Skip to Content

Cerpen "DI ATAS PERAHU"

Foto Bukhori Muslim

“DI ATAS PERAHU”

Gerimis terus turun dengan lembut, bintang gemintang tidak terlihat di langit petang. Dari jauh bendungan terdengar suara kodok. Malam alangkah begitu dinginnya. Ada kedua orang tengah berjalan dalam belantara itu. Mereka sepasang suami istri. Istrinya berusaha merangkul suaminya yang tidak bisa melangkah sebab tembakan polisi sebelum malam tadi. Sampai sekarang mereka berusaha lepas dari kejaran itu. Keduanya terus melangkah susah payah menyusuri jalan. Suaminya sesekali menjerit kesakitan. Istrinya tetap berusaha sekuat tenaga membawa suaminya supaya selamat dari kejaran para polisi itu.

Bila mencari tempat berteduh di tengah belantara ini tidak memungkinkan ada. Istrinya menyadari. Di perhatikan sekitar benar tidak ada tempat berteduh. Hanya saja ada satu pohon besar lebih besar dari yang lain dengan daun lebat hingga tetes gerimis mampu terhalangi. Untuk sementara sang istri berniat rehat di bawah pohon itu, suaminya di sandarkan pada batang pohon, lalu berusaha dengan hati-hati menselonjorkan kakinya. Ketika itu terdengar suara gemericik air. Di perhatikan sekitar ternyata sebuah kali tidak jauh hanya beberapa meter di depannya. Menoleh kesekitar berharap ada wadah untuk dapat mengambil air. Ternyata sama sekali tidak ada. Terpaksa mengambil daun jati yang paling besar lalu mulai mengambilnya. Di dekat suaminya air itu di tegukkan. Dia sangat hiba melihat suaminya minum dengan dahaga sekali. Hampir air matanya menites, tidak tega melihat suaminya menderita seperti itu.

“Masih kurang” suaminya hanyalah menggeleng lemah. Dia kemudian kembali mengambil air sekedar ingin mebersihkan luka tembak di lengan dan kakinya. Itu di lakukan berkali-kali hingga bersih. Beruntung peluru itu hanyalah menepis.

Gerimis telah reda. Sang istri merasa untuk rehat di sini saja sampai pagi, biarkan perjalanan yang tanpa tujuan akan di lanjutkan esok. Kemudian Dia mengganti posisi suaminya dengan bersandar pada batang pohon. Suaminya di biarkan tidur pada panggkuannya, sembari membelai wajahnya. Perlahan tangan kiri suaminya memegang erat tangan istrinya. Dia tersentuh, tangan yang penuh kasih sayang sudah lama tidak pernah di lakukan oleh suminya. Dia menjadi ingat kala hari-hari baru menikah. Dulu suaminya selalu memegang erat tangannya dari menjelang tidur hingga terjaga. Dia terharu dan semakin terbawa arus kasih sayang yang merong-rong kedalaman jiwanya.

“Aku butuh kamu. Aku butuh kamu. Maafkan aku. Selama ini aku diam-diam bahwa aku seorang bandar narkoba” Istrinya hanyalah diam paham. Tangannya masih mengelus erat wajah dan rambut ikal suaminya.

“Harusnya kamu membiarkan aku terseret oleh polisi itu, harusnya kamu tidak perlu melakukan ini”

“Mas tidak perlu berkata seperti itu. Selagi aku istrimu, maka aku akan berusaha tunduk. Tidak kenal bagaimana kejammu selama ini. Aku akan tetap mencintaimu, menjagamu sebagai kewajibanku”

Kedua tangan itu semakin erat. Batin suaminya tersentuh lalu mengalir air mata. Begitupun istrinya sama rela mengeluarkan air mata. Ia mencium suaminya, menghapus air matanya hingga suaminya seolah tersirami oleh ketenangan.

“Aku akan berusaha menyelamatkanmu dari kejaran polisi-polisi itu” bisik istrinya. Tangis suaminya semakin pecah. Tangan keduanya semakin erat menyatu.

“Aku tidak ingin terpisah dari kamu” kata suaminya. Mendengarnya sang istri semakin gusar, dia membalas dengan pelukan yang sangat dalam.

***

Malam semakin memalam, dingin sungguh menyerap pada sumsum tulang. Suaminya sudah terlelap dalam pangkuannya. Sedangkan dia masih sengaja menahan kantuk supaya tidak terjadi apa-apa pada keadaannya. Sesekali menoleh kesekitar, dengan harapan semuga para polisi itu sudah menyerah. Mulai perlahan kantuk menyerang. Dia menahan namun kantuk mampu mengalahkan keangkuhan matanya. Semakin dia tahan semakin kuat kantuk itu menyerang dan akhirnya tertidur.

Sisa gerimis di daun-daun menites menyebabkan bunyi. Dari sudut gelap terkadang ada suara geliat. Mungkin sekedar hewan kecil lewat. Malam terasa semakin tajam kala serigala melolong. Bulan memburam di atas langit melawan pakatnya mendung dengan sinarnya. Terdengar suara-suara kaki merobek serakan daun kering. Mereka berdua masih nyenyak tertidur. Suara kaki itu semakin mendekat hingga menyayat kupingnnya. Dia terbangun. Matanya memperhatikan kesekitar, rupanya bersorot nyalanya senter di setiap kegelapan. Tergesa-gesa dia membangunkan suaminya dan membawanya lari tanpa harus perduli pada jeritan sakit suaminya. Ada salah satu polisi mengetahui. Senter bersorot, senjata tengah pula tertodong pada mereka.

“JANGAN BERGERAK”

Langkah mereka terdiam.

Suaminya menahan kesakitan. Istrinya tidak tega mendengar jeritan sakit itu. Dia tidak mau suaminya tertangkap oleh polisi itu lalu di gelandangnya. Dia membulatkan tekat harus bisa menyelamatkan suaminya. Tanpa berpikir panjang dia membawanya lari di antara kegelapan meskipun terkadang sorot senter itu mengenai. Tidak begitu jauh lari dia kebingungan. Dari sana sini nampaknya sudah terkepung. Dia semakin bingung mau membawa lari kemana suaminya, Dia tidak ingin terpisah dari suaminya, tidak ingin. Kembali dia berlari dengan jejak sudah di ketahui oleh polisi-polisi itu. Dari belakang segerombolan polisi mengejarnya. Maka di balik pohon mereka bersembunyi, menahan suara nafas yang berserabutan keluar masuk. Senter bersorot dari belakang. Di sebelah matanya salah satu polisi tengah lewat. Dia memejamkan mata semuga keberadaannya tidak di ketahui. Suaminya sendiri berusaha menahan sakit supaya desisnya tidak terdengar. Setelah polisi itu mulai menjauh memilih pindah posisi kebalik pohon.  Di situ Dia merasa terancam sebab dari sudut-sudut gelap senter bersorot. Matanya melirik kesebelah pada semak belukar. Sebelum keberadaannya di ketahui segera pindah kedalam semak-semak belukar itu. Disitu dia tenang. Suaminya masih saja melawan sakit. Dia semakin tidak tega.

“Mas tahan dulu rasa sakitnya supaya kita selamat. Aku tidak ingin kita pisah” dengan mata seperti kemerlap pecahan gelas, meremang air mata.

Beberapa saat kemudian keadaannya terasa memungkinkan. Tidak ada lagi suara-suara dan sorot senter para polisi itu. Setelah lelahnya usai, Dia melanjutkan perjalanan. Sampai jauh langkahnya, Dia mendapatkan jalan. Sang istri girang sebab jalan ini akan di jadikan sebagai tujuan pada pemukiman orang-orang. Semuga harapan itu memang akan menjadi nyata. Di sana pula mendapatkan kubuk kecil dengan dingding separuh badan. Dia membawa suaminya untuk masuk kedalam. Mereka merasa aman di dalamnya. Dia berusaha meredam rasa sakit suaminya dengan pelukan hangat. Suaminya berkata.

“Rasanya kita tidak mungkin selamat”

“Kita pasti selamat. Percayalah. Aku akan berusaha sekuat tenaga Mas”

Tidak tahu bagaimana lagi. Suaminya merasa perkataan istrinya hanyalah sebagai penawar ketakutannya. Dan itu benar. Kenyataannya, istrinya demikian takut pula. Namun Dia sembunyikan untuk tidak membuat suaminya semakin resah nan takut.

Setelah rasa lelah keduanya pudar. Tiba saja datang sorot senter. Segera sang istri berdiri mengintip kedatangan mereka. Tidak perlu berpikir panjang Dia langsung membawa lari suaminya tanpa harus perduli di ketahui oleh para aparat itu.

Keduanya terus lari terpontal pantil sampai jatuh bangun. Dari belakang para polisi terus mengejar yang terkadang bunyi tembakan terdengar lantang merongrong kegelapan hingga menyebabkan merpati-merpati liar kabur. Keduanya terus lari tanpa harus perduli pada ucapan komandan polisi menyuruh berhenti. Nampaknya ini tidak bisa di biarkan. Sorot senter sudah membuat mereka berdua sangat terlihat jelas. Komandan polisi itu terpaksa akan melepas tembakan. Senjata mulai tertodong mengarah pada kaki kanan lelaki yang di bawa lari istrinya. Beberapa saat terlepas tepat pada tumit kakinya. Suaminya histeris berteriak lantang hingga bertalu-talu lalu rubuh. Namun tekat istrinya tetap akan berusaha untuk membawa lari suaminya bagaimanapun caranya. Dari jarak yang tak jauh para polisi hampir mendekat. Istrinya mencoba terus memaksa suaminya melangkah lari hingga sampai pada tepi sungai. Dia perhatikan sekitar beruntung ada perahu menepi. Keduanya segera susah payah menaiki itu. Tidak lupa melepas ikatan tampar pada pohon. Setelahnya langsung mendayung secepatnya. Suaminya masih saja melolong kesakitan. Di sana, polisi itu sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Terlihat pasrah pada keadaan. Dari sudut mata mereka perahu itu terus berlayar membawa sasaran.

Setelah pelayaran jauh, sang istri berhenti mendayung. Mendekat pada suaminya. Karena darahnya semakin mengucur Dia robek lengan bajunya kemudian di ikatkan. lalu Dia merangkuh suaminya. Nampak suaminya agak tenang menahan sakitnya itu.

“Kita sudah jauh” kata istrinya

“Tapi aku masih takut”

“Tidak Mas. Itu hanyalah perasaanmu saja”

Diam membisu.

“Kita mau kemana” tanya suaminya

“Tidak tahu mau kemana. Tapi semuga arah sungai ini membawa kita pada pemukiman. Di sana kita akan cari puskismas”

Langit timur mulai terlukis oleh fajar. Burung di setiap pepohonan mulai bercicitan. Terkadang ikan-ikan lompat di sekitar. Dia mengarahkan mata pada langit timur itu. Merasa telah semalam melawan takdir kehidupan.

“Sebentar lagi pagi” kata istrinya

“Apakah sebentar lagi kita akan tertangkap”

“Yakinlah tidak Mas”

“Lalu bagaimana kalau sampai terjadi” tanya suaminya resah. Istrinya menatap mata suaminya dengan penuh keyakinan.

“Aku akan ikut denganmu melawan gerah dingin di balik jeruji itu”

“Bagaimana nasib kandunganmu. Dia butuh nutrisi dan vitamin” mendengar ucapan itu sang istri memilih diam. Tidak tahu harus menanggapi dengan kata apa. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam berharapa akan ada takdir menuntaskan masalah ini.

Kuas semesta semakin melukis fajar merah pada langit timur. Sekitar sungai burung-burung semakin ramai bernyanyi menyambut pagi. Angin membelai keduanya. Suaminya terus memperhatikan istrinya yang sedang menghadap Tuhan. Dia merasa kemana hatinya selama ini. Tega sekali selama bertahun-tahun tidak pernah memperhatikan istrinya. Hanya saja waktu baru-baru menikah. Jarang pulang. Ketika pulangpun mara-marah, bentakan tamparan dan tendangan pada istrinya tidak pernah jarang di lakukan. Sang suami bercucuran air mata memperhatikan istrinya yang sedang mengemis keselamatan pada Tuhan. Hatinya berbicara. Doa itu adalah menyebut namanya.

Selesai berdoa, Dia mendapat sisa air mata suaminya. Dia mengerti, menatap wajah suaminya dengan mata teduh menyimpan rindu. Memegang tangannya.

“Percayalah. Bahwa aku akan bersamamu selamanya”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BUKHORI MUSLIM

Lahir di Pamekasan 12 Desember 1995. Sekarang tengah kuliah di perguruan tinggi Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan. Selain itu dia aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa(UKM) Teater Pangestu.

No Hp: 085334948461/083852999967.

No Rekening BRI: 6465-01-016660-53-7 atas nama Risqiyatul Umamah

Facebook: bukhoripangestusempal@gmail.com

e-mail: bukhoripangestu@gmail.com

 

 

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler