Skip to Content

Meja Yang 'Tak Hijau 3 (Cerpen)

Foto Steven Sitohang

Dan masuklah ia dalam labirin proses, bersama semua kehijauannya. Di atas tubir tertutup, terlantar tanpa sedikit pun protes. Dikelilingi ketegangan, diselimuti keringat kepolosan dalam ruangan. Lika liku nan mampu ledakkan benak manusia dewasa, tua, juga tiap gugusan otak mahir. Namun ia hanya sebatang di sana, laksana bunga dalam sepinya gersang padang pasir. Dengan keabu-abuan ia menentang masa depan, dengan mata sayu di sebrang palu menunggu ketukannya bagai bedil yang mengagetkan, dan dengan sepi menanti datangnya dalil. Berharap Dewi Themis memercik kebijakan akan suatu teka-teki yang menggeleparkan jiwa dan tata-tata dan tidak kurang 1 tahun lama.

            “Hukum lagi?”, kataku di luar labirin.

            “Iya nak, sebagian kalangan menganggap itulah alat terbaik dan memungkinkan ‘tuk hentikan perselisihan dalam kehidupan sosial." langsung saja ia berlagak mengguruiku, "anggapan itu ada, menurutku, karena keyakinan bahwa hukum adalah instrumen yang netral dari berbagai nilai atau kepentingan tertentu kelompok sosial.”, kata seseorang tua padaku, juga di luar labirin.

Sulawesi Tengah, Mei 2011, satu peristiwa menggemparkan manusia.

Dalam labirin tersebut, seorang berpakaian hitam panjang sampai ke lutut, berlengan panjang dengan bahan jenis kain dril dengan wol sisir sebagai lusin, berkata, terdengar pelan dari luar sini, “barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama....tahun atau pidana denda paling banyak....rupiah.”

            “Oh, Kasus Pencurian”, kataku sambil membakar sebatang jarum.

            “Ya.. dan pencurinya pun anak kecil 15 tahun serta masih tercatat sebagai siswa SMK Negeri....”, masih kata seorang itu.

Lantas segeralah mataku menengok lagi ke dalam ruang labirin tersebut, ku lihat benar anak remaja yang duduk di kursi pesakitan, dengan murungnya di lantai terdakwa, dalam posisi yang bersalah, antara bui dan gedung sekolah tercintanya. Langsung terbersit dalam benakku, seperti ini lah jadinya jika remaja berkawan dalam hidup di atas dunia dan lingkungan yang salah.

            “Seperti itu lah kehidupan dewasa ini, nak”, orang itu berkata, dan seperti mendengar puitik benakku, ia berbicara. “Kesalahan itu memang hendaknya dihindari, tapi siapalah manusia yang 'tak lekang dengan kesalahan?, apalagi dia hanya seorang anak belum dewasa, yang masih menyusun, membangun rumah jati dirinya di atas dunia, di tanah dalam lingkungan kelahirannya.”

Mataku masih mengintip dari kaca jendela yang hampir seluruhnya tertutup oleh gorden, dalam benakku, “kenapa harus suasana seperti ini yang selalu bergentayangan untuk menggali dan mendapatkan suatu yang katanya keadilan”. Pandangku seperti dipaksa mengarah kepada satu senyum yang agak dipaksakan lugu, seorang muda, tegap, berseragam warna coklat berlogo briptu.

Aku hendak menanyakan siapa orang itu, duduk di samping anak remaja SMK dan ditemani seorang yang berpakaian jas hitamnya. Sebelum ku arahkan mataku, orang itu sudah mulai lagi berbicara, “dia lah Pelapornya, dia juga yang merasa dirugikan maka segalanya masuk ke atas meja yang 'tak hijau ini”.

            “Lantas apa yang telah dilakukan anak itu?”

            “Semuanya bermula saat ia dan temannya lewat Jalan Zebra, tepatnya di muka kosan Briptu tersebut, ia mencuri barang milik Briptu dan lansung dimasukkan ke dalam tas”

            “Barang apa yang diambinya?”

Seperti Badut yang ‘tak lucu, orang itu ‘tak mengindahkan pertanyaanku, dan terus bercerita. “Saat diinterogasi, anak itu sempat mendapat penganiayaan dari Briptu dan rekannya yang juga polisi. Dengan dugaan itu, keluarga anak tersebut melaporkan kedua oknum polisi ke bidang Profesi dan Pengamanan Polda Sulawesi Tengah.”

Dalam benakku, seorang anak sebatang kara itu, ternyata didiamkan dengan ketidaktahuannya, dan sebelum itu, ia sempat dihiasi oleh warna hijau kebiru-biruan lebam, di sekeliling punggung, kaki, dan tangannya, dan ‘tak mampu untuk melawan. Dan sekarang berharap cemas untuk hukuman 5 tahun penjara yang telah menatap tajam. Semakin tertarik aku dengan ceritanya, semakin penasaran aku siapalah gerangan orang tua ini.

            “Kok polisi yang terlibat, tidak punya perasaan ya?”, seru beberapa orang di antara kita.

             Aku kembali bertanya, “Lalu adakah yang telah dilakukan orang tua anak itu?”, pertanyaan itu keluar didorong oleh rasa penasaran.

            “Mereka sebelumnya pernah berniat mengganti barang yang dicuri anak itu, tetapi Briptu dengan keras ingin melanjutkan kasus ini.”

Terlintas dalam kepalaku, bahwa keinginan Briptu ini diharuskan karena ia terlanjur disiramkan sanksi. Yang aku ketahui bahwa dengan pelaporan kedua oknum polisi itu ke bidang profesi, maka mereka layak mendapatkan sanksi disiplin.

Terdengar suara dari dalam labirin, setengah badan seorang ibu nampak dari dalam pintu dengan kerudung berbahan katun, memanggil, “Pak, sudah selesaikan merokoknya?”. tersadar aku bahwa yang dipanggil ibu itu adalah seorang tua yang tadi aku pinjam rokoknya untuk menyalakan rokokku, serta teman ngobrol-ku. Ibu itu melanjutkan, “Pak, ayo masuk, anak kita butuh dukungan moral dan spiritual kita di dalam.”

Kemudian masuklah ibu tadi ke dalam, dan disusul oleh orang tua dengan sebelumnya memberikan sedikit sapa kepadaku dan hilang dengan ditutupnya pintu labirin. Lalu pergilah beberapa orang di depan pintu ini entah kemana, tersisah aku sendiri dengan mata melihat ke dalam, lewat celah jendela. Merasa iba aku melihat anak itu, dan merasa dapat pembelajaran yang baik aku dari ayah anak itu.

Coba aku berjalan ke taman dekat ruang persidangan, untuk pikirkan semua itu, dengan mata tetap berpusat pada tempat menggali kebajikan. “Anak SMK 15 tahun?”, “pencurian?”, “Briptu?”, “penganiayaan?”, “pengadilan?”.

            “Akses keadilan apa bagi si bocah SMK itu?!”, seperti bisikan dari embusan angin yang menggoyangkan dedaunan.

            “Mencuri adalah tetap mencuri”, meja yang kalah hijaunya itu, seperti berbicara dengan wibawa.

            “Alas kaki melayang, meja gila ini yang datang”, aula itu merintihkan kekecewaannya.

Kemudian yang aku ketahui bahwa kejadian yang harus masuk labirin itu adalah kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan anak kecil SMK, dan bersama pertimbangan di bawah umur dan tetap bersekolah, baik selama penyidikan di kepolisian maupun di kejaksaan, anak itu tidak dilakukan penahanan.

Dalam labirin itu juga, barang bukti yang diajukan bukanlah sandal yang pada awalnya dikatakan hilang. Briptu mengaku, “Saya kehilangan sandal bermerek Eiger nomor 43.”, Tetapi, yang ditunjukkan jaksa sebagai barang bukti ialah sandal bermerek Ando nomor 9,5. Serta tiadanya saksi satu pun yang melihat langsung apakah merek Ando itu yang benar dicurinya di depan kamar Briptu.

            “Kenapa Briptu itu terlihat begitu bersikeras?”, tanya seseorang pada kawan bicaranya di dekat taman.

Telah aku ketahui juga bahwa kedua oknum polisi itu telah mendapatkan sanksi penempatan di tempat khusus selama 21 hari. Itulah yang membuat ia ngotot agar kasus ini tetap dalam proses peradilan.

            “Menurutku, tindakan anak itu lebih tepat dikategorikan kenakalan masa remaja sebagai bentuk kembang mereka di masa transisi.”, terdengar olehku perkataan lawan bicara orang itu.

            “Apakah benar sistem penegakan hukum di negeri ini hanya mengedepankan sisi prosedural tanpa pertimbangan sisi kemanusiaan?”, pikirku, dan “dari segi hukum, sebaiknya anak-anak dibimbing, dibina, dan dikembalikan pada orang tuanya, bukankah ini bisa menjadi preseden buruk di masa depan bagi rana hukum sendiri? Jika tidak, akan penuhlah penjara karena kenakalan-kenakalan masa remaja”.

Dengan suara-suara seperti itu dalam benakku, aku akan arsiteki satu rencana, mengetuk hati kecil setiap orang dari berbagai lapis elemennya, dan menggalang sebanyak-banyaknya suara masyarakat dengan mengumpulkan 1000 pasang sandal jepit beserta berbagai macam merek, “anak itu bukanlah koruptor!, yang layak dikedepankan sisi prosedural hukum, sedang koruptor mutlak pun belum tentu”, lagi terdengar suara dalam benakku.

Jika telah terkumpul 1000 pasang sandal, akan kita serahkan semua kepada briptu itu sebagai pengganti 3 sandalnya yang hilang, dan ia akan puas bahagia!, serta tidak perlu lagi untuk membeli sandal baru seumur hidupnya!

-Selesai-

Hukum adalah sebilah pisau dapur mengarah ke tanah, runcing ke bawah dan tumpul ke atas. Ia selalu terikat oleh konteks sosio-historis dan tak dapat dilepas, ia datang bukan dari ruang hampa tanpa nama, ia juga selalu memiliki ide-idenya sendiri, artinya selalu menggenggam ideologi, dan akan tercium wangi hukum itu, jika mampu mengedepankan dahulu sisi manusiawi dalam beberapa hal, dan tidak terlepas sifat aslinya.

 

 

Steven Sitohang (Jakarta, 3 Maret 2014) sastraadalahakar...

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler