Skip to Content

PUISI-PUISI TOTO SUDARTO BACHTIAR

Foto SIHALOHOLISTICK

IBUKOTA SENDJA

Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telandjang mandi
Disungai kesajangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lontjeng trem saing-menjaingi
Udara menekan berat diatas djalan pandjang berkelokan

Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam sendja
Mengurai dan lajung-lajung membara dilangit barat daja
O, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Ditengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu

Aku seperti mimpi, bulan putih dilautan awan belia
Sumber-sumber jang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Menunggu waktu mengangkut maut

Aku tiada tahu apa-apa, di luar jang sederhana
Njanjian-njanjian kesenduan jang bertjanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar dipintu dinihari
Serta dikeabadian mimpi-mimpi manusia

Klakson dan lontjeng bunji bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli jang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesajangan

Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa
Dibawah bajangan samar istana kedjang
Lajung-lajung sendja melambung hilang
Dalam hitam malam mendjulur tergesa

Sumber-sumber murni menetap terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Serta sendjata dan tangan menahan napas lepas bebas
O, kota kekasih setelah sendja
Kota kediamanku, kota kerinduanku
1951

 

RIWAJAT

Tiang agung tersambar halilintar

patah ditengah-tengah

 

kapitan pingsan diatas peta benua

penuh pahatan darah

 

Kelasi tjuma tarik tali dan pukul tifa

bernjanji: Cherchez la femme, cherchez la femme

 

Kapal masih djauh dari daratan

Kelumit pahit mengganti gema jang hilang

 

Sedjak seputaran hidup kapitan membasuh darah

dan pelabuhan telandjang dihaluan

Gema jang hilang mulai pulang

 

Kelasi tjuma tarik tali dan pukul tifa

terus bernjanji ditimang angin:

Cherchez la femme, cherchez la femme

 

Kapitan memahatkan darah

dipintu pelabuhan pertama dan mendoa:

Cherchez la personnalite, cherchez la personnalite

1952

 

 

PADA SANGKALA

Akan selalu terdengar keluh pandjang terhadapmu

Gangguan jang selalu membatas arwah kami

Akan selalu terdengar kutuk hina terhadapmu

Karena bersekutu dengan jang kami bentji

 

Mana ada sempat, bitjara dengan diri sendiri

Kapan akan terdengar suara djiwa, suara sanubari

Kepunjaanku, kepunjaan mereka bersama

Kami sesak karena djangkauan tanganmu

 

Bila kita terdjebak olehmu

Kami tak sempat memilih kata pisah sebaik-baiknja

Begitu terang djalan jang menudju keruntuhan

Begitu kelam dunia jang kami hadapi

 

Kau tak tahu bagaimana merasakan

Tingkat demi tingkat diatas tangga

Talu-bertalu paku jang menembus tubuh

Apa arti darah dan gairah hidup

 

Seandainja kamu tak ada didunia kami

Kamipun tak tahu dimensi keempat dan djalan

Tapi akan selalu terdengar olehmu

Keluh pandjang dan kutuk jang paling hina

1955

 

PERNJATAAN

kepada C.A.

 

Aku makin mendjauh

Dari tempatmu berkata kesekian kali

Laut-laut makin terbuka

Dibawah langit remadja biru pengap melanda

 

Apakah tjinta tinggal tjinta, kujup

Tanpa kehendak biar sajup?

Berkata tentang diri sendiri

Berkatja dan kembali berlari?

 

Balai malam jang gugup

Mendjadi saksi kita berdua

Terhadap makna dan kata-kata

Jang hidup dalam hidup keras berdegup

1955

 

KAKILANGIT

Jang sampai dimalam bisu

Desah jang mendjadi kalimat terachir

Untuk tekebur dan menolak kedjang lupa

O, kekasih biarpun jang dimana

Dari putus asa sampai lapar putus asa

Kugamit suaraku sendiri

Sampai tak ada jang mendengar

Kemudian. Sampai menemukan sebuah nama:

Jang memantulkan katja: Terlintas bajang-bajang

Sendiri diatas runtuhan

Keruntuhan adalah djedjak tjinta! Tunggu!

1953

 

TENTANG KEMERDEKAAN
Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
Djanganlah takut kepadanja

Kemerdekaan ialah tanah air penjair dan pengembara
Djanganlah takut kepadanja

Kemerdekaan ialah tjinta salih jang mesra
Bawalah daku kepadanja
1953

 

PEKARANGAN

Tjinta. Engkau jang sudah sekali datang masuklah

Menjatu diri dengan irama tanpa tepi

Laut jang selalu mengalir, malam tiada berachir

Tjumbu hidup nafas kotaku jang kekal

 

Dimana angin sangsai tak menghambat tjeritera

Berupa bisik tjintaku masa depan

Serta perempuan-perempuan tahu mengapa

Berharap larut dahaga pada malam-malam sengsara

 

Dimana pula dalam arti dosa dirumah derai airmata

Redup bulatan djedjakku, redup keruntuhan bajang tjintaku

Menahan dendam melulur sepandjang hari

Dalam nafas kotaku yang kekal selalu!

1953

 

SUARA

Kapan ada sesuatu, ialah kamarku didalam

Suara penutup paling djauh telah membawa bunji

Sedang kubuat lagi djelaga diri semesta

Dilorong-lorong kelam kotaku Djakarta

 

Nafsu ialah bandingan suara dan djelaga

O, perempuan-perempuan jang tak tahu bahasa

Arti agung jang mendukung dukana!

O, tingkap tertutup sebelum membuka!

 

Sekali ini tak ingin lagi kutjari diriku

Kapan lagi hudjan sepi dan bisu

Hingga kapanpun, bila masih ada pertjaja

Pertjajalah pada hubungan jang lama

1953

 

PAHLAWAN TAK DIKENAL

Sepuluh tahun jang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sajang
Sebuah lubang peluru bundar didadanja
Senjum bekunja mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannja memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sajang

Wadjah sunji setengah tengadah
Menangkap sepi padang sendja
Dunia tambah beku ditengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hudjanpun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnja
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi jang nampak, wadjah-wadjahnja sendiri jang tak dikenalnja

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sajang
Sebuah peluru bundar didadanja
Senjum bekunja mau berkata: aku sangat muda
1953

 

KETERANGAN

H.B. Jassin. Dimana berachirnja mata seorang penjair?

Kau sudah lama sekali tahu, kuburan dia

Hanjalah nisan kata-katanja selama ini

Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur

 

Terkadang kalau dia mau

Tulisannja hanja nasib djari jang lemah

Terkadang dia merasa aneh

Kalau anak bisa merasa kehilangan sesuatu

 

Seperti aku, dimana kata tak tjukup buat berkata

Tertelungkup dibawah bakaran lampu seharian bernjala

Terkadang djemu terus melihat matahari

Pesiar, tanpa kawan berkedjaran

 

Tanpa merasa tahu tentang apa

Dia menjeret langkahnja

Sampai dimana dia akan tiba

Tapi dengan djari kakinja ditulisnja sebuah sadjak

1955

 

DUNIA SEBELUM TIDUR

Kenangan mati bagi jang mati

Hormat bagi jang hidup setiakan derita

Ulurkan tanganmu

Sangkutkan sepatu pada kaki berdebu

Dan mimpilah merenung djendela terbuka

Nun adalah dunia dosa, duniaku sajang

Aku berpihak padamu

 

Kau ingin dengar

Suara angin menghembus kamar

Udjung ketenteraman samar-samar

Dada bertemu dada

Kami bersandar kepadanya

Betapa terkenang, betapa tenang

Bintik hitam dalam dunia jang gelisah

 

Kenangan hidup hanja bagi jang hidup

Bingkis tjahja

Dalam musim jang segera matang

Menghalau degup rongga berudara sedih

Djari-djari penanggalan

Telah lama

Terlalu lama mengandung topan

1954

 

FOCUS

untuk Sitor Situmorang

 

Kalau djarum kematian menusuk detak hati

Aku akan mendjadi asing sendiri

Sangat berarti djeritan jang menolak berpisah

Bisik jang mendera dan mentjinta gerak djantung hari

 

Ah, akan tertinggal maknaku pada waktu

Bersama ketjintaanku

Lintasan hidup jang kena tjahaja

Gerak jang mewarnai manusia

 

Hati akan tinggal ubun hati

Kemerahan jang mau menandingi matahari

Panas bulan Djanuari

Punya tanja dan kasih sendiri

 

Karena djarum yang menikam, detak hati djadi membisu

Terpaksa kuasingkan matahari dan ada jang kuberi salam

Djalinan bisik dan kesan jang berkata sendiri

Lintasan hidup jang kena tjahaja

Gerak jang mewarnai manusia

1953

 

ODE I

Kutanya, kalau sekarang aku harus berangkat

Kuberi pacarku peluk penghabisan yang berat

Aku besok bisa mati. Kemudian diam-diam

Aku mengendap di balik sendat kemerdekaan dan malam

 

Malam begini beku, di manakah tempat terindah

Buat hatiku yang terulur padamu megap dan megah

O, tanah

Tanahku yang baru terjaga

 

Malam begini sepi, di manakah tempat terbaik

Buat peluru pistol di balik baju cabik

O, tanah di mana mesra terpendam rindu

Kemerdekaan yang mengembara ke mana saja

 

Ingin aku menyanyi kecil, tahu betapa tersandarnya

Engkau pada pilar derita, megap nafasku di gang tua

Menuju kubu musuh di kota sana

Aku tak sempat hitung langkahku bagi jarak

 

Mungkin pacarku kan berpaling

Dari wajahku yang terpaku pada dinding

Tapi jam tua, betapa pelan detiknya kudengar juga

Di tengah malam yang begini beku

 

Teringat betapa pernyataan sangat tebalnya

Coretan-coretan merah pada tembok tua

Betapa lemahnya jari untuk memetik bedil

Membesarkan hatimu yang baru terjaga

 

Kalau sekarang aku harus pergi, aku hanya tahu

Kawan-kawanku akan terus maju

Tak berpaling dari kenangan pada dinding

O, tanah, di mana tempat yang terbaik buat hati dan jiwaku

 

PUSAT

Serasa apa hidup yang terbaring mati

Memandang musim yang mengandung luka

Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti

Padaku, tanpa bicara

 

Diri mengeras dalam kehidupan

Kehidupan mengeras dalam diri

Dataran pandang meluaskan padang senja

Hidupku dalam tiupan usia

 

Tinggal seluruh hidup tersekat

Dalam tangan dan kari-jari ini

Kata-kata yang bersayap bisa menari

Kata-kata yang pejuang tak mau mati

 

AU REVOIR

Pada waktu itu, pada hati waktu

Yang mengandung gelita yang membatu

Burung hantu dan malam

Yang gelisah bagai serdam alam

 

Bersama kemerdekaan yang terus mengelana

Detik demi detik membebankan nasib dengan bencana

O, terasa nyaman mengenang jalan-jalan di luar penjara

Menajamkan sanggurdi bagi pemacu jalanan!

 

ETSA

Suara kasih dalam hati malam

Kian lincah, tapi kemudian membeku

Tanpa bulan, karena bulan beradu

Dan hatiku sendiri kian terbenam

 

KAWAN

Biasanya dia berjalan malam-malam

Menggigil karena angin terlalu tajam

Orang-orang memandangnya dengan membelalak

Tapi aku tidak

 

Apa yang tak memikatnya sampai ke hati

Lampu dan bintang-bintang menyala tinggi

Matanya sayu membelai semua yang berjalan

Perempuan-perempuan, anak-anak berkejaran

 

Kalau malam putus asa tambah menurun

langkahnya pun bertambah berat berembun

Kadang-kadang dia berhenti, melihat padaku

Kami sama-sama tersenyum pahit pilu

 

Aku tak perlu tahu dia siapa

Tapi kami pernah sama mencintai malam

Aku dan dia tak ada bedanya

Hidup keras indah menari depan mata

 

DANAU M

(untuk Bahar)

 

Serasa pernah kukenal gunung-gunung ini

Juga paras danau

Yang tepinya tak kelihatan

Sangat lajunya sekunar berkejaran

 

Burung-burung terbang siang hari

Air gemersik perlahan meninggalkan daunan

Ada daunan layu serba 'kan gugur

Yang dahannya langsing melentur-lentur

 

Semuanya mengacu padaku

Dan sampai pada jamahan tiada berupa

Hidupnya perasaanku pagi ini

Tapi hidupku tak hidup di sini

 

JENDELA

Dulu kutengok lagi dari sana, mungkin kau datang

Kebetulan tirai tersingkap angin pagi yang lantang

Mengantar pipimu yang merah tersipu

Alangkah beratnya rindu

 

Pada jendela berdetik-detik air hujan

Kutahu pasti kau akan tiba

Tak usah memandangku penuh hiba

Aku ingin tahu apa aku bisa pergi selamanya

 

Tak usah juga engkau menampikku

Karena aku pun sedia pergi

Menuju arah di mana musim-musimnya bisu

Buat selamanya

 

TEGAK

Antara ada dan tiada

Yang kutahu diriku hanya

Memandang lantun tertinggi hidup kita

Betapa juga pendeknya ...

 

Cinta, riah musim yang debar-debar jantungnya

Sangat tambah mesra ajakannya

Bersolek di atas cahaya matamu

Betapa sibuknya kupandang sekali

 

Juga alangkah sibuknya cinta dan kerja

Asyik menghitung satu dua tiga tiada habisnya

Tapi bisa terbengkalai sebab sepi yang datang

Antara ada dan tiada

 

MUKA

Pada kaca jendela kulihat wajahku

Berat bersinar matinya yang akan tiba

Sangat dekat nafas usia, tapi tak teraba

Tapi aku betul tahu, dia memang wajahku

 

TANGAN DALAM KELAM

Tangan halus yang bisa merabaku dari jauh

Jadi tangan bisik yang mengulur belas padaku

Tangan mesra yang jari-jarinya sayang

Aku sangat rindu kepadanya

 

Kalau hidup mengandung neraka

Hendaklah hidupku ini saja

Tanpa hidup orang-orang lain yang baik

Yang tangannya jauh tak berdaya

 

Tangan halus yang bisa dari jauh cinta padaku

Cukup baik untuk memegangnya

Ah, dunia dosa

Aku kembali bermimpi tentangmu

 

Takut tanpa ujung karna hidup terlalu cinta

Jari-jariku ingin mengurai wajahnya

Tanpa kaku, tanpa terlena tidur

Karena kantuk semangatku jadi kendur

 

Tangan yang mengulur mesra kepadaku

Wahai dunia yang gaungnya kudengar

Apa arti jari-jari yang terkulai lapar

Biar dia melambai kepadaku

 

JEMBATAN TUA

Sudah begitu lama, masih juga aku lalu

Berapa banyak kaki telanjang dan bersepatu

Menggetarkan tangan-tangannya

Yang siang begitu menyala dan malam begitu biru

 

Bergandengan tangan kadang sepasang merpati

Melambatkan langkahnya dan kemudian berhenti

Waktu memandang ke bawah air bisu mengerdipkan matanya

Berlaksa mimpi menemukan matinya yang indah di sana

 

Awan yang lena terkaca di atasnya

Sarat mengandung muatan mendungku ini

Tergila-gila memang hatiku yang banyak meminta

Tanpa sebab, dalam terowongan perjalanan yang akan sebentar saja

 

Tetapi selalu, kalau aku di sana, aku mendengarnya

Suara yang tak habis-habisnya sampai

Kalau engkau sekali menjadi setuaku

Nasibmu mungkin lebih baik dari padaku

 

GADIS PEMINTA-MINTA

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil

Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka

Tengadah padaku, pada bulan merah jambu

Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

 

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil

Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok

Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan

Gembira dari kemanjaan riang

 

Duniamu yang lebih tinggi

Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hapal

Jiwa begitu murni

Untuk bisa membagi dukamu

 

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil

Bulan di atas itu tak ada yang punya

Dan kotaku, ah kotaku

Hidupnya tak lagi punya tanda

 

 

Tentang Toto Sudarto Bachtiar

Toto Sudarto Bachtiar lahir di Palimanan (Cirebon), 12 Oktober 1929. Pendidikan al, MULO dan SMA di Bandung, kemudian Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta. Pada waktu pecah perang kemerdekaan, ia bergabung dalam Tentara Pelajar Korps Pengawal Divisi Siliwangi di Tasikmalaya, dan pada waktu terjadi Clash ke-1 ia bergabung dengan Polisi Tentara Detasemen 132 Batalyon 13 di Cirebon. Pernah menjadi redaktur majalah Angkasa (milik AURI) sewaktu masih mahasiswa, juga menjadi redaktur majalah Menara di Jakarta, sebelum tahun 1964 turut mendirikan majalah Sunda di Bandung. Sajak-sajaknya mulai bermunculan tahun 1950-an, kebanyakan setelah tahun 1953. Sebagaian dikumpulkan dalam Suara (Kumpulan sajak 1950 - 1955), yang mengantarkan penyair ini memperoleh hadiah sastra nasional dari BMKN. Selain menulis sajak, juga menerjemahkan cerpen, emnulis esai kebudayaan, sastra dan politik.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler