Skip to Content

Masih Bolehkah Aku Mengharapkannya? "Ku Tunggu Jandamu"

Foto Asmuni

Seandainya…, akh…, pantaskah aku berandai di atas jejak yang hampir terhapus. Terhempas hembusan waktu yang kian layukan sehelai harapan. Yang tersisa kini tinggallah sunyi dalam pahit yang belum hilang. Dan sunyi ini kini ku hiasi dengan lukisan andai-andai. Berandai akan janur yang menghias taman pengantin, dimana dengannya aku bersanding. Bersanding serasi, selaras senyum-senyum yang menjadi saksi. Senyum-senyum termanis yang berbahagia, terbahagiakan dan membahagiakan. Senyum-senyum yang berpagut dalam kesakralan bersatunya dua hati dalam satu bahtera, satu kendali dan satu arah dalam mengarungi samudra fana yang kerap kali dilamun badai. Bersatu membangun kekuatan pertalian cinta guna menghalau badai yang sangat mungkin menerjang. Hm…, seandainya…

 

Berandaiku tak berteriak! Aku hanya berbisik. Lirih. Berbisik pada relungku sendiri. Karena aku tak mengharap semua telinga mendengar. Aku hanya berharap bisik ini dibawa keajaiban ke teras hatinya dan mengetuk pintu hatinya yang ku harap masih berukirkan namaku. Aku berharap dia mempersilahkan bisik ini mendeklarasikan kerinduanku pada setiap pagelaran mimpi-mimpinya yang banyak digelar dalam ruang sunyi sang malam. Sedikit memberi warna dalam gelapnya. Agar degup hatinya seirama degup hatiku, dan menggelitik bhuana otaknya menggelar opera-opera indahnya masa kemarin, dengan tokoh utamanya aku dan dia.

 

Dia telah tersunting. Dia adalah istri dan juga ibu. Bukan istriku dan juga bukan ibu dari anak-anakku. Bunga terindahku yang dipetik lelaki itu. Lelaki rantau ibu kota. Lelaki yang datang dari kota pahlawan. “Aku lupa”, ucapnya saat aku bercerita tentang masa lalu. Masa sebelum lelaki itu datang di kehidupannya. Cerita-cerita romantis kami waktu masih bersatu. Mungkinkah secepat itu dia melupakannya? Mungkinkah secepat itu dia melupakan senyawa cinta yang pernah memaknai jiwanya? Senyawa cinta yang mengguyurkan kebahagiaan pada sekujur jiwanya. Mungkinkah?

 

Bolehkah aku masih menggenggam harapan. Mengharapkannya yang kini miliknya. Lelaki yang tak ku kenal. Walau harapan yang sekedarnya. Tapi bukankah segala kemungkinan itu sangat mungkin terjadi di segala kondisi. Kapanpun dan pada siapapun. Bukankah begitu? Yach…, itu mungkin hanya pikiranku. Mungkin aku terlalu mamaksa. Tapi benarkan? Akh…, sudahlah!

 

Mungkin harapanku tak lagi utuh. Seutuh saat dia jadi milikku. Kekasihku. Mungkin harapanku tak lagi menggebu. Memburu. Bernafsu. Harapanku kini tinggal sekedar harapan yang hanya berharap. Sebenarnya aku ingin membuang harapan ini, tapi entahlah?! Harapan ini begitu lekat merekat di dinding palung hatiku. Meretas gambar-gambar gambaran mimpi-mimpi manis akan rengkuhan romantisme si pemilik senyum manis. Mewujud pada kanvas-kanvas dalam galeri otakku. Menyuara dalam igau-igau mimpi indahku yang masih menyakitkan.

 

Hufh…, akankah ini sebuah dosa. Apakah kini mencintainya adalah dosa, sedang rasa ini tumbuh di ladang yang suci. Tumbuh subur dalam ketulusan. Walaupun kini sudah berhenti bertumbuh, tapi cinta ini masih hidup. Hidup dengan setangkai harapan yang masih berwarna segar. Harapan akan bersatunya aku dengannya dalam ikatan sakral. Aku sebenarnya tak ingin mengharapkan mereka bercerai. Tapi maaf, aku merasa cintaku lebih berhak memilikinya.

 

Cinta ini terlanjur lahir di dunia yang perkasa ini. Terlahir di sebuah ruang istimewa pada palung hati ini. Mewabah di sekujur jiwa ini. Begitu indah namun begitu menyakitkan. Begitu manis juga begitu pahit. Begitu menyakitkan karena penggapaianku akan dirinya hanya mendapatkan angin. Kosong.

 

Pernah ku coba menerima kenyataan. Kenyataan cintaku yang tercampakkan. Ku buka hati yang tengah sakit ini. Merapihkan kembali ruang tamu di hati ini untuk menyambut cinta baru. Cinta yang lebih indah. Ku buka mata menebar pandang. Menjaring segala keindahan yang ada dalam duniaku. Tapi entahlah? Entah kenapa sampai hari ini aku belum juga menemukan cinta baru. Cinta baru yang akan aku gunakan untuk mengunci cinta lama dalam peti kenangan. Dan ku kubur bersama semua air mata yang terlanjur terpuruk dalam pusara duka cita cinta. Selamanya. Mungkin?

 

Terkadang saat sendiri. Sengaja menepi dari hangar-bingar kehidupan yang selalu dan pasti penuh warna. Warna cerah, indah, buram ataupun gelap. Sepi? Pastinya. Imaji bermain di teras benakku. Menggelitik jiwa yang diam. Berandai akan sebuah pertanyaan. Apa yang terjadi jika aku tak pernah mengenalmu? Apa yang terjadi jika cinta ini tak pernah ada? Mungkin hidup dan kehidupan ini akan terasa lebih indah. Mungkinkah akan indah?

 

Yach…, semua sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Yang harus ku lakukan kini adalah membuat bubur ini menjadi bubur yang lezat. Bagaimana itu? Hanya aku yang tahu. Dunia tak perlu tahu. Aku tak butuh pembenaran dari siapapun. Ini cinta! Titik!

 

 

Aku masih di sini

Menunggumu

Tak hanya sapa

Tapi juga silahmu

Tak hanya ruang tamu

Tapi seluruh ruang

 

Aku masih di sini

Walau lelah dan terkadang resah

Tapi ku belum jengah

 

Aku masih di sini

Di bawah lampu jalan yang masih menyala

Sampai kapan?

Entahlah…?

Mungkin sampai semua lampu di rumahmu mati

 

 

Sebenarnya aku tak ingin setia. Aku benci setia. Andai kesetiaanku ini berwujud, aku sangat ingin menghancurkannya. Mencabik-cabiknya. Mencincangnya. Membuatnya lumat dan membuangnya ke tempat yang paling hina. Kesetiaan ini membuatku sakit. Percuma. Kesetiaan ini tak pernah berharga di depan mata cintanya. Kesetiaan ini banyak menjadi cibiran banyak jiwa, dan itu membuatku semakin sakit. Akankah sakit ini ku biarkan menggerogoti kegagahanku? Tidak! Sakit ini harus berakhir. Akan ku buat kesetiaan ini berarti buatku dan berharga baginya. Tak boleh ada kata tidak. Aku tak mau dengar kata tidak. Terserah dunia memandangku dengan mata dan kacamata apa.

 

“Dik, aku akan menjadi batu di depan semua mata, walaupun semua telunjuk mengutukku. Mungkin kini kau sama seperti mereka yang menyalahkanku karena keputusanku ini. Aku tak perduli. Aku tak mau dengar dongeng apapun yang bercerita tentang pengikhlasan cinta. Aku tak mau dengar rentetan nasehat yang menyuruhku berhenti dari ini. Dik, andai hatimu telah berganti warna, aku akan membekal air suci, kan ku basuh hatimu sampai kembali seperti dulu. Kembali mencintaiku. Dik, maaf bila aku memaksa”.

 

 

Asmuni (FB: Mbig Mbos Asmuni Hcs)

Indramayu, 02:33 WIB, Jum’at 23-09-2011

Komentar

Foto ugi yasmin sastrais

perjuangkan cinta

Meski engkau tak melihatnya
sesungguhnya engkau selalu ada dlm hatinya
perjuangkan cinta di dalam jiwa hingga engkau menemukan dirinya lagi di masa yg lain

semoga

Foto Asmuni

Makasih atas dukungannya

Hidup cinta...! Hidup janda...! Hidup.......................!

Foto Mbah Handsome

Pejuang Hati Sejati

“Aku akan menjadi batu di depan semua mata, walaupun semua telunjuk mengutukku". kata-kata yang perkasa, pejuang hati sejati..

Seperti seerigala dalam perang, tak tau rasa sakit atau apa itu mati, hanya memburu apa yang dia tau..

Jadilah gagah dalam badai, niscaya nurani akan membawa ke arah dimana seharusnya kita ada.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler