Skip to Content

Margareth...

Foto Joan Udu

 

 

 

Margareth...

 Oleh: Joan Damaiko Udu, ofm 


Aku terpanah di depan sebuah cermin besar yang memantulkan bayangan kecut diriku sendiri. Inilah kebiasaanku sejak kecil, memastikan cermin selalu berkata jujur tentang penampilanku. Seperti petang ini, kebiasaan itu berulang untuk berjuta kalinya. Namun, berbeda dari sebelumnya, kali ini aku mengenakan jubah putih. Tampak begitu anggun, wibawa, bercahaya seperti malaikat-malaikat mungil yang kerap aku temui dalam mimpi. Lah, apakah laki-laki itu benar-benar aku? Jangan-jangan ada yang lain di belakangku. Aku coba celingak-celinguk sebentar. Tidak ada orang lain. Hanya aku. Aku baru sadar, cermin tak pernah bohong, meski segala sesuatu terjadi terbalik di dalamnya. Benar, itu aku. Aku tersipu sendiri.


Aku baru saja menerima jubah itu pagi tadi. Lama aku memendam ingin untuk mengenakannya. Inilah angan yang aku bawa jauh dari masa kecilku, dan hari ini angan itu benar-benar nyata. Aku bukan l
elaki biasa lagi. Aku seorang frater, seorang yang kelak akan disebut gembala, atau imam, atau…entahlah. Lagi-lagi, aku tersipu sendiri. Aku kelihatan lebih gagah dibalut jubah ini.

 
Kring…kring….kring…
 

Derit ponselku memekak kuping. Rupanya ada pesan masuk. “Frater, apa kabar? Profisiat atas penerimaan jubahnya. Semoga panggilannya selalu teguh”. Sepenggal ucapan  itu langsung m
enombak jantungku. Nafasku serasa tertahan di pangkal lidah. Kata-kata itu dari Margareth, perempuan yang pernah singgah di hatiku, dan yang setahun lalu aku tinggalkan demi cita-cita mulia ini, cita-cita yang aku bawa jauh dari masa kecilku. Aku masih mencium aroma luka pada kata-katanya.

 
***

Aku tak ingat persis bagaimana ini bermula. Kisah ini terlalu lapang, hingga aku lupa bagaimana awalnya, dari mana semua cerita ini berasal, di mana kepingan-kepingannya disusun. Tapi, baiklah, satu hal yang masih aku ingat persis, aku bertemu Margareth di sebuah misa Minggu pagi. Aku bertemu dengannya ketika aku benar-benar merindukan hadirnya seorang perempuan seramah dia. Perjumpaan pertama jelas dengan prima, namun sedikit malu-malu, meski dalam hati sama-sama memendam debar. Ada pesona hebat di pertemuan itu, begitu mudahnya melebat. Tapi aku cuma membiarkannya bergelegak dalam hati, tidak lewat bahasa tubuh, supaya tak kelihatan murahan (Huuaahahaha…).

Margareth bukan perempuan biasa. Hidungnya yang tirus, matanya yang binar, dan cara tuturnya yang anggun langsung membuatku terpincut. Ia seakan memaksaku untuk hanya memperhatikannya. Lagipula, hanya lelaki tak waras yang mengabaikan keelokan Margareth. Bahkan, semakin lama bercakap dengannya, aku tak hanya senang, tapi juga kagum. Rupanya ia sudah lama belajar cara menyihir lelaki dengan sekali pandang. Terlebih senyumnya, membuatku selalu gelagapan.

Ia mungkin tahu, aku begitu ringkih setiap kali melihat perempuan dengan senyuman manis. Aku terus gelagapan. Terkadang megap-megap menahan napas, meredam setiap desir yang terus bergejolak. Ini mengerikan. Tapi jenis ini bukannya membuatku takut atau lari menjauh. Alih-alih takut, aku malah betah berdiri, bermanuver, dan mencari-cari bahan pembicaraan supaya Margareth tak lekas pergi. Harus kuakui, aku tak lagi sekadar kagum, aku sudah jatuh cinta. Tapi, aku tak tahu bagaimana mengatakannya.


Aku semakin gelagapan, menimbang-nimbang bagaiman
a harus mengatakan ini hingga  khatam. Aku takut, Margareth akan marah-marah atau sungkan menemuiku lagi kalau-kalau aku mengatakannya sekarang. Tapi, kapan lagi kalau bukan sekarang. Jika salah membuat kalkulasi, bisa saja Margareth renggut di hati yang lain. Oh, itu lebih menyakitkan. Lebih baik sekarang. Tak boleh tunda-tunda.

Margareth lagi celingak-celinguk, melihat-lihat jemputan dari rumah. Tapi masih di depanku. Bibirnya masih membuat napasku alang-kepalang berat. Waktu semakin mepet. Tanpa bertele-tele, aku langsung menembaknya dengan bedil yang paling panas, diiringi sorot mata yang tajam. “Aku suka sama kamu, Margareth. Aku jatuh cinta padamu!”


Margareth tersentak. Giliran dia yang gelagapan sekarang. Tapi dengan cepat ia memuli
hkan ekspresinya. Rupa-rupanya ia sudah menduga aku akan menembaknya. Cepat atau lambat, hal itu pasti baginya. Mungkin karena bakat alamiah perempuan sepeti itu, selalu hebat memahami debar yang debur di dada lelaki.

Margareth mendehem, balik bermanuver. Ia membuat jantungku bergemuruh makin riuh, dag-dig-dug-dag, seperti derap sepatu kuda. “Gi mana Mar, kamu mau jadi pacarku?” Tanyaku dengan debar yang makin deras. Ngeri aku rasakan jika saja Margareth menolak cintaku. “Gi mana dong Mar?”


Akhirnya Margareth bangun dari bisunya. Aku terkesiap, mengharap-harap cemas jawaban apa yang akan dilontarkannya.


“Mmm…akuuu, akuu jugaaa..! Emm, aku juga suka sama kamu Albert!” Wuarrr…kakiku serasa terangkat, melompat ke udara, lalu memeluk awan-gemawan. Bak gayung bersambut, cintaku diterima Margareth dengan hangat dan lembutnya. Belum pernah aku rasakan gemuruh  bahagia sekaliber ini. Aku memeluk Margareth, merasakan semua getaran di dadanya. Hangat, hangat sekali, seperti berada dalam kepakan sayap malaikat yang sering aku temui dalam mimpi.

 
***
Lebih dari sekadar nama dan senyuman, Margareth adalah kekasihku. Sama seperti aku, Margareth menyukai embun, gerimis, dan senja, tiga kutub pesona yang tak pernah kami sia-siakan. Kutub-kutub itu yang membuat kami merasa selalu bersekutu, meski kadang terpisahkan jarak yang lebar.

Embun, gerimis, dan senja menjadi tanda hari-hari terbaik kami. Sejak menjadi kekasih Margareth, aku merasakan perubahan demi perubahan. Aku tidak minder lagi, tidak malu-malu lagi, tidak kuper lagi, tak cuek lagi, tidak bolos sekolah lagi, tidak malas belajar lagi, dan masih banyak lagi. Aku seperti baru saja menemukan seberkas cahaya yang selama ini aku butuhkan. Itulah  Margareth. Lengkapnya, Margareth Cu’ung Watu. Ia bersinar, menjadi matahari di kala siang, rembulan di kala malam, dan lilin di kala temaram.


Hari-hari kami penuh dengan mimpi. Mulai dari ingin kuliah bareng di Makasar hingga angan untuk menikah. Kami sepakat, tak ada kata lain, selain cinta sampai mati. Keluarga kami bahkan sudah tahu kami saling mencintai dan mau saling memiliki.

Namun, suatu saat, pada waktu yang tak pernah aku duga, aku merasa ada yang janggal dengan perasaanku. Tanpa suatu sebab yang pasti, aku jadi linglung. Tak jarang aku menyendiri, mengambil jarak dari Margareth.

Entah kenapa, semakin aku merasa begitu mencintai Margareth, semakin aku ingin melepaskannya. Ada hal lain yang begitu kuat mencengkamku: aku kembali berniat menjadi imam. Aku seperti dibawa pulang ke masa kecilku, merasakan kuatnya niat dan panggilan menjadi imam.


Aku pernah berusaha menjauh dari niat ini, bahkan berusaha 
melupakannya. Tapi aku tak bisa. Aku lakukan banyak cara, sungguh-sungguh berusaha menguburkan niat masa kecil ini. Tapi lagi-lagi, tak bisa. Semakin aku berusaha menguburkannya, semakin ia menghujam kuat di hati, kepala, dan seluruh tubuhku. Niat itu bahkan nyaris sempurna menggencet Margareth dari hatiku. Aku benar-benar ingin menjadi imam.

Tapi aku bingung bagaimana harus mengatakannya pada Margareth. Ini akan menjadi petir yang menyambar di siang bolong bagi Margareth, yang senyum-senyumnya selalu ranum di mataku. Lagian tidak segampangg itu mengakhiri asmara yang sudah kami jalin selama tiga tahun. Susah dan senang sudah kami lewati bersama. Hingga hari ini kami masih bersama. Margareth masih baik dan cantik, tak berubah, tak ragu sedikit pun. Tapi, aku tak bisa menipu diriku sendiri, aku mau jadi imam. Aku yakin, Tuhan memanggilku. Saban hari, panggilan itu kian tak sabar.          

 
Aku tak kuat selalu linglung seperti ini. Aku harus mengatakannya!

 
Pagi ini, di hari Minggu kedua bulan Juli, aku j
ujur mengatakannya pada Margareth. Dengan suara yang berat, aku pelan-pelan menceritakan unek-unek perasaanku, tentang niatku menjadi imam, dan tentang inginku memilih pisah. Di luar kontrol, air mataku membandang di pipi. Aku benar-benar tak kuasa mengingat kembali kenangan-kenangan terbaik bersama Margareth, tentang senyuman manisnya, kecantikannya yang belum juga luntur, alis matanya yang bikin aku susah tidur, cara tuturnya yang halus, kelincahannya memelukku, kegirangannya di kala kami menikmati embun, gerimis, dan senja, dan masih banyak lagi.

Margareth terlalu istimewa. Tapi ada yang mesti aku ikhlaskan untuk pilihan hidup yang lebih besar. Bukan karena Margareth kurang tepat, tapi karena ada hal yang lebih besar yang mesti aku pilih. Aku tahu, ini berat sekali bagi Margareth. Aku pun begitu, berat sekali meninggalkannya. Tapi, sekali lagi, ada yang mesti kita relakan demi sebuah cinta yang lebih besar yang terus memanggil kita. Dan aku sudah mengatakan semuanya kepada Margareth.

 
***
Margareth diam, menahan setiap rintih di hatinya. Tanpa kata-kata, tanpa sepatah suara. Satu dua tetes air matanya tumpah, lalu banyak, lalu menggenang, lalu membasahi sekujur pipi manisnya, lalu membasahi hatiku. Ia nyaris rubuh. Tapi aku cepat meraihnya, memeluknya erat. Sangat erat.

Margareth mencengkamku dengan kuat pula, seakan tak ikhlas aku pergi darinya, seakan tak sudi aku direbut Tuhan yang empunya suarga. Suaranya melengking, histeris, melonglong ke angkasa, seperti hendak menyembunyikanku ke balik awan-gemawan yang tebal.


Ia tak rela aku pergi, tak rela aku jadi imam, tak rela aku meninggalkannya. Tangisnya meluapkan setiap inci rasa sakit di hatinya. Tapi ia tak bisa, rasa perih itu tetap tak tertahankan. Ia semakin kuat mencengkamku, hingga aku susah bernapas.

Kubiarkan saja ia memelukku dengan seluruh energinya yang masih tersisa, sebab aku mafhum, ini menjadi pelukan terakhir kami, dan itu kami lakukan tepat di tempat kami sepakat untuk jadian tiga tahun yang lalu. Di tempat ini, di halaman gereja, di sebuah Minggu pagi, kami mengawali hubungan termanis kami, dan sebentar lagi, di tempat yang sama, kami mengakhirinya bersama, sebelum akhirnya benar-benar berpisah.


Setelah puas memainkan pelukan terakhir dengan hebatnya, Margareth mengalah. Tapi aku tahu, hatinya masih menangis dan ranggas dihajar luka. Dengan sangat berat, ia merelakanku pergi pada sebuah dunia 
yang tak akan mudah disentuhnya. Setelah mengecup keningnya untuk terakhir kalinya, aku lekas pergi, meninggalkannya, dan akhirnya benar-benar berpisah.

 
***
Aroma luka pada kata-kata Margareth belum juga hila
ng. Entah dari mana ia tahu nomor ponselku. Entah dari siapa pula ia tahu kalau aku baru saja menerima jubah. Mungkinkah ia belum bisa melupakanku? Ataukah karena ia memang sudah merelakanku bertumbuh dalam duniaku yang sekarang, dunia yang tak lagi mudah disentuhnya? Entahlah…yang jelas, Margareth belum benar-benar melupakanku. “Terima kasih untuk ucapannya Mar. Semoga Tuhan meneguhkanmu serupa cara-Nya meneguhkanku di jalan panggilan ini. GBU!”

 files/Foto_Depok_baju_bola_0.jpg
 

 


Joan Damaiko Udu, ofm adalah peminat puisi, filsafat, dan kerupuk; sekarang tinggal di Jakarta. 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler