Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2006 “TINA DIAM SAJA” KARYA RATNA INDRASWARI IBRAHIM

Foto SIHALOHOLISTICK

Perempuan remaja ini sedang berdiri di muka Dita (sang psikiater). Keterangan yang dibaca oleh Dita, ”Gadis ini tidak bisa ngomong. Padahal, menurut dokter neurolog, tidak ada yang salah dalam diri gadis ini.”

Perempuan remaja ini, tidak berbicara, tidak ingin bicara!

Dita yang mulai berbicara, ”Tina, aku mendengar dari Mamamu, kau tidak bisa bicara atau tidak mampu berbicara. Kalau kau mau, bisa curhat kepadaku. Apa yang jadi masalahmu sayang?”

Perempuan muda itu, sekali lagi cuma diam, diam saja.

Ini pertemuan pertamanya dengan gadis itu. Dita merasa lega, Tina tidak mencanangkan permusuhan terhadap dirinya. Hal ini akan memudahkan Dita untuk menganalisa dan membuat diagnosis.

Dita menghela nafasnya. Dia capek sekali, pekerjaannya tidak semudah yang dia pikirkan. Ada banyak kasus yang sangat pelik, sehingga penyelesaiannya tidak selalu bisa tuntas. Untungnya, Bram selalu bisa memberinya semangat saat dia merasa capek dan tidak paham, apakah analisanya benar atau tidak?

Dita kemudian memencet nomor HP suaminya dan mengirim SMS sangat singkat!

”Sori, siang ini aku tidak bisa makan siang bersamamu, ada banyak kasus yang harus aku tuntaskan hari ini juga.”

Pada jam ini, Bram, yang adik suaminya itu, meneleponnya. ”Kasus Tina membuat kamu bersemangat menggali ilmumu lebih dalam, mengapa gadis remaja itu ingin mengundurkan diri dari dunia ini, dengan membisu?”

”Aku menelepon wali kelasnya, yang menyatakan selama ini Tina perempuan yang baik, punya kemampuan berbahasa yang baik. Wali muridnya menyangka, Tina akan bisa menyelesaikan S1 bahasa dengan baik, sekalipun Tina bukan seorang gadis yang pandai bergaul. Masih menurut wali muridnya kedua orangtua Tina kelihatan cukup memerhatikan anaknya itu!”

”Sudah kuduga, sebuah kasus yang menarik bukan?” kata Bram menutup teleponnya.

Setelah bertemu beberapa kali, Dita berhasil membujuk Tina menceritakan sesuatu lewat tulisan. Tulisan itu terbaca demikian, ”Waktu umurku baru menginjak tujuh tahun, aku melihat Mama dicium oleh Om (Adik Papa) dan Mama berkata kepadaku, ’Ini bukan kejahatan, hanyalah rasa kasih antara kakak dan adik, kau harus percaya itu! Sekarang katakan terima kasih kepada Om, dia tadi membelikan boneka, yang sudah lama kau inginkan.’ Aku mengangguk dengan cepat, bukan karena apa-apa, aku kepingin pipis, takut melihat kemarahan di mata Mama.”

Dita berkata sungguh-sungguh, ”Sayang, ini sangat menyakitkan perasaanmu kan? Tapi solusi yang terbaik, keluar dari masalah ini. Menjadi ahli bahasa yang sangat hebat di masa depan, seperti yang kau pernah ceritakan kepada gurumu bahwa bahasa Indonesia bisa kehilangan akarnya. Sebuah analisis yang sangat luar biasa dari seorang pelajar SMA, padahal aku sendiri setiap hari baca koran tidak pernah kulihat yang akan punah dari bahasa kita.”

Tina, meneruskan tulisannya.

Tiga bulan yang lampau, orangtuaku merayakan ulang tahunku yang ke tujuh belas dengan sangat istimewa, aku seperti Cinderella yang tanpa kehilangan sepatu kaca (sekalipun kadang-kadang kubayangkan enak juga kalau sepatuku ketinggalan dan ditemukan oleh seorang Pangeran). Setelah pesta yang luar biasa itu, aku tertidur dengan nyenyak! Aku terbangun dari tidur nyenyakku dan kulihat Mama mencium Om!

Kukatakan kepadanya, ”Mama, apakah ini kasih sayang antara kakak dan adik?”

Mama melihatku dengan tatapan kebencian di matanya, aku merasa dia memang tidak pernah menyayangiku. Bisa jadi karena aku dianggap lancang. Aku pastikan, kakakku, Windy, tahu hal itu, tapi diam saja.

Dita memegang tangan Tina dan berkata, ”Ini masalah mereka, karena tidak mungkin bisa diperbaiki lagi, yang penting belajarlah dari masalah ini. Dengarlah, sayang, di zaman ini akan sangat sulit mencari ibu yang seperti malaikat, apalagi Mamamu punya pergaulan yang luas dan kita tidak tahu pasti apakah dia bahagia dalam perkawinannya, sekalipun Papa menurut kamu orang yang baik sekali? Seharusnya yang kamu lakukan terapi agar bisa ngomong lagi dan jadilah perempuan muda yang bahagia dan penuh cita-cita.”

Seandainya kau Mamaku, tulis Tina. Dita tersenyum gelisah, ”Anak perempuanku memang tidak akan pernah sepaham denganku, tapi kami saling menyayangi.”

”Tina, tetaplah melakukan terapi bicara, dokter neurolog menganggap kau bisa melakukan hal itu sebaik dulu.”

Tina menuliskan di atas kertas yang dibaca oleh Dita.

”Dokter Dita, saya sejak lama ingin sekali bisa bicara lagi, dan saya kepingin menyanyi atau membaca puisi untuk anak-anak yang ditelantarkan oleh orangtuanya, di seantero dunia ini.”

”Kamu pasti bisa, karena saya yakin kamu tidak akan menghancurkan dirimu sendiri. O ya, kalau pusingmu semakin bertambah, katakan kepadaku ya….” Kemudian setelah Tina pergi dari ruangan ini, Dita menelepon, Bram-nya.

”Kau tahu kasus yang sangat klasik, perselingkuhan di antara orangtuanya.”

Bram menyambar cepat, ”Kita saling membutuhkan, aku tidak tahu, apakah itu cinta, suamimu yang kakakku itu, pasti tidak akan bisa mendefinisikan arti cinta itu.”

Dita tertawa dan sebetulnya banyak kasus yang sedang ditanganinya. Buat Dita, kasus Tina sangat istimewa, dia sepertinya menemukan kembali keingintahuannya yang lebar tentang manusia. Sehingga ketika orangtuanya menganjurkan memilih fakultas teknik, dia lebih merasa pas di fakultas kedokteran, hal ini pernah diceritakan kepada Bram berulang-ulang. ”Aku merasa, dengan menjadi psikiater, memasuki laboratorium yang besar, yaitu manusia! Sekalipun orangtuaku menganggap aku lebih cocok meneruskan cita-citaku di masa kecil, menjadi ahli kimia yang terkenal itu, yang aku tidak bisa dengan tepat menyebut namanya.”

Bram mendengarkan ceritanya, yang sudah diulang-ulang beberapa kali, tanpa mengedipkan matanya. Sungguh, ia tidak ingin membandingkan Bram dengan, ”Papa dari anaknya”.

Barangkali perasaan sayang mereka muncul dari sini. Pada suatu senja, setelah sekian kali bertemu dengan adik iparnya itu, Dita merasa nyaman ngobrol dengan Bram. Kemudian, apakah dia tidak menyukai suaminya? Rasanya tidak! Dia tetap menghormati suami sebagai kepala keluarga, yang menyayanginya.

Hari ini, Tina datang lagi, ”Sayang, aku akan bahagia kalau kamu mau terapi bicara. Mas Ledret telaten sekali lo kalau terapi orang, ha-ha-ha-ha, siapa bilang bujangan muda itu tidak cakep!”

Tina melihatnya.

”Jadi, ini diary-mu yang boleh aku baca? Tentu saja aku akan merasa menjadi orang yang paling pinter sejagat kalau kamu mau percaya kepadaku dan mau ngomong lagi.”

Dear, dokter Dita yang baik.

Ketika dokter menganjurkan aku untuk menulis pengalamanku ini, setiap selesai tulisan, kurobek-robek, terus aku ingin sekali bunuh diri. Aku merasa jijik kepada Mama dan Papa yang telah melahirkan aku dan terkutuklah mereka karena tak bisa aku ceritakan ini kepada Eyang, Bude, sahabat-sahabatku, juga pada pacarku. Aku merasa kalau bercerita hal itu lebih memalukan daripada aku kepergok dalam keadaan telanjang di mukanya. Sebab, aku tahu di dalam tubuhku ada sebuah keindahan. Tapi kalau aku menceritakan hal yang sebenar-benarnya dari aib keluargaku, aku seperti sudah menebarkan bau busuk, sehingga mereka harus menutup hidungnya. Yaa Tuhan, aku seperti anak pelacur di jalanan! Aku sudah merencanakan bunuh diri, namun Eyang bilang, malam itu ingin tidur di kamarku. Aku dulu senang, kalau Eyang tidur di kamarku. Ini berarti sangat spesial, ada dongeng, kue kesukaanku, dan uang jajan yang diselipkan agar kakak tidak tahu. Kecurangan ini kami nikmati dengan tertawa bersama.

Kemudian surat ini tidak dilanjutkan dan Dita berkata, ”Ayolah, hari ini kau pasienku yang terakhir, anakku sedang bersama neneknya. Aku kepingin mengajakmu makan. Kau suka makan di mana?”

Tina tersenyum dan Dita tahu ajakannya disambut dengan riang sekali. Di restoran ini Tina tidak begitu lahap, namun dia menulis untuk Dita (dia menulis di atas kertas tisu restoran ini).

Dokter Dita yang baik.

Aku senang sekali Dokter mengajakku makan di sini, aku tiba-tiba merasa iri terhadap anakmu, pasti sangat bahagiaaaaaaa sekali. Tolong, tolonglah aku.

Dita memeluk Tina.

Sore ini mereka merasa sangat bahagia, kebahagiaan itu membuat suaminya tercengang.

”Kau habis dapat undian kah?”

Dita masuk ke kamarnya dan merasa tidak perlu untuk menceritakan hal ini kepada suaminya. Menyimpan kebahagiaannya itu untuk diceritakan kepada Bram kalau besok mereka makan siang bersama.

Sesungguhnya, seperti semua dokter, dia seharusnya cuma berempati kepada pasien. Tapi entahlah, untuk Tina? Dia sudah tidak bisa membatasi dirinya lagi, sepertinya larut. Padahal, pada kasus-kasus lainnya, bahkan kasus seorang laki-laki yang berkali-kali ingin bunuh diri, dia menanganinya seperti kebanyakan dokter yang lain, ilmiah, netral, dan bisa jadi sangat dingin.

Hal ini dibicarakannya dengan Bram, dan Bram berkata, ”Rasa sayang itu, tanpa rencana dan pagar, seperti rasa sayang di antara kita.”

Dita menganggap omongan Bram benar sekali. Oleh karena itu, Dita mencari orang-orang yang mencintai Tina. Orangtuanya, Eyang, sahabat-sahabatnya, bahkan pacar Tina. Wawancara dilakukannya secara maraton, hampir seharian penuh! Karena, dia merasa harus menuntaskan tugasnya sebelum seminar yang akan datang. Hasil wawancaranya menunjukkan bahwa Tina adalah perempuan pendiam, sulit bergaul, bisa jadi benar-benar tidak punya sahabat karib.

Tina menulis lagi.

Dokter Dita yang baik.

Apa yang saya pikirkan tentang masa kecil saya, rasanya sangat menyakitkan. Ketika saya main ke rumah seorang teman, sampai senja hari, sebagai hukuman Mama memasukkan saya ke gudang. Tidak seorang pun yang menolong, sampai Om membukakan pintu gudang itu, dan aku benci!

Sampai hari ini aku tidak akan pernah membayangkan diriku yang terkurung di menara dan ditolong oleh seorang lelaki (kak Windy selalu membayangkan hal itu). Sebab, kalau kukhayalkan hal itu, tiba-tiba laki-laki itu berubah seperti wajah Omku! Aku jijik! Aku pikir kalau aku boleh memilih ibu, aku kepingin memilih seorang perempuan sederhana yang selalu menjaga kesuciannya agar aku bangga menjadi anaknya. Tapi terasa tidak adil, orangtuaku bekerja keras karena ingin menyekolahkan aku dan Kak Windy ke mancanegara. Mama bilang, ”Dengan sekolah ke mancanegara, kalian akan terseleksi dari ribuan penganggur muda di negeri ini.”

Aku tidak merasa lagi cita-cita Mama mulia, karena aku benci perselingkuhan itu. Sebetulnya, ketidakinginanku ngomong hanya untuk menyakiti Mama. Tapi, keterusan hingga lidahku jadi kelu dan telingaku tidak mendengar apa-apa lagi. Padahal, aku suka sekali pada musik, kalau kulihat koleksi kaset, DVD dan CD-ku yang berhamburan di kamar, aku merasa sangat tersakiti. Dulu aku sangat rajin mengoleksi musik apa pun dan mencampurkan musik yang satu dengan musik yang lain, sehingga menjadi musik yang baru.

Dokter, tolong, tolonglah aku. Apakah tidak sebaiknya aku bunuh diri saja? Karena setiap melihatku, Eyang kini menangis! Dia pasti lebih suka melihatku mati daripada tidak bisa ngobrol dengannya. Aku sudah mulai terapi bicara dengan mas Ledret. Tapi, aku tidak mempunyai kemampuan untuk bisa lebih baik dari kemarin. Padahal setiap aku latihan, Eyang mengantarku. Eyang berharap banyak untuk kesembuhanku.

Di sudut sebuah restoran, satu senja yang bagus, sambil menikmati makanan ini, Dita berkata, ”Kamu tidak boleh terus-menerus begini sayang. Keluarlah dari lingkaran kesedihanmu, mulailah dengan hidup yang paling baru. Itu yang selalu aku impikan untukmu. Dari hasil wawancaraku dengan orang terdekatmu, mereka semua prihatin dengan kondisimu. Sekarang, jangan menghukum dirimu sendiri! Itu tidak adil bagimu, barangkali kamu bisa pindah dari kota ini ke rumah salah satu Budemu, dan menganggap masa lampaumu sudah mati. Yang ada hanyalah kekinianmu.

Kau tanyakan, apakah aku tidak punya problem?

Tentu saja aku punya. ”Sungguh, aku tidak pernah mencintai suamiku!” kata Dita telak.

Tina melihat, tetap dalam diamnya.

 

Malang, 22 Januari 2006

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler