Skip to Content

SEPENGGAL MASA LALU

Foto mahyut z.a. dawari

Lelaki itu, Kung, melambaikan tangan pada seseorang dari areal parkir kampus.  Selalu ia tepat waktu, desah batinku, gamang. Bahkan, beberapa menit sebelum jam kuliah sore berakhir, Kung telah  berada di sana. Tanpa lelah. Untuk seseorang, yang tengah kasmaran seperti Kung, pekerjaan menunggu tentu tidak membuatnya jemu. Betapa pun lama waktu mengurungnya.     

Di ambang sore yang menciptakan siluet ini, kembali kusaksikan sepak terjang Kung. Tubuh jangkungnya tak lagi membuat rikuh. Percaya diri Kung menumbuh seiring otot-otot di tubuhnya bertonjolan. Dan, rasa percaya diri itu sontak memuncak manakala seseorang mendekatinya. Air muka Kung sumringah. Ada sedikit basa-basi. Lalu tangan manja seseorang itu, seperti sudah-sudah, merangkul pinggang Kung ketika  ia telah duduk di boncengannya.

Sekejap kebisingan tercipta. RX King Kung meraung-raung sebelum meninggalkan areal parkir. Sebuah kesengajaan amat picisan dan ujungnya sangat mudah ditebak. Kung ingin semua mata terpusat pada mereka berdua. Begitu rupa cara Kung memproklamirkan kemesraan di depan banyak mata menatap saat itu. Aduhai, Kung. Hatiku seperti ditakik-takik alat peluka yang tumpul. Ngilu tak terkira.   

Ilona berkulit langsat dan berhidung bangir. Ada dekik pada kedua pipi jika wajah bulat telur beralis tebal itu murah senyum. Menatap Ilona, aku teringat Brooke Shields. Kecantikan bintang film Blue Lagoon di tahun 1980 itu seperti menitis dalam diri Ilona. Dialah seseorang yang mencuri hati Kung. Gadis semampai penyabet predikat Juara I Putri Kampus itu, tak pelak, menjadi incaran banyak mata lelaki yang menginginkannya. Juga Kung. Sebagai lelaki, ia tidak ingin kehilangan kesempatan dan Kung berhasil mendekati Putri Kampus bertubuh semampai itu.     

Begitulah. Gayung bersambut. Tanpa canggung Ilona merangkul Kung. Tiga kali sebulan kusaksikan gelagat manis itu. Di hari-hari lain, tentu, Kung hadir di areal parkir itu seperti biasa. Menunggu Ilona. Akan tetapi, sesungguhnya Kung tak pernah tahu kalau aku mengambil tiga mata kuliah sore di kelas Ilona. Ah, Kung. Menyadari apa yang tersuguh di depan mata, mendadak, kusesali apa yang telah menjadi keputusanku selama ini.

Lima tahun lalu, Kung adalah remaja SMA terkucilkan. Tubuh jangkungnya adalah penyebab. Kung frustrasi berat. Percaya dirinya merosot. Sempat Kung fobia akan keadaan tubuhnya. Di Klub Basket, ia terdepak karena persoalan tubuh jangkung Kung tak berotot. Menyadari kekurangannya, Kung putar haluan, mencari ekskul yang sudi menernaknya.

Adalah sia-sia usaha Kung. Grup Paduan Suara lebih ekstrim. Suara Kung dinilai sember. Seperti ember kosong ditabuh. Tidak bisa dibentuk meski ditangani guru vokal  profesional sekali pun. Di samping bersuara sember, Kung tak paham metronom. Dapat dibayangkan. Kung bernyanyi berbalapan dengan ketukan. Ia kena damprat habis-habisan. Kung patah arang. Aku iba padanya.

Kung menghindar dan frustrasi. Kubuntuti langkahnya dari kejauhan. Di belakang sekolah Kung tumpahkan kekesalan hatinya. Tembok sekolah jadi sasar amarahnya paling empuk. Berkali-kali disodok hingga tangan Kung berdarah-darah. Aku merasa terpanggil dan mendekat. Menyadari kehadirianku, Kung mendengus.

“Kung,” sapaku ramah dan bersahabat.

Kung menunduk rikuh. Napasnya terdengar berat dan menyimpan sengal.

“Tanganmu berdarah!”  kudekati Kung sedekat mungkin.

Kung mendengus tak peduli.  Tegang. Tapi, aku tak putus asa.  

“Kalau tak diobati tanganmu bisa terkena infeksi. Ke UKS, yuk?” ajakku.

Sesaat, Kung tampak melunak. Hanya sayangnya ia tidak menggubris kata-kataku. Sesuatu, mungkin, telah merasuk pikiran Kung sehingga ia mengambil keputusan sepihak. Kung menghindariku. Ia menjauh dan pulang padahal jam pelajaran belum berakhir.

Buntut dari peristiwa itu, Kung tidak masuk sekolah selama tiga hari. Tak ada yang berlebihan jika aku peduli pada Kung. Kung teman sekelas yang membutuhkan dukungan moril. Maka, kuperakarsai diriku pada sebuah keputusan. Aku hengkang dari grup Paduan Suara dan bergabung dalam ekskul pramuka. Tidak kugubris mulut usil yang menggunjing keputusanku itu. Kung harus dibantu.

Sekurang-kurangnya, aku mengupayakan sesuatu pada Kung. Bersama Kak Yusa, Pembina Pramuka, kami bertandang ke kediaman Kung. Meski Kung tak hangat menerima kedatangan kami, tapi tetap membujuknya masuk ekskul Pramuka.  

“Di ekskul Pramuka tidak ada diskriminasi,” promo Kak Yusa, “Anggota Pramuka berpegang teguh pada Tri Satya dan Dasa Darma Pramuka. Bermotokan satya kudarmakan dan darma kubaktikan adalah lebih menyerupai sumpah setia anggota Pramuka. Kita akan saling mengayomi satu sama lain,” pungkas Kak Yusa.

Tetapi, Kung bergeming. Bungkamnya itu sebuah isyarat kecemasan yang dalam. Kekecewaan Kung belum pudar. Dan, itu mematikan minatnya. Apa hendak dikata. Kami pamit membawa perasaan masygul.

Keesokan harinya, Kung kembali ke bangku sekolah. Ia berurusan dengan guru BK karena membolos selama tiga hari itu. Luka-luka di tangan Kung telah mengering. Namun, sayangnya, Kung menutup diri dalam pergaulan antarsiswa di sekolah.

Beberapa bulan kemudian, di belakang sekolah, kupergoki Kung termenung. Sinar matanya kosong, menampakkan kegalauan hati yang berat. Rasa ibalah yang membawa langkahku mendekati Kung. Ia butuh teman berbagi sebelum depresi melumatnya mentah-mentah.

“Kung,” lembut kusentuh bahunya, “Berceritalah. Kamu butuh teman berbagi!”

Kung menarik napas sepenuh rongga dada. Sambil mencabut sebatang rumput liar, ia hempaskan kembali napas itu seketika. Tak menarik untuk didengar. Tapi, aku tak ambil peduli. Berselonjor kaki, aku duduk di sebelahnya.

“Percayalah, Kung. Kita bisa berbagi. Engkau adalah temanku sama seperti yang lain …”

Kung menggeliat, “Terima kasih, Iko!” desisnya kering.

Aku bersorak dalam hati. Ada kemajuan kecil. Tak sia-sia. Kupepet Kung dengan kata-kata yang membuatnya merasa dibutuhkan. Dan, Kung tampak mencernai kata-kataku itu.  Bersemangat kukompori nyalinya. Berhari-hari kemudian, kami sering terlihat akrab bersama. Perlahan, Kung membuka diri.

“Kalau engkau merasa rendah diri karena tubuh jangkungmu tak berisi. Kecil,” aku menjentikkan ujung jari kelingking, “Kamu bisa bentuk tubuhmu di body building.”

Kung tersengat kata-kataku. Tolol. Bukankah urusan tubuh adalah  masalah paling sensitif bagi Kung untuk dibicarakan? Aku menyesal tidak bisa kontrol omong. Kepalang basah, aku melanjutkan; “Kelak, jika tubuhmu padat berisi, engkau akan jadi lelaki idola!”

Wajah Kung bersemu merah. Diraihnya tanganku dan erat ia menggenggam. Sorot mata Kung berbinar ketika kutatap. Seulas senyum mengembang pada wajah tirusnya itu. Untuk pertama kali, sejak ia terdepak, senyum Kung tulus terulas.

“Kejutan,” katanya penuh semangat. “Karena engkau telah memberiku saran yang bermutu, maka aku akan ikut ekskul pramuka. Terima kasih, Iko. Kita akan selalu bersama dalam suka dan duka!”

Lekat, kutatap Kung. Kegembiraan yang tercipta seketika membuatku terpana. Kita akan selalu bersama dalam suka dan duka, ujar Kung. Kalimat itu mengirim gaung serupa janji dalam sakramen yang sakral. Aku sangsi akan kesungguhan kata-kata yang terangkai dalam kalimat itu pada mulanya. Tapi, binar mata Kung menghapus akan keraguanku itu.

Seiring waktu, Kung menjadi pribadi yang menyenangkan. Di ekskul Pramuka, ia berilian dan tangkas. Lambat laun, kesempatan berpihak pada Kung. Berdua, kami dikirim untuk mengikuti Raimuna di Cibubur. Peristiwa itu terjadi  pada tahun kedua kami duduk di bangku SMA.

Tubuh jangkung Kung telah dipadati otot. Kebersamaan kami semakin mengental. Obsesi Kung menjadi lelaki bertubuh atletis diperjuangkannya lewat latihan keras di body building. Menampak hasilnya. Aku bangga karena ada andil dalam perkembangan itu.

Dan, Kung merasa kami saling membutuhkan satu sama lain. Tak kupungkiri. Aku merasakan hal yang sama. Perasaan suka itu menimbul seperti kuncup. Pelan, namun pasti akan mekar menguarkan wangi  bunga. Cinta itu.

Cinta tanpa kata, tulis seorang teman dalam bentuk judul puisi. Aku terkesan. Larik perasaanku serupa tiga buah kata itu. Mengalir tanpa kata serupa riak air menuju muara. Dan, sinyal itu dikirim Kung lewat kecupan manis di keningku. Aku tak bertanya mengapa Kung berbuat seperti itu. Diam memejamkan mata. Tololnya, aku menikmati sentuhan itu.

Kung bergairah. Sorot matanya memendarkan pesona perasaannya. Cinta itu, yang menumbuh dari kedekatan kami selama ini. Aku takluk, tak bisa berkutik ketika perasaan mulai saling gayut dalam dagelan kuno tresno jalaran saka kulino.

Akan tetapi, ada yang menjauh. Pelan pada awalnya serupa dinamika crescendo pada sebuah nyanyian. Semakin lama semakin kuat nada yang dihasilkan. Kung mencipta   interval dalam nada paling tinggi. Tersedak suara ketika nada itu harus dinyanyikan. Maka, aku mengalah. Ambitusku tak menjangkau nada sampai di sana. Kung berpindah ke lain hati. Putus.

Peristiwa itu kukubur hampir setahun. Susah payah kutata perasaan tersakiti itu. Hanya karena ingin satu tekad dan tidak mau terpuruk. Jalan satu-satunya aku prioritaskan studiku. Maka, kuambil mata kuliah sampai batas maksimal yang dianjurkan fakultas. Tak peduli di kelas sore sekali pun akan kujelajahi.

Adalah di luar kehendak. Tuhan menjelmakan Kung di areal parkir itu. Dia tengah menunggu seseorang. Sayang bukan diriku. Ah, aku tak ingin berharap ada mujizat turun sore ini. Tidak, meski telah berkali-kali kusaksikan kemesraan Kung dan Ilona.

Tengah kupejamkan mata, menguatkan hati agar ikhlas melepas masa lalu serta-merta aku dikejutkan oleh dering HP. Di layar tertera nama Ilona. Hatiku berdebar sembari menjawab teleponnya. Ilona histeris. Aku gemetar.

“Ke UGD, Iko. Bantu aku,” lolong Ilona. Hanya itu. Lalu diam.

Tanpa pikir panjang aku bergegas. Kuputar nomor telepon taksi. Sekitar sepuluh menit kemudian taksi muncul. Kusebut tujuanku pada sopirnya. Tidak ambil waktu lama, sopir taksi tancap gas menuju arah yang kumaksudkan membawa hatiku yang kalut.

Di ruang UGD dua tubuh tergolek. Satu di antaranya masih bernapas. Sedang Kung tidak tertolong jiwanya. Dadaku terasa sesak dan pengap. Kutatap dua sosok bersimbah darah itu dengan perasaan suwung. Beberapa saat lalu mereka sumringah memamerkan kemesraan. Aku bergidik. Tak mampu berkata-kata. Ilona jatuh pingsan dan tengah diurus oleh keluarganya. Sementara kepanikan keluarga  Kung luruh dalam isak tangis. Ah, Kung. Aku  merasa terjepit dan tak sepenuhnya bersalah dalam musibah ini.

“Selamat jalan!” desisiku dengan mata berkaca. **

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler