Skip to Content

Cerpen

Mereka Yang Kaya

“Meskipun kita semua tahu Harun orang yang pandai, baik dan rajin beribadah, siapa tahu dia juga melakukan hal-hal yang dilarang. Seperti mencuri misalnya, atau malah pesugihan.”

Cinta di Atas Lapak

Cinta di Atas Lapak

lebaran

 

Orang Bijak Hanya Diberi Pedang Tumpul

Suatu waktu di suatu desa yang terletak di kaki gunung terjadi wabah penyakit. Saat itu Saifulah baru berumur 8 tahun, kedua orang tuanya meninggal karena wabah penyakit yang menular. Di kaki gunung yang sama tinggallah seorang ulama, orang-orang yang mengenalinya biasa memanggilnya Kyai Tapa. Beliau tinggal mengasingkan diri dari keramaian di suatu tempat yang tersembunyi di kaki gunung itu.

habis terang untuk gelap

HABIS TERANG, UNTUK GELAP

                 Bila saja kau ada di sampingku..

                 Sama-sama arungi danau biru..

Permata Haramku

Kehormatan. Ya, aku baru saja memaksa untuk memilihnya! Itu harus tetap ada padaku, pikirku. Walaupun kenyataan sebenarnya, kehormatan itu sendiri telah tak ada lagi, aku tak peduli, aku tak mau ini, aku tak mau !

------

Catatan Untuk Istriku

Hariman baru saja menyelesaikan tulisannya dan menarik nafas dalam-dalam berulang-ulang. Tapi perasaan lega tak kunjung didapatnya. Saat menulis tadi bagaikan berada di sebuah medan peperangan yang menegangkan dengan berbagai macam ketakutan, kepanikan, kebencian, kemarahan, kesedihan, dan kebingungan. Campur aduk menjadi satu.

Madah untuk cinta

Gerimis mengawali pagi hariku.sang surya masih asyik berselimut di balik gumpalan awan yang menghitam.Ku sibak tirai jendela,ku lihat burung2 sdang asyik saling merapat berteduh pada ranting2 pohon di depan rumahku.Titik2 air saling brlomba mengetuk stiap dedauna

menghimpun kabut

seperti biasa, wanita itu menghampiriku dari bias jendela asrama di kala sang fajar menyapa. tetapi anehnya semakin kudekati semakin ia menjauh pergi beriring noktah kabut yang kian menipis ditelan sang surya.
sempat pula aku mencoba berbicara dengannya saat dia tengah sendiri duduk di tepi danau sarangan, namun bagaimana pun caraku untuk meraihnya aku hanya mampu menatapnya dari bias air yang memantulkan wajahnya, pun nihil hasilnya, saat aku bertanya seddang apa dirinya? aku hanya mendapati tangisnya yang mengisak mengiris sukma.
di pagi yang lain aku mencoba untuk kembali menemukannya, dan memang benar adanya, ku lihat dia dengan senyum manisnya menyambutku dengan penuh hangat yang tak dapat ku jabarkan bagaimana itu terasa. sebenarnya ingin ku balas senyum itu dengan peluk hangatku padanya, tetapi aku sadar bahwa aku hanya dapat meraihnya sebagai bias, jadi kuputuskan untuk kembali tersenyum padanya. tetapi tunggu, apa tadi aku bilang bahwa dia tersenyum? mungkin itu adalah pertama kali aku menjumpai senyumnya.
"dinda, ayo jama'ah, malah senyum - senyum sendiri dekat jendela", suara indah memaksaku untuk beranjak meninggalkan wanita itu.
"ah indah, kamu mengganggu pertemuanku dengan teman baruku".
"teman baru? siapa?" tanya indah yang terlihat bingung.
"itu yang ada di luar jendela, ayo ku ajak kamu bertemu dengannya!"
ku tarik tangan indah menuju jendela tempat aku berjumpa dengan wanita itu di setiap paginya.
"siapa? dimana?" indah menatapku penuh heran.
"dia, dia yang ada tepat di sebelahmu." jawabku sambil menunjuk ke arah wanita itu.
"dinda, aku tahu apa yang terjadi padamu, tapi kamu harus bangkit kawan... sudahlah shalat subuh dulu yuk."
indah menarik tanganku untuk bergabung dengan barisan jama'ah shalat subuh. aku heran mengapa indah tak dapat melihat wanita itu, atau mungkin indah yang memang tak dapat memahami apa yang kami rasa. hmm, sudahlah toh aku tak perlu memikirkannya.
pagi ini aku ada jam kuliah pagi, maka jam 7 tepat aku sudah beranjak meninggalkan asrama. jalanan menuju kampus belum sepenuhnya tercemari polusi kendaraan, jadi aku masih dapat merdeka menghirup nafas dalam - dalam. tetapi nampaknya ada seseorang yang mengikuti tiap dera langkahku, dengan cekatan aku pun mengambil posisi siaga, ku pandangi tiap sudut sambil memasang tajam telingaku.
namun syukurlah kecurigaanku tak lagi berarti, ternyata wanita itu yang memata - matai langkahku sedari tadi. aku pun tersenyum padanya setelah ku temukan biasnya di salah satu gedung perkuliahan.
"dinda, ayo masuk, mengapa kamu hanya berdiri di depan lift?" tanya indah sambil menarikku ke dalam kelas.
"aku bertemu wanita itu lagi ind, dia mengikutiku sampai ke kampus."
"wanita mana? siapa? akhir - akhir ini kamu aneh din, kamu seperti..."
"gila maksudmu!? aku benar - benar melihat wanita itu ind, aku memang tak tahu dia siapa dan aku tak pernah menyentuhnya, tapi dia ada. aku berani bersumpah untuk hal itu."
aku berusaha meyakinkan indah yang memang sudah tak percaya dengan kata - kataku tentang wanita itu.
"semua ini gara - gara anas kan din? laki - laki itu yang membuatmu seperti ini, iya kan din?"
otakku seolah kacau saat indah menyebut nama anas, laki - laki yang aku cintai sekaligus ku benci. aku tak tahu apa yang terjadi dengan diriku sendiri, aku hanya menangis, menangis, dan menangis, lalu semua gelap, hanya ada aku dan fatamorganaku sendiri.

Mesin Ketik Sang Penulis

Tiga orang duduk pada tiga kursi berbeda. Saling menghadap dan sebuah meja kuno bulat berada ditengah-tengah mereka. Satu orang tampak sangat bersedih. Tapi dua orang yang lain tampak berbeda. Beberapa saat tak ada perbincangan. Mereka saling diam.

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler