Skip to Content

TUKANG PIJAT (1)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Niatku untuk menjadi tukang pijat sangat tidak sungguh-sungguh. Kacamata hitam belum kupakai ketika aku meninggalkan rumah. Kain sarungpun masih kuselempangkan di bahu. Tongkat bambu yang kubuat sejak pagi sudah kupegang.

Tahun 1966 jalur tram (kereta api kecil) Cikampek-Cilamaya masih ada. Treknya hanya siang hari saja. Di rel itulah, pas di depan balai desa, tukang pijat berkumpul. Tepatnya bertemu. Kalau berkumpul terasa sebagai banyak. Ini tidak. Hanya 3 orang.

Seorang dari Krajan, seorang dari Lapang, dan seorang lagi dari Bakansewi. Mereka akan meninggalkan tempat jika ada yang menjemput. Bada isya jika tidak ada yang menjemput mereka akan berpisah. Ke barat arah Kaum Tua dan ke timur arah Borosole.

Perlu keberanian untuk mendekati mereka. Harus waspada. Salah-salah bisa kena sabetan tongkat. Tongkat tukang pijat zaman dulu sangat spesifik. Panjangnya sama dengan ukuran tinggi badan. Kedua ujungnya dilapisi besi.

Lapis besi yang mengenai tanah atau aspal gunanya untuk menjaga agar kayu tongkat tidak tergerus tanah. Di ujung lainnya, selain ada besi untuk pegangan, ada besi “kencreng”. Besi itu dipasang sedemikian rupa sehingga ketika tongkat dihentakkan akan ada bunyi gemerincing. Luar biasanya adalah mereka saling mengenal dari suara gemerincing itu.

Sudah ada dua orang ketika aku sampai di tempat mereka bertemu. Mereka berdua sedang ngobrol sambil berbagi tembakau linting. Indah sekali suasanya.

Tak lama kemudian terdengar suara hentakan tongkat sekaligus gemerincing dari arah Lapang. Dari komentar mereka aku jadi tahu nama tukang pijat yang sedang menuju mereka adalah Sahro. Mereka menyebutnya Si Sahro.

Bersamaan dengan hadirnya Sahro, seseorang datang menjemput. Yang dijemput berdiri. Dia tidak memakai tongkatnya lagi karena dipegang oleh penjemput. Hampir saja ia jatuh karena kakinya terantuk bantalan rel.

Niatku untuk bergabung hampir batal ketika aku mendengar ucapan tukang pijat yang dijemput itu. Ia membentak dengan sangat kasar.

((Goblog siah, sia teu neuleu aing buta. Na meuni rusuh teung sih. Ke heula atuuh, aing rek menerkeun sarung) Artinya : Goblok lu, lu kagak liat gua buta. Kok grasa-grusu amat sih. Tunggu dulu dong, gua mau ngerapiin sarung))

Sekarang tinggal dua orang. Aku beranikan diri menghampiri mereka. Aku yakin dengan ucapan salam mereka akan menerima. Benar saja. Mereka menjawab salamku sambil mengarahkan telinga ke arah kedatanganku.

O ya, ketika itu aku belum lama pulang dari Bangka. Logat sundaku meski aku masih fasih ternyata terbaca oleh Mang Sahro. Aku jawab seadanya bahwa aku baru pulang merantau, aku tinggal di Bakansewi. Ketika aku mengarahkan obrolan dengan menyebut nama bapakku mereka menjadi lebih akrab.

Obrolan kami terganggu. Seseorang datang menjemput Mang Sahro. Eee…tak lama kemudian, belum lagi kami membuka obrolan ada lagi yang menjemput. Tinggal aku sendiri.

Aku bermaksud akan membatalkan saja menjadi tukang pijat. Kuraba tongkat dan aku siap membuka kacamata. Tapi gagal. Seseorang berseragam seperti hansip manghampiri. Dia bertanya tentang tukang pijat lainnya. Kujawab bahwa mereka sudah dijemput. Ketika dia khusus bertanya tentang Mang Sahro aku jawab bahwa Mang Sahro dijemput oleh santri dari pesantren. Dia tampak kecewa. Dari balik kacamata hitamku sebagai penyamaran buta aku masih bisa melihat dia ragu.

Dari gumamannya aku jadi tahu bahwa dia disuruh oleh Bu Camat untuk menjemput Mang Sahro yang memang sudah biasa memijat Bu Camat. Addduh, semoga dia tidak jadi mengajakku. Gawat. Aku sama sekali tidak punya pengalaman memijat orang lain selain memijat bapakku. Tidak pernah belajar memijat selain arahan dari bapak saat aku memijat beliau. Dag dig dug…dadaku berdebar.

Alamak, keputusan sang hansip di luar dugaanku. Dia tetap menarik tanganku (mungkin karena dia tidak melihat tongkat khas tukang pijat). Aku ikuti bimbingan tangannya sambil mengkakukan langkah. Dia akan mengantar aku kembali ke tempat semula jika Bu Camat tidak berkenan. Jika berkenan ya Alhamdulillah, tidak usah menunggu Mang Sahro. Lagi pula di pesantren pasti lama, katanya.

Betul saja. aku dibimbing masuk ke komplek kecamatan. Ada dua bagian bangunan yang besar. Satu pendopo dam satu lagi rumah dinas. Rumah dinasnya masih rumah panggung pendek.

Aku disuruh duduk di pendopo sementara dia membuka sepatu dan masuk. Tampaknya akan memberi kabar.

Agak lama juga aku menunggu. Terlintas niat untuk melarikan diri saja daripada nanti ketahuan. Dasar nasib harus menjadi tukang pijat malam ini, tiba-tiba mereka keluar. Bertiga. Yang dua lagi pastilah Bapak Camat dan isterinya.

 Aduh ……

Malam, berkaca mata hitam, listrik temaram. Itu situasinya. Kondisinya? Aku bisa melihat segalanya meski penerangan terbatas. Aku tidak buta dan mereka menganggap aku buta.

Aku duduk mematung di pendopo. Pasrah. Sekali layar dibentang pantang surut ke belakang. Bapak Camat duduk di kursi goyang. Dari meja yang di atas meja itu ada cangkir besar dia mengambil pipa. Mengisinya dengan tembakau.

Bapak hansip menuntun aku ke dalam. Di geladak aku berpura-pura hampir jatuh. Sigap hansip menangkap badanku lalu aku dituntun ke dalam. Bu Camat yang tadi telah masuk lebih dulu sudah telentang. Di atas alketip yang terhampar ada tikar digelar. Bu Camat berbaring telentang di tikar.

Ketika aku melangkah kea rah yang salah, hansip menuntunku ke arah alketip. Lalu dia disuruh ke dapur untuk membuat kopi. Bapak hansip keluar. Tinggal kami berdua. Aku tidak membalikkan ketika pasenku duduk dan membuka bajunya. Tidak kurang dari tiga kali matanya melihat wajahku.

Terus terang aku dag dig dug. Sungguh. Tidak full color. Hanya hitam putih. Itupun tidak jernih. Tapi bagiku yang ketika itu baru berusia 18 tahun…sungguh sebuah siksaan.

Aku bingung. Melarikan diri sudah tidak mungkin. Pak Camat pasti akan minta bantuan Mantri Polisi untuk mencari dan menangkap. Tak ada peluang. Meski aku bisa lari pasti mereka –paling tidak- akan menghubungi Mang Sahro atau temannya. Dan aku sudah buka kartu bahwa aku Si Buta Dari Bakansewi.

Dari balik kacamata hitam aku tembuskan pandangan selalu ke wajah Bu Camat. Ini untuk menghilangkan kecurigaan. Sesekali aku lemparkan pandang ke arah lain.

Lamunan yang simpang siur dalam benakku mendadak sirna ketika kudengar suara lembut menyuruh aku segera memijat. Aku menggeser duduk di daerah kaki tapi tiba-tiba dilarang. Aku harus memijat punggung dan pundak dulu karena ia merasa agak pusing. Aku bergeser lagi.Tanganku gemetar. Sungguh. Suara lembut itu menegur lagi untuk mulai memijat dan sebelumnya ia duduk dulu untuk membuka kutangnya. O ya …aku harus verita bahwa kutangnya tidak seperti kutang zaman sekarang.

Masih kutang zaman dahulu, yang kancingnya beberapa dan kancing itu di depan.

Kalau aku bereaksi tentu bahaya. Jadi aku diam saja melihat bagaimana jemarinya menari lincah melepas kancing kutangnya. Apa yang terjadi tentu sudah dapat ditebak. Begitu kancing lepas semua kutang itu terbuka lebar dan apa yang tersembunyi di dalamnya terlihat jelas.


Bawa batu simpan di batang

Jangan cemas batang dibawa

Apa itu di dalam kutang

Hati gemas ingin meraba

 

Di depan aku mendengar suara memanggil nama “do” dan dari kejauhan aku mendengar jawaban “kulan”. Lalu ada permintaan untuk dibelikan tembakau maresbren. Ku dengar langkah “do” menjauh lalu langkah Pak Camat mendekat. Ia masuk, Melihat kami berdua sekilat lalu kedalam.

Ketika itu tanganku sudah di pundak Bu Camat. Terasa dingin. Mungkin Bu Camat merasa sebaliknya. Mungkin. Aku mulai memijat sebisanya. Ku ulangi lagi bahwa aku sering memijat bapakku. Di antara anak-anak yang sekian orang pijatanku mendapat pujian dari bapak.

Kupingku semakin terasa panas. Aku menundukkan kepala ketika Pak Camat keluar lagi. Menunduk bukan karena takut tapi karena tersiksa. Ada sesuatu yang bergerak-gerak mencari ruang. Saat-saat awal gerakan itu tidak begitu gencar tapi semakin aku memijat semakin perlu ruang.

Semakin sesak. Aku tak punya kesempatan untuk memberi ruang gerak. Sesak, sempit dan yang awalnya hanya terasa hangat sekarang menjadi panas.

Bu Camat mengubah posisi. Dari duduk membelakangi aku sekarang tengkurap. Ia meminta aku untuk mulai dari kaki. Aku bergeser sekaligus memberi ruang gerak agar rasa tersiksaku berkurang. Aku yakon sekali bahwa Bu Camat tidak melihat usahaku melebarkan kandang burung.

(bersambung)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler