Skip to Content

puisi kritik sosial

Ampas Mutiara Panas

Keindahan tanpa sekat tersenyum sinis menatap manis

Cairan mata lukiskan biasan

Warnanya yang putih

Seperti mimpi dalam ketiada tiduran

 

Tikus Kecil Bermata Liar

Engkau datang dari kemustahilan kata-kata

dari tumpukan sampah yang berbau menyengat

dari sudut-sudut kumuh metropolitan yang garang

Republik Kata

Kata-katamu tumbuh di dalam hati dan pikiran

terpompakan oleh jantung mengalir ke mata, bibir, dan mulut

jadilah sebuah ucapan darimu, sebuah janji, sebuah pencerahan

Rakyat Menggugat

terlalu lama terlelap dalam tidur

kini kami berteriak

menumpahkan sesal atas amarah...!!!

pun...ketika diammu

suara kami menerobos ulu hatimu

Sayap Keheningan

Wahai penari topeng

menari dan menyanyilah dengan irama suara hatimu

ikuti gendang dan seruling yang berkumandang

tatap wajah-wajah yang ada di sekelilingmu

BUNGLON

Bunglon, sang penyamar hati di pohon kekuasaan

pada warna siapa yang berkuasa ia 'kan menyesuaikan warna diri

Siang Di Sisi Jalan Arteri Kota

Siang itu di sisi sebuah jalan arteri kota

Berdiri seorang laki-laki yang penampilannya kumuh, seperti kurang waras

Belalang Kadung

Belalang kadung tekun berdo'a

matanya menatap langit, menatap dedaunan

merayu-rayu awan, memuji hutan dan pepohonan

khawatir kemarau 'kan terus berkepanjangan

inikah hidup?

apakah hidup itu?

hanya bisa bernafas atau berjalan?

Pencakar Langit

Tanah merintih tanpa ada siuman kembali.

Hijau dirobek marah karena digunduli.

Runcing kaki para raksaksa besi menusuk perut bumi,

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler