Skip to Content

PUISI-PUISI SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA

Foto SIHALOHOLISTICK

SEINDAH INI

      Tuhan,

      Terdengarkah kepadamu himbau burung di hutan

sunyi meratapi siang di senja hari?

      Remuk hancur rasa diri memandang sinar lenyap

menjauh di balik gunung.

      Perlahan-lahan turun malam menutupi segala pan-

dangan.

                                    *

      Menangis, menangislah hati!

      Wahai hati, alangkah sedap nikmatnya engkau pandai

menangis!

      Apa guna kutahan, apa guna kuhalangi?

                                    *

      Aku terima kasih kepadamu, Tuhan, memberiku hati

tulus-penyerah seindah ini:

            Sedih pedih menangis, waktu menangis!

            Girang gembira tertawa, waktu tertawa!

            Marak mesra bercinta, waktu bercinta!

            Berkobar bernyala berjuang, waktu berjuang!

10 Agustus 1937

Dari: Pujangga Baru, Agustus, 1937

 

KALAH DAN MENANG

Tidak, bagiku tidak ada kalah dan menang!

Sebab kuputuskan, bahwa kemenangan sudah

pasti untukku saja. Kalah tinggal pada mereka yang lain:

Yang mengeluh bila terjatuh,

Yang menangis bila teriris,

Yang berjalan berputar-putar dalam belantara

 

*

Di padang lantang yang kutempuh ini,

aku tak mungkin dikalahkan:

Sebab disini jatuh sama artinya dengan bertambah

kukuh berdiri.

Tiap-tiap pukulan yang dipukulkan berbalik berlipat

ganda kepada sipemukul.

Malahan algojoku sekalipun yang akan menceraikan

kepalaku dari badanku, akan terpancung sendiri seumur

hidupnya:

Melihat mataku tenang menutup dan bibirku berbunga

senyum.

4 Mei 1944

Dari: Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 2, 23 Desember 1945.

 

 

KEPADA KAUM MISTIK

 

I

Engkau mencari Tuhanmu di malam kelam

Bila sepi mati seluruh bumi

Bila kabur menyatu segala warna

Bila umat manusia nyenyak terhenyak

Dalam tilam, lelah lelap.

Tahulah aku, Tuhanmu Tuhan diam kesunyian!

 

Tetapi aku bertemu Tuhanku di siang-terang

Bila dunia ramai bergerak

Bila suara memenuhi udara

Bila nyata segala warna

Bila manusia sibuk bekerja

Hati jaga, mata terbuka

Sebab Tuhanku Tuhan segala gerak dan kerja

 

Aku berbisik dengan Tuhanku

dalam kembang bergirang rona

Aku mendengar suara Tuhanku

dalam deru mesin terbang diatas kepalaku

Aku melihat Tuhanku

dalam keringat ngalir orang sungguh bekerja

 

II

Berderis decis jelas tangkas

Tangan ringan tukang pangkas

Menggunting ujung rambutku

Jatuh gugur bercampur debu

 

Aku melihat Tuhanku Akbar

Ujung rambut di tanah terbabar

Teman, aku gila katamu?

Wahai, kasihan aku melihatmu

 

Mempunyai mata, tiada bermata

Dapat melihat, tak pandai melihat

Sebab beta melihat Tuhan di-mana2

Diujung kuku yang gugur digunting

Pada selapa kering yang gugur ke tanah

Pada matahari yang panas membakar

19 Oktober 1937

 

MANUSIA UTAMA

 

      Beta selalu menggemari pemandangan lantang: di

pinggir laut yang luas, di puncak gunung yang tinggi.

      Dan sekarang beta berdiri di tengah padang yojana:

sejauh mata memandang ruang lapang, diatas mem-

bentang gelanggang awan terbang.

      Disini dada kurasa limpah ruah, darah mengalir

berbusa-busa, tenaga mekar tiada berhambat.

      Tuhan menjadikan manusia penguasa seluruh buana:

matanya tembus menerus segala adangan, telinganya

menangkap segala getaran, langkahnya melewati segala

watas dan tangannya menjingkau ke balik angkasa.

      Dan hanyalah ketakutannya sendiri yang menjadikan

makhluk itu ulat papa tiada berdaya.

      Beribu tali dibelitkannya sekeliling badannya, se-

hingga akhirnya ia tiada dapat bergerak lagi.

      Picik matanya akan rahasia alam dan takutnya akan

mati disucikannya menjadi agama. Malasnya berpikir

dan menyelidiki dinamakannya percaya.

      Takutnya bertanggung jawab disembunyikannya di

balik nasib. Ngerinya berjalan sendiri dipalutnya dengan

keluhuran sepuhan adat.

      Dan akhirnya tertutuplah sekalian kemungkinan alam

yang luas baginya dalam kepompong gelap yang di-

jalinnya sendiri …….

      Sedangkan bagi kepompong ulat, makhluk yang lata

itu, alam menjanjikan kemuliaan dan kemegahan, telah

sepatutnya bagi kepompong manusia, makhluk utama

yang lengkap berakal dan berbekal itu, hanya teruntuk

kehinaan dan kemelaratan.

      Sebagai hukuman akan kealpaannya terhadap pen-

jelmaan kebesaran dan kekuasaan Tuhan dalam dirinya.

4 Mei 1944

Dari: Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 2, 25 Desember 1945

 

BUAH KARET

 

      Sekali aku duduk dibawah pohon karet dan terkejut

mendengar letusan nyaring diatas kepalaku: biji matang

menghambur dari batangnya.

      Ya, aku tahu, dimana-mana tumbuh menghendaki

bebas dari ikatan!

                                    *

      Terdengarkah itu olehmu, wahai angkatan baru?

      Putuskan, hancurkan segala yang mengikat!

      Rebut gelanggang lapang disinar terang!

      Tolak segala lindungan!

      Engkau raja zamanmu!

                                    *

      Biar mengeluh, biar merintih segala nenek moyang!

      Lagi pohon yang bisu insaf, bahwa biji yang sekian

lama dikandungnya itu akan mati busuk dibawah

lindungan.

      Bahwa bayangan rindang yang meneduhi itu meng-

halangi tumbuh.

5 Mei 1944

Dari: Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 2, 25 Desember 1945.

 

SELALU HIDUP

Dan ketika aku melihat dari kebunku kebawah

ke sawah tunggul jerami di tanah yang rekah,

dan dari sana memandang ke bukit kering merana,

terus ke hutan hijau dibaliknya,

sampai ke gunung yang permai bersandar di langit biru,

maka masuklah bisikan kedalam hatiku:

Hidup ialah maju bergerak,

selalu, selalu maju bergerak,

gembira berjuang dari tingkat yang satu ke tingkat

yang lain.

…………………………………..

Topan, datanglah engkau menyerang!

Malang, datanglah engkau menghalang!

Kecewa, engkaupun boleh datang mendera!

Badanku boleh terhempas ke bumi!

Hatiku boleh hancur terbentur!

Wahai, teman, besi baja yang keras

hanya dapat ditempa dalam api yang panas.

Dan Tuhan,

berikan aku api senyala-nyalanya!

 

Tiap-tiap beta keluar dari nyalamu,

terlebur dalam bakaran apimu,

nampak kepada beta:

Dunia bertambah jelita!

Diriku bertambah terkurnia!

Dan engkau, Tuhan, bertambah mulia!

21 Agustus 1937

Dari: Pujangga Baru, 1937

 

HIDUP DI DUNIA HANYA SEKALI

Mengapa bermenung mengapa bermurung?

Mengapa sangsi mengapa menanti?

Menarik menunda badai dahsyat

seluruh buana tempat ngembara

Ria gembira mengejar berlari

anak air di gunung tinggi

memburu ke laut sejauh dapat

Lihat api merah bersorak

naik membubung girang marak

mengutus asap ke langit tinggi!

 

Mengapa bermenung mengapa bermurung?

Mengapa sangsi mengapa menanti?

Hidup di dunia hanya sekali

Jangkaukan tangan sampai ke langit

Masuk menyelam ke lubuk samudra

Oyak gunung sampai bergerak

Bunyikan tagar berpancar sinar

Empang sungai membanjiri bumi

Aduk laut bergelombang gunung

Gegarkan jagat sampai berguncang

Jangan tanggung jangan kepalang

 

Lenyaplah segala mata yang layu

Bersinarlah segala wajah yang pucat

Gemuruhlah memukul jantung yang lesu

Gelisahlah bergerak tangan

Terus berusaha selalu bekerja

 

Punah

Punahlah engkau segala yang lesu

Aku hendak melihat

api hidup dahsyat bernyala,

menyadar membakar segala jiwa.

Aku hendak mendengar

jerit perjuangan garang menyerang

langit terbentang hendak diserang.

Aku hendak mengalami

bumi berguncang orang berperang

Urat seregang mata menantang

12 Januari 1938

 

MENGHADAPI MAUT

Kulihat,

Kurasakan:

Peluru mendesing menembus kening,

Pedang bersinau memenggal leher,

dan

Tergulinglah jasad di tanah:

Darah mengalir merah panas.

 

Sekejap pendek:

Kaki melejang-lejang,

Urat berdenyut meregang-regang.

Sudah itu

Diam

Sepi

Mati,

Muka menyeringai pucat pasi.

 

Datang mendorong dari dalam:

Mana harapanku, mana cita-citaku?

Sebanyak itu lagi ‘kan kukerjakan!

Mana isteriku, mana anakku,

karib handai tolan?

Lenyapkah sekaliannya selama-lamanya?

Hampa!

Kelam!

Ngeri!

 

Tanganku mengapai-gapai:

orang karam mencari ranting.

Wahai nasib,

Sebanyak itu perjuangan!

Sebanyak itu pengikat!

Pemberat hati kepada dunia!

 

Sedangkan,

Dari semula telah kutimbang,

Kupikir, kurenung matang-matang:

Ditengah peperangan seluruh buana,

Hebat dahsyat tiada beragak:

Bom peluru mungkin menghancur remuk,

Perampok penyamun mungkin menggolok,

Disentri, kolera, lapar mungkin mencekik …

 

Dan diantara mati perlbagai mati,

Bukankah ini telah kupilih,

Dengan hati jaga, mata terbuka?

Wahai rahsia hidup!

Penuh pertentangan, penuh kesangsian!

Berat sungguh menjadi manusia!

Tahanan Seksi Tanah Abang, Januari 1945

Dari: Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 19-20, 10-25 September 1946.

 

KERABAT KITA

Bunda,

masih kudengar petuamu bergetar

waktu ku tertegun di ambang pintu,

melepaskan diriku dari pelukmu:

“Hati-hati di rantau orang, anakku sayang,

Berkata di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir.

Dimana bumi dipijak disana langit dijunjung.”

 

Telah lama aku mengembara:

Jauh rantau kujelajah,

banyak selat dan sungai kuseberangi,

gunung dan gurun kuedari.

Baragam warna, bahasa dan budaya manusia,

teman aku bersantap, bercengkerma dan bercumbu,

lawan aku bertengkar dan berselisih.

 

Di runtuhan Harapa dan Pompeyi aku ziarah,

Dari menara Eifel dan Empire State Building

aku tafkur memandang semut manusia.

Di pembajaan Ruhr dan Nagasaki

aku bangga melihat kesanggupan ummat

berpikir, mengatur dan berbuat.

Kuhanyutkan diriku dalam lautan manusia

di Time Square di New York dan di Piccadily di

London.

Kuresapkan lagu kesepian pengendara unta

di gurun pasir dan batu Anatolia,

saga Islandia yang megah di padang salju yang putih.

 

Bunda,

Pulang dari rantau yang jauh

berita girang kubawa kepadamu,

resap renungan petua keramat,

sendu engkau bisikkan di ambang pintu:

Dimana-mana aku menjejakkan kaki,

aku berjejak di bumi yang satu.

Dan langit yang kujunjung

dimana-mana langit kita yang esa

 

Bunda,

Alangkah luasnya dan dahsyatnya kerabat kita,

kaya budi kaya hati,

pusparagam ciptaan dan dambaan.

Honolulu, HARI IBU, 1962

Dari: Majalah Horison, Oktober 1971

 

 

PEMACU OMBAK

Pemacu ombak di segara raya,

Gelisah terapung berbuai-buai

Diatas alun kecil-kecil,

Menantikan ombak tinggi padu,

Gairah menggulung menuju pantai.

 

Didepan membentang samud’ra biru,

Jauh menghabis di garis lengkung,

Tempat langit mantap bertahan,

Dan awan tipis takjub tertegun.

 

Disini segalanya tiada berhingga:

Ketinggian langit melingkungi semesta,

Keluasan angin di gelanggang biru,

Kedalaman rahasia ombak bergolak.

                        *

“Datang, datanglah alun perkasa!

Tinggi biru berpuncak putih,

Saya ‘lah siap diatas peluncur,

Menanti anda menjulang tinggi.”

                        *

Meninggi, meninggi alun biru.

Sejenak pendek:

otot berseregang

mata terpaku

jantung terhenti

Dan peluncur tangkas merebut ombak,

Garang liar mengejar pantai.

 

Cepat cergas pemacu gairah,

Tangkas terpegas di papan peluncur,

Menguakkan tangan meluruskan badan,

Menegakkan kepala anggun bangga,

Laksana dewa, muda ria

Merangkum rahasia permainan abadi,

Antara langit, air dan angin.

                        *

Pemacu ombak di segara raya,

Gelisah terapung berbuai-buai

Diatas alun kecil-kecil,

Menantikan ombak tinggi padu,

Gairah menggulung menuju pantai.

Pantai Kuta, 17 September 1974

 

MENUJU KE LAUT

Angkatan Baru

 

Kami telah meninggalkan engkau,

tasik yang tenang, tiada beriak,

diteduhi gunung yang rimbun

dari angin dan topan.

Sebab sekali kami terbangun

dari mimpi yang nikmat:

 

“Ombak ria berkejar-kejaran

di gelanggang biru bertepi langit.

Pasir rata berulang dikecup,

tebing curam ditantang diserang,

dalam bergurau bersama angin,

dalam berlomba bersama mega.”

 

Sejak itu jiwa gelisah,

Selalu berjuang, tiada reda,

Ketenangan lama rasa beku,

gunung pelindung rasa pengalang.

Berontak hati hendak bebas,

menyerang segala apa mengadang.

 

Gemuruh berderau kami jatuh,

terhempas berderai mutiara bercahaya,

Gegap gempita suara mengerang,

dahsyat bahna suara menang.

Keluh dan gelak silih berganti

pekik dan tempik sambut menyambut.

 

Tetapi betapa sukarnya jalan,

badan terhempas, kepala tertumbuk,

hati hancur, pikiran kusut,

namun kembali tiadalah ingin,

ketenangan lama tiada diratap.

…………………………….. 

Kami telah meninggalkan engkau,

tasik yang tenang, tiada beriak,

diteduhi gunung yang rimbun

dari angin dan topan.

Sebab sekali kami terbangun

dari mimpi yang nikmat

 

SEGALA, SEGALA

Ani, ya Aniku Ani,

Mengapa kamas engkau tinggalkan?

Lengang sepi rasanya rumah,

Lapang meruang tiada tentu.

 

Buka lemari pakaian berkata,

Di tempat tidur engkau berbaring,

Di atas kursi engkau duduk,

Pergi ke dapur engkau sibuk.

 

Segala kulihat segala membayang,

Segala kupegang segala mengenang

 

Sekalian barang rasa mengingat,

Sebanyak itu cita melenyap.

 

Pilu sedih menyayat di kalbu,

Pelbagai rasa datang merusak.

20 April 1935

 

AIR MATA

Ngalir, ‘ngalirlah air mata,

Aku tiada akan ‘nahanmu.

Apa gunanya aku halangi,

Engkau ‘ngalirkan penuh kalbuku.

 

Seperti air jernih memancar

Dari celah gunung rimbun,

Seperti hujan sejuk gugur

Dari mega berat mengandung

 

Ngalirlah, wahai air mata

Engkau pun mendapat hakmu

Dari Chalik yang satu.

 

Ngalir, ‘ngalirlah air mata,

Aku hendak merasa nikmat

Panasmu ‘ngalir pada pipiku.

20 April 1935

 

BERTEMU

Aku berdiri di tepi makam

Suria pagi menyinari tanah,

Merah muda terpandang di mega

Jiwaku mesra tunduk ke bawah

Dalam hasrat bertemu muka,

Melimpah mengalir kandungan rasa.

 

Dalam kami berhadap-hadapan

Menembus tanah yang tebal,

Kuangkat muka melihat sekitar:

Kuburan berjajar beratus-ratus,

Tanah memerah, rumput merimbun,

Pualam berjanji, kayu berlumut.

 

Sebagai kilat ‘nyinari di kalbu:

Sebanyak itu curahan duka,

Sesering itu pilu menyayat,

Air mata cucur ke bumi.

Wahai adik, berbaju putih

Dalam tanah bukan sendiri!

 

Dan meniaraplah jiwaku papa

Di kaki Chalik yang esa:

Di depanMu dukaku duka dunia,

Sedih kalbuku sedih semesta.

Beta hanya duli di udara

Hanyut mengikut dalam pawana.

Sejuk embun turun ke jiwa

Dan di mata menerang Sinar.

26 April 1935

 

MENYAMBUT HIDUP

Ya Allah, ya Rabbani, dalam kebesaranMu Engkau hadiahkan aku hidup ini dengan kegirangan dan keindahannya.

 

                Sedunia lebar selam besar Engkau sediakan bagiku dalam limpahan kasihMu: bintang berkelip cahaya di langit malam, kembang mengorak kuncup di padang sinar, unggas bernyanyi di dahan berbuai

 

Bolehkan aku menampik sekalian rahmat dan nikmatMu yang Engkau curahkan dalam kebesaran dan kemurahanMu itu?

 

                Aku akan hidup.

 

                Mengoraklah kelopak menyambut sinar selama hari masih siang.

 

                Selama siang beta akan bermain di taman seperti tiadakan malam dan apabila malam tiba beta akan menyerahkan muka di pangkuan Bunda.

29 Mei 1935

 

SESUDAH DIBAJAK

Aku merasa bajakMu menyayat,

Sedih seni mengiris kalbu,

Pedih pilu jiwa mengaduh,

Gemetar menggigil tulang seluruh.

 

Dalam duka semesra ini,

Beta papa, apatah daya?

Keluh hilang di sawang lapang,

Aduh tenggelam dibisik angin.

 

Ya Allah, ya Rabbi,

Hancurkan, remukkan sesuka hati,

Sayat iris jangan sepala.

 

Umat daif sekedar bermohon:

Semai benih mulia raya

Dalam tanah sudah dibajak.

1 Mei 1935

 

API SUCI

Selama nafas masih mengalun,

Selama jantung masih memukul,

Wahai api, bakarlah jiwaku,

Biar mengaduh biar mengeluh.

 

Seperti baja merah membara,

Dalam bakaran Nyala Raya,

Biar jiwaku habis terlebur,

Dalam kobaran Nyala Raya.

 

Sesak mendesak rasa di kalbu,

Gelisah liar mata memandang,

Di mana duduk rasa dikejar.

 

Demikian rahmat tumpahkan selalu,

Nikmat rasa api menghangus,

Nyanyian semata bunyi jeritku.

 

KEMBALI

Ketika beta terjaga di dini hari

Melihat alam sepermai ini,

Terasalah beta darah baru

Gembira berdebur di dalam kalbu.

 

Girang unggas bersuka ria,

Gemilang sekar bermegah warna.

Mega muda bermain di awang,

Kemilau embun menyambut terang.

 

Hidup, hiduplah jiwa,

Turut gembira turut mencipta

Dalam alam indah jelita

 

Jalan waktu terhambat tiada,

Siang terkembang malamlah tiba:

Percuma dahlia tiada berbunga.

8 Mei 1935

 

SESUDAH TOPAN

Bertiup, bertiuplah topan!

Liukan, lengkungkan, patahkan, hempaskan jangan sepala.

 

Terbangkan daun sampai ke langit.

Tundukkan puncak menyembah bumi,

Serakkan ranting menabur tanah.

 

Biar mengaduh, biar mengelur biar mengerang putus suara,

Kacaulah perdu, adulah pohon, rusak remuk berpatah-patahan,

Gugurkan buah segala, tua muda jangan dihitung.

 

Apabila topan sudah berhenti,

Apabila hujan reda kembali, sinar suria turun ke tanah.

Beta melihat tunas memecah dan di tanah lembah kecambah

mengorak daun.

10 Mei 1935

 

AWAN BERKUAK

Duduk beta merenung awan,

Bercerai menipis di langit biru.

Sayu sendu alun di kalbu,

Menurut mega berkuak menjauh.

 

Wahai Chalik, mengapa kejam

Seganas ini hidup di dunia?

Mengapa gerang dicerai pisah

Segala yang asik bercinta?

 

Menangislah jiwa tersedu-sedu

Mengalirlah air mata berduyun-duyun.

 

Dalam jiwa sedang meratap,

Dalam sukma pilu mengeluh,

Menyerbu sinar ke dalam kabut,

Menjelma kembali awan menjauh.

 

Beta melihat kilau bergurau,

Beta menyambut suria bersinar.

Segar gembira sukma menggetar

Menunda melanda pergi berjuang

14 Mei 1935

 

PERJUANGAN

Kepada Taman Siswa

 

Tenteram dan damai?

Tidak, tidak Tuhanku!

Tenteram dan damai waktu tidur di malam sepi.

Terteram dan damai berbaju putih di dalam kubur.

Tetapi hidup ialah perjuangan.

Perjuangan semata lautan segara.

Perjuangan semata alam semesta.

Hanya dalam berjuang beta merasa tenteram dan damai.

Hanya dalam berjuang berkobar Engkau Tuhanku di dalam dada.

24 Juli 1935

 

POHON BERINGIN

Kenangan kepada Solo

 

Tinggi melangit puncakmu bermegah,

Melengkung memayung daunmu bodi.

Berebut akar mencecah tanah,

Masuk membenam ke dalam bumi.

 

Lemah mendesir daunmu bernyanyi,

Gemulai berbuai dibelai angin,

Nikmat lindap menyerak di kaki,

Mengundang memanggil leka berangin.

 

Nampak beta berkumpul kelana,

Letih semadi berjuang tiada,

Melunjur kaki menyandar kepala,

Menanti nasib damai bahagia.

 

Ya Allah, ya Rabbana,

Turunkan badai datangkan taufan,

Rubuhkan tumbangkan pohon perkasa,

Pelindung lelah, pengiba insan.

 

Rebahkan terbangkan jangan tiada,

Bersihkan bumi dari segala

Tempat terlengah tempat terlena

Tempat terhanyut dalam tiada

 

Lama sudah tani menanti,

Gelisah tangan memegang bajak,

Tiada tertahan hati gembira,

Hendak meluku membalik tanah.

 

Kuning permai benih bernas

Menanti memecah menyerbu hidup,

Girang berbunga girang berbuah

Di dalam hujan disinar suria.

25 September 1935

 

 

TENTANG SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA

(Di dalam buku tak ada biodata penulis, saya nyarinya di  http://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Takdir_Alisjahbana) Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun), merupakan tokoh pembaharu, sastrawan, dan ahli tata Bahasa Indonesia. Buku-bukunya antara lain: Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929), Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932), Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935), Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936), Layar Terkembang (novel, 1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940), Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969), Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971), Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978), Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978), Kalah dan Menang (novel, 1978), Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985), Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985), Sajak-Sajak dan Renungan (1987).

Pilihan tampilan komentar

Pilih cara kesukaan Anda untuk menampilkan komentar dan klik "Simpan pengaturan" untuk mengaktifkan perubahan.
Foto Anonymous

Sangat membantu, terimakasih.

Sangat membantu, terimakasih.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler