Skip to Content

2 DESEMBER 1945

Foto Wahyu Barata P.

2 DESEMBER 1945

Cerita Pendek Wahyu Barata

 

Setiap pagi lelaki tua itu selalu berdiri di trotoar depan gang Haji Mulya, di sebelah rumah makan Sari Sunda, di Lengkong Besar. Tatap matanya menandakan ia menerawang jauh. Sesekali ia memandang ke sebrang jalan, sesekali ia menghadap ke manapun arah yang disukainya.

Suatu saat, pagi hari tanggal 2 Desember 2005, aku tak sengaja bertemu dengannya di pertigaan Jalan Cikawao. Ia berdiri mematung di depan  Monumen Pahlawan Pejuang Kemerdekaan Indonesia. Tatap matanya sayu. Mungkin di benaknya ia sedang mengenang hari ini di masa lalu, pikirku. Perilakunya membuatku semakin penasaran.Akupun menghampirinya, menyapa membuka percakapan.

“Selamat pagi.”

“Pagi.”Jawabnya. Nanar ia memandangku.

“Maaf mengganggu Kek.Hari masih sepagi ini Kek, kenapa Kakek termenung sendirian di sini?”

Agaknya dengan berat hati pelan-pelan ia mencoba menjawab pertanyaan bodohku itu, “Aku …sedang mengenang masa lalu…masa perjuangan dahulu…hari ini…”

“Kakek pejuang?” tanyaku ragu.Ia hanya mengangguk.

“Apa yang terjadi waktu itu?”

Iapun memaparkan kisahnya dengan napas pendek-pendek.Pada waktu itu, setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, banyak kekuatan asing mengancam kedaulatan negara yang baru berdiri ini.Terutama pasukan-pasukan Inggris dan sekutunya (Amerika Serikat, Australia, dan Belanda – Netherland Indische Civil Administration).Mereka mulai membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan Jepang, dan mempersenjatai serdadu-serdadu Belanda-NICA yang ingin berkuasa lagi di Indonesia.Orang-orang Belanda berdalih bahwa orang-orang Indonesia itu biadab, harus dihadapi dengan kekuatan senjata, sehingga Inggris mempersenjatai Belanda-NICA.

Lalu dengan perasaan dan tekad yang sama, kesadaran bersama sepenanggungan, barisan-barisan pemuda pejuang, para pemuda yang baru mendaftarkan diri menjadi Tentara Keamanan Rakyat (kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia), dan laskar-laskar perjuangan bersatu padu, bergabung sebagai kekuatan bersenjata di Ciateul (di sudut Jalan Lengkong Besar) dipimpin oleh Ibrahim Adjie. Kala itu aku bersama teman-teman dari Barisan Banteng Pemuda Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia sering kali keliling daerah naik sepeda untuk mengkoordinasi barisan-barisan perjuangan.

Kami sangat yakin bersatu karena hasil pikiran dan kehendak sejarah yang sudah beratus-ratus tahun umurnya.Semangat yang selama itu belum padu, telah tiba waktunya menjadi semakin bangun, sadar, dan terhimpun.Inilah ruh tanah tumpah darah bangsa Indonesia.

Terang dan jelas bagi orang-orang yang percaya akan rahmat Ilahi dan perjalanan sejarah, bagi orang-orang yang berpikiran luas pula terhadap arti setiap peristiwa kebangkitan nasional jiwa-jiwa para pejuang kemerdekaan.

Semangatku semakin menggebu untuk ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang baru lahir.Mengingat rasa rendah diri dan dendam orang Indonesia terhadap sikap ras yang memandang remeh pada jutaan kaum tertindas.Kenyataan ini tidak bisa dihapuskan oleh politik kesejahteraan atau politik etis apapun.Karena ketertindasan itu mendorong kebencian yang mendalam terhadap penjajahan.Kami bertekad bekerja dan berjuang tanpa pamrih untuk menegakkan kedaulatan Republik Indonesia sampai tetes darah penghabisan.

Lelaki tua itu berhenti sejenak, berdiri mematung menatap ke arah utara.Napasnya pendek-pendek.Aku tak berani mengusiknya.Lima menit berlalu, iapun melanjutkan ceritanya.

“Mula-mula barisan kami ditugaskan untuk melucuti persenjataan tentara Jepang.Tetapi tidak mudah, sebab selain berani jibaku dan ahli perang, pertahanan mereka kuat, tidak mudah ditaklukkan. Banyak pejuang yang gugur ditikam bayonet Jepang. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya kami bisa merampas lima buah pistol, lima belas senapan, tiga mitralyur, dan satu meriam anti serangan udara dari tentara angkatan udara Jepang di Pamoyanan.”

Ketika terjadi pertempuran antara tentara Indonesia, rakyat, para pejuang, melawan pasukan sekutu di Surabaya, tersiar kabar banyak pejuang kemerdekaan Indonesia gugur menjadi kusuma bangsa.Karena mereka menolak ultimatum pasukan sekutu agar tentara Indonesia dan rakyat Surabaya menyerahkan diri dan senjatanya dengan tangan di atas kepala.

Ternyata pasukan sekutu yang membonceng pasukan Belanda – NICA pun masuk ke Bandung dan melakukan hal yang sama seperti di Surabaya. Mereka menyuruh tentara dan para pejuang kemerdekaan Indonesia mundur dari pusat kota.

Meskipun serdadu-serdadu Jepang memberi tahu agar para pejuang mundur karena pasukan sekutu terlalu banyak, tidak usah mempertahankan daerah republik, kami menjawabnya dengan bertempur habis-habisan menggunakan senjata seadanya. Waktu itu di kalangan tentara Indonesia, satu senjata (pistol, bayonet, senapan, tommy gun, karaben, mitralyur) diperebutkan lima orang. Sehingga tentara lainnya dan para pejuang banyak yang menggunakan pedang samurai, golok, pedang, panah, bahkan bambu runcing untuk bertempur.Aku sendiri hanya bersenjatakan kelewang dan bambu runcing.

Pada tanggal 2 Desember 1945, pukul enam pagi pecah pertempuran sengit antara tentara, pemuda pejuang kemerdekaan Republik Indonesia melawan tentara Belanda – NICA dan Inggris bersenjata lengkap dan modern yang didukung pasukan tank (artileri) serta pesawat-pesawat tempur.

Karena kalah persenjataan, kami bergerak mundur dari Jalan Merdeka ke Jalan Lembong, Jalan Lengkong Besar, sampai Ciateul.Kami biarkan serangan-serangan mereka seperti angin lalu menerpa tempat kosong, lalu kami membalasnya dengan gempuran-gempuran yang sangat dahsyat.

Semangat juang tentara Indonesia, laskar-laskar berani mati, semangat jihad laskar Hisbullah, semua meledak-ledak mewarnai pertempuran. Dengan keberanian seperti serdadu-serdadu Jepang, para pejuang beraksi di medan laga. Ada yang menusuk lawannya dengan bambu runcing atau bayonet rampasan dari serdadu Jepang. Ada yang melemparkan granat ke dalam tank dari jarak dekat.Mereka akhirnya gugur tertembak.Ada juga penembak jitu dengan pistol, senapan, atau karabennya merobohkan lawan satu per satu.

Tembakan demi tembakan silih berganti membunuh korbannya. Dentuman peluru dari moncong tank, mortir, rentetan tembakan dari pesawat-pesawat tempur membombardir kota. Hingga banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak.

Pertempuran agak reda setelah jam sembilan malam. Pelan-pelan kuberanikan diri bangkit dari tiarapku. Kulihat di depan, belakang, kanan, kiri, banyak jenazah bergelimpangan. Teman-temanku, Omo, Soleh,, Dayat, Iwa, Memed, Sumantri, Ridwan mati di sekelilingku. Tan Kian Ming anak saudagar tembakau yang berlangganan buah-buahan di kiosku juga mati. Semula aku ragu ia berpihak ke mana? Setelah melihat kain merah putih yang melilit di lehernya, aku yakin ia berjuang bersama kami.

Abdul Hakim dari laskar Hisbullah, Supriyanto dan Iding dari laskar rakyat, Simanjuntak dari Polisi Tentara, perempuan (mungkin dari laskar wanita Indonesia), seorang pelajar pejuang, mahasiswa Kogyo Daigaku (sekarang Institut Teknologi Bandung), mahasiswa Senmonbu Denki – Kikaika (sekarang Politeknik Negri Bandung), Encang tukang becak langganan ibunya Tan Kian Ming, Aja tukang bajigur, dan beberapa orang pemuda tak dikenal, semuanya tewas dalam pertempuran itu.

Butir-butir peluru, dan pecahan peluru mortir mengoyak tubuh mereka. Darah segar dengan warna merah yang sama mengalir dari tubuh mereka. Tubuhku pun akan seperti itu kalau ditembus peluru, akan tumpah darah semerah darah mereka yang gugur demi mempertahankan kemerdekaan negri tercinta. Saat bakti bela negara ditunaikan, kami sangat yakin bahwa perjuangan kami sangat penting dan sangat berarti untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa Indonesia.

Mendengar cerita lelaki tua itu, seperti lakon dalam film-film perang. Kurasakan seolah ia menampar wajahku berkali-kali. Prasangka dan percaya bergantian membelah  pikiranku. Jangan-jangan ia terlalu berlebihan berkhayal? Atau ia benar-benar pelaku sejarah, bila kubaca kaitan peristiwa itu pada monumen? Iri hati semakin meninggi meningkahi benakku.Karena selama ini sebagai anak bangsa aku belum pernah memberi sumbangsih apapun untuk mengisi kemerdekaan Indonesia.Dalam setiap hal di kehidupan ini aku selalu mementingkan diri sendiri dan golonganku saja.Tak peduli dengan kemaslahatan bersama khalayak.

“Sebenarnya sudah sejak lama aku kecewa.Ketika menyaksikan berita-berita di berbagai media cetak dan elektronik.Banyak tayangan tentang kejahatan, kejahatan kerah putih, kekejaman, mistisme, korupsi, hedonisme, keserakahan yang tak mengenal rasa puas.”tutur lelaki tua itu lagi, sambil menghirup udara pagi dalam-dalam.

Lalu ia melanjutkan curahan hatinya, “Pengangguran dan kemiskinan yang meluas di tengah-tengah pejabat yang korup dan memperkaya diri sendiri? Kasus narkoba dan pornografi selebriti dan pejabat pemerintah.Pasca reformasi wajah demokrasi kita menjadi liar di luar koridor negara hukum. Kekuatan-kekuatan massa mengorganisasi diri dan main hakim sendiri. Kekerasan dan anarki semakin merajalela.”

Sebagai bangsa kita lemah, belum mampu berdiri di atas kaki sendiri dan menentukan nasib sendiri, tidak bebas menentukan kebijakan politik strategis, dan ketergantungan ekonomi kepada negara-negara maju masih sangat besar.Budaya, moral bangsa kita sudah rusak parah, politik ideologi kita tidak jelas, teknologi sangat jauh tertinggal.Seluruh fondasi yang dibutuhkan untuk kita berdiri tegak dengan penuh kehormatan, semakin rapuh.

Mimik wajah lelaki tua itu menyiratkan kekecewaan yang sangat mendalam.Iapun bertanya kepadaku, “Bisakah kita merdeka dengan kondisi seperti itu?Sekarang di manakah para pemuda pejuang pembela tanah air?Masih adakah empati, itikad rela berkorban, dan kesiapan para pemuda untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia?”

Setelah puas menuturkan kisah dan curahan hatinya, lelaki tua itu terdiam.Akupun terdiam. Lalu entah apa sebabnya agak lama kami saling mengamati? Sampai akhirnya kuberanikan diri untuk bicara, “Kakek ini siapa?” tanyaku penasaran.

“Bagian dari perjalanan hidupmu…Bagian dari sejarah bangsamu.” jawabnya lirih.

Besar harapanku jawaban lelaki tua itu membuka dan menuntun pikiranku ke kesadaran jiwa merdeka. Sayang, ia tampak mulai curiga kepadaku, lalu melangkah pergi. Entah mengapa aku enggan beranjak, hanya berdiri tertegun tertunduk malu di depan senapan mesin Mount Tripod. M. G. MK IV, dua bambu runcing, dan batu peringatan yang menjadi saksi bisu sejarah perjuangan para pahlawan bangsa.

Pada batu peringatan tertulis, “Pengorbanan kami demi nusa, bangsa, dan agama.2 Desember 1945.”

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler