Skip to Content

Juli 2019

CERPEN KOMPAS 2007: “GERIMIS YANG SEDERHANA” KARYA EKA KURNIAWAN

Kenapa pula aku tak mengajaknya bertemu di China Town, pikir Mei. Ia masih berada di belakang kemudi mobil yang disewanya dari Budget di sekitar bandara seharga 30 dollar sehari. Biasanya ia pergi dengan meminjam mobil milik sepupu atau bibinya, tetapi hari ini kedua mobil tersebut tengah dipakai, dan mereka hanya bisa mengantarnya ke penyewaan.

CERPEN KOMPAS 2007: “YULIUS” KARYA ARIE MP TAMBA

Sudah tiga tahun Yulius hidup menjadi bagian dari rumah kos yang posisinya berhadapan dengan sebuah terminal kecil.

CERPEN KOMPAS 2007: “HARI TERAKHIR MEI LAN” KARYA SOEPRIJADI TOMODIHARDJO

Ketika aku belum benar-benar sadar dari kantuk yang luar biasa, tiba-tiba kulihat bayangan tubuh lelaki berdiri di atas meja. Dalam busana lengkap seperti terlihat di plakat-plakat, aku tak ragu dia adalah figur pemimpin besar yang dijunjung tinggi dan dipuja seperti dewa di negerinya hingga menjelma seperti wujudnya sekarang: sebuah patung.

CERPEN KOMPAS 2007: “NYANYIAN KLARAS…” KARYA YANUSA NUGROHO

Apa yang bisa kukatakan kepadamu tentang orang-orang ini. Atau lebih baik begini. Jika kau bermaksud mengukur, atau menakar, atau mengira-ira bagaimana watak mereka, kau mungkin akan kesulitan. Tak ada ukuran yang bisa kau gunakan.

CERPEN KOMPAS 2007: “SEPATU TUHAN” KARYA UGORAN PRASAD

Seorang sersan muda sedang mencegah tersangka merebut tas kecil dari meja ketika Letnan Sardi masuk. Wibawa yang bergelantungan di pundak Sang Letnan menghentikan keriuhan kecil di ruang interogasi tanpa sedikit pun tenaga tersia-sia. Si Sersan melepaskan genggamannya, membiarkan tersangka merebut dan memeluk tas itu erat-erat. Keadaan terkendali.

CERPEN KOMPAS 2007: “KAYON” KARYA TJAHJONO WIDIJANTO

Dari balik pepohonan dan hamparan belukar kijang kencana muncul seperti asap. Moncongnya sedikit lancip dengan dua bundaran mata bening sipit berputar-putar seperti mengajak berbicara. Tubuhnya emas dengan kaki-kaki ramping berloncatan mengitari Sinta dengan jenaka. Sang jelita tergoda. Rama bagai kilat meloncat menerkam, secepat kilat pula kijang berkelebat menghindar.

CERPEN KOMPAS 2007: “MERCUSUAR” KARYA SORI SIREGAR

Debur ombak sama sekali tidak terdengar. Hanya suara desir air mencapai bibir pantai yang sayup-sayup sampai ke telinga. Laut ramah dan bersahabat. Pagi yang menyenangkan bagi banyak orang yang bermain-main dan mandi di pantai.

CERPEN KOMPAS 2007: “SI LUGU DAN SI MALIN KUNDANG” KARYA HAMSAD RANGKUTI

Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang tua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan seekor ayam. Polisi lalu lintas melihat peristiwa itu dan menghentikan kendaraan roda duanya.

CERPEN KOMPAS 2007: “SIIT UNCUWING” KARYA RIEKE DIAH PITALOKA

Setiap pagi, bila langit sedang bahagia, kalangkang gunung menyerung kota kecil itu. Warnanya lebih tua dari langit, meski sama-sama biru. Saat matahari menggeliat, raut pegunungan ikut merona. Lekuk-lekuk ngarai ditutup rerimbun hijau bagai pinggang dan pinggul gadis-gadis menari.

CERPEN KOMPAS 2007: “TUKANG JAHIT” KARYA AGUS NOOR

Tukang jahit itu selalu muncul setiap kali menjelang Lebaran. Seolah muncul begitu saja ke kota ini. Kata orang, ia tak hanya bisa menjahit pakaian. Ia juga bisa menjahit kebahagiaan. Tukang jahit itu punya jarum dan benang ajaib yang bisa menjahit hatimu yang sakit. Jarum dan benang, yang konon, diberikan Nabi Khidir dalam mimpinya.



Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler