Skip to Content

PSK (Cerpen)

Foto Steven Sitohang

Seorang penulis sedang bergulat dengan dirinya, di atas kursi kayu sederhana dan kedua tangannya berpangku pada meja tua. Satu rencana ditatap tajam, berbagai cerita didapat dengan cara bergulat kejam, berlembar-lembar kertas tak tertata dan jarinya dihinggapi pena.

 

Mencoba melukis dengan kata-kata dan mewarnainya dengan barisan huruf puitik. Mengumpulkan bermacam cat, mencampurnya, memainkan kuas dan menghasilkan karya yang tersembunyi berbagai warna kritik.

 

Mula-mula menempelkannya di dinding atau lantai atau kanvas jiwanya yang tak terlihat oleh mata. Terbaca jelas satu peristiwa, akan tetapi, dapat menjadi cermin ke berbagai arah, ke setiap sudut panggung sandiwara dunia, dan tak terbatas pada satu ruangan sempit dan gelap dan dipenuhi bau badan manusia yang tidak suka merawat kebersihan dengan rutin, hal yang rutin dia lakukan adalah memasukkan tangannya ke dalam tenggorokan, dan mengeluarkan banyak liur ke atas kanvas itu dia melukis :

 

Ku berjalan menentang angin

Karena aku tak suka asingnya suara-suara

Kebaikan tergoda indahnya api lilin

Meraba-raba aroma wangi dua buah dada 

 

Sedikit tabu, tak berjiwa adat ketimuran, bahkan tak bernilai seni!. Penulis itu tersenyum, karena suara-suara yang tak disukainya semakin nyata. Dan mereka, orang-orang yang telah melihat dua buah dada merasa, bahwa lukisan kata itu tak layak untuk dikonsumsi.

 

Dia tetap hanya ingin bergulat dengan dirinya sendiri, dia tak mampu melihat kritikan itu sebagai kritik seni, siapalah penulis yang merasa layak karyanya untuk dimakan, dikonsumsi, dijual dan dengan kesalahan apresiasi?. “Aku menulis karena aku tidak makan, jika tulisanku laku untuk dikonsumsi, apakah masih ada celah kosong untuk dituliskan?”

 

Oh.. puisi.. oh puisi..

Engkau bukanlah ilmu pengetahuan dengan batasan

Oh.. puisiku, bukan lah dogma, karena disitu tak ada derita

Oh.. puisi.. oh puisi..

Engkau lahir dari penderitaan

Dan ketika terlahir, penderitaan menjadi puisi

Oh.. puisi, engkau adalah derita

 

Penulis mana yang melihat batasan? Penulis mana yang tak bebas seperti burung yang tidak mampu terbang melihat pohon dengan bentuk yang berbeda? Apakah harus dibuat undang-undang yang mengatur garis batas bagi penulis untuk membuat karyanya? Apakah batasan-batasan yang kalian suarakan adalah nyata? Apakah yang penulis rangkai adalah selalu nyata? Apakah karya seni selalu hidup dalam kenyataan? Oh.. apakah! Inilah kenyataan!.

 

“Aku adalah hampir sama dengan pemulung, aku hanya mencari sampah-sampah di jalan, di pinggir sungai, di jembatan dan dimana-mana. Aku hanya ingin membuatnya berguna, dan jika tidak, tong sampah pun tak ingin menerimanya. Aku akan coba langkah terakhir, membakar sampah-sampah tadi, kemudian asapnya akan aku hirup masuk kepedalaman paruku. Karena aku ingin menjadi satu dengan segala macam sampah yang ada dalam diriku, karena aku ingin memperbaikinya setelah aku rusakkan, karena aku ingin bercinta untuk merasakan kebencian, karena aku ingin bahagia bersama derita, dan karena aku hanya manusia yang dipenuhi sampah dan gejolak jiwa.”, kata sang penulis dalam syairnya:

 

Oh.. sampah.. pergilah dari ranjangku!

Karena aku ingin bercinta

Ku ingin meneguk sesendok keringatnya

Yang dipenuhi oleh aroma, tiada dua!

Yang dikuasai oleh nafsu dalam jiwa

Aku ingin masuk kedalamnya

Merasakannya.. menikmati cinta yang sudah menjadi bukan cinta

Keluarlah tinta dari penaku, menjadi cairan karya seni

 

Mereka terus menghujani, membasahi, mempermalukan dengan lebih banyak petir tak terkendali, dengan terlebih dahulu mengusir pergi matahari. Mereka datang tiba-tiba, mereka memperotes seperti anak bayi, mereka memarahi seperti seorang ibu kepada anaknya yang tak patuh. Dan penulis itu berkata,

 

“Kalian belum waktunya datang, awan-awan gelap pun belum nampak menyelimuti surya”, ia melanjutkan, “kalian, aku rasa sudah layak pergi tinggalkan sayap-sayap ayam indukmu, tengoklah sekitar, cermatilah, kalian sudah bukan anak bayi”,

 

Kembali dia dengan suara bernada rendah, “tetapi, patuhlah terus kalian kepada indukmu, dan jangan larang anakmu nanti melatih hayalannya”.

 

Kedua telinga mereka tertutup oleh emosi dan oleh kehidupan nyata, penulis itu semakin pasrah ketika dia melihat ada di antara mereka, kawannya yang sama kesibukannya, yang satu profesi dengannya. Mereka menyirami dengan kata-kata; nista, pendosa, setan, binatang, yang keluar seperti peluru-peluru panas dari senapan hasil curian, melukai wajah dan tubuh penulis tetapi tak mampu menembus kanvas jiwanya.

 

Penulis tidak melawan dan juga tidak, untuk membela diri. Dia melihat setiap ludah yang keluar dari mulut mereka dengan suara-suaranya adalah seni, karya seni. Dan karya seni adalah satu peristiwa dengan jiwa yang keluar dari tubuh seorang seniman sebagai manusia, seperti anaknya sendiri, seperti jiwanya sendiri. Pada saat itu penulis mengetahui bahwa karya seni tak akan bisa mati, walau mereka terus coba untuk membunuhnya. Tubuh penulis akan pasti mati, tetapi dengan tenang, sebab satu rencana seorang penulis sudah hampir selesai, yaitu membuat lukisan kata-kata. Dan keturunannya itu akan terus ada, dan akan terus mendoakannya, agar dapat diterima di rumah abadi para jiwa-jiwa, yang tak lagi menyentuh tanah dan dua buah dada, dan tak lagi mampu untuk menghirup aroma keringatnya. Dia terbang melayang dan tak lagi membutuhkan udara, sebab paru-paru mereka tak lagi berguna, telinga dan matanya juga tidak dapat bekerja, bahkan jantungnya sudah tak mampu memompa darah. Sebab jiwa adalah juga karya seni yang tak dapat dinilai tingkat keseniannya oleh jiwa kita, jiwa adalah lukisan dan karya seni terindah yang diciptakan oleh Maha Karya, Maha Indah, Sang Maha Cipta Karya Yang Terindah.

 

 

(Kayu Agung, Palembang, 10 Juni 2014

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler