Skip to Content

Keluarga Manusia (Cerpen)

Foto Steven Sitohang

           “Namaku Ianton Adiguna. Seperti teman-teman yang lain, “Adiguna”, nama belakangku ini dari nama seorang ayah, dia adalah seorang yang baik, dia pengacara, sedikit yang aku tahu tentang dia. Istrinya sangat bangga dengannya. Ibuku bernama Mira Putriawan L., itu yang aku lihat di KTPnya. Dan tentu saja ada Adiguna dibelakangnya. Dia seorang ibu rumah tangga yang hangat, dan memiliki senyum yang adalah lukisan terindah milikku. Aku sendiri adalah anak tunggal. Hobbiku adalah menulis dengan tujuan untuk melupakan apa yang aku tulis. Sekian aja ya teman-teman. Terima kasih.”

            Itulah saya, saat memperkenalkan diri pada hari pertama masuk di kelas baru, sekolah baruku. Kira-kira saat itu baru kelas 3 SD. Aku baru bisa baca dan tulis pada tahun sebelumnya, dan saat itu juga aku dapat rasakan kenikmatan menulis. Tapi hingga saat ini, dalam tiap pelajaran, aku hanya akan menjawab setiap soal yang aku rasa aku tahu. Dan jika ada yang tidak, maka baris itu akan tertinggal kosong, tak setetes tinta dari penaku hinggap di situ. Banyak guru tidak suka. Beberapa di antara mereka pernah berkata,

            “Jika kamu mau naik kelas, kamu harus belajar lebih giat”

            Aku rasa, bukan nasihat seperti itu yang aku butuh. Aku belajar, di kelas aku belajar, saat pelajaran olah raga pun aku belajar. Tapi aku tidak ingin apa yang tidak ada harus ada. Aku setia dengan sikapku hingga hari ini. Dan karena itulah aku pindah sekolah, tetapi dengan seragam yang tetap sama. Tidak. Aku tidak sudi saat teman di sekolah lamaku bilang, bahwa aku pindah pasti karena tidak naik kelas. Benar, aku memang gagal, tetapi aku tidak ingin gagal lagi karena baris yang aku kosongkan itu. Pada pelajaran sosial seperti sejarah dan geografi, kesenian khususnya menggambar tidak pernah aku biarkan kosong, tidak sebaris pun. Maka aku minta pada dua orang tuaku untuk carikan sekolah baru, yang guru-gurunya hanya menilai apa yang aku tulis dan aku yakin aku tahu.

            Aku bersyukur bahwa aku memiliki mereka, orang tua yang selalu mencoba mengerti. Sebenarnya pun aku tidak yakin bahwa sekolah baruku itu berbeda, tetapi setidaknya aku melihat muka dari guru-guru baru itu, dan yang terpenting aku menemukan Andy dan Iwan.

            “Kita tidak perlu pindahkan Ian ke sekolah baru. Yang dia perlukan adalah dorongan semangat dari kita”, kata ibu.

            “Biarlah dia belajar sendiri, biarlah dia tahu sendiri mana yang baik dan tidak, dan setelahnya, saya yakin dia pun akan tahu pilihan itu baik atau sebaliknya”, kata Budi Adiguna kepada istrinya.

            Obrolan itu aku dengar pada tengah malam. Iya, hanya karena kegagalan aku itu Budi Adiguna ada di rumah, jarang sekali ia pulang tepat waktu karena kesibukannya. Karena semangatnya. Karena kebaikkannya membiayai sekolahku. Dan membantu kami berdua untuk makan dan minum. Untuk bertahan hidup. Untuk menikmati keindahan rumah sendiri.

            Ibu selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya, juga sama dengan suami tercintanya.  Ayahku yang sampai saat itu aku tahu. Ibu selalu sudah siap dengan sarapannya ketika aku selesai mandi di pagi hari, hingga kini aku duduk di bangku SMA berusia tujuh belas. Makanannya selalu hangat, dan setelah selesai aku siap untuk berangkat, dan sekarang aku di sini. Di rumah teman baikku yang dua orang itu. Satu malam aku menginap di rumah Andy, malam berikutnya aku di rumah Iwan, berikutnya lagi aku bersama Andy lalu Iwan lagi, dan begitu seterusnya. Kedua orang tua mereka sudah mengenal aku dengan baik. Karena itu lah aku diperbolehkan oleh mereka.

            Aku putuskan aku takkan balik lagi ke rumah. Karena itu adalah baris kosong yang sudah tidak sama sekali tertulis. Pagi itu hari minggu yang cerah, sudah waktunya aku memiliki KTP kata Budi dan ibu. Ibu, dia menangis di malam ketika aku hendak pamit. Dia merasa bahwa alasanku masuk akal, dan dia bersedih karena takut aku tak mampu bertahan di luar sana. Budi pun merasakan hal yang sama.

            “Tidak bisakah engkau maafkan ibumu ini, Ian?” katanya malam itu.

            “Menurutku Ibu tidak salah, mungkin keadaan yang memaksa, jadi ibu tidak perlu menyedihkan hal ini”, kataku.

            “Tapi engkau hendak ke mana, anakku?”

            “Ibu pun tak perlu cemas, aku berjanji akan berusaha datang mengunjungi”

            “Tapi, rumah ini pun milikimu, Ian?”, kata laki-laki di sampingnya.

            “Tentang itu tak perlu aku yang menulisnya”

            Pagi itu, di saat aku hendak mengurus hakku sebagai warga Negara Indonesia. Di saat aku ingin mengurus KTPku. Aku melihat surat itu. Akte kelahiran. Aku tak melihat nama "Adiguna" disana. Dan hingga baris ini, dalam karangan ini, tidak ada niatku sedikit pun menulis tentang ibu. Aku hanya ingin melupakan kesedihannya, kesedihanku juga. Aku ingin menulis tentang kebaikan seorang laki-laki bersama kekurangannya dan dirinya sendiri. Aku pun ingin berterima kasih banyak kepadanya.

            Dia sangat mencintai ibuku. Dia bersedia melakukan apapun untuknya. Dia adalah laki-laki utuh. Menurutku dia adalah contoh manusia yang berkeinginan baik tanpa mengharapkan imbalan. Dan aku sendiri. Kebalikannya. Ibu pernah bercerita, bahwa dia lah yang sering mengajariku berjalan saat masih bayi, hingga aku benar-benar menguasai manfaat dari kedua kakiku. Aku pun masih ingat dengan samar bahwa dia juga yang mengajari aku mengendarai sepeda beroda dua. Membantuku di rumah untuk melancarkan membaca buku, dan juga seperti yang aku sedang lakukan ini. Menulis. Menulis tentangnya, Budi Adiguna. Bukan Arianto Lukmansya yang tak aku kenal.

 

(Jakarta, 1 Agustus 2014)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler