KIDUNG MEMPELAI
—untuk sepasang mempelai: kakak Olyyen dan kakak Willy
Kidung 1:
Kita seperti sepasang burung gereja,
selalu berkisar di satu ranting cemara.
Tuhan mempertemukan kita di waktu
yang tepat—agar kita semakin tahu
bagaimana menaruh janji pada keabadian,
dan menyusunnya dalam sepenggal roman:
itulah yang kita sebut ‘kasmaran’.
Kidung 2:
Masih belum kusadari, zat-zat
penyebab kasmaran susuri sel-sel
tubuh kita, lalu merupa jadi debar;
dan di dada kita ia tak tertahankan.
Ia hadir seumpama genderang
yang mengabarkan keselamatan
kepada Israel.
“Selamat datang”, katamu
dan tahu: dag-dig-dug-dag di dadaku
sengit berkejar-kejaran.
Tapi kau, di kedua matamu
sebuah nada memagut: damai,
tiada sedikit pun ragu.
Lalu, kita berkhalwat—berpaut
dan kunang-kunang di mata kita meruap
“Kita seperti sepasang burung gereja”, katamu.
Kidung 3:
Angin membawa tetangkai rindu kita
yang pernah patah, yang tumbuh kembali,
di seputar mezbah ini. Tuhan menjahit
ujung-ujungnya, mengikat patahan-patahannya,
dan kini mekar jadi janji (jadi berkat yang likat,
yang tinggal tetap di hati kita).
Di mezbah ini—begitu anggun, kita
mengekalkannya sebagai kenangan: sebagai
rumah yang ramah hingga penghabisan.
Kita kemudian menamainya: kesetiaan.
Sukabumi, 10 Juli 2017.
Komentar
Tulis komentar baru