Skip to Content

terasing

Foto dwi s

Pagi yang beranjak, disisi sebuah tebing tinggi, tepian telaga.

Sebatang tanaman tengah sibuk meratapi takdir yang ditimpakan kepadanya. Takdir yang sedang berusaha ia pahami dengan segala keterbatasannya, takdir yang telah membebani, dibeberapa tahun terakhirnya. Terkadang, ia merasa iri kepada tanaman-tanaman lain sejenisnya dikejauhan, yang hidup bergelimang kesenangan saat para manusia mengurus mereka dengan baik.

Para manusia itu memang telah memanjakan mereka dengan makanan yang lezat berupa pupuk yang mereka berikan secara periodik, menggemburkan tanah-tanah disekitar mereka untuk memudahkan akar-akar mereka menyerap sari makanan, dan menyirami mereka dengan kesegaran air pada tiap-tiap pagi dan menjelang sore hari. Sangat bertolak belakang dengan apa yang sedang dialaminya kini.

Dirinya adalah sebatang tanaman yang terasing ditebing tinggi, dengan lingkungan yang sama sekali tak memungkinkan baginya untuk bertumbuh dengan baik. Meski begitu, ia masih bisa bersyukur karena Allah SWT Sang Pemilik Semesta masih berkenan menjaga dan merawatnya, meski dengan segala keterbatasan, paling tidak untuk sekedar membuatnya tetap bertahan hidup.

Pagi yang indah...

Awan berarak menggumpal tak beraturan memenuhi seluruh ketinggian langit sebelah timur, membuat sibuk sang matahari untuk menyelipkan sinarnya, menembus celah awan, lalu menyembulkan senyum hangatnya kepada seluruh makhluk penghuni semesta, untuk membuka dan mengawali hari. Tak pernah berubah, selalu saja begitu dan akan terus seperti itu. Mungkin memang begitulah caranya untuk menghadirkan harapan baru kepada seluruh makhluk penghuni semesta.

Pagi itu, sebagian sinarnya tertahan pada gumpalan awan tebal berarak. Namun sebagian sinar yang berhasil menemukan celah diantara awan segera menerobos kepekatan awan untuk menghadirkan lukisan alam yang sedemikian indah, laksana tirai besar yang menggantung diatas langit dengan motif larik-larik sinar tebal tipis tak teratur diketinggian langit sebelah timur.

Angin yang berhembus pelan, menyentuh permukaan air telaga yang tenang, untuk bangunkan riak-riak kecil air dipermukaan yang menggeliat malas, meliukkan tubuhnya sebentar seolah tak rela tidur lelapnya terganggu. Riak air yang sebentar kemudian menyerah pasrah, tak kuasa menolak kehendak alam saat lambaian sinar mentari pagi, menyentuh tiap-tiap ketiak ditubuh mungil mereka. Merekapun segera bangun dengan keriuhan baru yang mereka wartakan dengan memantulkan sinar matahari secara bersamaan, mengerjap menyelimuti hampir dua pertiga bagian permukaan telaga.

Sebuah keindahan semesta yang tentu saja membuat setiap mata yang memandang kehilangan kata-kata untuk menggambarkan segala pesonanya. Sebentuk senyum tak sempurna mengembang dibibirnya. Harus diakui bahwa ia masih tetap membutuhkan sinar dan kehangatannya untuk tetap bertumbuh, namun ia juga tak bisa bohong menghadapi kenyataan bahwa menjelang siang hingga petang nanti, ia harus bersiap diri menerima paparan panas menyengat yang menyakitkan dari sinar itu. Sebuah konsekuensi yang ia pikir cukup adil dan logis, sesuatu hal yang tak akan ia permasalahkan dengan segenap sadar yang masih dimilikinya.

Dilayangkannya tatap pandang menuju hijau dikejauhan, hijau diseberang telaga, tempat dimana dulu ia pernah dilahirkan. Angannyapun seketika terbang, melayang jauh mengunjungi sebuah periode waktu yang telah silam, pada sebuah ruang kenang, dimana banyak peristiwa penting tak terlupakan dalam hidupnya telah sengaja ia simpan disana.

Dulu..

Dulu ia pernah tinggal dikebun subur itu. Bertumbuh dan mendewasa dalam limpahan kasih sayang tak terbatas dari orang tuanya. Mereka merawat dan mendidiknya dengan baik, sekaligus membekalinya dengan makanan yang menyelimuti sekujur tubuhnya supaya kelak ia bisa terus melanjutkan hidup saat ia terlepas dari tangkai kedua orang tuanya.

Hingga suatu ketika, seekor burung pipit yang cantik telah mengambil keseluruhan tubuhnya, dengan mematahkan secara paksa tangkai buahnya, lalu menerbangkan tubuhnya menuju kejauhan. Beruntung bahwa saat itu tubuhnya telah menjadi sebutir benih yang keras sehingga siburung pipit cantik hanya bisa memakan dan mengambil daging buahnya saja, daging buah yang sebenarnya adalah cadangan makanan yang diperuntukkan baginya. Sebutir benih yang kemudian ia jatuhkan begitu saja pada sebuah tebing tinggi.

Dari sinilah kerasnya perjuangan hidup telah dimulai. Sebuah tempat dan suasana baru yang sangatlah asing baginya, lingkungan yang tandus dan kerontang, sangatlah bertolak belakang dengan apa yang pernah dituturkan orang tuanya dulu tentang kehidupannya kelak yang katanya akan penuh kedamaian, sama seperti hidup yang pernah mereka jalani.

Sebutir benih telah terasing, sendirian ditebing tinggi. Paparan panas sinar matahari harus diterimanya sepanjang hari. Hembusan angin yang lebih kuatpun harus ia lawan sendirian. Tubuhnyapun tumbuh tak sempurna, melintir dan juga kerdil. Keterbatasan makanan ditebing tinggi itu memaksa akar-akarnya bekerja lebih keras untuk memecah, menyelinap dan menelisik celah sempit diantara batuan padas yang keras demi sekedar menemukan dan memungut titik-titik kesegaran yang terjebak didalamnya.

Alam dan lingkunganlah yang membuat kemampuan dan kekuatan akar-akarnya menjadi sedemikian kuat, sebuah kemampuan yang belum tentu bisa dilakukan oleh tanaman lain sejenisnya yang terbiasa hidup ditanah lembut dan basah.

Hingga pada suatu ketika..

Bencana datang saat wabah penyakit yang ganas menyerang kebun dimana keluarga dan sanak kerabatnya tinggal. Celakanya, ternyata para manusia itu tak mampu mengusir wabah penyakit itu. Wabah yang secara cepat dan brutal menyerang bagian akar tanaman-tanaman sejenisnya dikebun itu sehingga mereka kehilangan kemampuan untuk menghisap sari makanan dari dalam tanah.

Satu demi satu tanaman sejenisnya bertumbangan, tersungkur mencium tanah, lalu mati. Pekik teriakan penuh rasa kesakitan terdengar jelas ditelinganya saat angin senja yang dingin dan lembut mulai menitipkan potongan-potongan kabar tentang tanaman sejenisnya diseberang telaga dengan menyelipkan kabar berita itu diantara ruas-ruas dedaunanya. Wabah penyakit yang sedemikian ganas karena ternyata wabah penyakit itu mampu membunuh tanaman lain sejenisnya tanpa sedikitpun meninggalkan sisa.

Wangi busuk aroma kematian meruap pelan kesegala penjuru, merangkak menyusuri tanah, meluruh dan menggeliati permukaan air telaga, menghadirkan suasana hening yang senyap, sepi yang menggidikkan. Bau menyengat yang berasal dari beberapa titik pembakaran diseberang telaga. Para manusia itu memang sengaja membakar sisa-sisa pohon yang telah mati untuk memusnakan wabah penyakit yang masih bersembunyi didalam batang tanaman-tanaman sejenisnya.

Sebenarnya, wabah itu juga pernah mencoba mendekatinya, hanya saja mereka tak pernah bisa menyentuhnya. Bisa jadi karena mereka merasa iba melihat keadaannya dan memilih untuk tidak mengusik. Yang jelas, lingkungan extrim diatas tebing tinggi tenyata memang sangatlah tidak cocok untuk wabah itu sehingga mereka tak pernah berhasil mendekat.

Tanpa terasa, hari-haripun berkumpul untuk bersama-sama mengubah satuan waktu menjadi minggu, kemudian bulan, lalu bilangan waktu itupun telah berubah menjadi bilangan tahun. Kini, para manusia itu menamam tanaman lain yang sangat mirip dengannya.

Sangat mirip karena bentuk fisik pohon, daun, dan buah yang dihasilkan tanaman-tanaman itu nyaris sama persis. Menjadi sedikit berbeda karena ternyata daging buah yang mereka hasilkan, tidak setebal dan semanis buah yang biasa dihasilkan tanaman sejenisnya. Rona wajah ceria para manusia itu kini telah berubah menjadi senyuman tak sempurna, senyuman yang seakan berasa masam demi melihat hasil panen yang ternyata tidak seperti yang diharapkan. Senyum tak sempurna, seperti sisa senyum yang masih ia punya.

Karena hasil panennya tak memuaskan, para manusia itupun mulai berusaha mencari dan menemukan tanaman sejenisku disekitar telaga. Mereka sengaja berpencar agar pencarian mereka menjadi lebih maximal. 'Andai saja mereka tahu bahwa masih ada aku disini, terasing ditebing tinggi..' angan-anganpun seketika berontak untuk menyematkan mimpi dan asa baru dilangit-langit ruang sadar dikepalanya.

Batinnya seketika bersorak saat beberapa orang dari mereka berjalan kearahnya, hingga asapun seketika berkembang dengan sendirinya saat tersiram setetes kemungkinan, kemungkinan bahwa kelak rombongan para manusia itu akan menemukan keberadaannya, membawa serta dirinya, dan merawatnya, sebagaimana mereka merawat dan memperlakukan tanaman-tanaman sejenisnya.

Benar saja, dua orang dari rombongan para manusia itu kini telah berada tepat dibawah naungannya. Sepertinya mereka sengaja beristirahat sebentar disana dengan duduk-duduk dan bersandar pada dinding tebing. Sebisa mungkin ia berusaha berteriak untuk menunjukkan keberadaannya kepada mereka para manusia.

'Hey.. Aku disini, terasing ditebing tinggi, tepat diatas kalian..' teriaknya berulang-ulang.

Namun, sekuat apapun ia berusaha untuk berteriak, para manusia itu tetap tidak bereaksi sama sekali. Sesuatu hal yang beberapa saat kemudian ia sadari sebagai sesuatu hal yang wajar karena walau bagaimanapun juga para manusia itu tak akan bisa mendengar, memahami dan mengerti bahasa diam para tanaman. Ia pun segera berpikir keras untuk menenukan cara untuk memberitahu keberadaannya kepada mereka. Ia cukup sadar bahwa ia tak punya banyak waktu dan ia juga tahu bahwa kesempatan yang seperti ini mungkin tidak akan pernah ada lagi.

Hingga akhirnya, ia pun menemukan cara yang cukup logis dan masuk akal meski ia harus mengorbankan sesuatu demi untuk memetik kesempatan itu. Beberapa lembar daun terbaik sengaja ia pilih, lalu ia guratkan beberapa pesan dipermukaan daunnya dan bersegera menggugurkan daun-daun itu dekat kaki-kaki mereka yang masih bersandar pada dinding tebing.

Keduanya terperanjat begitu pesan-pesan daun yang digugurkannya sampai juga kepada mereka. Merekapun segera bangkit dari duduknya, berjalan sedikit agak menjauh dari dinding tebing, sambil menyatukan tatap pandangnya tepat kearahnya. Kedua orang itu saling berteriak dengan bahasa manusia yang tak ia mengerti, namun senyum mengembang yang terhias dibibir-bibir mereka telah cukup menjelaskan segala sesuatunya, seiring binar penuh harap yang kembali menyala dikedalaman mata keduanya, binar yang selama ini meredup, nyaris mati.

Namun tanpa ia duga, kedua manusia itu pergi begitu saja, dengan langkah kaki tergesa, lalu menghilang dibalik tebing. Ia kecewa.. Sangat kecewa.. 'Apa mereka memang telah benar-benar tak mengenaliku lagi..' gumannya dalam hati. Guman yang kemudian terngiang untuk kemudian terbitkan bibit embun sudut matanya.

Walau bagaimanapun, ia cukup mawas diri bahwa perwujudannya kini telah semakin jauh dari sempurna, batangku kurus dan melintir kerdil, dedaunannyapun berukuran jauh lebih kecil dari ukuran yang seharusnya, jadi sangatlah wajar jika kedua manusia itu tak lagi mengenali dirinya.

Namun sepertinya ia telah salah menduga. Tak seberapa lama kemudian para manusia itu datang lagi, kali ini dengan membawa sepasang batang bambu yang panjang, dengan banyak pijakan sebagai pemisah sekaligus pemersatu kedua batang bambu itu.

Hohohoho.. Seketika batinnya bersorak riang untuk hadirkan debar berbeda didalam dadanya, saat harapan itu kembali datang, harapan yang semakin menguat kala para manusia itu meletakkan tangga bambu itu tepat kearahnya, dan salah seorang diantara mereka segera menapaki satu demi satu titiannya, memanjat semakin tinggi dan bergerak semakin mendekat.

Badannya sempat bergetar saat sentuhan pertama makhluk bernama manusia itu menyentuh tubuhnya, terasa begitu lembut dan hangat dikulit batangnya. Dengan cekatan dan berhati-hati, manusia itu berusaha memecahkan batuan padas untuk membebaskan akar-akarnya yang terjepit diantara celah sempit batuan padas. Pedih dan perih harus ia terima saat beberapa bagian akar harus ia relakan tertinggal dalam jepitan batuan padas.

Bebarapa bagian terluar akarnyapun terpaksa harus terkelupas saat gesekan dan benturan dengan kerasnya batuan padas tak lagi bisa terhindarkan. Meski penuh dengan rasa sakit, sebisa mungkin ia berusaha menahan segala perih itu karena sebuah keyakinan yang bertumbuh didalam dirinya telah menuntun segala ego diri untuk senantiasa menunduk pasrah atas segala takdir dan kehendakNya. Sebuah keyakinan bahwa kelak ia akan beroleh penghidupan yang lebih baik bersama mereka, para manusia.

Para manusia itu segera membawanya pulang kerumah, lalu menanamkannya pada sebuah pot berukuran besar. Merekapun segera menghadiahinya dengan makanan lezat berlimpah berupa tanah gembur yang sebelumnya telah dicampur dengan pupuk yang telah ditakar dan disesuaikan untuk jenis tanaman seperti dirinya. Perlakuan yang sama terhadap tanaman lain sejenisnya yang dulu pernah mereka pelihara. Para manusia itupun senantiasa menyiraminya dengan air yang segar pada setiap pagi dan sore hari.

Hal-hal penuh kesenangan yang dulu hanya menjadi sebatas mimpipun kini telah menjadi nyata. Ucapan puji syukur tak henti-hentinya menyembur keluar dari mulutnya sebagai wujud rasa terima kasih yang sesungguhnya kepada Allah SWT, Sang Pemilik Segala Kehidupan.

Mereka menempatkan pot besar itu ditaman mungil depan rumah mereka, tepat diperbatasan beranda dan taman bunga depan rumah mereka. Sesuatu hal yang tak pernah ia sangka dan ia bayangkan sebelumnya. Rupanya, bentuk tubuhnya yang kerdil dan meliuk liar tak beraturan malah mampu memberikan kesenangan tersendiri dalam tatap pandang mereka, para manusia.

Ternyata ketidak sempurnaan rupa dan wujudnya malah menjadi sebuah keindahan tersendiri, sesuatu yang unik dalam tatap pandang mereka. Sebagai wujud rasa terima kasih atas segala perhatian dan perlakuan para manusia, ia pun berusaha menghasilkan buah terbaik untuk mereka. Namun, ia harus kecewa, meski ia telah bersungguh-sungguh dalam berusaha, buah yang ia hasilkan tak sebesar buah yang biasa dihasilkan tanaman lain sejenisnya.

Para manusia itu tidak menjual dan memakan buah yang dihasilkannya karena sepertinya para manusia itu lebih memilih untuk menjadikan buah yang ia hasilkan sebagai bibit-bibit tanaman baru yang mereka tanam dikebun-kebun mereka. Rasa kecewa yang sempat mengendap didalam hati hari demi hari, berangsur-angsur mulai berkurang demi melihat bibit-bibit baru yang kemudian bisa tumbuh dengan baik dan normal, seperti yang seharusnya, seperti yang sewajarnya.

'Semoga kelak bibit-bibit baru itu bisa tumbuh dengan baik dan menghasilkan buah dengan ukuran dan cita rasa yang baik, seperti yang seharusnya..' gumannya dalam hati.

Sore itu...

Tidak seperti biasanya, anak lelaki sipemilik rumah ini pulang bersama seorang teman gadisnya. Sebenarnya, ia tak begitu mengenal keduanya karena sianak lelaki sipemilik rumah ini baru dikenalnya dalam beberapa minggu ini saja.

Sepertinya, lebaran tahun ini telah mengantarkan sianak lelaki untuk kembali pulang setelah bertahun lamanya ia tak kembali. Sedangkan sigadis, hmm.. Ia sama sekali belum pernah mengenalinya. Sepertinya sigadis memang baru pertama kali ini dilihatnya. Terjadi sedikit percakapan sebelum akhirnya anak lelaki sipemilik rumah segera bergegas masuk kedalam rumah, meninggalkan sang dara yang sepertinya merasa lebih nyaman berada diberanda rumah yang sejuk.

Sambil tersenyum kecil, sigadis berputar mengedarkan tatap pandangnya, lalu mulai berjalan-jalan kecil berkeliling, masih diberanda depan rumah. Tiba-tiba, sigadis berhenti tepat didepannya, sambil menatap tajam kearah buah yang ia hasilkan. Ia tak suka, dan merasa sangat tidak nyaman berada dalam tatap pandang sigadis yang seolah-olah hendak menelan utuh-utuh buahnya meski buah yang ia hasilkan belumlah matang benar.

Sigadis memalingkan wajahnya sebentar kedalam rumah, lalu meneriakkan kata-kata yang tak seberapa lama kemudian segera dibalas oleh anak lelaki sipemilik rumah dengan teriakan pula. Hmm.. Bahasa para manusia, bahasa yang tak ia mengerti. Seketika itu juga, binar penuh kemenangan bersinar dikedalaman mata sigadis, yang kemudian segera mengulurkan tangannya untuk menyentuh buah yang ia hasilkan, mengelusnya sebentar, lalu dengan sebuah gerakan yang cepat dan tiba-tiba mematahkan tangkai buahnya secara paksa.

Ia meraung, sangat tidak rela jika buah yang ia hasilkan diambil begitu saja oleh sigadis. Mungkin karena baginya sigadis adalah orang asing, bukan penghuni rumah ini. Tak seberapa lama kemudian anak lelaki sipemilik rumah menyusul keluar, kali ini sambil membawa sebuah mangkuk dan sebilah pisau yang sangat tajam. Mereka duduk begitu rapat sambil menikmati daging buah yang ia hasilkan. Sesekali tawa pecah diantara keduanya menunjukkan telah terciptanya suasana penuh kesenangan dan kedamaian diantara keduanya.

Senjapun serta merta menampilkan rona jingganya untuk turut berperan serta menyempurnakan suasana penuh cinta diantara mereka. Rasa ketidak relaannyapun seketika luruh begitu saja, berganti menjadi sebuah rasa sukacita mendalam karena ternyata keberadaannya mampu membawa manfaat dan kebaikan untuk lingkungan disekitarnya. Samar namun tulus, teriring sebait doa, semoga cinta diantara mereka akan senantiasa indah adanya.

Amin..

Apa aku bisa memberi manfaat untuk lingkungan sekitarku..?

Hmm.. Semoga saja..

“TAQOBBALALLAHUMINNA WA MINKUM”, minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir & bathin..

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler