untuk sajak
Menulis dengan tinta fana di pandang fatamorgana,
Seperdelapan usia terpangkas untuk secarik kertas.
Berpesan,
Bersajak tak seperti bersujud nak.
Begitu menengok helai sajadah berludah tak begitu basah,
Serupa itu pembeda agama dengan budaya.
Sujud berupa sajak, sajak sudah jarang bersujud.
Terdengar,
Itukah agamamu sekarang nak.
Begitu Melihat kitab sujud dan kitab sajak,
Seperti itu kau menggunakan hobi dengan mengabaikan nabi.
Sudah saatnya bermalam dengan matahari untuk memintal bulan di esok pagi,
Tergolek pesan ibunda,
Buangkan pena tinta mimpi, agar dirimu terjauh dari secangkir kopi dan sakitmu di kemudian hari.
Ibunda juga seorang pemimpi, tidak dengan pena tinta fana.
Tapi untuk isi hati cita - cita luhur anaknya.
Esok, akankah terjemput pesan yang telah mendaun di ujung bibir ibunda.
Buanglah penamu, sudah saatnya kau mematri pikiran untuk calon istri.
Lekas pasangkan sepatu kulit untuk mengeringkan peluh ayahandamu.
Seperti tangis pengemis, begitulah tangisku.
Tidak akan mendurhakaimu, karena surgaku di bawah tumit sampai ujung jemari kakimu.
Ulak Karang, 25 November 2011
Komentar
Tulis komentar baru