Skip to Content

GOOOLLL!!!

Foto R'ainy Yusuf

“Goool,” Bang Ari berjingkrak setelah kembali membobol gawang Redi. Dan ini sudah yang ke lima. Wajah Redi merah padam. Seperti biasa, kekalahan adalah hal yang sangat tidak bisa diterimanya.

Sekarang giliran Redi menendang bola. Dengan keringat bercucuran di tubuh dan dahinya, dia memasang kuda-kuda, bersiap untuk membidik gawang Bang Ari. Kali ini harus gol. Sudah lima kali giliran menendang bola, dia tak pernah berhasil membobol gawang Bang Ari. Benar-benar membuatnya panas hati. Sekarang kuda-kuda sudah benar. Dia akan membidik arah kiri gawang. Dengan sekuat tenaga dia menendang bola. Ups, ternyata masih juga dapat digagalkan oleh Bang Ari.

“Hore! Nggak gol, nggak gol,” ujar Bang Ari sambil berputar-putar mengelilingi lapangan. Dengan gemas Redy  menerjang Bang Ari. Perut Bang Ari yang gendut ditinjunya bertubi-tubi. Bang Ari makin keras tertawa dan berteriak mengejek kegagalan Redy. Tenaga tangan kecil Redy, bagi Bang Ari yang bertubuh tambun, hanya membuat geli.

“Nih, rasain. Capek nendang nggak pernah gol,” ujar Redy sambil menghapus peluh di tubuh dan wajah dengan bajunya.

Mamak yang sedari tadi menonton mereka bermain bola, hanya tersenyum. Ketika Redy mendekat lalu menggelendot manja pada Mamak, keringat yang mengalir di wajahnya dihapus Mamak dengan handuk kecil. Sementara Bang Ari masih tertawa geli melihat tingkah Redy yang tidak mau menerima kekalahan.

“Sudah, Ri. Jangan menggoda adikmu terus,” kata Mamak pada Bang Ari. Walaupun masih menahan rasa geli, tawa Bang Ari akhirnya reda.

Redy dan Bang Ari bermain bola berdua saja. Peraturannya, siapa yang paling banyak memasukkan bola ke gawang, maka dialah pemenangnya. Mereka bermain di halaman dengan gawang yang hanya terbuat dari jaring yang direkatkan pada dua tonggak kayu. Di babak pertama, Bang Ari sudah memenangkan permainan. Dan tadi pada babak terakhir, tetap saja Redy jadi pecundang.

“Bang Ari main curang, Mak. Dari tadi dia saja yang menang,” Redy mengadu pada Mamak. Sebenarnya Mamak juga ingin tertawa melihat cara Redy menghadapi kekalahan dalam permainan, tetapi Mamak berusaha menahan agar Redy tidak bertambah marah.

Sebagai bungsu dari tiga bersaudara, Redy selalu ingin menang sendiri. Kak Mawar Dan Bang Ari biasanya akan mengalah terhadap keinginan adik bungsu mereka. Hal itu menyebabkan dia selalu tidak bisa menerima kekalahan dengan besar hati. Dalam permainan bersama teman pun, bila berada di pihak yang kalah, Redy akan memilih berhenti bermain.

“Memangnya kenapa? Kan sama-sama menendang bola tadi?” Mamak berusaha meredam kemarahan Redy.

“Iya. Tapi dari tadi dia saja yang gol. Adek nggak pernah gol.”

“Dalam permainan sepak bola yang diutamakan itu ketangkasan menendang bola. Kalau Redy belum bisa menjebol gawang lawan, itu tandanya lawan lebih tangkas menangkap bola. Jadi, Redy harus berlatih  lebih giat supaya bisa menemukan celahnya,” Mamak berusaha menjelaskan agar mudah difahami Redy. Maklum saja, sebagai anak yang baru berusia kurang dari tujuh tahun, Redy masih sulit menerima penjelasan. Baginya peraturan adalah apa yang diperbuat dan disukainya.

“Tapi, kan Adek sudah capek nendang bola. Seharusnya biar gol sekali saja,” seperti biasa Redy masih tetap ngotot.

“Walaupun begitu, tetap saja Redy belum bisa, kan? Makanya nanti berlatih lagi biar lebih tangkas menendang bolanya. Sekarang sudah sore, Adek mandi dulu. Jangan barengan Bang Ari. Mandi sendiri saja.”

Dengan masih menunjukkan rasa tidak puas di wajahnya, Redy masuk ke dalam rumah. Dia langsung menyambar handuk yang tersampir di jemuran dekat kamar mandi. Ayah yang sedang memperbaiki kran air di pencucian piring hanya memandangi saja si Anak Bungsu itu masuk ke kamar mandi. Hampir saja Redy menendang peralatan yang berserakan di dekat kaki ayah. Ayah menggeser semua peralatan itu sambil geleng-geleng kepala.

“Diapain Abang lagi, Dek,” tanya Ayah sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. Tidak ada jawaban. Ayah hanya mengangkat bahu. Kalau sedang marah, Redy memang melibatkan semua orang.

Bang Ari masuk sambil menyanyikan lagu suporter sepak bola yang biasa didengarnya di TV.

“Jangan nyanyi!’ teriak Redy dari kamar mandi.

Ayah langsung menendang pelan kaki Bang Ari sebagai isyarat agar menghentikan lagunya. Bang Ari tidak lagi bernyanyi.

Seusai mandi, Redy mengenakan seragam pemain bola yang bergambar seorang pemain dunia. Kemudian dia duduk-duduk di depan rumah menunggu azan Maghrib tiba. Dipandanginya halaman tempat bermain bola tadi. Berpindah-pindah matanya bergerak dari jarak tendangan hingga ke gawang. Cukup dekat. Tetapi kenapa tak bisa gol, ya? Redy benar-benar tak habis pikir. Padahal tadi dia sudah bergaya seperti Lionel Messi ketika menendang bola. Gaya itu masih ditambah gerakan tendangan gledek si Madun dari sinetron di tv.

Dari kejauhan terdengar suara azan Maghrib yang sejak tadi ditunggu-tunggunya. Dia beranjak ke dalam rumah untuk berwudlu. Dari atas meja belajar, dia mengambil kopiah lalu berangkat mengaji.

“Assalamu a’laikum,” ujarnya sambil berjalan keluar rumah.

“Eh, nanti dulu. Kok nyelonong saja seperti maling. Salam tangan Ayah sama Mamak dulu,” ujar Mamak mengingatkan Redy. Redy menuruti kata-kata Mamaknya, menyalam dan mencium tangan kedua orang tuanya.

“Nah, begitu. Biar ilmunya berkah,” ujar Ayah yang sudah rapi berpakaian salat sambil mengelus kepala Redy.

Redy berangkat mengaji ke musalla yang tak jauh dari rumah. Ayah menurutkannya dari belakang untuk ikut berjamaah di musalla. Seusai salat Isya, mereka pulang dari masjid. Redy berlari-lari dengan riang. Dia menunjukkan kertas bergambar kepada Bang Ari. Kertas itu berisi tulisan kaligrafi.

“Tadi kami diajari menulis kaligrafi sama Pak Tahmid. Abang nggak ikut, wek,” ejeknya pada Bang Ari.

“Coba lihat, Redy,” ujar Bang Ari. Redy menyerahkan gambar kaligrafi di tangannya kepada Bang Ari.

“Wah, jelek. Siapa yang buat ini?” tanya Bang Ari yang langsung di sambut Ayah dengan isyarat agar jangan meneruskan kata-katanya. Ayah yang masih berdiri di depan pintu, meletakkan jari di atas bibirnya. Bang Ari langsung faham.

“Ada apa kok pulang ngaji malah ribut, bukannya memberi salam,” ujar Mamak yang baru keluar dari kamar.

“Bang Ari, Mak. Masak gambar Adek dibilang jelek,” Redy mulai merajuk.

“Oh, ini buatan Redy, ya,” ulang Bang Ari lagi.

“Iya. Sini kembalikan,” ujar Redy yang sudah terlanjur marah karena diejek hasil karyanya jelek.

“Kalau Redy yang membuat pasti bagus. Sini Abang ajari membuat kaligrafi, biar lebih bagus,” Bang Ari berusaha membujuk Redy.

“Memangnya Abang bisa?” tanya Redy.

“Bisa. Dulu Abang kan belajar kaligrafi juga sama Pak Tahmid,” kata Bang Ari lagi.

“Tunggu, Adek ganti baju dulu,” ujar Redy sambil berlari ke dalam kamar.

Mamak meletakkan teh manis panas di atas meja lalu duduk di samping ayah yang baru berganti pakaian.

“Kita makan sekarang, Yah?” tawar Mamak.

“Sebentar lagi. Kenapa tadi sore Adek kok ngamuk-ngamuk?” tanya Ayah perihal sikap Redy tadi sore.

“Biasalah. Main bola tapi kalah sama Abangnya. Redy kan kalau bermain maunya menang terus,” Mamak menjelaskan kejadian sore tadi.

“Tapi sekarang sudah baik lagi,” kata Mamak lagi.

“Iya. Tadi di pengajian juga ribut sedikit dengan temannya gara-gara giliran mengaji. Adek maunya giliran pertama sementara sudah ada temannya yang datang lebih dulu. Akhirnya Adek mendapat giliran pertama,” terang Ayah.

“Jadi sudah merasa menang rupanya,” ujar Mamak sambil tertawa.

Dari dalam kamar terdengar suara Bang Ari menjelaskan cara-cara penulisan kaligrafi. Redy mengikuti petunjuk yang diberikan Bang Ari. Memang pada dasarnya dia anak yang penurut. Diantara kakak-kakaknya, Redy paling rajin menolong apa saja yang dirasanya mampu dikerjakannya. Seperti ketika ayah sedang merapikan sisa-sisa rumput yang baru dipangkas di halaman, dengan cekatan dia ikut mengerjakannya. Hanya saja dia tidak dapat menerima perintah. Semua harus atas kemauannya sendiri.

“Adek sudah ngantuk, Bang,” ujar Redy sambil menguap, setelah cukup lama mereka belajar.

“Kalau begitu kita tidur, yuk. Sudah malam. Besok kita belajar lagi, ya,” ujar Bang Ari sambil membantu Redy merapikan alat-alat tulisnya.

“Besok Adek mau main bola lagi. Tapi jangan Abang aja yang gol,” Redy mengajuk Abangnya. Mendengar kata-kata adiknya, Bang Ari tertawa.

“Bermain bola itu hanya permainan ketangkasan. Kalau Redy mau pintar main bola bukan Abang yang harus mengalah, tapi Redy harus giat berlatih. Besok Abang ajari kiat-kiat menendang bola. Mau?” tanya Bang Ari.

“Mau! Tapi jangan keras-keras menendangnya nanti Adek nggak bisa nangkap,” ujar Redy bersemangat.

“Sekarang tidur dulu. Besok sepulang Abang dari sekolah baru kita latihan lagi,” kata Bang Ari. Redy berusaha memejamkan matanya.

“Eh, jangan lupa baca doa dulu. Biar jangan mimpi buruk,” Bang Ari mengingatkan. Redy langsung mengangkat kedua tangannya dan komat-kamit membaca doa tidur.

“Bismika Allahumma Ahya Wa Amut. Amiin,” Redy menyapukan kedua tangannya ke wajah. Bang Ari memandangi wajah adiknya hingga akhirnya mereka berdua pun tertidur.

Kedua orangtua mereka mendengarkan dialog keduanya sambil tersenyum. Sebelum masuk ke kamar tidur, mamak memeriksa kamar keduanya. Mamak membenarkan selimut Redy, lalu mengecup pipinya sekilas. Dan ayah mengucak rambut Bang Ari.

Di kejauhan terdengar sirene entah dimana. Berbagai masalah mungkin terjadi di seluruh belahan dunia malam itu. Tetapi bagi Redy, bocah pra sekolah berusia hampir tujuh tahun itu, mimpi malam ini bermuara dengan kedamaian. Dan bagi mamak juga ayah Redy, kebahagiaan dan keceriaan anak-anak itu merupakan anugerah yang sangat mereka syukuri. Masih sempat dilihat mamak sebuah senyuman terukir di bibir Redy. Mungkin dia tengah bermimpi bermain bola bersama Lionel Messi, atau sedang beradu akting dengan si Madun. Tetapi yang pasti persoalan siang tadi tidak lagi mengganggu perasaannya. Dia akan bermain bola lagi. Besok. Setelah Bang Ari pulang dari sekolah. Tak peduli walaupun besok harus kalah lagi.

Diselesaikan di Kotapinang, 1Juni 2012, Jum’at malam, 21.17 WIB.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler