Skip to Content

MENGAJI PUISI PEREMPUAN SERUMPUN

Foto Muhammad Rois Rinaldi

Membaca puisi adalah mengkaji makna dari kata yang tertulis: banyak simbol yang harus diurai untuk menemukan makna tersebut. Terlebih lagi jika sudah menyentuh ranah keyakinan, yakni keyakinan akan diri dan sang penciptanya.

Di sini saya ingin mengajak pembaca untuk mengaji puisi 3 penyair dari tiga Negara yang memiliki pencapaian dan intensitasnya masing-masing. Seperti apa? Mari mengeja:

Noor Aisya Bte Buang (Singapura)

INGIN KU-SEPERTI

kemerlap kandil itu berbisik
percik cahaya dituang gelap
seperti malam dengan hitam
memberi sejalur terang berteriak

di antara sepi berpesta kebisingan
pendita mencari dekapan cinta
seperti jantung dengan denyut
meronce rindu--khalawat keasingan

pada api dengan dinginnya
mana perginya panas melecur
mencumbu mesra raga Ibrahim
tertunduk, matinya segala bahang

fatwakan daku qalam bersufi
terdakwat seribu warna gemilang
pada pelita iman di dada nurani
ingin ku-seperti : ruh dan kekasih

tidak terpisah. abadi

100213

Puisi “INGIN KU-SEPERTI” dibuka dengan “kemerlap kandil itu berbisik” kata ‘kandil’ di masa kini sudah jarang dipakai, akan tetapi tentu bukan berarti sudah basi, karena ternyata tidak banyak digunakan dalam puisi. Kandil yang memiliki arti lampu/dammar/lilin ini disulam dengan majas personifikasi yang menyeolahkan benda mati dapat melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan mahluk hidup. Yakni “berbisik “ membisikkan apa? Puisi ini sengaja memberi ruang kosong yang bebas diisi oleh pembaca, sesuai dengan interprestasinya masing-masing untuk menemukan bisikan-bisikan yang dimaksud.

“percik cahaya dituang gelap” larik berikutnya menukik pada ‘cahaya’ yang ‘dituang’ dalam kegelapan. Dan kegelapan yang dimaksud jawabannya ada di larik berikutnya: “seperti malam dengan hitam” penyair ini menganalogikan pada malam dan hitam, dimana malam dan hitam diketahui umum merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, karena sejatinya hitam adalah warna, warna hitam merupakan warna gelap dan gelap sering dikaitkan dengan malam, meski purnama sekalipun pada sisi-sisi tertentu malam masih setia menyimpan kegelapan.

Maka dapat diartikan bahwa cahaya yang dituang dalam gelap adalah sebentuk keinginan (baca judul) untuk sesuatu yang menyentuh ranah hakikat. Jika berbicara hakikat maka untuk dewasa ini dekat kaitannya dengan pemahaman tasawuf. “memberi sejalur terang berteriak” pada larik penutup bait pertama diperjelas maksud puisi, bahwa cukup secerca (‘sejalur’ di sini saya artikan ‘secerca’) untuk menyatakan keberadaan cahaya. Pemahaman maksud keberadaan digambarkan oleh “berteriak”. Sekaligus saya menangkap pemahaman akan esensi yang berkaitan kuat dengan Eksistensialisme. Ya esensi secerca cahaya di kumparan gelap yang sanggup mempertahankan esksistensinya.

“di antara sepi berpesta kebisingan” pada bait kedua dihadirkan dua keadaan yang berlawanan, kontradiksi ini tentu bukan tanpa kesengajaan, melainkan ini dubuat sedemikian rupa untuk menciptakan satu landscape lengkap, bahwa dalam sepi ada kebisingan atau sebaliknya, dalam kebisingan ada sepi. Dua keadaan itu adalah mungkin terjadi pada diri siapapun. Tentu ini tidak bicara soal badan tapi jiwa. larik berikutnya “pendita mencari dekapan cinta” ‘pendita” dalam ejaan yang benar adalah ‘pendeta’ penyair ini sengaja menjadikannya ‘pendita’ agar dipahami sebagai dialek melayu. Yang diartikan tidak hanya sebagai ‘pendeta’ dalam pemahaman umum akan tetapi lebih luas dari itu, di kalangan melayu ‘pendita’ adalah gambaran orang-orang alim atau berilmu agama. Jika dipahami dari konotasi ‘pendita’ maka cinta yang dicari bukanlah cinta dunia fana tetapi cinta yang hakiki.

Lagi-lagi aroma kesufian terasa sangat kental, di bait kedua tertera: “seperti jantung dengan denyut/meronce rindu--khalawat keasingan” ditegaskan bahwa cinta yang dicari adalah seperti jantung dan denyut, jika denyut tak ada maka jantung tak berfungsi dan sebaliknya, jika jantung tak berfungsi maka denyut tak ada guna. ‘meronce rindu’ dapat ditafsirkan sebagai kerinduan seorang hamba yang ingin mengasingkan diri untuk sementara waktu dari hiruk-pikuk kehidupan dan merasakan dengan khusuk cinta Sang Maha.

Kemudian aroma sufisme dalam puisi ini dipertajam pada bait ketiga: “pada api dengan dinginnya/mana perginya panas melecur/mencumbu mesra raga Ibrahim/tertunduk, matinya segala bahang” di sini pusat symbol adalah“Nabi Ibrahim Alaihissalam” sejarah kehidupan Nabi Ibrahim sangatlah memukau, dari perjalanannya mencari Alloh Azza Wajala, yang sebelumnya menganggap bulan dan matahari adalah Tuhan hingga sampai pada ketauhidan yang kuat, yakni ketauhidan akan Tuhan yang Maha Satu.

Bagi saya pribadi, yang disebut pencapaian Tauhid terbaik adalah pencapaian Nabi Ibrahim Alaihissalam, sebagai tanda bahwa Alloh tidak membiarkan hambanya taqlid buta, tetapi membiarkan mencariNya sampai ditemukan. Akan tetapi setelah masa Muhammad Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam model-model pencarian itu sudah diatur kembali. Ada syariat-syariat yang mesti ditempuh dan ada hakikat yang perlu dipelajari secara seimbang agar tidak sesat jauh dari ajaran. Kemudian symbol ‘bahang’ atau dalam bahasa Indonesia adalah ‘panas’ yang mati, mengisyaratkan kisah pembakaran Nabi Ibrahim Alaihissalam oleh Raja Namrud yang kemudian seluruh api di penjuru dunia kehilangan panasnya. Pengamsalan atau pemisalan yang dibuat penyair ini telah mengajak pembaca menelusuri kecintaan dan ketauhidan seorang Nabi yang hingga saat ini namanya suci di mata tiga agama terbesar di dunia.

Pada bait keempat lebih spesifik, yakni mengajukan permintaan untuk difatwakan pada kalam atau perkataan sufi “fatwakan daku qalam bersufi”dalam larik ini tidak serta merta dapat diartikan kalam sufi sebagaimana arti sebenarnya, akan tetapi lebih pada ruh kalamnya. Yakni kalam atau kata-kata yang putih dan penuh rasa cinta.“terdakwat seribu warna gemilang” maunya adalah terdakwat atau tertulis dengan tinta seribu warna gemilang yang dapat memberikan penerangan pada iman, ruh dan nurani, agar bersihlah segala prasangka dan kebencian:“pada pelita iman di dada nurani” dan pada larik terakhir bait keempat terjadi kontemplasi: “ingin ku-seperti : ruh dan kekasih” ingin seperti ruh dan kekasih, seperti apa kekasihnya, si A, si B atau si C? dan tidak tiga-tiganya. Karena kekasih adalah Robb dan ruh memang jauh lebih dulu mengenal Robb-nya. “tidak terpisah. abadi” adalah kenyataan, ruh yang awalnya dari ruang rahasia Robb akan kembali ke Robb dalam keabadian.

Puisi dari penyair Noor Aisya Bte Buang ini secara keseluruhan menggambarkan kerinduan akan cinta sag Maha Cinta. Cinta yang sama sekali terlepas dari persoalan duniawi dan Memberikan pesan-pesan pencarian Tuhan melalui berbagai symbol. Demikian. mari melanjutkan ke puisi yang kedua.

Yessika Susastra (Jambi, Indonesia):

KISAH SILA DAN TURAHMI DI RUMAH MAK RIFAT

di beranda dada, sila duduk bersila
dan turahmi tak lagi sendiri, sebab terasa ada sayap-sayap kehangatan
di luas sajadah motif kembang, pintu ka'bah
kubah dan lampu gantung

cahaya-Nya tentu saja menyilaukan dan menyilakan
untuk merapatkan pertemuan
demi pemahaman; kupahami adamu seperti ada-Nya
selalu senyum di detak-detik sapa aroma bunga

begitulah, sila dan turahmi bersanding
di beranda dada saat detak jam kian menggetar
menunjuk telunjuk ke langit, menghitung kerlip bintang
dan rembulan dan matahari dan pendar warna pelangi
dan sila masih bersila dan turahmi menyanayi qasidah al barzanji
"Allahuma ...."

Jambi, 30 mei 2012

Pada bait pertama dibuka dengan menyebutkan tempat, “Beranda” yang memiliki arti ruang beratap yang terbuka (tidak berdinding) di bagian samping atau depan rumah (biasa dipakai untuk tempat duduk santai sambil makan angin) beranda juga sering disebut teras rumah atau jogan. dirangkai dengan kata “Dada” yang memiliki arti bagian tubuh sebelah depan di antara perut dan leher. menjadi: “Beranda Dada”. Maka tidak dapat diartikan dengan makna yang sesungguhnya, akan tetapi mengambil maksud lain dalam kata tersebut. Saya menangkap di sini menggambarkan ruang kesadaran seorang manusia yang membuka diri bagi siapa saja yang hendak meneguk teh atau sekadar berkunjung mengucapkan salam kepada pemilik “Beranda Dada” Tersebut. (teh kehidupan dan salam salam cinta dalam mencinta sang Maha Cinta)

Pemaknaan tersebut ditunjang oleh: “Sila duduk bersila” Sebuah kesantuna ala orang timur saat menerima tamu. Terbayang seketika si tuan rumah mempersilahkan dengan senyuman dan sapaan yang ramah. Apa lagi kalau disuguhi macam-macam makanan lezat dan bergizi. Gambaran beranda dada jadi sangat lengkap dengan penyebutan “sajadah bermotif kembang” , “Pintu ka’bah”, “kubah dan lampu gantung”. Penggambaran ruangan yang sangat rinci melalui kata—bahasa telah dilakukan dengan baik di sini. Meski banyak sekali dekorasinya yang disebutkan ternyata tidak membikin pandangan pembaca meluncur pada teras rumah yang serba ‘wah’ melainkan pada teras rumah yang sejuk penuh khidmat.

“cahaya-Nya tentu saja menyilaukan dan menyilakan/untuk merapatkan pertemuan/ demi pemahaman; kupahami adamu seperti ada-Nya/selalu senyum di detak-detik sapa aroma bunga”

Pada bait kedua dibuka dengan larik “cahaya-Nya tentu saja menyilaukan” bukan cahaya yang terpantul dari kaca jendela atau kaca spion yang dimaksud dalam puisi ini. Gambaran cahaya Illahi sangat tegas diberikan penyair ini melalui tulisan capital di huruf “N” dalam kata “ada-Nya” siapa yang tak silau dengan cahaya Illahi? Walau harus diakui tidak semua orang menemukan cahaya-Nya. Karena butuh keihlasan dan kecintaan untuk dapat menemu hakikat sesungguhnya hakikat dalam kehidupan fana ini. “dan menyilakan untuk merapatkan pertemuan” maksud dari larik tersebut bermuara dari larik pertama. Bahwa yang mempersilahkan sesungguhnya adalah Alloh Azza Wajala. Mengambil hikmah dari anjuran atau perintah untuk bersilaturahmi dalam Q.S An-Nisaa' : 1:

"Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."

Dan hadis Rosululloh yag diriwayatkan oleh H.R Bukhari:

“Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.” (H.R Bukhari)

Sebagai seorang muslimah, penyair ini sangat meyakini bahwa silaturahmi merupakan ibadah yang agung, mudah dan membawa berkah. Sehingga merasa perlu meluangkan waktu untuk melaksanakan amal shalih ini dan dalam konteks puisi, silaturahmi yang hendak dijalin adalah silaturahmi batin antara penulis dan pembaca bahkan jika melihat konteks keberadaan seorang Yessika Susastra yang memiliki nama Asli Rita Indrawati yang hidupnya dekat dengan sesama penyair, dapat dimaknai sebagai silaturahmi batiniah antara sesama penyair atau lebih lunaknya sesama penggiat satra.

Pada larik ketiga bait kedua lebih dalam lagi maknanya “demi pemahaman” pemahaman akan apa? “kupahami adamu seperti ada-Nya” di sini penyair menunjukkan kecerdikannya, tanpa harus ceramah panjang lebar dan memakan waktu berjam-jam telah menyampaikan pesan atau tausiah bahwa sesungguhnya kita ini ada karena keberadaanNya. Segala apa yang ada di alam semesta menunjukkan betapa kuasanya Sang Maha.

“selalu senyum di detak-detik sapa aroma bunga” larik penutup bait kedua ini kembali mengisyaratkan pada kesadaran, kesadaran akan waktu. Larik ini mengingatkan saya pada surat Al-Ashr, ketika Allah bersumpah atas mahlukNya:

“Demi masa (Waktu), sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi (celaka), kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam kesabaran.” (QS Al ‘Ashr: 1-3)

Mengapa ada “senyum” dan “aroma bunga”? bahwasanya penyair memahami kesibuan manusia yang dewasa ini lebih mencintai soal-soal nominal dan pencapaian fisik belaka telah membuat lupa, ada yang terlupakan yakni senyuman yang tulus dan ihlas kepada sesama saat bersilaturahmi baik secara langsung maupun batiniah sebagaimana dalam puisi ini. Senyum yang ihlas dipandang lebih mekar dari ribuan bunga dan lebih wangi dari kelopak-kelopaknya. bait kedua tentu seperti menikmati jamuan nikmat dalam pertemuan penuh petuah dalam dekap hangat.

“begitulah, sila dan turahmi bersanding/di beranda dada saat detak jam kian menggetar/menunjuk telunjuk ke langit, menghitung kerlip bintang/dan rembulan dan matahari dan pendar warna pelangi/dan sila masih bersila dan turahmi menyanayi qasidah al barzanji/Allahuma ..../”

Setelah menikmati bait kedua tersekat nikmat, di sini sebentuk peleraiannya “begitulah, sila dan turahmi bersanding” yah! Memang begitulah adanya silaturahmi yang dilandasi pada kesadaran untuk saling menjunjung tinggi harkat dan martabat sesama manusia menuju hakikat keberadaan yakni cintaNya. Larik selanjutnya kembali kita disadarkan akan guna detik yang tiap detakannya adalah hitungan mundur bagi kita dalam dunia. Larik:“menunjuk telunjuk ke langit, menghitung kerlip bintang/ matahari dan pendar warna pelangi” adalah gambaran bahwa masing-masing kita punya mimpi dan punya cara untuk menggapainya akan tetapi jangan sampai membuat sekat-sekat tersendiri antar sesama, dan sebaiknya dengan alasan apa pun silaturahmi harus tetap terjaga sebagaimana dalam larik: “dan sila masih bersila dan turahmi menyanyi qasidah al barzanji” menegaskan ajakan untuk bersilaturahmi. Symbol “qasidah” adalah symbol keriangan dan “al barzanji” mengisyaratkan kecintaan kita kepada sang Kekasih Alloh yakni Baginda Rosulullah dan cinta itu diungkapkan melalui shalawat. Maka lengkaplah landscape silaturahmi dari jamuan sampai suasana yang ditawarkan ditutup dengan:“Alhumma…” apa lagi menjawab dengan “Amin”?

Pada puisi Yessika Susastra di atas, terdapat sebentuk kesadaran utuh seorang manusia akan pentingnya silaturahmi lebih dari itu kesadaran akan pentingnya memanusiakan manusia tersirat dalam puisi tersebut. Boleh jadi ini dilatarbelakangi oleh permasalah-permasalah yang lahir dari hubungan sosial yang kerap menimbulkan sengketa lantaran kurangnya kesadaran bahwa silaturahmi tidak sebatas antara manusia dan manusia namun di dalamnya ada kehendak Allah SWT. Hakikat silaturahmi adalah menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia dan bersama-sama menuju lurus ke arah-Nya. Semoga! Mari membaca puisi terakhir milik Kameelia Kameel yang memiliki nama pena Bintang kartika, berikut selengkapnya:

Kameelia Kameel (Malaysia)

M U N A J A T

wahai pemutus tali pusatku,hingga pisah dengan ketuban pahit.
ajari aku faham jeriji hidup di tajamnya kerikil singgahan
dan simpang terlewati. tak keliru tafsir perhentian itu
biar dada teguh mengemudi beban dengan roda ganjil
di simpang-siur pertemukan bukan benang kusut

duhai penghulur rahmat. kolong ranah liar meriak
lubang-lubang pecah berserak bertubi-tumbang;
aku terambing di bebatuan serpih antara duri-duri

duhai yang Maha. kentali dadaku dengan kasih.

Januari, 2013

"M U N A J A T" yang menjadi judul dari puisi secara tidak langsung telah mengimplikasikan adanya unsure pendekatan diri seorang hamba kepada Tuhannya. Pada saat bermunajat posisi Tuhan terkadang dianggap sebagai kekasih. Tentu ini tidak berlebihan karena jika menelisik dari Ummul Kitab, yakni Al-Fatihah: Dia Yang Maha Penyayang (Arrahman) dan Yang Maha Pengasih (Ar Rahim). Manusia semestinya tak pernah merasa kehilangan siapa-siapa, tak pernah merasa sendiri karena selalu ada sanga Maha yang selalu mengasihi dan menyayangi.

Pengucapan “wahai/duhai/hai/” dalam sebuah kalimat atau percakapan sudah dapat dimahfumi bahwa itu menyatakan kedekatan bukan sebaliknya yang menyatakan jauhnya jarak. Begitupun dengan larik pembuka puisi ini “wahai pemutus tali pusatku, hingga pisah dengan ketuban pahit.” jika dipahami secara telanjang akan muncul persepsi bahwa “wahai” tertuju pada orang yang pertama kali memutuskan tali pusat atau pusar saat mausia terlahir, tapi dalam puisi ini lebih dari syariat, ia sudah menuju pada hakikat bahwa dari alam ruh hingga terlahir segala yang mengkehendaki adalah Allah Azza wajala. Sebagaimana sifatNya yang Qudrat (Berkuasa) dan Iradat (Berkehendak menentukan). Untuk mempermudah pemahaman ini, saya mencontohkan pada proses menanak nasi. Secara syariatnya nasi itu matang dikarenakan ditanak oleh seseorang dengan syarat dan ketentuan yang semestinya. Dan pandangan hakikatnya adalah, bahwa beras itu matang jadi nasi atas Qudrat dan IradatNya. Setelah menyeru dengan mesra, apakah yang dikehendaki?

“ajari aku faham jeriji hidup di tajamnya kerikil singgahan” ada dua symbol penting di larik ini, “jeriji atau dalam bahasa Indonesianya jeruji” dan “kerikil tajam”. Maka dapat diartikan bahwa hidup ini bagi penyair adalah kungkungan, jeriji, jeruji atau penjara badan meski dalam perjalanan sekalipun sesungguhnya tetap dalam penjara. Kemudian akan keluar saat sampai keabadian. Maka ia memanjatkan doa agar diberi kepahaman yang baik dalam menyikapi liku-liku kehidupan yang penuh cobaan.

“dan simpang terlewati. tak keliru tafsir perhentian itu” larik ini menggambarka sebuah perjalanan panjang bani Adam di alam dunia fana dan perjalanan hidup tidak selalu berada di jalan lurus, banyak sekali simpangan sehingga menuntut siapapun untuk teliti dan berhati-hati dalam memilih agar sampai pada tujuan yang diharapkan. Perjalanan itu meliputi perjalanan dalam arti yang sebenarnya dan perjalanan dalam arti yang lebih mendalam, yakni perjalanan keimana. Sejak dahulu hingga kini manusia tak mencari hakikat keberadaannya, keberadaan antara yang ada kemudian hilang dan keberadaan di bawah kuasa Sang Maha Ada. horisontal (Syariat) dan vertikal (Hakikat). Karena itulah doa yang dipanjatkan dalam munajat adalah petunjuk arah agar tak tersesat. Sejalan dalam fatihah “Ihdinashirratal mustaqim,( Tunjukkan kami jalan yang lurus)/shiratalladzina an’amta alaihim ghairil maghduubi alaihim waladhaalin, (Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan ‘jalan’ mereka yang dimurkai dan bukan ‘pula jalan’ mereka yang sesat)

Jika seorang hamba telah mendapatkan petunjuk dari Robb-nya, maka beruntung dan selamatlah hidup hingga di alam pertanggungjawaban. Hal itu disadari betul dalam puisi ini, sebagaimana tergambar dalam dua larik penutup bait pertama: “biar dada teguh mengemudi beban dengan roda ganjil/di simpang-siur pertemukan bukan benang kusut”. Yang menarik adalah adanya symbol “benang kusut”. Benang kusut di sini dapat ditafsirkan sebagai bentuk ketidakpastian dari kekacauan. Karena was-was dan keragu-raguan. Karena manusia yang dadanya penuh dengan kewaswasan dan keragu-raguan akan mudah terbawa arus sedangkan arus terus menerus berubah haluan dan yang terjadi adalah terombang-ambingnya sang jiwa. Ternyata itu dirasakan oleh aku penyair sebagaimana tergambar pada larik kedua dan ketiga bait kedua: lubang-lubang pecah berserak bertubi-tumbang; aku terambing di bebatuan serpih antara duri-duri”

Di awal pembahasan puisi ini saya mengataka bahwa kata “wahai/duhai/hai” memiliki kesan yang sama, yakni kesan kedekatan bukan sebaliknya. Akan tetapi ada perbedaan suasana. Tentunya suasana jiwa seseorang yang menulis atau melapalkan kata tersebut. “wahai” lebih menggambarkan keadaan jiwa yang teguh, menyapa dengan keyakinan penuh. Contoh saat kita menyeru sang kekasih: “wahai kekasihku” di sana ada gambaran ketegasan dan keteguhan. Sedangkan kata “duhai” lebih menggambarkan keadaan jiwa yang lepuh berpeluh dengan lenguh. Atau di ambang keputusasaan. Contohnya saat seseorang terjatuh: “duhai tuan, tolong bantu saya untuk bangkit” jadi jelas, ada pergeseran keadaan dari bait pertama ke bait kedua. Bagi yang biasa bermunajat akan tahu betapa dalam bermunajat kerap sekali seorang hamba menangis tersedu-sedu meratapi kesalahan dirinya. Merasa malu dan meminta bantuan kepada Robb-nya. Hal itu tergambar jelas pembuka bait kedua: “duhai penghulur rahmat.” Kemudian setelah dipisah dengan titik dilanjutka dengan: “kolong ranah liar meriak” menyimbolkan pada keadaan yang ‘ranah liar’keliaran dapat dikonotasikan pada kurangnya kasih sayang antara sesama manusia sehingga bermuara pada kebimbangan-kebimbangan sebagaimana yang digambarkan pada larik dan bait sebelumnya.

Puisi ditutup denga larik tunggal: “duhai yang Maha. kentali dadaku dengan kasih.” Kata atau seruan “duhai” diulang kembali di larik tunggal pada bait ketiga yang merupakan bait penutup ini bukan tanpa tujuan. Dengan demikian dapat diimplikasikan betapa penuh harapnya sang pemunajat ini. “kentali dadaku denga kasih” adalah permintaan pamungkas rupanya. Kenapa mesti minta dada penuh kasih? Ya. Tentu dengan dada yang dipenuhi kasih sayang, manusia akan berjalan pandangan yang terang. Dan pandangan manusia yang terang akan selamat dalam setiap perjalanan. Demikianlah pemahaman saya untuk puisi “M U N A J A T”

Demikianlah 3 puisi, 3 penyair perempuan dari 3 negara yang berbeda: bermuara pada satu nilai, yakni nilai kemanusian dan ketuhanan. Membaca puisi ketiga penyair ini, tentu akan memberi nilai postif bagi pembacanya terutama dalam memandang kehidupan di antara banyaknya orang mempertahankan—mempertaruhkan kediriannya. Ya, sejatinya kita satu jika saja masing-masing kita bersedia memberi ruang pada ego dan napsu untuk merelaksasi kembali apa sebetul-betulnya yang dituju.

Salam Merdeka Jiwa dan Badan
Muhammad Rois Rinaldi
Ketua Komite Sastra Cilegon

Cilegon-Banten, 13 Februari 2013

Komentar

Foto Soei Rusli

salam sastra

semoga selalu menulis tampa waktu yang terbatas

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler