Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2007: “MUSIBAH” KARYA JUJUR PRANANTO

Foto SIHALOHOLISTICK

Menjelang tengah malam. Ponsel dekat “bedlamp” bergetar. Terlalu lama untuk sebuah pesan pendek. Di perbatasan antara terjaga dan bermimpi, Budiman berdecak kesal sekaligus meraih ponselnya. Telepon dari Mbak Lita? Di malam selarut ini?

“Halo….” “Budiman? Cepat setel televisi! Laporan khusus!”

Lalu, terdengar suara tut pendek-pendek, pertanda telepon seberang ditutup.

Budiman malas-malasan meraih remote control dan menghidupkan televisi. Pas di channel yang menayangkan sisa laporan khusus. Tampak seorang pria berumur sekitar enam puluh tahun dalam posisi membelakangi kamera digiring dan dikawal belasan petugas kejaksaan dan kepolisian memasuki sebuah mobil tahanan yang parkir di depan pintu pagar yang terbuka lebar. Puluhan wartawan berbagai media merangsek berusaha mendekati pria tua ini, melontarkan berbagai pertanyaan yang tak begitu jelas terdengar.

“Siapa yang menelepon?”

Budiman tak menjawab pertanyaan istrinya yang ikut terjaga sebab seluruh konsentrasinya sedang terpusat untuk mengingat- ingat, siapa gerangan sosok pria tua yang serasa begitu dikenalnya itu. Sayang, kamera terus mengikutinya dari belakang hingga wajahnya tak kunjung tampak. Barulah ketika pria tua ini memasuki mobil tahanan, kamera bergerak sedemikian rupa hingga berhasil mengambil closeup-nya.

“Pakde Muhargo…!”

Budiman cepat-cepat mengambil ponselnya lagi. Menelepon balik ke ponsel Mbak Lita. Tidak aktif. Dicobanya langsung ke rumahnya di Batam. Tak ada yang mengangkat.

“Coba saja tanya Mbak Rina.”

“Sudah sebulan ini dia tinggal di Amerika. Aku nggak tahu nomor teleponnya.”

“Kenapa nggak langsung nelpon ke rumah pakde aja?”

Budiman terdiam. Saat ini suasana rumah pakde pastilah sangat tidak kondusif untuk menerima telepon dari luar. Dan sebelum ia memutuskan untuk menelepon atau tidak, ponselnya sudah lebih dulu berbunyi, berturut-turut atas masuknya belasan pesan pendek. Dari saudara-saudara dan teman-teman dekat, yang semuanya bicara tentang penahanan atas diri Pakde Muhargo. Ada yang sekadar mengabarkan yang baru saja tertayang di televisi, ada yang mengajak semua berdoa untuk keselamatan beliau, ada yang mengutuk tindakan kejaksaan yang “biadab”, dan sebagian terbesar mengimbau agar para sanak saudara berkepala dingin dan tetap tenang karena “sekarang ini penahanan memang lagi ngetren dan lebih besar muatan politisnya daripada benar-benar untuk menjunjung supremasi hukum”. Namun, Budiman paling tertarik dengan pesan pendek dari sebuah nomor yang tak dikenalnya, yang menyebutkan bahwa Bude Muhargo dirawat di paviliun VVIP sebuah rumah sakit internasional di Cikarang.

“Eh, Budiman…. Sini, sini.”

Budiman menghampiri budenya yang segera bangkit dari tempat tidur.

“Tidak usah duduk, bude. Tiduran saja.”

“Kamu pikir aku sakit?” tanya budenya sambil tersenyum. “Aku menginap di sini atas saran Nak Ustadz Ramadan ini. Supaya terbebas dari kejaran wartawan.”

Seorang lelaki muda bersurban putih berwajah bersih yang berdiri tak jauh dari tempat tidur bude tersenyum hormat pada Budiman dan mengulurkan tangan mengajak bersalaman. “Ramadan.”

“Budiman.”

“Pengasuh pondok pesantren Janturan, yang didirikan pakdemu setahun lalu di Yogya,” kata bude menjelaskan. “Pakde melihat tata susila di kota pelajar itu makin lama makin memprihatinkan, dan terdorong untuk menyumbang karya nyata yang diharapkan minimal bisa menghambat laju kemerosotan moral di kalangan generasi muda. Eh, kok kebetulan ketemu dengan Nak Ramadan yang punya perhatian sama terhadap pembinaan anak-anak di sana. Ya, jadilah pesantren itu.”

“Oh….” Budiman mengangguk- angguk, sementara dalam hati ia merasa telah keliru menilai situasi. Semula ia membayangkan bude berbaring dengan jarum infus, pipa oksigen berikut segala macam kabel peralatan kedokteran menempel di bagian tubuhnya. Semula ia mengira akan melihat bude dengan tatapan mata menerawang ke arah langit-langit ruangan, dengan air mata yang diam-diam membasahi pipi, dan bicara dengan suara terbata- bata. Nyatanya, beliau bicara sangat lancar. Kualitas suaranya tetap jernih. Ketenangannya tetap terjaga. Bahkan terlalu tenang untuk situasi yang mestinya sangat depresif ini.

Menjelang saat sarapan tiba, Ustadz Ramadan berpamitan dan secara amat hati-hati bicara. “Kalau sekiranya subsidi dari Bapak buat pesantren untuk sementara dikurangi atau bahkan dihentikan, Insya Allah kami siap berswadaya.”

“Oh, tidak, tidak. Sejak mulai berurusan dengan kejaksaan, Bapak selalu berpesan bahwa subsidi buat pesantren sudah merupakan komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar, dan dengan cara apa pun Bapak akan tetap menjalankan komitmennya. Jadi Nak Ramadan tidak perlu risau oleh kondisi yang sedang dihadapi Bapak saat ini.”

Sepeninggal Ustadz Ramadan, barulah bude menghela napas panjang.

“Zaman sekarang lebih dari zaman edan, Bud. Semua orang lagi pada mabuk kepingin jadi pahlawan. Tapi karena sudah terlalu lama jadi orang miskin, yang paling gampang dijadikan musuh ya orang-orang yang punya rezeki lebih, seperti pakdemu.”

“Boleh tahu, bude, apa yang dituduhkan kejaksaan pada pakde?”

“Cerita lama, Bud. Penyalahgunaan yayasan Mangayu Bagyo, pembangunan hotel di Bogor dan Kintamani, yang katanya izin bangunannya tidak sesuai peruntukan, mark-up dana pembelian kapal-kapal patroli buat angkatan laut, dan… apa lagi, gitu, aku malah tidak ingat semuanya. Terlalu banyak, Bud. Terlalu banyak orang yang ingin kebagian rezeki dengan cara-cara yang tak kenal malu hingga segala sesuatu yang sudah semestinya malah diutak- atik, diobok-obok, supaya seolah-olah ada masalah. Lalu, ahli-ahli hukum yang katanya pinter-pinter itu berebut menyumbang kepintarannya dengan cara menafsir-nafsir pasal-pasal hukum hingga yang selama ini dianggap benar bisa jadi salah, yang selama ini tidak melanggar hukum bisa dianggap melanggar hukum. Memalukan, Bud, memalukan sekali orang-orang seperti itu. Sampai hati menistakan diri sendiri demi uang yang tak seberapa nilainya.”

Tidak seperti biasanya, selewat tengah malam Budiman terjaga untuk melakukan salat tahajud. Tak kurang dari sejam ia berdoa dan terus berdoa, memohon pada Tuhan agar Pakde Muhargo diberi kekuatan lahir dan batin menghadapi situasi yang absurd ini. Budiman sungguh tak rela kalau pakdenya yang sangat dihormatinya itu sampai benar-benar dimejahijaukan dan dipenjara.

Bagi Budiman, Pakde Muhargo memang segala-galanya. Lebih dari sekadar kakak almarhum ayahnya, beliau adalah seorang panutan, sesepuh sekaligus “juru selamat” bagi kehidupan pribadi dan rumah tangganya. Budiman tak akan pernah melupakan masa remajanya, yaitu setelah lulus SMP pindah ke Jakarta dan tinggal di rumah pakdenya ini. Setiap pagi ia bangun jam setengah lima untuk mengepel lantai, mencuci mobil, dan menyapu taman sebelum ia mandi dan bergegas berangkat sekolah dengan mengejar bus kota untuk mencari celah di antara belasan orang yang bergelantungan di pintu belakang.

“Jer basuki mawa bea, Bud,” begitu Pakde Muhargo saat itu selalu berucap pada Budiman. Bahwa untuk mencapai kebahagiaan pastilah diperlukan pengorbanan.

Budiman sangat mempercayai ucapan itu karena Pakde Muhargo telah membuktikannya sendiri. Bagaimana beliau dengan gagah berani menjalani masa- masa penuh kemiskinan sebagai prajurit di berbagai pertempuran dan tugas-tugas ketentaraan lainnya, terus merangkak naik menjadi perwira tinggi, menjabat sebagai komandan di berbagai kesatuan, sampai dipercaya memegang jabatan-jabatan penting di pemerintahan berikut jabatan komisaris di berbagai perusahaan.

“Nasib orang memang sulit diduga, Bud. Kadang bisa di puncak, kadang bisa di bawah. Untuk itu kita harus selalu ingat pada falsafah pohon. Puncak pohon bisa berkibar anggun karena dukungan batang dan kekuatan akar. Jadi selagi kita di puncak, kita tidak boleh melupakan yang di bawah. Tidak boleh melupakan akar yang diam-diam mendukung kita tanpa pernah mau menonjolkan diri.”

Dan falsafah tersebut secara konsisten diterapkan Pakde Muhargo dalam kehidupan sehari- hari. Setiap memperoleh pendapatan lebih dari gaji yang diperolehnya tiap bulan, entah itu dari proyek-proyek yang dipercayakan padanya atau dari sumber mana pun, beliau senantiasa membagi rata ke setiap bawahan. Dari tingkat staf sampai karyawan paling rendah. Tak terkecuali. Itulah maka semua bawahannya, atau bahkan yang sudah jadi mantan bawahan, senantiasa loyal dan sangat menghormati pakde. Mereka senantiasa mengenang beliau sebagai atasan yang “sangat penuh pengertian” dan mengenang periode menjadi bawahan beliau sebagai “masa penuh kesejahteraan”.

Namun, orang yang sangat dihormati itu kini terkurung di sebuah ruang tahanan yang menghinakan dirinya, yang menistakan martabatnya, yang menafikan segala kebajikan yang pernah diperbuatnya. Maka, Budiman pun merasa harus segera bertindak untuk menghentikan penzaliman terhadap pakdenya ini.

Seminggu kemudian….

“Insya Allah semuanya akan terkendali, bude. Saya sudah menghubungi Mas Prawoto. Dia yang akan mengatur susunan hakim di pengadilan tingkat pertama.”

“Tetap harus ke pengadilan juga?”

“Demi menghormati prosedur hukum saja, bude. Nggak enak juga kalau sudah terlanjur kelihatan digelandang masuk tahanan, tahu-tahu keluar begitu saja. Kasihan Oom Karsono.”

“Ah! Karsono itu cari muka. Demi ambisinya untuk bisa naik jadi jaksa agung dia tega mengkhianati pakdemu.”

“Sebenarnya tidak seburuk itu, bude. Sebelum malam penjemputan itu, pakde ternyata sudah berkomunikasi dengan Oom Karsono dan bisa memahami posisi Oom Kar yang sangat sulit dalam menghadapi tekanan publik untuk menyeret pakde ke meja hijau. Jadi, ini soal tarik ulur saja. Cuma… itulah, dari dulu pakde tidak punya channel di kalangan media, jadi pemberitaan atas kasus-kasus pakde sama sekali tidak terkontrol.”

“Kebebasan…,” Bude bergumam lirih sambil menghela napas panjang. “Semuanya jadi kebablasan.”

“Memang, bude. Sehubungan dengan itu pula saya ingin menyarankan bude agar segera pindah dari rumah sakit ini.”

“Lho kenapa…??”

“Sudah ada wartawan yang tahu bude menginap di rumah sakit ini.”

“Oalah, Gusti…. Terus aku harus pindah ke mana?”

“Terserah bude memilih mana. Rumah di Pondok Indah saya rasa cukup aman.”

“Jangan! Nanti bisa bikin pekewuh Mas Abdul. Masa istri tahanan bertetangga sama Kapolda. Kalau sampai ketahuan, beritanya bisa dipelintir jadi macam- macam.”

“Atau di Kota Wisata?”

“Memang kita ada rumah di sana?”

“Ada, bude. Yang tahun lalu dikasih sama si Tantra. Ideal sebagai tempat nyepi. Tapi kalau bude menghendaki yang di masih di Jakarta, paling sepi ya rumah Kemang.”

“Lho, bukannya sudah dijual?”

“Nggak jadi, bude. Sama broker dikasih harga sembilan milyar, jadinya malah nggak laku. Cuma kondisinya memang sekarang kurang terawat. Kalau bude mau pindah ke situ harus dibersihkan dulu.”

“Padahal harus segera.”

“Benar, bude. Yang paling siap huni dan paling aman sebetulnya di apartemen. Terserah bude, mau memilih yang di Paku Buwono atau yang di Menteng. Sampai sekarang dua-duanya belum pernah ada yang menempati.”

“Nggak ah. Kalau gempa bumi bisa mati berdiri.”

Sebuah Mercy seri 600 meluncur lembut dan berhenti di pelataran parkir VIP bandara. Budiman membantu Bude Muhargo keluar mobil, membawanya ke arah pintu khusus, untuk menunggu penerbangan ke New York. Bude akhirnya memutuskan untuk sekalian menemani Rina, putrinya, yang sedang mengambil S-3 di sana. Di ruang tunggu bude menyerahkan sebuah tas kecil ke Budiman.

“Ini kunci-kunci safe deposit box, Bud. Semua aku titipkan ke kamu. Kalau kamu perlu cash US dollar ambil saja dari yang di Citibank. Kalau tidak salah masih ada sisa sekitar satu atau satu setengah juta di situ. Buat bayar uang muka pengacara-pengacara aku rasa lebih dari cukup. Kalau mau rupiah, tadi siang aku sudah transfer lima M ke rekening kamu. Prawoto sama Karsono pasti perlu buat ngasih teman- temannya.”

“Eyaaang!”

Budiman menoleh mendengar suara Tito, anaknya, yang menyusul datang dengan mobil lain sepulang dari les matematika. Bude Muhargo langsung tersenyum lebar dan menyambut si kecil dengan pelukan hangat.

“Eyang! Aku tadi lihat eyang kakung di televisi.”

Budiman seketika berpandangan dengan istrinya.

“Eyang kakung itu ternyata koruptor, ya?”

“Tito!!!”

“Bukan, sayang,” buru-buru bude mendahului bicara. “Eyang kakung bukan koruptor. Koruptor itu orang jahat. Eyang bukan orang jahat. Eyang cuma dituduh melakukan kejahatan. Orang-orang yang menuduh itu justru yang jahat.”

“Kalau memang nggak salah kenapa eyang mau ditahan?”

Bude Muhargo terdiam sesaat. Lalu berbisik dekat telinga Tito. “Kalau sudah besar nanti Tito akan tahu, tidak semua yang tidak kita inginkan itu bisa kita hindari. Seperti halnya musibah. Nah eyang kakung saat ini sedang ditimpa musibah.” ***

 

Jakarta, 10 November 2006

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler