai hitam..?' kali ini dengan nada suara yang pelan dan lembut. Sihitam menoleh pelan, hanya memastikan lewat lirikan ekor matanya saja untuk kemudian melenguh sebentar sebelum akhirnya kembali membuang tatap pandangnya menuju kejauhan, kembali diam tanpa menjawab tanyaku.

Hmm.. Aku tersenyum sendiri, senyum yang sebenarnya sedang berusaha kusembunyikan darinya, senyum yang sebenarnya lebih kutujukan pada diriku sendiri sebagai wujud permakluman dariku. Ya.. Aku memang telah paham betul akan perangai dan tabiat sihitam, sangat mengerti dan memakluminya. Akupun terdiam dan tak berkata-kata lagi. Tapi aku tak mau menyerah begitu begitu saja dan mulai berpikir untuk membuka komunikasi dengan sihitam. Entah apa yang ada dalam pikiran sihitam, aku tak tahu. Bisa jadi ia merasa terabaikan, atau mungkin cemburu. Tapi aku tak peduli dan tak hendak bertanya tentang hal itu.

Ku ulurkan jemariku menuju sihitam diujung meja. Kubulatkan pupil dikedua mataku kearah puzzle warna yang lain sebagai sebuah isyarat berbunyi.. 'Keep silence please..' Dan mrkpun segera paham dengan bahasa isyaratku sehingga suasana berangsur menjadi hening.

Kusentuh dengan pelan pundak bagian belakangnya dengan ujung jari telunjukku, kuusap dengan lembut rambut sebahunya, lalu kubimbing ia untuk berdiri berbalik badan menghadapku. Senyumku segera mengembang saat tatap mata kami beradu, namun sihitam buru-buru membuang muka dengan tampilan senyum tak penuh yang lebih layak disebut cemberut dibibir mungilnya.

Meski sihitam menekuk sedemikian rupa wajah innocentnya, hatiku tetap saja bersorak saat sihitam tak menolak ajakanku, yang segera kubimbing menuju telapak tangan kiriku. Kuangkat ia dengan pelan dan hati-hati, sengaja kudekatkan kearah wajahku, tapi sihitam masih saja diam cemberut, sambil terus saja memandang kebawah untuk menghindari beradunya tatap pandang kami.

Dengan sebuah gerakan yang cepat dan tiba-tiba, kutiup ia tepat pada wajah lucunya, hingga helai rambut sebahu dekat telinganya turut bergoyang karenanya. Kembali tatap mata kami beradu. Tatap pandang yang sinis pada awalnya, namun hal itu tak berlangsung lama saat senyum malu-malu mulai menguncup sebelum akhirnya merekah juga dibibr mungilnya. Senyuman yang seketika itu juga memuaskan rasa hatiku.

Kemudian kubawa ia menuju kanvas lukisku. Berbeda dengan para puzzle warna yang telah memendar sebelumnya, sipuzzle hitam malah terkesan enggan meninggalkan telapak tanganku. Ia hanya berjalan pelan saat ujung jemariku menyentuh kanvas lukis, lalu berhenti diujung terjauh jemariku untuk menoleh sebentar kepadaku hingga akhirnya anggukan kepalaku memastikan jejak langkah pertamanya dikanvas lukis.

Sama seperti para puzzle yang lain, sihitam juga bergulir pelan untuk kemudian memendarkan warnanya diruang kosong yang masih tersisa. Dengan cerdik, ia mengambil tempat yang lebih luas disudut dan sisi-sisi luar kanvas lukis. Sekali lagi sihitam telah menunjukkan perannya untuk selalu berusaha memagari dan menjaga perwujudan lukisanku yang semoga kelak akan indah adanya. Hitam yang selalu membatasi, menjaga dan menununtun langkahku, agar langkah kakiku yang akan datang akan senantiasa terjejak hanya dijalan kebaikan. Hitam yang senantiasa mengingatkan agar aku tidak berbuat sesuatu yang tak baik.

Kutatap lagi lukisan itu lebih dalam. Hmm.. Kehadiran sihitam telah mampu mencerahkan warna-warni yang telah memendar sebelumnya. So.. Bagaimana dengan puzzle warna yang masih tersisa..?

Tentu.. Tentu aku akan menyematkan kalian semua, tapi tidak sekarang. Bisa jadi esok atau lusa, bisa juga bulan atau tahun yang akan datang, entahlah.. Tapi yang jelas itu pasti. Karena walau bagaimanapun aku tetap butuh warna-warni itu untuk menyelesaikan lukisan itu yang semoga saja kelak bisa selesai dan memiliki makna mendalam dalam kebaikan.

Amin..

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler