Skip to Content

URIP SEPISAN MATI SEPISAN (9)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Malam gelap. Ia sudah tidak bisa melihat jalan. Tapi semangatnya bersama Allah Allah Allah mengajaknya tetap melangkah. Guruh telah bercampur angin. Ia sudah merasakan titik air hujan.

Ia melangkah dalam Allah dan ia mendapat terang dari hutan bambu yang terbakar. Kilat yang berdenyar dibarengi dengan petir menyambar. Namun nyalanya tidak lama karena hujan deras turun. Sisa terang yang ada membawa langkahnya menuju sebatang pohon di pinggir sungai. Pohon itu miring ke sungai. Ada dahan cukup besar untuk dia bisa duduk. Setelah meraba-raba ia bisa membaringkan diri. Karung kosong disisipkannya di celah dua dahan yang agak besar.

Ia berbaring. Petir masih menggelegar. Hujan masih lebat. Ia agak terlindungi dari tetesan langsung air hujan. Dedaunan lebar pohon yang disinggahinya menjadi penahan.

Basah kuyup kehujanan. Badannya mulai menggigil. Ia tidak bisa mengubah posisi badannya. Salah gerak ia bisa jatuh ke sungai yang arusnya menjadi jauh lebih deras.

Ia pasrah. Satu-satunya yag bisa lakukan hanya ini. Telentang. Basah kuyup. Ia mengeraskan gumamannya. Gumamannya makin lama makin keras dan akhirnya gumamannya berubah menjadi nyanyian. Ia merasa indah dalam nyanyiannya sendiri.

“Allah Allah Allah Allah Allah Allah Allah Allah

Allah Allah Allah Allah Allah Allah Allah Allah”

Niat untuk turun dari pohon itu sempat berkelebat dalam hatinya tapi dibuangnya jauh-jauh. Ia sudah tidak memiliki pilihan hidup atau mati.

Ia teringat kepada pesan dari orang yang menunjukkan jalan perempatan kepadanya.

Hujan reda.

Ia memejamkan mata dan dengan kepasrahan penuh, sesuai dengan petunjuk yang diterimanya. Diawali dengan ta’udz dan basmalah ia menggumamkan raja ayat dan mengakhirinya dengan kalimat yang dipilihnya sendiri.

allāhu lā ilāha illā huw, al-ayyul-qayym, lā ta`khużuh sinatuw wa lā na`m, lah mā fis-samāwāti wa mā fil-ar, man żallażī yasyfa'u 'indahū illā bi`iżnih, ya'lamu mā baina aidīhim wa mā khalfahum, wa lā yuīṭụna bisyai`im min 'ilmihī illā bimā syā`, wasi'a kursiyyuhus-samāwāti wal-ar, wa lā ya`duh ifuhumā, wa huwal-'aliyyul-'aīm

Dahan besar pohon waru itu menjulur ke sungai. Batangnya tumbuh menancap erat di tanah lekukan sungai. Tiap kali hujan deras di hulu air sungai naik dan arusnya berperang menggerus tanah lekukan itu. Pohon waru yang gagah itu masih belum menyerah. Akarnya sudah menancap jauh ke tebing dimana ia tumbuh. Mungkin sudah ratusan tahun.

Pohon waru itu tidak rubuh, Hanya semakin miring. Kemiringannya sedemkian rupa sehingga ketika air naik jarak dahan dengan permukaan air hanya sekitar dua jengkal saja. Dan ketika surut jaraknya semakin jauh dari permukaan air,

Pertempuran arus air dengan pohon waru berlangsung seru. Adu gagah. Tapi tampaknya kekuatan air dalam kelembutannya akan memenangkan pertandingan. Hanya masalah waktu.

Hanya masalah waktu dan kekuatan tekad. Begitu juga dengan lelaki hancur, pengembara yang sedang mencari, yang kini terbaring antara hidup dan mati.

Sudah tidak diperdulikannnya berapa kali ia tertidur dan terbangun. Bahkan ia sudah tidak tahu apakah ia sedang tidur atau sedang bangun, ketika ia melihat ular sanca yang melilit pada dahan di atasnya. Ia hanya ingat ini adalah siang kedua yang dialaminya di dahan itu. Kerja otaknya ini siang kedua. Kerja hatinya adalah lapar dan haus. Perutnya terasa melilit-lilit melahirkan butiran keringat di dada dan di wajahnya.

Apa yang bisa dilakukannya selain Allah Allah Allah. Dan dengan itu ia hilang lagi dalam kelelahan pikiran.

Siang pertama ia dibangunkan oleh suara air bergejolak.

Lelaki hancur ini tidak tahu bahwa yang terjadi adalah seekor biawak yang tertipu oleh buaya lapar.

Dan sekarang seekor sanca perlahan melemaskan lilitan. Perlahan merayap. Tubuh meluncur bersamaan dengan bilangan lilitan yang makin pendek. Dan ketika lilitan habis sepenuhnya ular sudah meliuk merayap di tubuh lelaki hancur. Berhenti sejenak lalu terdengar bunyi yang tak dikenal, Kemudian terdengar pergumulan,

Ketika hitungan siang dan malam masih ada dalam ingatannya setiap bangun tidur ia semakin merasakan kesakitan yang luar biasa pada perutnya. Dan ketika ia sudah lupa mana siang malam, ketika hitungan hari dan malam sudah hilang, lelaki hancur ini hilang.

Ia menemukan dirinya berada dalam sebuah kubangan lendir hitam. Entah siapa yang membenamkan dirinya ke dalam kubangan ini. Ia tenggelam dalam kubangan. Dalam ketidaktahuannya tentang kubangan lendir hitam dengan seribu bau jadi satu ia melihat lendir itu berasal dari mulutnya. Lendir itu menyembur sangat cepat dan ia semakin tenggelam. Setiap kali ia berusaha menjejakkan kali ke dasar kubangan semakin dalam ia tenggelam

“Allah Allah Allah Allah  Allah Allah Allah Allah

Allah Allah Allah Allah Allah Allah Allah Allah.”

Ia mendengar suara cemeti berkali-kali. Dalam kubangan itu ia merasa ada sebuah cemeti yang dihentakkan. Entah dimana dan entah oleh siapa. Bersama dengan cetar ujung cemeti yang membahana bagaikan petir ia merasa sakit pada dadanya. Cemeti itu melilit tubuhnya kemudian ia terlempar ke sebuah gua.

Allah Allah Allah Allah Allah Allah Allah Allah

Allah Allah Allah Allah Allah Allah Allah Allah

Gua itu ada dalam kubangan lendir hitam. Ibarat air pada kaleng bocor lendir itu semakin berkurang diserap tanah, dan di permukaan tanah itu ia sekarang berada, di depan gua. Cemeti tanpa pangkal mengangkat tubuhnya dan ia sama sekali tidak bisa menahan hentakan cemeti yang membenturkan kepalanya ke batu penutup pintu gua.

Kepalanya pecah seperti kelapa dihantam godam. Tulang kepalanya menjadi kepingan-kepingan kecil seperti kepingan batok kupasan kelapa. Otaknya teronggok di depan gua berpintu batu. Ia melihat otaknya hitam seperti seonggok tahi kerbau.

Kepalanya terasa sangat sakit dan dalam rasa kesakitannya ia bernyanyi.

Allah Allah Allah Allah Allah Allah Allah Allah

Allah Allah …

Belum selesai nyanyiannya ia melihat otaknya berubah warna, Dari hitam kemerah. Berubah ke kuning, Dan terakhir putih. Setelah menjadi putih. Warna putih otaknya seperti menjadi magnet. Menarik kepingan tulang kepala yang berserakan. Kemudian kepala kembali utuh. Tapi ia melihat warna rambut pada kepalanya menjadi putih. Bukan hanya rambut. Ia melihat tangan dan kakinya berubah menjadi putih.

Dan kini ia melihat karung putih yang disimpannya di celah dahan,

Allah Allah Allah Allah Allah Allah Allah Allah

Bibirnya menyunggingkan senyum. Ingatannya hanyut ke sosok seorang tua yang pernah menyuruhnya berhenti saat ia dalam perjalanan. Orang tua itu mengajaknya berbicara. Berbicara dalam bahasa hanya dipahami oleh mereka berdua.

“Allah?”

“Allah.”

“Allah?”

“Allah.”

“Allah?”

“Allah.”

 “Allah?”

“Allah.”

“Allah?”

“Allah.”

“Allah?”

“Allah.”

“Allah?”

“Allah

 

Tujuh kali orang tua itu bertanya. Dan ia menjawab semua pertanyaan itu tanpa ia tahu jawabannya benar atau salah. Ia tidak punya jawaban lain selain Allah.

Apakah ada jawaban selain Allah jika pertanyannya Allah

Kemudian orang tua itu meraih kepala lelaki hancur dan meniup ubun-ubunnya. Orang tua itu melantunkan Surat Kunci. Setiap selesai satu ayat ia meniup ubun-ubun. Tujuh ayat Surat Kunci tujuh kali ubun-ubunnya ditiup.

Kemudian lelaki tua itu memberinya karung sambil memberi isyarat agar lelaki hancur segera pergi tanpa membuka bibir lagi.

Kembali bibirnya menyunggingkan senyum.

Ia melihat ada jembatan dihadapannya. Sangat panjang terentang di atas jurang. Jurang yang dalam atau jembatan itu di atas mana, di atas apa. Ia melihat seseorang berjalan di jembatan itu. Jembatan itu kadang-kadang tampak terayun. Ada angin karena ia melihat awan atau kabut menghalangi pandangannya,

Lama kelamaan bayangan itu menjadi jelas. Yang datang adalah seorang perempuan. Perempuan itu berkebaya putih berkudung putih, membawa bungkusan. Putih juga.

Tangisnya meledak ….”Allaaaaaaah.”

“Kamu sudah sampai disini, anakku ….” Suara perempuan itu merdu mendinginkan hatinya.

“Allah …Allah …Allah.”

“Duduklah. Ibu akan menyuapimu….”

Lelaki nekad itu duduk. Ia memeluk perempuan itu tapi pelukannya kosong. Hanya ruang kosong yang dipeluknya.

Lelaki sakit ini duduk lalu membuka mulut setelah perempuan itu mengepal sesuap nasi. Tak ada yang lain dalam bungkusan kain putih itu, Hanya nasi. Ia menelan suapan pertama. Suapan cinta yang tak terlukiskan.

Diyah sedang bermanja-manja kepada lelaki gagahnya. Ia membuka mulut ketika lelaku gagahnya menyodorkan sesendok bubur ayam. Bubur hangat yang menghangat tubuh setelah dingin mandi bersama. Berbasah-basah di kamar mandi setelah pertarungan yang panas dan gila.

Menjelang tengah malam lelaki gagahnya datang. Diyah sama sekali tidak cemburu ketika lelaki gagah itu bercerita bahwa ia meninggalkan majikannya tertidur nyenyak kekenyangan.

Diyah malah tertawa cekikikan mendengar lelaki gagahnya membandingkan barang majikannya dengan barang Diyah. Barang majikannya disebut sebagai dodol kedaluarsa dan dodol Diyah adalah dodol hangat yang baru didinginkan setelah diangkat dari kuali.

Ada satu yang bisa dijadikan alasan kenapa ia masih mau memakai barang majikannya selain alasan uang. Barang majikannya belum pernah dilewati kepala bayi.

Lelaki gagah dan Diyah tertawa berderai memecah keheningan. Suap demi suap bubur hangat masuk ke perut Diyah. Setelah itu mangkuk bubur diletakkan dan lelaki gagah itu mendekatkan telinganya ke perut Diyah.

Lelaki gagah tergugah dengan kejadian lama di kampung halamannya. Narti, salah seorang dari empat gadis yang digagahinya memberitahu bahwa ia hamil. Lelaki gagah ini sudah siap bertanggung jawab atas perbuatannya. Tapi kesiapannya berantakan karena tiga perempuan lainnya menyatakan hal yang sama. Awalnya ia heran. Tapi keheranannya lepas karena urutan kejadiannya memungkinkan hal itu terjadi.

Narti yang awal membuka dirinya untuk lelaki gagah ini hanya untuk main-main belaka menawarkan Beidah yang tertarik dengan pengalaman dirinya. Pada minggu yang sama Beidah berdarah-darah dan menangis. Di depan Narti Beidah dimakan.

Beidah dan Narti dengan pengalaman yang sama sering memisahkan diri dari kebiasaan gaulnya di sekolah. Tina dan Prapti yang awalnya hanya ingin tahu merasa penasaran.

Rasa pemasaran ini dijadikan perangkap oleh Narti dan Beidah. Di kamar yang sama, hanya beda seminggu, Tina dan Prapti, sama-sama menangis dan berdarah-darah.

Sakit dan berdarah-darah. Namun candunya merasuk. Hari-hari berikutnya menjadi permainan mereka berlima. Kadang berempat atau bertiga. Jarang berdua. Mereka yang sedang tidak bisa dipakai jadi penonton.

Mereka berempat terlanjur sangat suka minum racun yang dimiliki lelaki gagah, kakak kelas mereka yang sehari-hari selalu dirubung oleh teman wanitanya.

Selain racun yang menjadikan rindu, tampaknya semua wanita sulit untuk menolak lelaki gagah ini. Badan tegap, hidung mancung, rambut ikal. Bahasa lisannya sopan, bahasa tubuhnya santun. Bibir sedang tipis tebalnya. Alis hitam legam. Otot kekar. Kulit putih.

Dengan otot kekar inilah ia menjadi titik pandang hampir oleh setiap wanita saat pertandingan olah raga. Ia smeser voli. Liukan badannya ketika ia menerima umpan lalu mengirim pukulan mematikan sungguh indah. Mencetak poin demi poin tak terbendung.

Entah untuk apa teriakan histeris para penonton wanita. Untuk poinkah, untuk bulu-bulu halus pada betiskah, untuk liukan tubuhkah, atau untuk poin yang dicetaknya.

Ia bagus dalam masalah olah raga tapi banyak kurang dalam pelajaran lain.

Lelaki gagah ini adalah lelaki yang selalu kalah jika ditatap oleh wanita, Dan ini menjadi salah satu yang disukai teman-temannya. Ia selalu menunduk lebih dulu. Lalu berusaha menghindar. Tapi semakin menghindar ia semakin dikejar.

Narti adalah teman wanita yang paling akrab. Rumah mereka berdampingan. Rumah mentereng yang terletak di jalan protokol. Di depan rumah lelaki gagah ini ada papan bertuliskan nama wanita dengan profesi sebagai pengacara.

Narti tidak pernah tahu siapa ayah lelaki gagah ini. Yang pernah Narti dengan adalah dulu ibunya bersekolah di Jerman.

Lelaki gagah itu tidak lama mendekatkan telinga ke perut karena Diyah membuka kesempatan untuk memulai lagi pendakian.

Ketika pagi hampir tiba Diyah mengantar lelaki gagahnya ke pintu. Lalu mengunci pintu dan kembali ke pembaringan mengejar waktu tidur yang ditukar dengan permainan malam.

Malam jahanam?

Perempuan berkebaya putih berkudung putih perlahan menjadi bayangan menipis. Berjalan mundur kembali ke jembatan yang juga menjadi bayangan menipis. Kemudian semua lenyap menjadi dedaunan, pepohonan, rerumputan, semak-semak, dan pepohonan.

Rasa segar seluruh badan setelah lelaki hancur ini disuapi dengan nasi cinta. Namun tiba-tiba merasa tenggorokannya kering. Rasa haus terasa memanggang. Hausnya menjadi-jadi. Ia merasa panas membakar punggungnya. Ada api menyala berkobar.

Lidah apinya mulai menjilat dahan tempat ia berbaring. Dahan waru itu mulai merah menjadi bara. Dedaunan waru itu dijilat api menjadi silalatu membubung tinggi.

Bukan dahan dan daun, Batang waru doyong itu kini mulai memerah bersma lidah api. Dan akhirnya berderak patah. Tumbang ditelan arus air yang sedang meluap. Lelaki hancur hanyut. Dalam air tubuhnya terasa makin panas,

 “Allah Allah Allah Allah … Allah Allah Allah Allah”

Nakhoda jung berteriak memberi perintah menurunkan layar. Abeka trengginas bagai tupai meloncat ke tempat simpul pelepas. Tidak lama kemudian layar tergulung. Makhoda berteriak. Roda gigi terdengar bergerak dan jangkar perlahan tenggelam. Jung dibawa arus kemudian berhenti. Jangkar sudah menemukan tempat menancap di kedalamanan.

Lelaki hancur terapung menjadi perhatian seluruh abeka. Mereka melihat tubuh hangus terapung diayun alun. Dengan jaring tubuh hangus itu terangkat kemudian dibaringkan di geladak. Tapi tubuh hangus itu dilemparkan kembali ke laut.

Kembali abeka berdecak. Kagum bercampur heran. Tubuh hangus itu memantulkan warna kuning keemasan sehingga tampak sebagai bongkahan emas terapung.

Cahaya itulah yang tertangkap oleh nakhoda sehingga ia memberi perintah untuk lego gulung layar dan lego jangkar. Jaring kembali dipakai mengangkat tubuh hitam ke geladak. Kali ini tidak diletakkan di geladak. Nakhoda memberi perintah. Dua abekanya bergerak dan beberapa saat kemudian keluar bersama seorang lelaki yang sudah sangat tua tapi Nampak masih dan sangat gagah, di tangannya ada semacam kayu yang di bagian ujungnya ada jurai-jurai tali.

“Allah Allah Allah Allah … “

Ia pergi meninggalkan geladak setelah berbisik agak lama dengan nakhoda. Nakhoda memberi perintah. Ada seorang bergerak pergi dan kembali membawa kain putih.

Beberapa orang mengeluarkan tubuh hangus dar jaring lalu meletakkan tubuh hangus di kain putih yang sudah digelar di geladak.

Angin tenang, alun tenang, tak ada gelombang. Matahari cerah. Langit biru penuh tanpa awan. Tubuh hangus diangkat ke haluan, dibaringkan pada papan.

Lelaki tua yang tadi berbisik lama kepada nakhoda kembali ke geladak. Ia langsung menuju ke bungkusan tubuh hanyut di haluan. Di tangan kanannya masih ada tongkat berjurai. Di tangan kirinya ia memegang leher kendi.

Bersamaan dengan kucuran air kendi ke bungkusan tubuh hangus terdengar alunan suara. Pertama terdengar sangat halus. Kehalusan suara itu makin menggema. Lalu semuanya bersuara sama. Dinding kapal, tiang layar. Layar, tong kayu yang bertumpuk-tumpuk….semuanya …nelantunkan suara

“Hongngalingalihongngalingalihongngalingalihongngalingalihong …”

Lantunan itu terdengar dipantulkan oleh laut oleh angin dan oleh langit biru.

Hongngalingalihongngalingalihongngalingalihongngalingalihong …”

Papan tempat tubuh hangus itu berada dimiringkan. Dan pada kemiringan yang cukup bungkusan tubuh hangus itu melayang jatuh disambut alun. Perlahan hanyut menjauh dari kapal.

Hanyut dalam Allah.

Kapal lenyap tubuh hangus lenyap. Lelaki hancur bibirnya menyunggingkan senyum tenang berbaring di dahan pohon waru doyong. Karung putih masih berada di celah dahan. Dibawahnya gemericik air deras berperang melawan akar waru yang menancap dalam di tebing. Perang yang telah brlangsung lama.

Tebing itu akan kalah oleh kelembutan air.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler