Aku bertemu rantau dengan embun beraroma asap. Diasalku nan jauh, tempat aku mencipta mimpi, pagi terbuat dari dingin. Angin. Halaman luas, butiran batu lebuh, semak berbuai, basah mengantar peladang bertemu bukit pemerasan, peras getah daun. "Masak berapa hari ini?" Begitulah peladang gambir mengisap embun pemula kerja
Peladang bekerja tulang, memeras getah daun, membanting berat, membuat peluh, memikul harap. Ada jua masa Orang ladang mencupak umpat, medesis carut, memberi toke wajah buruk, memaksa salah pada pemerintah, karena upah tidak membayar kerja. Sesekali, peladang juga membeli kaya, memanen harta, menukar miskin, mencibir rantau, lupa kepada sejuk embun, cara menikmati aroma pagi basah.
"Lebih elok kau di kampung saja, merentang kuduk beberapa minggu saja, sudah bisa menunggangi motor baru" Begitu lacur peladang, kalau sedang mendapat, sedang berair asamnya, mengantar sindir ke tanah rantau. Tidak harus merantau memang, kalau ingin mencoba kaya, aku hanya ingin memberi jejak pada rantau, kepada tradisi moyang, kepada pesan petaruh tua, untuk membangun rindu. Tapi aku sampai pada rantau, tanpa lembab embun, tidak ada keheningan menuju fajar. Kita akan bersua dengan bincang gelap, Basah lebuh kampung, pekak kedai koa, tawa yang dibuat-buat, senyum penahan saku.
Kita membayangkan ladang menjadi uang, menikmati tempias embun, angin lembah membasuh muka, pada kedai parewa. Karena memang, kita sama peladang, aku peladang rindu. Akan pulang menjemput rindu, menjenguk ladang, menunggu embun. Ladang kita tidak akan usang, sampai nyawa meregang, tak pernah usai, begitu pulalah rindu.
Kini rantauku memberi aroma embun, berbeda, sejuk berubah asap. Tetapi, embun tidak berubah, selalu membawa rindu, mengangkut cinta, mengingat asal. memang kita bernaung langit nan satu, tapi berbeda embun, pautan rindu.
Bungo pasang, Juni 2020.
Aroma Embun, Getah Daun, Pemanggil Rindu.
- 295 dibaca
Komentar
Tulis komentar baru