Skip to Content

SEPASANG SEPATU SENDIRI DALAM HUJAN

Foto ombi

Berhadapan dengan 105 puisi dalam buku “Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan” ini bukanlah perkara yang mudah bagi saya. Karena pada dasarnya saya tidak hanya berhadap-hadapan dengan mereka, tetapi juga 105 dunia yang mereka simpan, yang mereka peram diam-diam—dan kita tahu apa yang disimpan selalu jauh lebih mengerikan daripada apa yang diperlihatkan. Bukan hanya tak mudah terus terang, tapi juga melelahkan, sebab 105 dunia itu tak seragam. Mereka begitu beragam. Satu atau dua mungkin mudah ditaklukkan, selebihnya saya harus berpayah-payah melewatinya, atau kemudian memilih menyerah. Beberapa puisi membuat saya ingin berhenti lama-lama untuk menikmatinya, beberapa puisi membuat saya ingin buru-buru meninggalkannya. Dan akhirnya saya berhasil menyelesaikannya, menutup halaman 118 dengan sebuah kelegaan yang luar biasa. Dan sekarang saya akan mencoba membagi pengalaman saya tersebut. Tentu saja tidak semuanya bisa saya bagi. Waktu kita begitu singkat. Selain itu ada banyak yang belum selesai saya rumuskan dalam kepala—maka biarkanlah tetap menjadi pengalaman saya seorang diri. Di balik 105 puisi ini ada 3 sosok penyair yang luar biasa menurut saya: Maulana Achmad, Inez Dikara dan Dedy T. Riyadi. Secara pribadi saya hanya mengenal Mbak Inez. Sedangkan dengan Pakcik Ahmad dan Mas Dedy, saya berkenalan dengan mereka hanya melalui karya-karyanya. Tentu saja ini bukan perkara. Kenal atau tidak dengan penyairnya tak akan mengganggu pembacaan saya atas puisi-puisi mereka. Bukan berarti dengan mengenal penyairnya kita akan jadi lebih mudah memahami puisinya. Dan sebaliknya. Karena puisi berlari sendiri tanpa seorang pun bisa mengawalnya—penyairnya sekalipun. Demikianlah beberapa bulan yang lalu, September 2008, puisi-puisi yang dikumpulkan dalam Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan ini menemui saya. Dikirimkan oleh seorang malaikat kepada saya.  Buku dengan gambar sampul sepasang sepatu dengan latar mendung ini diterbitkan oleh Carangbook Yogyakarta, 2008 dengan penyunting TS Pinang.

Lalu dengan pelan-pelan saya mulai mengenal 3 orang yang berdiam dalam buku ini. Sebab puisi hanya sekadar medium. Sebatas jalan buat saya untuk mengenal penyairnya: jagat cilik dan jagat gedhe-nya. Semesta yang berdiam dan melingkunginya. Puisi hanya sebuah cara bagi penyair untuk menyampaikan sesuatu—kenyataan yang dialami dan dilihatnya. Karenanya puisi tak pernah menetap dan berhenti, ia bukan tujuan, sebagaimana jalan ia akan terus berkembang, melebar dan menyempit, lempang dan berkelok, seturut dengan tumbuhnya penyair dan kenyataan yang melahirkannya. Saya tahu tak semua orang bersepakat dengan keyakinan semacam ini: bahwa puisi hanya sebuah upaya. Bagi sebagian orang puisi menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Ia menjadi tujuan. Bukan jalan. Semua orang memilih keyakinannya sendiri-sendiri. Keyakinan yang akan mengantar setiap yang meyakininya sampai pada sesuatu.

Baiklah, saya akan kembali menemui 3 orang dalam buku yang saya pegang ini. Saya akan menemui mereka satu-satu—saya tidak sedang berhadapan dengan gerombolan tanpa nama dalam kumpulan sajak ini. 

Di sepertiga bagian awal buku kumpulan sajak ini saya bertemu dengan Maulana Achmad, biasa dipanggil Pakcik, seorang laki-laki yang lahir Medan, 39 tahun yang lalu. 35 puisi seperti berusaha keras menghadirkan dirinya. Dari Monochrome sampai Semacam Itulah Pakcik mendendangkan hidup dan kehidupannya, dunia yang melintas dan dilintasinya. Dunia yang sebagian terasa keras dan getas di mata saya. Semacam: 

dahi-dahi berkerak
bibir-bibir retak
tungkai-tungkai bak pasak
tapi do’a tak berbiak 

(Semacam Itulah, hal 38). 

Tapi kadang juga mengharukan dan mengejutkan seperti 

petang itu hujan pulang
tanpa kereta 

(Narasi Hujan, Air yang Bertamu, hal 16)

Di keseluruhan sajaknya saya seperti melihat Pakcik selalu dalam keadaan sendiri: berjalan di tengah gurun, bersepeda, duduk di peron, berdoa di anak tangga masjid, menari dalam hujan, dan merawat bunga. Sendiri dan membangun percakapan dengan kesendiriannya.

Secara bentuk Pakcik masih belum memantapkan dirinya. Ia tampak masih bergulat dengan sejumlah keraguan. Kadang menemu pola ucap yang kuat. Kadang kehilangan daya pikatnya. Di sejumlah sajak pendeknya seperti Aglaonema 3, Kuasa Rindu 2, Serimbang, Malam Lebaran, dan Inilah Hujan saya menemui kesulitan untuk menikmatinya. 

Tapi tidak semua sajak pendeknya menyulitkan saya. Buktinya saya merasa begitu nyaman dengan 

Berjalan dengan Ramadhan 

aku berjalan dengan Ramadhan
kami beriringan tapi saling diam

atau sajak 

Secinta-cintanya Aku Padamu

secinta-cintanya aku padamu…
kulitku tetap berwajah tanah

Pada sepertiga bagian selanjutnya saya bertemu dengan Inez Dikara, sosok perempuan Yang Tumpah di Mangkuk Malam. Ya, saya cukup lama berhenti di puisi di halaman 54 tersebut. 

hangat airmata tumpah di mangkuk malam
entah siapa hendak meminum sepi
jeda yang tak berisi
tawa anak dan kecipak air

Sehabis bertemu dengan sajak-sajak Pakcik yang keras dengan diksi-diksi yang liat, sajak-sajak Inez laiknya Tanah-tanah Makam yang Sepi dengan Bulan Memar, mendinginkan dan menggigilkan. Perempuan kelahiran Tanjung, Kalimantan Selatan ini banyak menggunakan langgam bahasa keseharian dalam memunculkan imaji-imaji puitiknya. Dalam sajak-sajaknya yang agak panjang Inez  seperti bercerita tanpa harus kehilangan kepadatan kata: 

kemilau hamparan pasir putih
di tepian danau tengah kota
di suatu musim, di kota angin

para remaja bersepatu roda
meluncur dengan walkman di telinga
anak anak bertelanjang dada
aku bersandar di bahu waktu
yang mulai tua

sebotol gatorade dingin menemaniku
aku duduk mengenangmu 

(Suatu Musim di Kota Angin, hal 53)

Dalam kumpulan ini Inez banyak bersandar pada ruang untuk menyampaikan perasaan-perasaannya: Tanah-tanah Makam yang Sepi, Bulan Hadir di Teras Rumah, Senja Bersandar di Jendela Kamar, House of Blues, Suatu Musim di Kota Angin, Yang Tumpah di Mangkuk Malam, Yang Tertinggal di Kursi Kereta, Suatu Malam di Sisi Sebuah Candi, dan Sogan Village

Kekuatan 35 sajak Inez Dikara cukup merata, kecuali di beberapa sajak pendeknya yang terasa kurang tajam seperti Sendiri, Selamat Datang, dan Investigasi Kematian Puisi. Kurang tajam di sini dalam perbandingannya dengan sajak-sajaknya yang lain.

Di sepertiga bagian terakhir saya berkenalan dengan Dedy T Riyadi. Dibanding kedua rekannya terdahulu, ketrampilan Dedy dalam berbahasa terasa menonjol. Kosakata yang kaya dan permainan bunyi yang lincah memunculkan kesegaran tersendiri di penghujung kumpulan ini.

Sebermula dari hujan
: tawa kanak yang melengking di udara

/1/ Takbir – yang ujungjarinya kausanding
Tepat di samping cuping telinga – kini
Kaudekap erat di dada. Semacam awal
Sebuah rakaatL sebuah jalan lengang
Kautapaki penuh hikmat.

Tapi ada genangan bekas hujan di jalan itu,
Sebuah kolam kecil bagi ingatan masa kanak.

(Sajak di Negeri Hujan, hal 116)

Pada mulanya cahaya
lalu menjelma kupukupu
aku ingin bertanya
“Kau yang janjikan itu?”

Sepasang sayap, sepasang mata
sebuah pemandangan tak terduga
begitu senyap tetapi nyata
serupa kembang-kembang luka

(Kupukupu Cahaya, hal 107)

Dan Dedy mungkin (ini hanya dugaan saya saja) terlalu menyadari kelebihan berbahasanya ini. Hingga kemudian, di sebagian besar sajaknya dalam buku ini, ia terlalu asik bermain dengan bahasa. 

Pelabuhan begitu senyap
pantai kehilangan ratap
kabar apa lagi yang kauharap?

(Bulan Masih Telanjang, hal 100)

Jika kau bosan dengan bulan, kucabut sehelai uban
Jika kau resah dengan hujan, kuulur sebelah tangan
Jika kau mabuk dengan gelombang, kupanggil kau,
Sayang

(Sebagaimana Aku Memanggilmu, Sayang, hal 113)

Terlalu asik hingga kadang lengah bahwa puisi tak semata ketrampilan berbahasa. Bahasa hanya sarana menghadirkan makna. Tentu saja tak semua puisi Dedy dalam buku ini jatuh dalam kegenitan berbahasa. Di beberapa sajak di mana ia bisa menakar dengan tepat komposisi bentuk dan isinya, terasa benar bagaimana kekuatannya. Perkawinan di Kana, Sajak di Negeri Hujan, Kupukupu Cahaya, dan Bibir Ibu adalah beberapa puisi Dedy yang membuktikan kekuatannya.

Demikian saya menutup buku kumpulan Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan. Menutup pertemuan saya Pakcik yang keras dan pekat, Inez yang membiarkan dirinya tumbuh dengan wajar dan Dedy yang begitu lincah dan terampil. Jika ketiga karakter itu menyatu dalam tubuh seorang penyair, saya akan jatuh cinta kepada puisi-puisinya. Saya jatuh cinta kepada buku ini karena mampu mempertemukan ketiga karakter itu. Selamat buat Pakcik, Mbak Inez dan Mas Dedy.


Makalah pada Parade Obrolan Karya, 6 Mei 2009, Yayasan Umar Kayam Yogyakarta

Sumber: www.umarkayam.org

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler