Skip to Content

Biskuit Kering

Foto oichidan
files/user/4901/Scan_20150310_23.png
Scan_20150310_23.png

Tahun ajaran baru di sekolah itu baru saja dimulai. Dimana tahun ajaran baru dimulai, disitu juga banyak sekali wajah-wajah baru bermunculan di sekolah. Wajar sekali siswa-siswi baru di tahun pertama terkesan punya perangai yang gugup, mungkin masih pada lugu, karena mereka sedang mengikuti kegiatan Pengenalan Lingkungan Baru. Siswa-siswi kelas 11 dan 12 di SMA itu masuk ke kelas mereka masing-masing. Di kelas, mereka banyak sekali berbagi cerita dengan teman-temannya mengenai pengalaman selama libur antar tahun pelajaran yang hanya dua minggu itu, tidak kurang tidak lebih.

  Mau itu di ruang kelas, ataupun di luar ruang kelas, seisi lingkungan sekolah tetap terasa ramai. Suara kasak-kusuk orang berbicara terdengar dari nyaris setiap sudut sekolah. Selain itu, kantin, koperasi guru, kantin kejujuran dan pojok teh sudah ramai dikunjungi siswa—kebanyakan wajah anak-anak baru yang belum mencoba jajanan sekolah baru mereka. Selain itu, ada juga wajah kakak-kakak kelas yang berusaha mengondisikan adik-adik mereka untuk upacara pertama.

Seorang siswa berjalan dengan kepala tertunduk. Ia tidak menyapa siapapun yang berpapasan dengannya, begitupun orang lain tidak pula menyapanya. Dia membuka pintu kelas dengan perlahan. Di dalam ruang kelas sudah ada banyak orang, yang tidak mengindahkan kehadirannya. Ruang kelas XII IPS itu memang tidak biasanya ramai di jam-jam sebelum bel masuk sekolah. Namun, ramai atau tidak, bagi Aldian, dia tidak peduli. Dia duduk di jajaran bangku paling belakang, di sudut. Dekat dengan tempat sampah kecil yang disediakan di ruang kelas.

Sejak kelas sebelas, bahkan sejak kelas sepuluh, Aldian memang terkenal…aneh. Ia tidak bicara pada siapapun, maupun tidak mau diajak bicara oleh siapapun. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan ketika ditanya oleh guru. Kehadirannya bagai sebuah makhluk yang datang dan pergi tanpa dihiraukan sama sekali. Mulutnya bak dikunci rapat-rapat oleh sebuah kunci gembok bersegel tujuh lapis kutukan dari tujuh negeri berbeda. Tidak bisa dibuka, nyaris 99.9% tidak bisa dibuka sama sekali. Bahkan untuk menjawab ‘Ya’ atau ‘Tidak’, ia hanya menganggukan atau menggelengkan kepalanya.

DI bangkunya, yang dilakukan Aldian hanya duduk dengan mengubur kepalanya di atas meja, lalu memejamkan matanya sambil menunggu bel masuk sekolah. Bisa dikatakan ia mencoba tidur, namun ia tidak tidur. Ia mungkin saja hanya terlalu malas menghadapi lingkungan yang ada di sekitarnya, atau memang tidak ingin bicara dengan siapapun. Ditambah, di atas kepalanya, ia selalu menutupinya menggunakan tasnya. Makin menjadi-jadi kegiatan mengubur wajah yang ia lakukan ini.

Bel masuk sekolah sudah berbunyi. Seluruh siswa kembali bersikap di bangku mereka masing-masing. Guru pelajaran pertama, pelajaran Ekonomi, masuk ke kelas. Beliau memperkenalkan seorang siswa pindahan di kelas XII IPS. Perangainya tinggi dengan badan yang ramping, cowok, cukup berotot, rambutnya rancung-rancung pendek. Namanya Reno Januari, “Tapi teman-teman boleh memanggil saya cukup dengan ‘Reno’ saja. Mohon kerjasamanya untuk satu tahun kedepan!” katanya menutup sesi perkenalan.

Aldian menaruh perhatian kepada orang ini sampai satu kali mata mereka melakukan kontak. Lalu, Aldian kembali mengubur wajahnya di atas meja.

 

Bel pulang sekolah berbunyi. Warga kelas mulai meninggalkan ruang kelas, satu per satu atau sedikit demi sedikit. Aldian tengah membereskan buku-buku pelajarannya. Ia mendesah, sedikit mengeluh, menatapi buku-buku di mejanya beberapa saat sebelum ia mengambil tas miliknya. Tak disangka, baru saja ia hendak mengambil buku dari atas mejanya, ia mendapati ada sebungkus biskuit kering sudah tersajikan untuknya. Di hadapannya, duduk menghadap ke belakang, adalah sang siswa pindahan baru—Reno Januari.

Dia tersenyum. “Ini, dariku. Oleh-oleh dari Mojokerto,” katanya. Aldian terkejut bagai tersengat listrik kejut. Badannya gemetaran kecil. Wajahnya tampak berkeringat, dan keringatnya tidak berhenti mengalir keluar dari tubuhnya. Seolah dia sedang berhadapan dengan setan yang keluar dari jendela kamar saat malam hari jam 2 malam.

“E-em, Aldian…? Kamu tidak suka keripik kering?” Reno berusaha mengajaknya mengobrol, tapi Aldian tidak memberikan jawaban sama sekali. Hal ini jelas membuat Reno serba salah—apakah Aldian tidak menyukai kue kering, apakah Aldian tidak menyukai kota Mojokerto, apakah Aldian tidak menyukai kehadiran dirinya di hadapannya, atau memang Aldian tidak suka diajak bicara oleh orang lain. Reno belum pernah mendengar rumor tentang Aldian sama sekali karena ia siswa pindahan baru. Wajahnya menunjukkan kegelisahan yang nyata.

Aldian terus menatapi kue yang diberikannya sambil menggenggam lututnya dengan keras—ia seperti yang panik. Bisa juga dibilang gugup. Mana yang benar? Entahlah.

…Sret… Pintu geser ruang kelas dibuka. …Dor… Ditutup lagi perlahan.

Masuk ke dalam kelas adalah seseorang berpakaian guru—pakaian seragam hijau tua. Dengan kopiah dikenakannya, serta kacamata bening dengan frame tipis berwarna hitamnya, serta jenggotnya yang rapi dan wajahnya yang periang, Pak Kurniawan Laksono menampakkan kehadirannya di ruang kelas yang sudah kosong itu. Beliau adalah guru Sosiologi dan Bahasa Indonesia yang kebetulan mengajar juga di kelas XII IPS.

Mendadak, senyum di wajahnya berubah saat ia mendapati Aldian yang tengah panik, gemetaran dan berkeringat serta seseorang tidak dikenalnya tengah duduk di hadapannya. Ia baru saja akan menegur orang itu. Saat ia menghampiri Aldian dan mendapati sebungkus kue kering terletak di atas mejanya, wajahnya berubah terkesima. “Nak, kamu yang memberikan ini ke Aldian?” tanyanya melihat ke arah Reno.

Sang siswa pindahan menganggukan kepala. “Nama saya Reno, siswa pindahan ke kelas XII IPS. Saya bermaksud memberikan ini, sedikit oleh-oleh dari Mojokerto untuknya, tapi ia nampak…terkejut.” Katanya.

“Oh, gitu… Nama bapak Kurniawan Laksono, boleh dipanggil Pak Kurniawan saja. Bapak mengajar Sosiologi dan Bahasa Indonesia di sekolah ini.” Kata beliau. “Setiap pulang sekolah, bapak selalu datang ke kelas ini untuk memeriksa apakah Aldian masih ada di ruang kelas atau tidak. Dia tidak punya teman sama sekali—bahkan kenalan saja tidak ada. Bapak sering mengajaknya ngobrol, tapi sampai sekarang bapak belum bisa membuatnya bicara sedikit pun.”

Keduanya menatapi Aldian yang kini tertunduk lesu. Kue kering pemberian Reno bahkan belum disentuh sedikitpun olehnya. Di luar cuaca cerah, berangin kecil. Lampu kelas dimatikan. Satu-satunya sumber cahaya adalah dari matahari terbenam yang cahayanya masuk melalui jendela kelas. Pak Kurniawan duduk bersama kedua siswanya.“Bapak senang sekali saat ada yang mencoba mengajak Aldian untuk berbicara. Sempat bapak pikir Aldian tidak ingin bicara dengan bapak karena tidak seumuran—maklum, bapak sudah lima puluh tahun lebih.”

“Hmm… Oh!” dari wajahnya, Reno seperti yang baru mendapatkan sebuah ide. Ia mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasnya, beserta sebuah spidol berwarna hitam. Ia menuliskan sesuatu pada kertas itu. Pak Kurniawan masih memperhatikannya baik-baik. Aldian tertunduk lesu dengan badan penuh keringat dingin. Selesai menulis, Reno meletakkan kertas itu di atas meja Aldian, yang mana langsung dapat diperhatikan oleh Pak Guru dan Aldian. Tertulis, Ini oleh-oleh dari Mojokerto. Jangan malu-malu… Ayo makan!

Lantas siswa pindahan tersenyum ke arah gurunya. “Kalau memang dia tidak mau berbicara, berarti lewat kertas atau media lain dia juga bisa diajak ngobrol kan pak?” katanya penuh percaya diri. “Mungkin saja Aldian masih terlalu malu…”

Pak Kurniawan bisu seribu bahasa. Baru ditemukannya seorang anak yang cerdik di hadapannya, kini mencoba mencari cara untuk dapat berbicara dengan siswa paling pendiam satu sekolah. Bahkan guru sepertinya pun sampai sekarang masih belum dapat mengajaknya berbicara, sesering apapun Pak Kurniawan mengajaknya mengobrol setiap pulang sekolah.

Mengejutkannya, Aldian mengembalikan kertas yang tadi diberikan oleh Reno. Selain yang tadi Reno tulis, ada tulisan tangan Aldian di bawahnya. Tertulis hanya satu kata, singkat padat dan jelas, Kenapa?

“Lho, kok pake tanya kenapa? Kita kan temen sekelas…”

 

Akhir-akhir ini, pembegalan sering terjadi dimana-mana. Pembegalan itu sendiri adalah ketika kita dicegat oleh sekelompok orang yang meminta paksa harta yang tengah kita bawa—bahkan hingga berujung ke pemerkosaan. Banyak tindak pembegalan yang sering disertai dengan kekerasan, sering juga sampai membuat korbannya meninggal dunia. Singkatnya, pembegalan adalah tindakan dimana seseorang hartanya dirampas dengan cara yang tidak menyenangkan. Pelakunya sendiri adalah preman, atau untuk sekarang, lebih populer disebut begal.

Entah kenapa, polisi terkesan lambat menangani kasus-kasus seperti ini. Jika saja mereka lebih sigap dan hukum lebih tegas, tidak akan terjadi kejadian masyarakat membakar pelaku pembegalan kendaraan bermotor. Setelah kejadian itu terjadi, kepolisian hanya menghimbau masyarakat untuk tidak main hakim sendiri. Lah, kalau mereka bergerak lebih cepat, tidak akan terjadi itu pembakaran! Lagipula, jika para polisi masih mempunyai waktu untuk mengadakan razia kendaraan bermotor, kenapa tidak mengadakan waktu untuk patroli rutinan agar kota tetap aman?

Pihak sekolah sering sekali memberikan himbauan kepada siswanya untuk lebih berhati-hati. Apakah itu melalui pengunguman di upacara, penyuluhan lewat pengeras suara, melalui sebaran dan mading, media sosial online, maupun penyuluhan dan razia begal ke kelas-kelas. Sering juga para siswa dihimbau jika menemukan pelaku pembegalan atau tindak pembegalan untuk segera melapor ke kepolisian. Namun, jika saja semuanya lebih tersosialisasikan dengan baik, serta gerak kepolisian benar-benar sigap… Yah, mungkin hanya sekedar mimpi saja. Imej kepolisian di mata kebanyakan orang masih sebatas penilang pelanggar lalu lintas.

Satu hari setelah kejadian Aldian diberikan kue kering itu, ia datang ke sekolah paling pagi—pukul enam. Masuk pelajaran pertama pukul enam lewat tiga puluh menit—dengan kata lain, dia punya waktu tiga puluh menit untuk dihabiskan sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Seperti biasa, ia mengubur wajahnya di atas meja sambil menutupi kepalanya, kali ini menggunakan jaket yang tadi dikenakannya. Bahkan lampu kelas saja belum dinyalakan saat ia datang. Benar-benar sepi, kosong dan lengang—belum ada siapapun yang datang.

Lima belas menit berlalu. Tap… Tap… Tap… Sreet… Pintu kelas dibuka.

Cetrek! Lampu kelas dinyalakan. Ada seseorang yang masuk ke dalam kelas. Tap… Tap… Tap… Suara itu bukan suara orang yang berjalan menggunakan kaki—tapi menggunakan media lain. Bambu, kah? Kayu, kah? Kursi roda, kah? Aldian tidak sama sekali mengindahkan hal tersebut—ia asik tenggelam dalam fantasinya di bawah kain jaket.

Tap… Tap… Tap… Suara itu makin mengeras mungkin di telinga Aldian karena si orang yang berjalan menggunakan alat bantu jalan dari kayu ini berjalan menghampirinya. Ia meletakkan tas yang dibawanya di bangku yang terletak di sebelah bangkunya Aldian. Lalu, ia menepuk pundak orang yang tengah tenggelam dalam lamunannya itu. “Selamat pagi, di!” sapanya.

Suara yang begitu tidak aneh terngiang di telinga siswa yang satu ini. Ia bangun dari lamunannya dengan cepat. Ia terkejut bagai disengat listrik kejut, dengan mata yang tiba-tiba terbelak terbuka dan badan yang mulai bergetaran lagi sedikit-sedikit saat mendapati di hadapannya, ada Reno yang dibaluti perban di banyak bagian tubuhnya dan berjalan menggunakan alat bantu jalan. “A-ah, ini ya?” katanya, meraba-raba sebagian perban yang membaluti tubuhnya. “Kemarin aku jatuh dari tangga di depan kamar kost dan kejeduk…”

Aldian memperhatikan setiap perban dan penutup luka yang ada di tubuh dan tangannya, serta kakinya. Ia mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasnya, beserta sebuah spidol. Ia menuliskan sesuatu di kertas itu, lantas ditunjukkannya kepada sang siswa pindahan begitu selesai menulis. Itu luka bacok pisau, pukulan kayu, hantaman pipa besi dan koran lipat, kan?

 

Siang itu, setelah pulang sekolah, Pak Kurniawan bergegas ke kelas XII IPS seperti biasa.

Namun, setibanya di ruang kelas, ia malah terkejut mendapati Aldian tengah tidak berada di tempat nongkrongnya. Reno sendiri tengah membereskan barang-barangnya—ia duduk di sebelah Aldian. Pak Kurniawan malah tambah terkejut mendapati perban yang membaluti sekujur tubuh siswa pindahan yang satu ini. Ia menghampiri Reno dan menyapanya. Reno, di sisi lain, tertunduk malu.

“Aldian ya, pak…” tanya Reno dengan suara merendah.

“Kemana dia, Ren?”

“Saya juga kurang tahu pak, tapi tadi, pas bel pulang sekolah bunyi, dia langsung lari keluar kelas buru-buru,” Katanya. “Dia memang biasa kayak gini ya, pak? Orangnya menarik ya, pak…”Reno membuang pandangannya ke arah tempat sampah yang ada di dekat bangku Aldian. Di dalamnya, hanya ada sebuah sampah—kertas yang sudah diremas-remas.

Mendapati semua ini, Pak Kurniawan, saking terkejutnya, sampai-sampai matanya terbelalak. Tatapannya kosong. Dia berdiri diam beberapa saat—terlebih setelah mengambil kertas remas di tempat sampah dekat tempat Aldian duduk dan membaca apapun yang tertulis dalam kertas sampah tersebut. Reno telah selesai membereskan barang-barangnya. “Pak, pak?”

“A-ah!” Pak Kurniawan terbangun dari lamunan sesaatnya. “Oh, iya. Reno, kalau kamu pulang dengan luka tusukan pisau dan luka lebam kayak gitu, bahaya. Biar bapak antar kamu sampai ke rumah. Rumahmu dimana?”

“Pak, tidak perlu sampai seperti itu… Ini hanya luka—sebentar, bapak tahu ini luka pisau dan luka lebam dari mana?”

“Bapak sering menangani pelajar yang tawuran, jadi bapak tahu persis. Pokoknya sekarang, kamu pulang bareng sama bapak ya. Jangan membuat bapak khawatir.”

Pak Kurniawan meletakkan kertas remasan yang sudah dibuka itu di atas meja Aldian. Tertulis, Reno dibegal, mereka kupenggal. Kali ini, pesan itu ditulis dalam huruf kapital yang besar. Tintanya juga berwarna merah pekat—mirip seperti darah…

 

Pak Kurniawan memapah Reno sepanjang jalan dari Sekolah di Jalan Belitung ke Jalan Banda. Pada awalnya, Reno menolak untuk dipapah oleh sang guru—dia bersikeras dia masih bisa berjalan sendirian. Namun, Pak Kurniawan juga tidak kalah keras kepala juga.

Masuk ke dalam gang-gang, melewati gapura gang. Suasana tempat itu cukup sepi dan lengang—mungkin karena ini jam orang istirahat tidur siang atau memang lingkungan kota terlewat individualis sampai-sampai tidak ada yang pergi ke luar rumah di jam seperti ini. “Aku ngekos pak,” kata Reno sambil berjalan. “Masih sedikit lagi jalan, pintu kamarnya di sebelah kiri jalan. Ada nama saya kok pak di pintunya.”

Namun, entah kenapa, Pak Kurniawan tidak berhenti berkeringat dingin—bahkan tangan dan bahunya juga berkeringat dingin. Wajahnya tidak berhenti menunjukkan ia khawatir. Reno, di sisi lain, tidak menanyakan tentang itu.

Mereka baru saja melangkah beberapa jauh saat mendapati sekelompok orang berpakaian sangar tengah duduk-duduk dan berdiri nongkrong di pinggir jalan. “Liat siapa yang lewat,” ujar salah satu dari mereka, meniup rokok yang baru saja dihisapnya. “Dia yang kemarin.”

“Wah, wah, kenapa lewat jalan sini lagi, bocah!?” salah satu temannya menghentikan Reno dan Pak Kurniawan. “Kamu tahu kan ini daerah kita, hah!?”

“Mau kita hajar babak belur lagi kayak kemarin kamu, hah!?” dia yang tadi menghisap rokok berkata lagi. Ada delapan orang yang tengah berdiri menghadang mereka. Dia berdiri di hadapan Reno dan Pak Kurniawan. “Percuma kamu bawa guru SMA cemenmu kemari! Mana fulusnya, mana!?”

“Fulus apa?!” Pak Kurniawan membentak. “Kalian berani ke anak kecil, hadapi dulu yang dewasa!”

“Wah, wah, pak guru… Kami takut!” salah satu dari mereka meludah setelah meledek Pak Kurniawan seperti itu. Lantas semua preman yang ada disana.

Syuung… Cleb! Sebilah pisau terbang entah dari mana menusuk dia yang tadi baru saja berkata, tepat di dadanya. Reno shock berat, wajah orang yang baru saja dibunuh terlihat begitu jelas di hadapan matanya—dari mulutnya saja darah mengalir keluar seperti air liur yang dikeluarkan saat orang sedang tidur. Matanya melotot terbuka, terlihat dia sangat terkejut sebelum ajalnya menjemput.

Saat teman-teman sang preman perhatiannya teralihkan oleh pembunuhan itu, Pak Kurniawan menggendong Reno dan berlari pergi melewati barisan preman itu dengan cepat. Reno melihat ke belakang, ada seorang anak SMA berdiri di atas gapura gang membawa sebilah pisau di tangan kanannya. Angin saat itu bertiup, membuat berdirinya tertiup angin seperti di drama-drama.

“Aldian!” Reno berseru memanggil. “Pak, Aldian ada disana! Kita ga bisa—”

“Kamar kostmu dimana?!” Pak Kurniawan memotong, dengan suara yang lebih tegas.

Reno menatap Pak Kurniawan di tengah pelarian mereka. Beliau sama sekali tidak menoleh ke belakang. Reno menatap lagi ke belakang, Aldian sudah tidak ada di atas gapura gang kost-annya lagi. Yang ada hanya bekas jejak kaki, mungkin, di atas gapura itu. Terdengar suara bacokan, suara teriakan manusia, suara pembuangan benda padat… Berbagai suara yang tidak ingin didengar oleh Reno. Melihat ke sebelah kiri, ke arah got atau selokan, airnya perlahan berubah warna menjadi sedikit lebih kemerahan. Bau airnya juga berubah dari bau sampah yang sudah sangat menyengat—terima kasih kepada masyarakat bodoh yang sangat senang membuang sampah dimana saja—menjadi bau sampah yang ditambah dengan bau darah.

Setelah beberapa lama, mereka tiba di kamar yang dimaksud. Jelas saja langsung diketahui, toh ada namanya di pintunya. Pak Kurniawan, dengan buru-buru, meminta Reno masuk ke dalam kamar kost. Ia bahkan sampai meminta kunci kamar kost, membukanya, lalu setelah keduanya masuk, langsung membantu Reno beristirahat terlentang di atas kasur. Karena kelelahan, Reno sampai ngos-ngosan di atas kasur.

Di luar mulai turun hujan. Karena memang, dari tadi mereka pulang sekolah, cuaca memang sudah berkata ia akan menangis tersedu-sedu. Bahkan awan gelapnya saja seperti tidak memberikan ampun untuki siapapun yang berani menunggu sedikit lebih lama di luar rumah. Pak Kurniawan membuatkan dua gelas teh hangat untuk disantap berdua. Reno masih ngos-ngosan. Ia terlihat tidak bisa beristirahat dengan tenang. “Aldian gimana pak?” tanyanya. “Dia gimana? Gimana kalau dia dihajar sampai babak belur?”

“Tentang itu…”

 

DI luar masih hujan, makin besar malah. Tanpa mendengar apapun panggilan yang disampaikan untuknya dari Pak Kurniawan di belakangnya, ia keluar dari kamar kostnya. Walaupun dengan tongkat bambu, lukanya masih belum pulih seratus persen, ia berusaha bergerak cepat. Wajahnya menunjukkan ia khawatir, panik, tidak tenang, gelisah, semua perasaan bergabung menjadi satu. Pandangan matanya hanya fokus ke depan, tidak sama sekali sedikitpun menoleh ke belakang. Langkah terpapah setengah terseret itu sedikit menyusahkannya untuk maju. Namun, ia tidak peduli.


“Jadi… Bapak sebenarnya ingin bilang ini dari sejak pertama kamu ngasih kue kering itu ke Aldian… Hanya kalau kemarin waktunya tidak tepat. Kebetulan sekarang waktunya udah tepat, bapak bisa bilang ini dengan tenang. Reno, bapak mau, setelah bapak kasih tau ini ke kamu, kamu tentukan apakah kamu akan jadi temannya atau tidak…”


“Aldian! Woi!” ia memanggil-manggil nama temannya, berulang-ulang. Cuaca hujan yang diantarkan oleh awan cumolo nimbus yang begitu gelap tidak sama sekali menghalanginya—walaupun suaranya masih harus bertanding dengan suara rintik air hujan yang lebih keras karena datang keroyokan. Menghalanginya saja tidak bisa, apalagi menghantuinya. Ia terus berjalan, menyusuri gang kecil ini, tidak peduli pakaiannya akan menjadi basah atau apapun. Suara tok-tak-tok-tak alat bantu jalan menjadi suara yang khas, bergabung dengan suara rintik hujan yang nyaris bisa dibilang badai kalau seandainya sedikit lebih lebat lagi. Kedua suara itu bergabung juga dengan suaranya berteriak-teriak memanggil nama Aldian—hampir seperti ansambel musik dadakan.


“… tapi sebenarnya Aldian bukan orang biasa. Dia punya satu hal yang perlu diperhatikan…”


Reno shock mendapati delapan mayat, tujuh tanpa kepala dan satu berkepala namun dengan luka di bagian dada. Ia menemukannya tepat di tempat kemarin ia dibegal. Ketujuh mayat mati dalam keadaan yang benar-benar mengenaskan—ada yang sudah terbagi dua jasadnya, ada yang sudah termutilasi, ada yang organ dalamnya dikorak-karik keluar seperti kangkung mangkuk yang tumpah… Darah jasad-jasad itu mengalir keluar. Berkat bantuan aliran air yang disebabkan oleh hujan, darah bergabung dengan air selokan di dekat tempat mereka mati. “Jadi, Pak Kurniawan…tadi…”


“… dia punya kelainan mental. Dia seorang psikopat.”


Ia menutup matanya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Engga, dia bukan!”tegasnya, entah kepada siapa ia menegaskan kalimatnya itu. Belum ia membuka matanya, ia terus melangkah maju. Ia menutup matanya rapat-rapat, bahkan sampai menahan nafasnya saat melewati tumpukan mayat itu. Suara tok-tak-tok-tak dari alat bantunya semakin cepat terdengarnya. Ia mempercepat langkahnya…


“Saat Reno memberikan kue kering kemarin, Aldian benar-benar terkejut. Baginya, pemberian adalah sebuah hutang budi yang wajib dibalas bagaimanapun caranya. Bapak yakin betul dia tidak ingin membunuh siapapun lagi, namun sejak mendapati Reno babak belur… Apalagi dengan begal yang banyak berkeliaran, Aldian tersulut amarahnya…”


Reno menggenggam kue kering sebungkus yang ditinggalkan Aldian di depan pintu kamar kostnya, dengan erat. Selain kue kering, ia juga meninggalkan secarik kertas. Di sisi lain, Pak Kurniawan keluar dari kamar kost Reno. Ia mendapati secarik kertas yang ditinggalkan Aldian bersama kue kering itu. Lantas ia mengamankan kertas itu, lalu mulai melangkah mencari Reno.

Setelah keluar dari gapura gang, di Jalan Banda, ia mendapati kerumunan orang tengah mengepung sesuatu. Setelah permisi, ia mendapati Aldian tengah terkapar tidak sadarkan diri dengan luka kepala. Dari luka itu, darah segar masih mengucur—yang mana setelah berhasil kabur dari kulit Aldian, mereka mengikuti arus air yang mengalir di bawahnya. Reno berdiri menatapi temannya yang terkapar itu untuk beberapa saat… Di tangan kanan dan kirinya, tidak terdapat pisau, namun penuh dengan darah segar.


“… dan dia pasti berpikir, ketimbang memberikan kembali kue kering itu, dia akan membunuh habis siapapun yang sudah melukaimu. Dengan cara itu, dia merasa hubungan kamu dan dia sudah impas. Dia tidak ingin dikejar dan dihantui oleh hutang budi, namun Reno perlu tahu, bahwa dia sangat ingin mempunyai seorang teman dan hidup sebagai anak SMA biasa… Bapak sering menasihatinya, dan sering pula bapak melihatnya berusaha mendapatkan teman di sekolah… Namun, pada akrhinya, semua usahanya gagal total dan Aldian frustasi berat. Namun, sejak melihat Reno, bapak pikir dia masih punya kesempatan.

Hanya, bapak harus memberitahu ini kepada Reno. Bapak tidak ingin dia sakit hati. Maksud bapak, kalau Reno berteman dengannya tanpa tahu siapa dia, itu sama saja seperti Reno tidak berteman dengannya, kan? Setelah Reno tahu siapa dia, bapak harap Reno bisa membuat keputusan. Apapun yang diambil, bapak tidak akan memaksakan kehendak. Aldian adalah tanggung jawab bapak, tenang saja.”


Pak Kurniawan berlari keluar. Menerjang air hujan yang turun begitu deras, Pak Kurniawan tiba di lokasi tempat mayat-mayat itu sebelumnya ditemukan oleh Reno. Sejenak ia melamun menatapi mayat-mayat itu.

Suara tap…tap…tap… terdengar dari arah gapura gang. Ia terkesima, tercengang mendapati Reno tengah memapah Aldian di tengah kondisi tubuhnya yang masih benar-benar belum pulih. Reno membahu temannya itu, walaupun bahunya penuh dengan perban dan luka. Dia memapah temannya yang tidak sadarkan diri itu masuk kembali ke gang tempat kamar kostnya berada.

Dalam kertas itu, tertulis, Kita impas. Aku monster. Tolong jangan dekati aku.

 

“M-mmh…”

Suara kasrak-kusruk terdengar dari kasur di kamar kost. Di luar, suara hujan malah makin deras seperti badai. Jendela dan pintu sampai dikunci, sekaligus untuk mencegah air merembes masuk dari luar. Kasrak-kusruk itu terdengar dari kasur—ada yang bergerak. Terdengar suara ‘trek’ dari arah kompor gas—suara kompor gas yang dimatikan. Suara ‘tuiiiitttt’ yang berbunyi jika memanaskan air juga sudah berhenti. Terdengar juga suara seseorang sedang menuangkan sesuatu ke dalam sebuah gelas.

Reno tersenyum. Ia tengah terbaring di tempat tidur kamar kostnya. Dengan luka babak belurnya yang malah makin parah karena tindakan nekatnya tadi, ia masih bisa tersenyum saat di kasur yang lain, yang ada di sebelahnya, ada Aldian yang tengah melamun menatapi langit-langit kamarnya. “Sudah bangun?” tanyanya.

Aldian menoleh sesaat ke arahnya. Ia kembali melamun ke arah langit-langit. Ditariknya sebuah tarikan nafas yang cukup panjang, dibuangnya pelan-pelan. “Kenapa?” tanyanya.

Ia tersentak mendengar akhirnya ia mendengar kata paling pertama yang keluar dari mulut temannya. “A-Aldi, tadi itu…”

“Kenapa?” tanyanya lagi.

“… Kan sudah kubilang, kita teman sekelas.” Kata Reno, sekali lagi ingin menegaskan poin itu dengan menambahkan penekanan pada kata ‘teman’ dalam ucapannya tadi.

Tidak ada balasan dari temannya itu. Ia hanya terus menatapi langit-langit kamar Reno. Tapi, ada yang berbeda dari wajahnya kali ini. Bukan air merah yang biasa ia rasakan di pipinya itu tengah mengalir, tapi sebuah air yang lain. Air yang membuat matanya jadi terasa lebih hangat. Air yang mengalir bersamaan dengan isak tersedu-sedu seseorang. Air yang mengalir jika mata seseorang berkaca-kaca. Air mata, sebuah hal yang bahkan orang jenius pun tidak akan menyangka bahwa seorang psikopat bisa mengalirkan air mata. “…Aku… Iblis…”

“Ngomong apa sih kamu?” bantahnya. Aldian menatap temannya. Dengan enteng ia bisa membantah kata-kata dan kenyataan yang baru saja dihadapinya… “Aku cuma liat anak SMA biasa di sebelahku.”

Aliran air matanya itu makin menjadi-jadi. Aldian melamun, menatapi langit-langit kamar lagi. Lamunannya kali ini terpotong olehnya sendiri, saat ia dengan mulut kotornya berkata dengan terbata-bata, “Terima… Kasih…”

“Dramatis banget. Santai lah…” Reno membalas dengan enteng, lagi. Aldian kembali menoleh ke arahnya, dan mendapati ia tengah tersenyum dengan nyengir yang lebar ke arahnya. “Sekarang, kita makan ini—a-aduh…” Ia berusaha bangun dari posisi semula terlentang, namun sepertinya lukanya berkata lain. Ia kembali tidur terlentang. Namun, tangannya berhasil meraih sesuatu di meja dekat kasur—sebungkus kue kering. Ia letakkan kue kering itu diantara mereka berdua. “Ini dariku, oleh-oleh dari Mojokerto…”

Pak Kurniawan membawakan tiga gelas teh hangat yang harumnya begitu nikmat. Namun, langkah kakinya berhenti di kala ia mendengar suara kriuk-kriuk dari kasur. Senyum di wajahnya semakin menjadi saat ia mendapati Aldian dan Reno tengah menikmati sebungkus kue kering bersama-sama. “Kue kering itu, enak dinikmati pake teh juga lho!” ujarnya, setelah melamun menatapi kedua siswanya itu untuk beberapa lama dengan perasaan yang sepertinya begitu menyejukkan hati.


Apa mungkin cerita ini punya kelanjutan? Aku sih kepikiran untuk bikin lanjutan...

Aku ingin tahu apa kata teman-teman tentang cerita ini. Jadi jangan sungkan-sungkan untuk meninggalkan beberapa patah kata di kotak komentar cerita ini ya ^^v

 

Ilustrasi "Aldian" oleh yuu-chan

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler