Skip to Content

Suara Ketukan di Jendela

Foto R'ainy Yusuf

Seperti dari tempat yang sangat jauh terdengar suara memanggil namaku. Samar-samar mataku mulai menangkap bayangan yang ada di jangkauan pandang. Jam beker di atas meja belajar di tentangan tempat tidur menunjukkan pukul dua belas tengah malam. Lamat-lamat terdengar suara radio yang lupa kumatikan sebelum aku tertidur.

“Dek, tolong bukakan pintu,” suara perlahan seseorang diiringi ketukan pada daun jendela kamar.

Sudah dua bulan aku tinggal di rumah ini. Sebuah tempat kost yang terletak di suatu gang sempit di kota Medan. Aku menempati sebuah kamar yang lumayan untuk ukuran anak kost. Kamar itu terletak di bagian belakang rumah. Bersebelahan dengan kamar mandi. Aku menempati kamar ini sendirian.

“Aku juga dulu tinggal di rumah itu,” kata Togi suatu sore ketika kami bertemu di rumah Yeni, “hati-hati sama anak laki-laki ibu kost, ya,” pesan Togi sambil tersenyum misterius. Togi tinggal di sebelah rumah Yeni, teman sekolahku. Aku bertemu dengannya sewaktu mengerjakan tugas kelompok bersama Yeni. Dia banyak bercerita tentang anak lelaki ibu kostku. Atau mantan ibu kost Togi.

“Dia pernah kupergoki mengintip adiknya mandi,” katanya lagi. Aku hanya tersenyum kecil mendengar ceritanya. Angin sore yang bertiup di teras rumah Yeni agak menggigilkan tubuhku. Ataukah rasa menggigil itu karena pengaruh cerita Togi?

“Dek..,dek..” suara di jendela terdengar lagi. Perlahan aku bangkit dan duduk di tepi tempat tidur.

“Tok,tok,tok,” kembali terdengar suara ketukan halus.

 Aku teringat kejadian di suatu senja ketika akan menutup jendela kamar. Di balik rerimbunan pohon singkong di belakang kamar mandi, samar-samar aku melihat sesosok tubuh. Lama kuperhatikan dari balik daun jendela kamar yang baru setengah tertutup. Seorang lelaki. Aku mengenali sosok tubuh kehitaman itu. Dan dari  kamar mandi terdengar suara air diiringi senandung lirih. Putri ibu kost sedang mandi.

Ibu kost mempunyai dua anak. Yang sebaya denganku bernama Dila, duduk di bangku kelas tiga sebuah SMA swasta. Orangnya tomboy tetapi baik. Sedangkan kakaknya, Ziko, sudah tamat SMA setahun lalu. Entah mengapa sehari-hari kerjanya hanya nongkrong di rumah saja.

Pergaulanku dengan Ziko boleh dikatakan terlalu kaku. Aku kurang begitu menyukainya. Entah mengapa sejak melihatnya pertama kali, aku merasakan banyak rencana jahat tersimpan di matanya. Dia suka bercanda. Beberapa kali dia berusaha memancingku untuk banyak bercerita. Tapi sejak mula ada suara dalam batinku untuk menghindarinya.

“Teman-teman Dila sudah banyak yang jadi korbannya,” itu kata-kata Togi pada kali lain kami bertemu. Menurut Togi, Ziko itu mata keranjang.

Aku tidak perlu waktu lama untuk membuktikan kata-kata Togi. Sejak tinggal di tempat ini aku sering melihat teman-teman Dila yang menginap di sini. Mereka biasanya tidur bersama Dila di kamar sebelah. Suatu malam aku benar-benar tidak tahan ingin kebelakang. Rujakan jambu sore tadi, sukses membuat aku sakit perut. Terbirit-birit aku ke kamar mandi. Melewati kamar belakang yang berseberangan dengan kamar kecil aku tercekat. Ada suara-suara yang membuatku curiga. Rasa sakit di perut kutahan karena penasaran dengan suara itu. Pelan-pelan kudekati kamar belakang yang merupakan kamar tidur Ziko. Lewat lubang kunci, aku usil mengintip ke dalam. Ya ampun, mendadak rasa mulas di perutku berubah jadi mual. Perlahan sekali aku kembali ke dalam kamar. Hilang sudah rasa melilit akibat makan rujak tadi. Yang ada rasa menggigil yang tak mau hilang walau aku sudah menyelimuti seluruh tubuhku. Astaghfirullah.

“Tok,tok,tok!”

”Dek, tolonglah bukakan pintu depan, abang gak berani bangunin mama,” suara itu kembali menggema di telingaku.

Kulirik foto di atas meja belajar. Foto diriku tersenyum dengan jilbab merah muda bergaris putih halus.

Waktu baru datang ke rumah ini, ibu kostku pernah bilang kalau dia tidak bisa menjamin anak  dan suaminya. Aku mengerti apa maksud beliau. Ibu kost adalah orang yang baik dan pengertian. Pasti dia ingin agar aku berusaha menjaga diriku sendiri di rumahnya. Kamarku memang menyatu dengan rumah induk. Itu artinya aku akan selalu berinteraksi dengan seisi rumah.

Selama tinggal di sini aku berusaha untuk lebih banyak di kamar. Kecuali untuk ke kamar mandi, maka aku akan tetap di dalam kamar. Pintu kamar selalu terkunci bila aku berangkat sekolah atau meninggalkan kamar terlalu lama. Aku tidak memasak tetapi berlangganan rantangan. Jadi walau terlihat keterlaluan, aku selalu membawa makanan ke dalam kamar.

Suatu sore ibu kost dan Dila tiduran di kamarku. Kami memang biasa ngobrol bila sedang ada waktu. Ibu kost ku memang enak diajak curhat ala remaja sehingga aku tidak merasa canggung bila menceritakan perasaan-perasaanku kepadanya. Tapi tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Dan Ziko begitu saja masuk ke dalam kamar. Tanpa rasa segan dia duduk di dekat meja belajar. Ku ingat waktu itu dia mempermainkan hiasan pigura fotoku. Rasa jengah dan canggung menguasai diriku pada saat itu. Aku ingin marah tetapi segan pada ibu kost ku. Dia baru pergi ketika dihardik oleh ibunya. Hingga kini aku tak pernah lupa bagaimana nakal dan usil matanya melihat ke sekeliling kamarku.

“Tok,tok,tok,” ketukan di jendela mulai terdengar lemah dan putus asa.

Aku ingat sekali waktu, Togi bercerita kalau dia hanya sebentar tinggal di tempat kost  ini. Sebenarnya dia suka tinggal di sini. Tapi pengalamannya pada suatu malam membuatnya berfikir ulang untuk melanjutkan tinggal di tempat itu.

“Anak itu suka keluyuran kalau malam. Biasanya dia bawa kunci sendiri. Tapi malam itu dia mengetuk jendela kamarku minta dibukakan pintu depan. Katanya kuncinya hilang,” cerita Togi tentang pengalaman yang membuatnya trauma.  

Dan begitulah peristiwa itu terjadi. Sewaktu pintu dibukakan oleh Togi, tiba-tiba saja Ziko menyergap tubuh Togi. Ziko membekap mulutnya agar tidak berteriak dan berusaha menyeret Togi ke kamarnya. Karena ketakutan Togi berontak dan tanpa sengaja kakinya menyenggol vas bunga di atas meja kecil. Suara vas bunga yang hancur cukup membuat suara gaduh yang membangunkan seisi rumah. Dan keesokan harinya Togi langsung angkat kaki dari tempat itu.

Waktu mendengar cerita Togi, aku baru sadar mengapa ibu kost mengatakan “tidak bisa menjamin anaknya”. Rupanya beliau sudah tahu bagaimana perilaku Ziko. Hanya saja sebagaimana umumnya sifat seorang ibu, rasa sayang pasti melampaui segalanya.

Jam di meja belajarku sudah menunjukkan pukul satu dinihari. Pelan-pelan aku kembali merebahkan tubuhku. Siang tadi sepulang sekolah aku mampir ke rumah Togi. Dia bercerita bahwa seorang penghuni pondokannya ada yang keluar. Berarti ada kamar yang kosong.  

“Sebaiknya kau pindah saja dari situ,” saran Togi padaku waktu itu. “Lebih baik kau tinggal di pondokan ku saja sekarang.”

Tadi siang aku belum memberikan jawaban apa-apa pada Togi. Tawaran untuk pindah ke pondokannya pun belum jadi hal yang ku pikirkan benar-benar. Entah mengapa aku merasa kerasan di tempat ini.

Tapi suara ketukan di jendela malam ini benar-benar mengganggu. Sekarang rasa kantuk kembali menyerangku. Sebelum benar-benar terlelap aku memandang sekeliling kamar sekali lagi. Sebuah meja belajar dengan tumpukan buku diatasnya. Di sebelahnya sebuah lemari kecil tempat menyimpan barang-barangku. Dan tempat tidur yang kutempati terletak tepat di bawah jendela.

Aku tersenyum samar. Suara ketukan itu sudah tidak terdengar lagi. Aku tidak tahu kemana perginya si pengetuk jendela itu. Tapi aku sudah tahu jawaban yang akan kuberikan pada Togi esok hari.

Kotapinang, 23 Maret 2012        

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler