Skip to Content

NOVEL: AKULAH MAYSAROH (BILAH 08)

Foto SIHALOHOLISTICK

GATAN melangkah keluar dari ruangannya sambil menghisap rokok yang terselip di sela jari tangannya. Diliriknya jam tangan yang ada di pergelangan tangannya, pukul 19.25 WIB, gelap telah menyelimuti kota. Sebenarnya ia masih punya beberapa pekerjaan yang harus diselesaikannya, namun karena rasa laparnya sudah sangat menyiksanya akhirnya ia memasukkan pekerjaannya ke dalam tasnya dengan rencana melanjutkan pekerjaannya di rumah. Setelah makan malam di tempat langganannya, ia langsung menuju rumah dan kembali melanjutkan pekerjaannya setelah mandi.
Ia meminta beberapa pendapat papanya tentang jalinan kerja sama yang akan dibinanya dengan PT. Sihaloho Media Group yang beberapa hari kemudian akan mengadakan pertemuan di sebuah hotel ternama di kotanya. Papanya banyak member masukan setelah agenda kerja sama itu dibaca oleh papanya. Ia mengakui kemampuan bisnis yang dimiliki anaknya. Ia benar-benar kagum. Ia merasa sudah saatnya pensiun dan memberikan sepenuhnya kepercayaan pada putranya untuk memimpin perusahaan.
“Tan, ada sesuatu yang harusnya tidak kamu lupakan.” kata papanya.
“Apa itu, Pa?”
“Usiamu sudah cukup dewasa untuk memikirkan rumah tanggamu. Di kantor banyak yang papa pikir serasi denganmu, misalnya Angel, sekretarismu itu. Papa suka padanya, mengingat kinerjanya yang baik. Apa kamu tidak pernah melirik padanya. Orangnya cantik, supel, dan pekerja keras. Jika kamu memperistrinya, papa yakin perusahaan kita akan semakin berkembang.”
“Apa ibu pernah bercerita sesuatu pada papa?” tanya Gatan menghentikan pekerjaannya.
“Tidak. Masalah apa rupanya?” tanya papanya heran. “Apa tentang seseorang yang kamu sukai di luar sana? Coba katakan siapa, mungkin saja Papa bisa membantu.”
“Begini, Pa…” kata Gatan. “… Gatan merasa selama ini kehidupan yang Gatan berjalan tidak sempurna.”
“Kok bisa?” tanya papanya heran.
“Hidup ini rasanya begitu kering dan tanpa ada tujuan. Baik dan buruk silih berganti kadang berjalan tidak adil. Yang buruk biasa saja mengalahkan yang baik, rasanyakan tidak adil jika yang baik selalu kalah dalam kehidupan ini. Jika hidup ini tidak berlanjut ke kehidupan yang lain, bagaimanakah yang buruk itu menerima hukuman dan yang baik itu menerima haqnya. Lantas manusia, bumi, langit dan alam lainnya tentu saja diciptakan oleh suatu Dzat Yang Maha Tinggi dan ini mengantarkan pikiran Gatan kepada sebuah kepercayaan. Keparcayaan bahwa dunia ini diciptakan mempunyai sebuah tujuan hidup, yakni sebuah pengabdian kepada sesuatu Dzat Yang Maha Tinggi yang dalam pikiran Gatan Dia lah yang telah menciptakan segala apa yang ada dalam dunia ini termasuk manusia. Kini Gatan ingin sekali memiliki tujuan hidup dengan menghambakan diri kepada Dzat Yang Maha Tinggi itu.”
“Papa sudah mengerti sekarang dan kalau itu memang pilihan kamu, papa tidak melarang kamu memiliki sebuah agama dan agama apapun yang kamu pilih mungkin itulah yang kamu anggap benar.”
“Tapi bukan sampai di situ saja, Pa. Gatan mengharapkan papa sebagai kepala rumah tangga di rumah ini juga ikut serta mengajak kepada seluruh anggota keluarga yang ada dalam rumah ini untuk ikut memilih agama yang Gatan pilih. Pilihan Gatan ini juga ternyata telah lama dipikirkan oleh Gle, hanya saja ia tidak berani mengutarakan hal ini kepada Papa.”
“Apakah dengan pilihan ini kamu anggap kehidupan kita akan semakin baik, termasuk hubungan kamu dengan mama kamu?”
“Gatan juga sudah memikirkan hal itu, Pa, dan Gatan memang merasa semuanya sudah layak diperbaiki.” kata Gatan. “Bagaimana menurut Papa?”
“Baiklah, jika memang ini menurut kamu lebih baik untuk keluarga kita.”
“Kedengarannya papa menerima dengan terpaksa? Jika memang terpaksa, Gatan jelas sangat kecewa, Pa. Karena agama yang Gatan pilih ini sangat tidak menyukai keterpaksaan. Lebih baik tidak jika terpaksa. Untuk apa dijalani dengan setengah hati, yang ada bukan kedamaian yang kita dapatkan, malah sebuah ketertekanan yang ujung-ujungnya akan mengecewakan diri sendiri. Atau papa pikirkan dulu pelan-pelan.”
“Baiklah, papa terima dengan ikhlas saran yang kamu utarakan.” balas Papanya setelah tertunduk dan terdiam beberapa jenak.
“Apakah malam ini saya kumpulkan semuanya, Pa?” tanya Gatan tidak sabar.
“Baiklah. Jika memang ini lebih baik secepatnya, kamu panggilkan ibu dan mama, juga Gle.” perintah papanya.
Gatan bangkit dan menghampiri kamar mamanya, “Ma…. Udah tidur, Ma?” kata Gatan di depan pintu.
“Ya, belum…!” balas mamanya dari dalam dengan perasaan aneh dan segera membuka pintu. “Ada apa, Tan?” tanya mamanya dengan raut wajah heran. Ia heran, kenapa malam itu Gatan mau menegornya.
“Kita kumpul sebentar di ruang keluarga, ada yang ingin Gatan utarakan!” balasnya mengulas senyum.
“Baik. Sebentar, ya!” balas mamanya kembali masuk ke dalam.
Gatan beralih ke kamar ibunya seterusnya ke kamar Gleztia, adik semata wayang-nya. Ia berjalan bergandengan tangan dengan adiknya Gleztia sambil membicarakan perihal apa yang mereka bicarakan beberapa waktu lalu. Gleztia merasa senang mendengarnya. Di ruang keluarga, keduanya duduk berdampingan. Sementara papa-nya berada di antara ibunya dan mamanya. Papanya meminta Gatan menyampaikan semuanya.
“Begini…” kata Gatan memulai. “… kami berdua selaku anak di rumah ini, yang te-lah menimba ilmu di luar rumah telah menemukan sesuatu yang kami nilai lebih ba-ik dari apa yang kita jalani selama ini dalam keluarga kita. Selama ini kita hidup da-lam kehidupan yang tanpa punya tujuan untuk apa kita hidup. Kita telah menyalahi kodrat kita sebagai manusia yang akhir-akhir ini kami menyadari semua yang ada di atas dunia ini pasti memiliki sesuatu rahasia, terutama rahasia penciptaannya.” Gatan menghentikan pembicaraannya.
“Manusia, alam dan bumi serta langit ternyata diciptakan suatu Dzat Yang Maha Tinggi yang disebut sebagai Sang Khalik atau Sang Pencipta dan dari sebuah sumber yang kami ketahui bahwa penciptaan manusia memiliki suatu tujuan pokok yakni untuk menghamba kepada Sang Khalik tadi dan ini belum kita lakukan sejak kita hadir di dunia ini. Gatan dan Gleztia sepakat mengajak semua keluarga untuk memeluk agama karena dengan agamalah kita bisa menghambakan diri kepada Sang Khalik tadi secara terarah dengan aturan dan dogma yang telah ada jauh sebelum kita ada di dunia ini.
“Gatan pribadi berfikir, dalam hidup ini selalu ada dua kemungkinan yang bertentangan, baik-buruk, putih-hitam, langit-bumi dan sebagainya. Hal ini menjadi bahan pemikiran bagi Gatan dengan berdasarkan beberapa wacana yang ada di televisi yang kenyataannya selalu yang salah dimenangkan. Lalu kalau kehidupan ini hanya sampai di sini bagaimana dengan kesalahan tadi, kapankah dia menerima akibatnya dan yang benar tadi kapankah dia menerima haqnya. Ini telah terjawab oleh Gatan, bahwa ada kahidupan setelah ini yang disebut sebagai kehidupan akhirat, di mana dalam kehidupan akhirat ini, segala apa yang kita lakukan di dunia ini akan dibalasi dengan adil. Tidak ada satu perbuatanpun yang tidak dibalasi oleh Sang Khalik tadi dan ini adalah pengadilan yang seadil-adilnya pengadilan. Jika kita tetap dalam kehidupan kita yang seperti ini, apakah bekal kita untuk menghadap ke kehidupan akhirat kelak.”
“Dari situ Gatan dan Gleztia memilih agama Islam sebagai jalan kita meraih kehidupan akhirat itu. Ada satu hal yang meyakini Gatan memilih Islam ini sebagai agama kita, yakni kitab sucinya yang universal digunakan oleh umatnya semua memiliki bahasa yang sama, yakni bahasa Arab. Memang ada satu agama yang sama bagusnya, namun firasat Gatan mengatakan bahwa satu agama tidak mungkin memiliki satu kitab yang berbeda bahasa dan versinya.” jelas Gatan panjang lebar.
“Sekarang bagaimana tanggapan papa, ibu dan mama tentang apa yang Gatan sampaikan yang sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh Gleztia pula?”
“Bagaiamana. Pa?” tanya ibunya memberikan kesempatan kepada suaminya untuk memberikan jawaban atas apa yang disampaikan oleh anak mereka.
“Iya. Bagaimana menurut papa?” mamanya meminta pandangan papanya.
“Papa tadi sudah mendengar penjelasan Gatan sebelum ini dan kami telah bernegoisasi. Sekarang tinggal keputusan kalian berdua.” balas papanya kepada kedua istrinya.
“Kalau menurut mama, asal mereka tidak meninggalkan kita saja, mama setuju memeluk agama Islam.”
“Bukan jawaban seperti itu yang kami inginkan, Ma.” balas Gleztia kecewa. “Kami ingin semua menerima dengan ikhlas tanpa alasan apapun yang kelak akan merugikan kita sendiri. Jelasnya, Islam itu tidak gampang namun mudah. Jika kalian hanya menurutkan kami saja, apa gunanya?” lanjut Gleztia.
“Kalau kami tidak ikut bagaimana?” tanyan mamanya pula.
“Ya, tentu dengan berat hati kami terpaksa meninggalkan rumah ini, karena secara tidak langsung hubungan kita akan terputus akibat aqidah yang kami anut. Mungkin hubungan kita hanya sebatas hubungan darah namun apapun yang kalian miliki kami tidak berhak mewarisinya, termasuk perusahaan papa yang kini Gatan tangani.” balas Gatan.
“Dan kalian bersedia meninggalkan ini semua hanya karena aqidah yang ingin kalian yakini. Tidak pernahkah terfikir oleh kalian bagaimana sayangnya kami pada kalian?”
“Justru karena kami menyayangi ibu, papa dan mama, makanya kami mengajak untuk memilih aqidah ini. Kami tidak ingin kelak kami berbahagia sementara kalian semua menderita akibat kekeliruan selama di dunia. Justru ini semua hasil dari pemikiran kami. Inilah hasil dari kalian bersusah payah menyekolahkan kami yakni untuk menyelamatkan kehidupan sesudah ini.” lanjut Gatan meyakinkan atas tuduhan mamanya, sementara ibunya hanya diam, begitu juga papanya.
“Bagaimana menurut Papa?” tanya mamanya. “Kok hanya diam saja. Ibu juga?”
“Ya, alasan mereka bisa papa terima kebenarannya. Kita menyekolah mereka semata-mata agar bisa membantu kita yang selama ini hanya terkungkung oleh kepatuhan tanpa alasan oleh orangtua kita selama ini.” balas papanya.
Mendengar itu Gatan dan Gleztia saling berpandangan dan saling tersenyum. Gatan meraih tubuh Gleztia ke dalam dekapannya sambil mengecup kening adiknya.
“Cerita Gatan masuk akal dan papa setuju masuk agama Islam secara ikhlas bukan karena takut kehilangan mereka.”
“Apa ada alasan lain kamu memilih Islam sebagai agama kita, Tan?” tanya mamanya mencoba mengakrabkan diri dengan Gatan yang selama ini tak pernah menyahut ucapannya.
“Sejak Gatan di Amerika, Gatan mengenal seorang laki-laki yang bernama Sobri, dia dari Indonesia, dan beberapa rekan kuliah dari negera Timur Tengah sana, seperti Mesir, Iraq, Iran dan Arab Saudi dan Gatan juga pernah ke negara mereka waktu libur dengan ongkos gratis. Setelah pulang ke Indonesia, Gatan malah ketemu dengan seorang muslimah berhati emas yang semakin memantapkan hati Gatan memilih agama Islam. Gatan pernah merasa ketakutan yang amat sangat dan airmata Gatan menetes mendengar suaranya yang merdu melantunkan ayat Al-Qur’an. Pada saat itu, tubuh Gatan benar-benar luluh dan lunglai mendengarnya, mungkin inilah yang dinamakan dengan hidayah dan petunjuk itu. Tidak sampai di situ, Gatan malah berharap muslimah itu kelak yang akan menjadi istri Gatan yang tentunya kalau dia bersedia.”
“Kalau memang kamu sudah sedemikian yakinnya, mama tidak mungkin mematahkan semangatmu, toh, semuanya juga demi kebaikan kita.” balas mamanya mengurai senyum pada Gatan.
“Kapan rencana ini kita laksanakan, Kak?” tanya Gleztia tak sabar. “Gle, udah tak sabar ingin memakai kerudung, pasti Gle semakin cantik.”
“Secepatnya akan kakak usahakan. Malam Minggu besok kakak dengan ditemani muslimah teman kakak itu akan menjumpai seorang kyai yang akan memandu kita mengenal Islam sekaligus yang akan mengajari kita tata cara ibadah agama yang baru ini.” balas Gatan pada adiknya.
Gleztia akhirnya bangkit dari duduknya dan permisi untuk tidur, karena besok ia ingin segera bertemu dengan sahabatnya memberi tau berita baik ini. Ibu, papa dan mamanya pun bangkit meninggalkan Gatan yang mulai tenggelam kembali dengan pekerjaannya.
***
MAYSAROH bersama Gleztia melaju ke rumah milis kepenulisan tempatnya bernaung. Selama perjalanan tadi dia tidak berhenti menceritakan rencana mereka sekeluarga yang akan masuk Islam. Mendengar itu, betapa bahagianya hati Maysaroh. Dia langsung memeluk tubuh Gleztia yang sedang asyik menyetir.
“Sahabatku, sebentar lagi kau akan jadi saudaraku. Sudah lama aku ingin mengajakmu masuk Islam, memiliki sebuah agama yang juga aku miliki, tapi aku tidak ingin menyinggung perasaanmu. Aku ingin kau sendiri yang meminta padaku untuk bersyahadat meyakini agamaku sebagai agamamu pula.” kata Maysaroh lirih. Tak urung air matanya mengalir.
Gleztia menghentikan laju mobil ke pinggir jalan ketika dirasanya air mata sahabatnya menempel dipipinya. Digerakkanya tangannya merangkul Maysaroh dan mereka berpelukan erat.
“Sebentar lagi kita akan sama-sama shalat, sama-sama puasa, melakukan amalan-amalan lain secara bersama pula. Aku akan mengajarimu semua tuntunan agama Islam yang aku ketahui dan jika kita tidak mengetahui kita akan bertanya pada seorang uztadzah.”
“May, terima kasih atas persahabatan yang indah ini!” hanya itu yang bisa diucapkan Gleztia. Tak urung air matanya pun mengalir pula.
Diraihnya tissue sambil melepaskan pelukan pada Maysaroh. Tissue itu diberikan pada Maysaroh dan diraihnya lagi untuk membersihkan air matanya. Tak berapa lama mobil kembali berjalan. Keduanya saling memandang dan tersenyum.
Maysaroh bersama Gleztia turun dari mobil setelah sampai di rumah milis kepenulisan tempatnya bernaung. Di tangan Maysaroh terlihat sebuah map file warna biru yang berisi draft tulisannya yang akan diserahkan pada bagian editing. Itu draft novelnya yang pertama yang diselesaikannya beberapa tahun belakangan ini dengan perlahan dan dengan perhitungan yang matang tentang alur dan ending novel tersebut. Dalam novel itu ia menggunakan nama pena yakni May Ab. Novelnya yang berjudul Do,a dari Balik Kerudung itu rencananya adalah novel pertama yang akan dicetak oleh percetakan yang mereka buka secara sederhana.
Ketika ia berada di depan pintu ruang editing, Aa Wandy memanggilnya hingga ia urungkan niatnya untuk segera masuk ke ruang editing tersebut. Ia menghampiri Aa Wandy dengan mengucap salam. Salamnya dibalas Aa Wandy dengan senyum.
“Ini dia, penulis berbakat kita yang siap memajukan milis kepenulisan kita.” kata Aa Wandy.
“Syukron billah! Amin ya Rabb.” balas Maysaroh dengan khusu’ yang diikuti oleh Aa Wandy. “Ini Aa, dibaca-baca dulu.” Maysaroh menyodorkan draft novelnya beserta kepingan disc filenya.
“Ya, nanti Aa akan baca.” balasnya sambil menerima draft yang disodorkan Maysaroh. “Wah, pake nama pena ini keliatannya!”
“Ya, Aa. May Ab. Lengkapnya Maysaroh Abdullah. Abdullah itu nama abah.”
“O, ya. Apa memang itu nama aslinya?”
“Kalau lengkapnya Maysaroh Putri Qur’aini Abdullah, tapi May lebih tertarik menggunakan May Ab. Kesannya lebih energik, fresh dan bersahabat.” balas Maysaroh. “Bagaimana menurut Aa?”
“Ya, secara pribadi Aa memang kurang suka dengan nama-nama pena seperti ini, namun alasannya bisa Aa terima dan ternyata bagus juga. Aa jadi pengen pula punya nama pena. Enaknya bagaimana, ya?”
“Hehehe…, jadi pengen ngikut rupanya Aa, neh.” tawa Maysaroh renyah. “Bagaimana kalau langsung aja Aa Wandy. Kedengarannya lebih akrab dan lebih fresh di telinga.”
“Ah, bisa saja antum!” balas Aa Wandy. “Begini dik May, Aa juga berencana mem-buat sebuah majalah yang khusus untuk meliput seluruh kegiatan kita di milis ini.”
“Ide yang cemerlang, Aa. May sangat setuju dan lewat majalah inilah nanti kita mengenalkan milis kita ke dunia luar. Sambil berdakwah, kita sempatkan juga majalah ini sebagai pekerjaan dan membuka kesempatan pada penulis-penulis muda untuk mengembangkan bakat dan menggali potensi dirinya sedalam-dalamnya.” balas Maysaroh antusias.
“Antum biasakan menyiapkan persiapan teknisnya sekaligus sebagai dewan redaksi majalah kita nanti.”
“Insya Allah, Aa.”
“Baiklah kalau begitu, mungkin ini yang kita usahakan terlebih dahulu dan mungkin novel kamu kita cancel beberapa bulan ke depan. Tidak apa, kan?”
“Bagaimana baiknya saja, Aa.”
Mulai saat itu, kesibukan Maysaroh semakin bertambah, di samping belajar ia juga sedang mempersiapkan persiapan teknis tentang majalah yang mereka rencanakan berdua dengan Aa Wandy. Setelah persiapan teknis itu selesai dikerjakannya dalam hitungan minggu, draft persiapan teknis itu mereka bawa ke tengah forum dan disetujui oleh seluruh forum.
Bulan ini, di samping ia mengikuti ujian akhir di sekolah mereka juga memper-siapkan launching majalah perdana di aula kampus tempat Aa Wandy menimba ilmu di depan seluruh personil organisasi kemahasiswaan bidang agama. Pada kesem-patan itu pula, Maysaroh tampil sebagai moderator, meski awalnya ia menolak na-mun setelah Aa Wandy dan seluruh anggota milis kepenulisan memberikan motivasi kepadanya, ia akhirnya menerima dengan senang hati, hitung-hitung sebagai pengalaman berbicara di sebuah forum yang boleh dikatakan resmi.
Bulan berikutnya, Maysaroh menerima hasil Ujian Nasional yang sangat memuaskan, meskipun angan-angannya yang ingin mendapat peringkat pertama hasil Ujian Nasional se-Indonesia, namun ia masih beruntung mendapat sepuluh besar, yakni peringkat ke-9. Ucapan selamat diterimanya dari rekan-rekannya di milis kepenulisan tempatnya bernaung. Dia tidak menyadari, peringkat yang diraihnya itu ternyata di terbitkan Aa Wandy sebagai ucapan selamat dan sukses.
Malam ini ia merenung di dalam kamarnya setelah apa yang diraihnya cukup memuaskannya. Semua temannya telah berlomba-lomba mendaftarkan diri ke ber-bagai universitas dan sekolah tinggi impian masing-masing, namun Maysaroh masih merenungi kertas penghargaan dari sekolah itu atas keberhasilannya mengharum-kan nama sekolah dengan nilai Ujian Nasional yang memuaskan. ‘Apa arti semua ini, jika perjuanganku hanya sampai di sini?’ batinnya sambil memejamkan matanya meresapi kesedihannya. ‘Ya Allah, berikan May jalan untuk semua ini! Berikan May petunjuk untuk mewujudkan cita-cita May! Berikan May kekuatan untuk membaha-giakan abah dan umi dengan keberhasilan May.’ Berkali-kali ia melantunkan munajat hatinya, namun hatinya belum mau tentram.
“May…!” suara uminya membuatnya tersadar dan segera melafazkan istighfar.
“Ya, Mi…!” balasnya sambil menyeka air matanya yang sempat berlinang.
“Ini, ada Nak Gatan!” balas uminya dari luar.
Mendengar nama itu, hatinya berdegub kencang. Sudah lama laki-laki itu tidak menemuinya. Jujur, ia sudah sangat merindukannya.
“Ya, Mi, sebentar!” balasnya dari dalam. Segera diambilnya kerudungnya. Setelah dipakainya segera ia keluar.
“Ada apa Dik May, kelihatannya sangat gundah?” Gatan menangkap sesuatu yang berbeda di matanya.
“Ah, tidak ada apa-apa, hanya terbawa suasana cerita yang aku tulis.” balasnya berbohong.
“Oh, selamat ya atas keberhasilannya meraih peringkat ke-9 nilai Ujian Nasionalnya se-Indonesia. Saya tidak sangka kalau Dik May sebrilliant itu.”
“Alhamdulillah, Mas.” balasnya tersenyum.
“Pak…Bu…, boleh tidak saya mengajak Dik May jalan-jalan ke luar beberapa jenak?”
“Terserah May saja kalau mau.” balas uminya.
“Bagaimana, Dik May, kalau kita jalan sebentar keluar?”
Maysaroh menoleh pada kedua orangtuanya meminta persetujuan dengan isyarat matanya. Kedua orangtuanya hanya mengulas senyum memberikan ijin.
“Baiklah, Mas. Sebentar saya berkemas sedikit. Tidak enak kalau berjalan seperti ini.” katanya beranjak ke dalam kamarnya. Gatan hanya mengangguk. Tak berapa lama Maysaroh keluar dan mata Gatan tidak berkedip menatap kecantikan Maysaroh malam itu.
“Subhanallah…” ucapnya tanpa sadar apa yang diucapkannya.
“Mas ngucapin apa?” tanya Maysaroh kaget.
“Ha…, ah maaf Dik May. Mas keceplosan.”
“Tidak apa-apa! Sepertinya Mas memang serius sekali ingin mengenal Islam.” kata May ketika mereka sudah berada di jalan.
“Mas sangat serius. Bahkan sejak kuliah di Amerika, Mas sudah mulai belajar Islam dari sejumlah buku.” jawab Gatan. “Coba kamu lihat ke jok belakang! Itu perpustakaan kecil bagi Mas.”
Maysaroh menoleh ke jok belakang yang dimaksud Gatan. Benar saja, di jok belakang mobilnya terdapat buku yang tak terlalu beragam hanya buku-buku ilmu management dan selebihnya buku agama. Setelah diperhatikan Maysaroh, buku agama kelihatannya lebih banyak. Buku-buku itu berletakan begitu saja.
“Tapi agak berantakan…!” balas Gatan ketika melihat kerut di kening Maysaroh.
Seketika Maysaroh tersadar dengan ekspresi wajahnya.
“Ah, tak apa, Mas. Bukan yang berantakan itu yang membuat saya berekspresi agak lain, namun karena buku yang lebih banyak diperpustakaan Mas ini adalah buku agama.” Balas Maysaroh sambil meraih satu buku yang tergeletak di lantai mobil.
“’PUTUSAN TARJIH MUHAMMADIYAH’?” ucap May lirih sambil mengarahkan pandangannya pada Gatan.
“Itu hadiah ulang tahun dari teman, katanya orang tuanya agen buku Suara Muhammadiyah, orang Yogyakarta.” jelas Gatan. “Mas banyak belajar dari sana, sepertinya sangat sesuai dengan jalan pikiran mas.”
“Meski May bukan seorang Muhammadiyah, tapi pemikiran-pemikiran dan ajaran Muhammadiyah itu sangat sejalan juga dengan pikiran dan logika May.”
“Kenapa bukan Muhammadiyah?”
“Masalahnya mudah saja, Mas. Sama seperti Mas juga, kalau akhirnya memilih Islam juga kenapa tidak dari kecil, kan? Ya, karena lingkungan kita yang membuat demikian. Mas terlahir di tengah-tengah keluarga yang tidak percaya Tuhan, dan aku terlahir dari keluarga yang bukan orang Muhammadiyah.”
Gatan mengangguk mendengar penjelasan Maysaroh.
Keduanya lalu terdiam bermain dengan perasaan masing-masing. Gatan sibuk memperhatikan jalanan yang lumayan padat, karena mereka melintas di sekitar keramaian, meskipun tidak terlihat macet.
Gatan akhirnya mengalihkan jalan mobilnya ke sebuah tempat yang cukup indah. Tempat itu berupa sebuah warteg makan ringan. Dia mengajak Maysaroh untuk turun sekedar makan makanan ringan atau sekedar minum juice. Maysaroh agak ragu dengan ajakan itu. jujur, ini untuk pertama kalinya ia pergi bersama lelaki, lelaki itu tak cukup dikenalnya pula. Namun akhirnya ia menurut juga takut Gatan tersinggung. Namun ia tetap berdoa’a agar dilindungi oleh Allah.
“Aku ingin memberi sebuah kabar gembira padamu, May!” ungkap Gatan setelah duduk berhadap-hadapan di sebuah tempat santai menghadap ke laut lepas. Bulan empat belas dengan ribuan bintang menghiasi di langit sana memperindah suasana malam itu.
“Kabar gembira apa, Mas? Sepertinya aku begitu istimewa sehingga harus menerima kabar gembira segala dari, Mas!” balas Maysaroh sambil tertawa renyah.
Dada Gatan berdegub kencang melihat Maysaroh yang tertawa renyah. ‘betapa bahagianya aku jika bisa memperistrinya. Tapi apakah dia mau mengingat usiaku yang sudah menjelang 27 tahun, sementara dia baru 19 tahun.’ batin Gatan.
“Kok, jadi ngelamun, Mas. Apa ada kata-kata May yang tidak enak?” kata Maysaroh lagi ketika sekian lama tak mendengar jawaban dari Gatan.
“Oh, maaf. Tidak ada sama sekali May. Tapi masalah istimewa itu kalau kamu bersedia apa salahnya, kan? Cuma kebahagiaan ini pantas rasanya Mas bagi sama May, di samping Mas tidak tau harus berbagi sama siapa.”
“Pacar Mas sendiri kan lebih pantas ketimbang May yang hanya bertemu tanpa sengaja saja, yang akrab hanya karena ada persamaan.”
Jantung Gatan berdetak kencang mendengar kata-kata Maysaroh. ‘Ini merupakan tanda kalau dia tak sedikitpun merespect semua tingkahku padanya.’ batin Gatan.
“Hmmm….., Pacar? Untuk mengucapkan kata pacar itupun rasanya enggan, May!”
“Kenapa, Mas?”
“Ini masa lalu yang pahit, May. Namun mungkin inlah saatnya Mas juga berbagi. Kamu maukan mendengarkannya?”
“Kalau Mas merasa itu tak jadi masalah, kenapa tidak?”
“Waktu SMA dulu, Mas pernah mencintai teman sekelas mas. Kami saling mencintai bahkan kedua orangtua kami sudah saling setuju dengan hubungan kami dan meminta kami untuk tetap menjaganya. Menikah sekarang terlalu cepat, kalian kuliahlah dulu, kejar masa depan dan setelah merasa waktunya, menikahlah! Kata orangtuanya waktu itu. mendengar nasehat seperti itu kami saling pandang dan tersenyum dan pada saat itu kami saling berjanji dihadapan orang tuanya untuk saling menjaga. Tapi naas itu tak bisa dielakkan, May, ketika kami sedang menikmati suatu malam minggu, waktu itu Mas memang meminum minuman keras, tabrakan maut telah merenggut nyawanya, padahal ia telah meminta pada Mas untuk menyetir tapi Mas berhasil meyakinkannya kalau Mas tidak sedang mabuk. Mas sangat terpukul menerima kenyataan ini, malah kedua orangtuanya yang memberikan semangat untuk tabah pada Mas. Nak, kejar cita-citamu, cita-cita kalian agar putri kami bahagia di sana, nasehat ayahnya ketika itu. Sejak saat itu Mas tak pernah memikirkan kata pacaran.”
“Apa setelah pulang dari Amerika Mas sudah pernah melihat kedua orang tuanya?” tanya Maysaroh.
“Astaga…..!” balas Gatan terkaget. “Sungguh, May, Mas tak pernah terpikirkan ke sana.”
“Sebaiknya besok Mas pergi!”
“Kamu betul. Besok Mas akan ke sana? Apa kamu berminat ikut, sekalian refreshing?”
“Rasanya, sih, pengen juga, Mas. Tapi jauh tidak?”
“Tidak terlalu jauh, perjalanan satu setengah jam.”
“Jika abah dan umi mengizinkan, May mau menemani Mas.”
“Besok Mas minta izin sama abah dan umi, ya!”
“Baiklah!” balas Maysaroh. “Lalu kabar gembira yang Mas maksudkan tadi?”
“Oh, iya. Hampir lupa. Insya Allah minggu depan kami sekeluarga akan bersyahadat dan memeluk agama Islam sebgai agama yang haq.”
“Alhamdulillahirabbil ‘alamin!” ucap Maysaroh lirih dan khusyu’. “Tapi kenapa harus minggu depan, Mas? Jika sudah ada niat baik sebaiknya jangan di tunda-tunda.”
“Kami perlu persiapan, May!”
“Persipan apa, Mas? Apa harus seperti orang kondangan? Nanti malah kelihatan tidak ikhlasnya, Mas. Secara sederhana saja dengan mengajak beberapa orang tetangga kiri kanan sebagai saksi dilanjutkan dengan acara khitanan untuk Mas dan bapak. Selesai.”
“Kalau khitan, Mas sudah khitan waktu berlibur di Arab Saudi bersama teman se-kost. Mereka sekalian umroh!”
“Wah, suatu kesempatan yang baik sudah menginjakkan kaki ke Baitullah. May mungkin hanya mimpi sampai ke Baitullah, Mas.”
“Waktu menatap Ka’bah dari dekat, hati Mas berdetak begitu kencang, seluruh persendian Mas rasanya lemas seolah lumpuh. Mas akhirnya digotong ke rumah teman mas.”
“Lha, kenapa tidak bersyahadat saja waktu itu? Itu sudah merupakan hidayah terbesar buat Mas.”
“Itulah yang Mas sesalkan sampai sekarang. Padahal itu sudah merupakan moment dan dorongan terbesar yang Mas rasakan untuk masuk Islam.”
Maysaroh menyeruput juice pokkat yang ada di hadapannya sampai habis. Gatan juga menghabiskan minuman yang ada dihadapannya. Diliriknya arloji di pergelangan tangan kirinya, jam 21.30 WIB.
“May, kita pulang, yuk! Aku antar kamu pulang.”
“Kalau tak di antar masa aku pulang jalan kaki, Mas.” Balas Maysaroh tertawa renyah.
“Iya, ya…!” balas Gatan ikut tertawa.
Keduanya berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman warteg tersebut setelah Gatan membayar minuman mereka. Diperjalanan pulang mereka banyak ngobrol tentang agama yang dipertanyakan Gatan pada Maysaroh. Di rumah Maysaroh, Gatan juga memberitakan kabar gembira kepada kedua orang tua Maysaroh masalah keislaman mereka. Setelah merasa cukup, Gatan pamit pulang.
***

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler