Skip to Content

SERIAL WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK NAGA GENI 212 EPISODE 006: PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA

Foto SIHALOHOLISTICK

SATU

 

SAMPAI  menjelang  tengah  malam  pesta  perkawinan  puteri  Ki  Lurah Rantas  Madan  dengan  putera  Ki  Lurah  Jambar  Wulung  masih  kelihatan meriah.  Tamu-tamu duduk di kursi masing-masing sambil menikmati hidangan dan minuman yang diantar para pelayan serta sambil menikmati permainan  gamelan  dan  suara  pesinden Nit Upit Warda yang lembut mengalun membawakan tembang “Kembang Kacang.”

Kedua mempelai yang berbahagia yaitu Ning Leswani dan Rana Wulung kelihatan duduk diantara para tamu dibarisan kursi paling depan, tepat  dimuka  panggung.  Ki  Lurah  Rantas  Madan  duduk  di  samping  Rana Wulung bersama istrinya sedang Ki Lurah Jambar Wulung di sebelah Ning Leswani juga bersama istrinya.

Karena masing-masing mempelai yang kawin adalah anak-anak lurah dari  dua  desa  yang  berdekatan  maka  dengan  sendirinya  suasana perkawinan  meriah  dan  besar-besaran.  Malam  itu  adalah  malam  pesta perkawinan  yang  pertama  dan  besok  lusa  akan  dilanjutkan  dengan  pesta perkawinan yang kedua dan ketiga.

Pada menjelang dinihari di mana udara dinginnya mencucuk tulang-tulang  sampai  ke  sungsum,  tamu-tamu  sudah  banyak  yang  pulang.

Beberapa orang yang masih disana sudah mengantuk bahkan banyak yang tertidur  seenaknya di kursi. Para pemain gamelan di bawah pimpinan Ageng Comal tak  ketinggalan ketularan kantuk sehingga Ageng Comal menghentikan permainan sam-pai di situ.

Ki Lurah Rantas Madan dan Ki Lurah Jambar Wulung bersama istri masing-masing  berdiri  dari  kursi  mereka  dan  disertai  beberapa  orang lainnya kemudian melang-kah mengiringi kedua penganten masuk ke dalam rumah besar yang tentunya terus ke dalam kamar!

Namun, belum lagi rombongan ini mencapai tangga langkan rumah,dari atas atap mendadak berkelebat satu sosok tubuh manusia, melompatke  atas  panggung!  Kedua  kakinya  menjejak  taron  (salah  satu  alat  bunyi-bunyian  dalam  permainan  gamelan)  sedang  kedua  tangan  berkacak pinggang.

Jarak  atap  rumah  dan  lantai  panggung  demikian  tingginya  tapi manusia  tadi  melompat  ke  atas  taron  tanpa  menimbulkan  suara sedikitpun. Bahkan taron itu sama sekali tidak bergerak ataupun bergeser!

Orang  ini  masih  muda  belia,  berbadan  agak  kurus  dan  tinggi.

Rambutnya  gondrong  sampai  ke  bahu.  Pada  parasnya  yang  gagah  itu terbayang sifat buas, apalagi jika diperhatikan sepasang bola matanya hal itu akan lebih kentara lagi.

Pemuda  ini  mengenakan  jubah  hitam  yang  sangat  panjang  sehingga menjela-jela  di  atas  taron  dan  lantai  panggung.  Jubah  hitam  ini  disulam dengan  bunga  besar-besar  berwarna  kuning.  Pada  belakang  kain  penutup kepalanya tertancap sebuah bunga kertas yang juga berwarna kuning.

Melihat  alat  bunyi-bunyian  diinjak  seenaknya  demikian  rupa  oleh seorang pemuda tak dikenal, tentu saja Ageng Comal menjadi marah sekali. Pemimpin kesenian gamelan ini maju melangkah sambil membentak. “Pemuda  kurang  ajar!  Turun  dari  taron  itu  sebelum  kupatahkan batang lehermu!”

Seringai  menggurat  di  wajah  si  pemuda.  Dari  mulutnya  meledaksuara  tertawa  yang  menggetarkan  dan menggidikkan  serta  membuat  liangtelinga seperti ditusuk-tusuk!

Suara tertawa itu, yang didahului oleh suara bentakan Ageng Comal tadi dengan serta merta membuat semua orang berpaling. Tamu-tamu yangduduk  terhenyak  tidur  di  kursi  terbangun  oleh  kedahsyatan  tertawa  si jubah hitam dan semua mata ditujukan adanya.

Beberapa  orang  yang  mengenali  ciri-ciri  pemuda  di  atas  taron  itu berseru kaget. “Pendekar Pemetik Bunga!”

Maka  suasana  itupun  mendadak  sontak  menjadi  gempar  penuh ketegangan.  Yang  memiliki  senjata  segera  menggerakkan  tangan  bersiap sedia menjaga segala kemungkinan.

Ki Rantas Madan berbisik pada menantunya, “Rana, bawa istrimu ke dalam, cepat!”

Sedang  Ki  Lurah  Jambar  Wulung  berbisik  pula  pada  istrinya,  “Wiri,cepat masuk ke dalam. Bawa besanmu serta…”

Rana  Wulung  yang  memang  pernah  mendengar  dan  mengetahuisiapa  adanya  manusia  bergelar  “Pendekar  Pemetik  Bunga”  itu  segera memegang  lengan  istrinya  lalu  membim-bing  Ning  Leswani.  Istri  Ki  Lurah Jambar Wulung serta besannya mengikuti di belakang mereka. Namun  baru  saja  mereka  bergerak  satu  langkah,  pemuda  jubah hitam di atas taron membentak garang.

“Siapa berani meninggalkan tempat ini berarti mampus!”

Semua yang melangkah jadi berhenti.

Ki  Lurah  Jambar  Wulung  hendak  melangkah  kea  rah  panggung, besannya  –  Rantas  Madan  –  memegang  lengannya  dan  berbisik,  “Jangan tempuh jalan kekerasan, Ki Lurah Jambar. Manusia ini tinggi ilmunya dan berbahaya. Biar aku yang bicara…”

Habis  berkata  demikian  Ki  Lurah  Rantas  Madan  maju  ke  depan panggung. Dia menegur dengan nada seramah mungkin.

“Pendekar  Pemetik  Bunga,  kedatanganmu  sungguh  tak  kami  duga.

Kalau kau ke sini hendak memberikan restu ucapan selamat keada puteri dan menantuku, sebelumnya aku haturkan terima kasih.”

“Ah..,”  Pendekar  Pemetik  Bunga  rangkapkan  tangan  di  muka  dada kemudian tertawa bergelak-gelak. Matanya yang menyipit hampir terpejam karena  tertawa  itu.  Dan  dalam  tertawa  itu  sesungguhnya  kedua  matanya memandang tajam kepada Ning Leswani yang cantik jelita. Disekanya ujung bibirnya dengan telapak tangan.

“Orang  tua,  kau  sedikit  lebih  ramah  dari  besanmu,”  kata  Pendekar Pemetik Bunga pula.”Tapi ketahuilah, aku datang ke sini bukan buat kasih ucapan selamat tapi sebaliknya.”

Pendekar  Pemetik  Bunga  untuk  kesekian  kalinya  tertawa  lagi  gelak-gelak.  “Aku  datang  untuk  menjemput  puterimu,  Ki  Lurah,”  katanya.  “Dia sudah ditakdirkan menjadi milikku!”

Berubahlah air muka orang banyak terutama Rantas Madan, Jambar Wulung, Rana Wulung dan Ning Leswani. Suasana sehening dipekuburan. Tegang mencekam.

Ki  Lurah  Jambar  Wulung  tak  dapat  lagi  menahan  hati  dan  luapan amarahnya.

“Setan alas! Lekas angkat kaki dari sini kalau tidak ingin kupecahkan batok kepala sintingmu itu!”

Pendekar Pemetik Bunga mendengus.

“Mulutmu  keliwat  besar,  Ki  Lurah.  Kau  andalkan  ilmu  apakah?!” bentak Pendekar Pemetik Bunga.

Sebagai jawaban, Jambar Wulung melompat ke atas panggung. Laki-laki  ini  tidak  memiliki  ilmu  kesaktian  dan  tak  pernah  menuntut  ilmu kebathinan.  Namun  dalam  ilmu  silat  luar  dia  sudah  menjajakinya  sampai tingkat  teratas.  Karenanya  tidak  mengherankan  gerakan-nya  melompat  ke atas  panggung  tadi  gesit  dan  enteng.  Namun  Pendekar  Pemetik  Bunga menyaksikan  gerakan  itu  dengan  sikap  sinis  dan  air  muka  mengejek.

Matanya  yang  tajam  dan  pengalamannya  yang  dalam  sekilas  saja  sudah melihat  dan  mengetahui  bahwa  Ki  Lurah  Jambar  Wulung  hanya  memiliki ilmu silat luar, tak mempunyai isi apa-apa!

Di  lain  pihak,  begitu  kedua  kakinya  menginjak  lantai  panggung, begitu  Jambar  Wulung  berkelebat  mengirimkan  serangan.  Meski  ilmu silatnya ilmu silat yang tak memiliki tenaga dalam, namun serangan yang dilancarkannya menimbulkan angin deras.

“Huh,  segala  silat  picisan.  hendak  diandalkan!”  ejek  Pendekar Pemetik  Bunga.  “Makan  sikutku  ini,  Ki  Lurah!”  Manusia  ini  kelihatanmenggeserkan  kaki  kirinya  sedikit  dan  tahu-tahu  terdengar  suara,  “ngek!”

Suara  itu  keluar  dari  mulut  Jambar  Wulung.  Tubuh  Ki  Lurah  ini terpelanting menabrak gong besar di sudut panggung sebelah kanan, terus jatuh  ke  bawah  panggung  bersama  alat  bunyi-bunyian  itu  dengan menimbulkan suara hiruk pikuk.

Begitu  terhampar  di  tanah  Jambar  Wulung  tak  bangun  lagi  aliaspingsan.  Dua  tulang  iganya  telah  hancur  remuk  di  makan  sikut  Pendekar Pemetik Bunga!

Melihat ayahnya dibuat demikian rupa, naiklah darah Rana Wulung.

Tapi  sebelum  dia  bergerak,  mertuanya  –  Ki  Lurah  Tantas  Madan  –  cepat memegang bahunya. Orang tua ini segera mendahului hendak melompat ke panggung tapi di  atas panggung dilihatnya Ageng Comal sudah berhadap-hadapan dengan Pendekar Pemetik Bunga!

“Pemuda keparat! Biang racun pengacau! Jaga kepalamu!”

Ageng  Comal  dengan  mempergunakan  pukulan  gong  menyerbu  ke muka.  Pemuda  yang  diserang  rundukkan  kepala.  Begitu  pukulan  gong berdesing di atasnya, cepat sekali tangan kirinya meluncur ke muka. Ageng Comal  yang  juga  pernah  mendalami  ilmu  silat  melihat  serangannya  lewat serta  menyaksikan  serangan  balasan  lawan  dengan  sigap  memiringkan tubuh  ke  kiri.  Serentak  dengan  itu  lutut  kanannya  dilipat  menyongsong pukulan lawan!

Secara  ilmu  luar,  memang  walau  bagaimanapun  kepalan  tak  akan menang  melawan  lutut.  Dan  adalah  sangat  berbahaya  bagi  seorang  yang menyerang dengan tinju bila dia meneruskan niatnya menyerang lutut yang keras dengan tinjunya! Namun Pendekar Pemetik Bunga sama sekali tidak menarik pulang serangannya!

“Ageng  Comal!!  Lekas  tarik  tanganmu!”  teriak  seorang  dibawahpanggung berteriak memberi peringatan.

Tapi, “Braak!”

Kasip sudah!

Pemimpin  kesenian  gamelan  itu  menjerit.  Tubuhnya  terguling pingsan  di  lantai  panggung.  Tulang  tempurung  lututnya  hancur,  kakinya sendiri teruntai-untai hampir putus!

Semua mata melotot. Semua muka pucat den semua mulut melongo!

Bagaimanakah  tidak!  Pemuda  jubah  hitam  di  atas  panggung  itu merobohkan lawannya tanpa bergeser satu langkahpun!

Di  lain  kejap  seorang  lain  telah  melompat  pula  ke  atas  panggung. Orang  itu  adalah  Rantas  Madan  yang  sudah  sejak  tadi  tak  dapat  lagi menahan hati panasnya.

Pendekar Pemetik Bunga lontarkan pandangan mengejek pada orang tua itu.

“Kau juga mau cari penyakit hah?!” hardiknya.

“Selagi  masih  ada  waktu  berlututlah  minta  ampun!  Hukumanmu pasti  kuperingan!,”  kata  Rantas  Madan.  Pendekar  Pemetik  Bunga  tertawa mengekeh.

“Jangan  ngaco,  orang  tua!  Kalau  mau  konyol  marilah!”  Tentu  saja ditantang  demikian  rupa  membuat  Ki  Lurah  Rantas  Madan  semakin berkobar  kemarah-annya.  Tanpa  menunggu  lebih  lama  laki-laki  ini  yang pernah menuntut ilmu ke-saktian di Gunung Simping menerkam ke muka. Dalam  jarak  satu  meter  saja  se-rangannya  sudah  menimbulkan  angin  bersiuran yang tajam dan menerpa ke arah Pendekar Pemetik Bunga.

Yang  diserang  maklum  bahwa  lawannya  yang  seorang  ini  berbeda dengan  dua  orang  yang  terdahulu.  Tanpa  menghentikan  tertawanya  tadi, Pendekar  Pemetik  Bunga  lantas  mengangkat  dan  melambaikan  tangan kirinya ke muka. Setiup angin keras yang menggetarkan panggung bersuit memapas tubuh Ki Lurah Rantas Madan. Serangannya dengan serta merta buyar  dan  tubuhnya  sendiri  kemudian  terangkat  ke  udara  setinggi  lima tombak, hampir menyundul atap panggung!

Dengan  cekatan  Ki  I.urah  Rantas  Madan  jungkir  balik  di  udara kemudian  dengan  gerakan  kilat  menukik  dan  menghantamkan  tangan kanannya ke arah lawan! inilah jurus “Walet Menukik Lembah!”

Pemuda  bertempang  gagah  tapi  buas  garang  itu  terkejut  sekali sewaktu  merasakan  angin  panas  menyerang  kepalanya!  Cepat-cepat  dia rundukkan tubuh sebatas pinggang dan balas mengirimkan pukulan jarak jauh dengan tangan kanan.

Ki  Lurah  Rantas  Madan  terdengar  menjerit.  Tubuhnya  mental  ke atas,  melab-rak  dan  membobolkan atap  panggung, lenyap dari pemandangan untuk  kemudian  terdengar  gedebuk  tubuhnya  sembilan tombak  di  tanah  di  belakang  panggung!  Waktu  jatuh  kepalanya  lebih dahulu,  tulang  lehernya  patah!  Nyawanya  lepas.  Ning  Leswani  dan beberapa perempuan yang ada di sana menjerit! Bersama ibunya temanten perempuan  itu  hendak  lari  memburu  ayahnya  namun  Rana  Wulung  den seorang lainnya, menahan mereka.

Rana  Wulung  seorang  pemuda  terpelajar  yang  tak  kenal  satu  jurus ilmu  silat-pun!  Namun  menyaksikan  kematian  ayah  serta  mertuanya  itu gelaplah  peman-dangannya!  Keris  perhiasan  penganten  yang  tersisip  di pinggang segera dicabut. Ketika melompat ke atas panggung kaki kanannya hampir terserandung!

“Ho-ho!  Temanten  juga  mau  ikut-ikutan  minta  digebuk?!”  teriak

Pendekar Pemetik Bunga.

“Kubunuh kau keparat!” bentak Rana Wulung menggeledek. Keris di tangan kanannya ditusukkan sekeras-keras dan secepat-cepatnya ke dada Pendekar Pemetik Bunga.

“Budak tolol!” maki Pendekar Pemetik Bunga.

Sekali pemuda jubah hitam itu gerakkan tangannya maka keris yang dipegang Rana Wulung sudah kena dirampas, dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya!

Suata  tertawa  Pendekar  Pemetik  Bunga  kernudian  terdengar mengumandang  diseantero  panggung.  Kemarahan  dan  sakit  hati  Rana Wulung  tiada  terperikan.  Dengan  kedua  tinju  terpentang  dia  menyerbu  ke muka.

“Edan  betul!”  bentak  Pendekar  Pemetik  Bunga.  “Masih  tak  melihat tingginya  gunung  dalamnya  lautan!”  Dan  manusia  ini  segera  menyongsong serangan Rana Wulung dengan tendangan maut yang mengarah lambung!

Kalau  saja  Rana Wulung  seorang  yang mengetahui sedikit  ilmu silat, dalam  posisinya  seperti saat  itu  sebenarnya  dia  masih  sanggup  dan  punya kesempatan untuk mengelak atau berkelit atau sekaligus melompat cepat ke samping. Tapi sayang, pemuda ini tidak tahu apa-apa tentang persilatan dan kaki  maut  Pendekar  Pemetik  Bunga  sementara  itu  semakin  dekat menyambarnya ke perut si pemuda.

Setengah  kejapan  lagi  pasti  robeklah  perut  Rana  Wulung.  Ning Leswani  menjerit.  Ibu  Rana  Wulung  juga  menjerit  untuk  kemudian  jatuh pingsan sebelum sanggup menyaksikan apa yang bakal dialami anaknya!

Beberapa orang mengeluarkan seruan tertahan. Agaknya tak satupun yang  bisa  berbuat  apa-apa!  Agaknya  sudah  nasib  Rana  Wulung  bakal menemui kematiannya pada hari pernilahannya itu!

Tapi....

DI  SAAT  ajal  sudah  di  depan  mata,  disaat  maut  hendak  merenggut maka  tiada  terduga,  disaat  itu  pula  dari  bawah  panggung  sebelah  barat melesat  sebuah  benda  yang  mengeluarkan  cahaya  berkilau.  Benda  ini melesat ke arah kaki kanan Pendekar Pemetik Bunga yang mencari maut di perut Rana Wulung!

Tentu  saja  Pendekar  Pemetik  Bunga  menjadi  terkejut  dan  terpaksa menarik  pulang  serangannya.  Benda  yang  berkilau  itu  lewat  dan menghantam  taron  sehingga  alat  bunyi-bunyian  ini  terbalik  dan  hancur berantakan!  Benda  apakah  yang  sehebat  itu  dan  siapa  gerangan  yang melemparkannya? Siapa yang telah menolong Rana Wulung dari kematian?!

“Pembokong  licik!  Cepat  unjukkan  diri,”  teriak  Pendekar  Pemetik Bunga marah sekali. Sepasang matanya yang buas menyapu ke arah barang panggung.

Di  bagian  barat  panggung  berdiri  beberapa  orang.  Mata  Pendekar Pemetik  Bunga  yang  tajam  tidak  berhasil  kali  ini  menduga  siapa  gerangan manuasia yang telah melemparkan senjata rahasia tadi.

Dengan  marah  Pendekar  Pemetik  Bunga  mengangkat  tangan kanannya  ke  udara  dan  berteriak,  “Kalau  tidak  ada  yang  mengunjuk  diri, semua yang ada di panggung barat pasti kubikin mampus!”

Seorang laki-laki tua yang berdiri di belakang sebuah kursi di bagian barat  panggung  berbatuk-batuk  beberapa  kali.  Laki-laki  ini  berpakaian bagus dan bertopi tinggi yang dihiasi manik-manik. Jelas ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang bangsawan atau hartawan. Dia mengangkat kursi yang di depannya ke samping dan melangkah ke muka panggung, berhenti sejarak dua tombak dari panggung.

“Cepat beri tahu siapa kau!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Tangan kanannya  masih belum diturunkan dan kini telapaknya yang terbuka diarahkan pada orang tua berpakaian bagus.

“Aku  hanya  seorang  tamu  yang  mengunjungi  pesta  perkawinan ini, orang muda....”

“Hem...  cuma  seorang  tamu  saja  berani  campur  tangan!  Ilmu melemparkan senjata rahasia pengecut tadikah yang kau andalkan?!”

Orang tua itu berbatuk-batuk lagi.

“Meski  cuma  tamu  buruk  begini,”  katanya,  “Aku  juga  adalah sahabat  baik  dari  tuan  rumah  dan  besannya.  Sungguh  tidak  enak sekali melihat nasib sahabat-sahabat yang nahas tanpa bersedia turun tangan!”

“Oo  begitu?  Bagus!”  ujar  Pendekar  Pemetik  Bunga  pula.

“Sanggupkah  kau  menerima  pukulan  tangan  kananku?!”  Orang  tua berpakaian bagus itu tertawa dingin.

“Orang muda, nyalimu memang besar sekali. Sayang kejahatanmu dan kebuasan-mu jauh lebih besar lagi sehingga aku yang tua ini terpaksa tak bisa berpangku tangan...”

“Orang  gendeng yang  tak tahu  gunung  Semeru  di depan hidung! Terima pukulan Tapak Jagat ini!”

Si  orang  tua  cepat  menyingkir  ke  samping  waktu  Pendekar Pemetik  Bunga  menghantamkan  telapak  tangan  kanannya  kedepan. Semua orang terkejutnya bukan olah-olah sewaktu melihat bagaimana tanah  bekas  tempat  si  orang  tua  berpakaian  bogus  tadi  menjadi berlubang besar di landa ilmu pukulan 'Tapak Jagat’ si pemuda jubah hitam.  Pasir  berterbangan,  kursi-kursi  jungkir  balik  berpatahan sedang  bumi  bergetar!  Kalau  saja  si  orang  tua  tidak  cepat  menyingkir tak  dapat  dibayangkan  apa  yang  bakal  terjadi  dengan  dirinya!  Namun disaat  itu  semua  orang  dan  Pendekar  Pemetik  Bunga  sendiri  sama memaklumi  bahwa  si  orang  tua  bukanlah  orang  tua  sembarangan!

Tidak  sembarang  orang  yang  sanggup  mengelak  dari  pukulan  'Tapak Jagat” itu!

“Orang  tua,  apakah  kau  masih  tetap  berlaku  pengecut  tak  mau kasih tahu nama?!”

“Ah,  namaku  atau  siapa  aku  kau  tak  perlu  tahu.  Aku  tanya, apakah kau sudi angkat kaki dari sini atau tidak?!”

“Sombong  betul”  tukas  Pendekar  Pemetik  Bunga.  “Jangan  kira aku jerih terhariapmu. Silahkan naik ke atas panggung!”

Si  orang  tua  menghela  nafas  panjang  dan  menggosok-gosok kedua  tangannya.  “Rupanya  memang  aku  harus  turun  tangan  tidak tanggung-tanggung,”  katanya  pelahan  tapi  cukup  terdengar  oleh semua orang.

“Betul!  Memang  dalam  dunia  persilatan  tidak  boleh  tanggung-tanggung!” menimpali Pendekar Pemetik Bunga. “Kalau kau berani cari perkara, kau tak boleh tanggung-tanggung untuk pasrahkan jiwa!”

Dan  sekejap  kemudian  kedua  orang  itupun  sudah  berhariap-hariapan  di  atas  panggung,  disaksikan  puluhan  pasang  mata, disaksikan  oleh  Rana  Wulung  yang  saat  itu  menyingkir  ke  sudut panggung.  Rana  tiada  kenal  siapa  si  orang  tua.  Namun  dia  maklum kalau  orang  tua  ini  berilmu  tinggi  dan  Rana  Wulung  berharap  moga-moga si orang tua benar-benar bisa meniadi tuan penolongnya.

“Apakah  kau  masih  punya  simpanan  senjata  rahasia  tadi,  orang tua?” tanya Pendekar Pemetik Bunga.

Si  orang  tua  tertawa  dan  balas  mengejek.  “Kalau  kau  punya senjata keluarkalah, biar kuhariapi dengan tangan kosong!”

“Sombong  betul!”  bentak  Pendekar  Pemetik  Bunga.  Tanpa beranjak  dari  tempatnya  dia  lepaskan  dua  pukulan  tangan  kosong yang  dahsyat.  Panggung  itu  tergetar  keras.  Si  orang  tua  bersuit nyaring dan melompat tiga tombak. Dari atas cepat berkelebat mencari posisi  baru  dan  balas  mengirimkan  dua  jotosan  yang  tak  kalah hebatnya. Dalam sekejapan saja kedua orang itu sudah terlibat dalam pertempuran seru. Lima jurus berlalu cepat!

Pendekar  Pemetik  Bunga  penasaran  sekali  melihat  ketangguhan lawan.  Diriahului  dengan  bentakan  nyaring  dia  mempercepat  permainan silatnya. Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang kini dan dua jurus di muka dia sudah berhasil mendesak lawannya.

“Terima  jurus  kematianmu,  orang  tua!”  seru  Pendekar  Pemetik Bunga. Dan kejapan itu pula pukulannya yang menyilang aneh membabat ke pinggang si orang tua. Yang diserang cepat menyingkir sewaktu melihat serangan  ganas  itu  dan  menusukkan  dua  jarinya  ke  muka,  ke  arah  mata Pendekar Pemetik Bunga! Inilah jurus “Mencungkil Mata” yang ganas.

Pendekar  Pemetik  Bunga  tentu  saja  tak  mau  kedua  biji  matanya dimakan  dua  jari  lawan.  Di  lain  pihak  dia  juga  tak  mau  tarik  pulang pukulannya  yang  ganas.  Karenanya  dengan  cepat  pemuda  itu  miringkan tubuh  ke  kiri.  Sekaligus  gera-kannya  Itu  mempercepat  perbawa  serangan tengannya ke arah pinggang lawan.

Si  orang  tua  sadar  kalau  tusukan  jari  tangannya  tak  bakal mancelakai lawan sebaliknya dirinya terancam bahaya besar besar, lekas-lekas menjejak panggung dan melompat ke atas. Begitu lolos dari gebukan lengan  maut,  si  orang  tua  laksana  alap-alap  menukik  ke  bawah  dan lepaskan satu tendangan dua pukulan.

Jurus  “Menembus  Kabut  Mengintip  Rembulan”  yang  dilancarkan  si orang  tua  dikenal baik oleh Pendekar Pemetik Bunga. Sambil tertawa mengejek dan  menyebut  jurus  itu,  si  pemuda  berkelit  lincah  lantas kirimkan  pukulan  tangan  kiri  kanan  yang  mengarah  empat  jalan  darah berbahaya dari si orang tua!

Meski masih dalam terkejut karena lawan mengetahui jurus yang dimainkannya  namun si orang tua tiada ayal untuk lekas-lekas menghindar dari serangan lawan!

“Orang tua, melihat jurus Menembus Kabut Mengintip Rembulanmu tadi, ada  hubungan apakah kau dengna Rah Kuntarbelong? Lekas jawab! Apa kau muridnya, hah?!”

Si orang tua menindih rasa terkejutnya. Tak sangka kalau lawan bisa menduga nama gurunya! Dan  Pendekar  Pemetik  Bunga  sesaat  kemudian  tertawa  bergelak.

“Tidak  menyahut  berarti  betul!”  katanya.  “Bagus  sekali  kalau  begitu.  Aku memang punya urusan yang belum diselesaikan dengan Rah Kuntarbelong! Sebagai  permulaan kurasa ada gunanya lebih dahulu bikin penyelesaian dengan muridnya!”

“Jangan  banyak  mulut  Pendekar  terkutuk!”  bentak  si  orang  tua.

''Tahu pukulan apa yang bakal kulepaskan ini?!” Pendekar Pemetik Bunga kerenyitkan  kening  dan  memandang  tajam  ke  muka.  Si  orang  tua dilihatnya  berdiri  dengan  kaki  merenggang.  Lengan  kiri  lurus  ke  bawah, tinju  mengepal  sedang  tangan  kanan  diangkat  tinggi-tinggi  di  atas  kepala. Lengan kanan itu kelihatan berwarna biru.

“Ah  cuma  pukulan  Kelabang  Biru…”  ejek  Pendekar  Pemetik  Bunga tapi  diam-diam  dia  kerahkan  tiga  perempat  bagian  tenaga  dalamnya  ke tangan kanan karena dia sudah pernah tahu kehebatan pukulan Kelabang Biru  yang  mengandung  racun  jahat  itu  yakni  sewaktu  berhariapan  di selatan  tempo  hari  melawan  Rah  Kuntarbelong.  “Lekaslah  keluarkan supaya  kau  sendiri  melihat  bahwa  ilmu  pukulanmu  itu  tak  lebih  dari kentut belaka!”

Geraham si orang tua bergemeletakan diejek demikian rupa. Seluruh tenaga  dalamnya  sudah  terpusat  di  lengan  dan  lengan  sampai  ke  ujung-ujung jari sudah berwarna sangat biru.

Tiba-tiba  terdengarlah  teriakan  yang  seperti  mau  merobek  gendang-gendang telinga. Si orang tua kelihatan menghantamkan lengan kanannya ke  depan.  Selarik  sinar biru dengan ganas menggebu ke arah Pendekar Pemetik Bunga. Di  saat  itu  pula Pendekar Pemetik Bunga sudah menggerakkan tangan kanan melepaskan  pukulan  “Tapak  Jagat”  yang diandalkan dengan tiga perempat tenaga dalamnya!

Begitu  dua  angin  pukulan  bertemu  terdengarlah  suara  berdentum laksana  gunung  meletus!  Tiang-tiang  panggung  patah,  lantai  dan keseluruhan  panggung  ambruk!  Alat  bunyi-bunyian  yarig  ada  di  atas panggung  berhamburan,  Rana  Wulung  mental  ke  luar  panggung  dan roboh  tak  sadarkan  diri  sewaktu  pang-gungnya  menghantam  batang sebuah pohon!

Kedua  orang  yang  bertempur,  sewaktu  panggung  roboh  cepat mencelat  meninggalkan  panggung.  Dan  ketika  mereka  berdiri  kembali berhariap-hariapan  kelihatanlah  bagaimana  pucatnya  paras  si  orang tua.  Satu  pertanda  bahwa  saat  itu  dia  menderita  luka  di  dalam  yang parah  sekali.  Sebaliknya  Pendekar  Pemetik  Bunga  berdiri  sambil melontarkan senyum mengejek pada lawannya.

“Jika  kau  masih  gila  untuk  menempuh  jalan  kekerasan,  jangan harap nyawamu akan tertolong!”

Si orang tua tahu, jika dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk meneruskan  pertempuran, pastilah akan mencelakai dirinya sendiri yang saat itu sudah terluka  parah dibagian dalam. Tapi untuk menyerah atau meninggalkan tempat itu adalah bertentangan sekali dengan hati dan jiwa satrianya! Dicobanya  mempertenang  diri  dan mengatur  jalan  nafas  serta  aliran  darah.  Tapi  dia  tak  berhasil.  Nafas dan aliran darahnya sudah tak karuan lagi!

“Budak, keluarkan kau punya senjata!” bentak si orang tua.

“Ah,  kalau  kau  mau  keluarkan  senjata  silahkan,  tak  usah memancing  segala!”  sahut  si  pemuda  dengan  tertawa  bergelak.

Mendengar  ini  si  orang  tua  tak  sungkan-sungkan  lagi  untuk menanggalkan sabuk hitam yang ditaburi mutiara dari Pinggangnya.

“Lusinan  tokoh-tokoh  jahat  sudah  mampus  dimakan  sabuk mutiana ini, budak terkutuk! Kini kau adalah korban selanjutnya!”

''Tak  usah  bicara  panjang  lebar!  Lekas  majuiah!”  bentak  si pemuda  dan  dalam  hati  dia  berpikir-pikir  sampai  di  mana,  kehebatan sabuk mutiara itu.

Si  orang  tua  menggeru.  Dia  maju  dua  langkah.  Sabuk  itu dipegangnya  di  tangan  kiri.  Nyatalah  dia  seorang  kidal.  Dia  menggeru lagi  untuk  kedua  kalinya.  Dan  pada  kali yang  ketiga sambil  melompat ke muka si orang iua sapukan sabuk mutiaranya.

Kedahsyatan  sabuk  mutiara  itu  sangat  mengejutkan  Pendekar Pemetik  Bunga!  Tubuhnya  laksana  dilanda  bertubi-tubi  oleh  ombak sebesar  gunung.  Dengan  kerahkan  tenaga  dalam  dan  andalkan  ilmu mengentengi  tubuhnya  yang  tinggi  dia  berhasil  mengelak  sebat. Namun tak urung akhimya dia kena di desak.

“Setan  alas!”  maki  pemuda  itu.  Untung  saja  lawannya  sudah terluka  di  dakam  yang  teramat  parah  sehingga  gerakan-gerakannya agak lamban.

Melihat  bahwa  lawannya  agak  jerih  dan  terdesak,  si  orang  tua mempercepat  gerakannya.  Tiba-tiba  Pendekar  Pemetik  Bunga membungkuk  dan  kemudian  berdiri  lagi  dengan  memegang  tepi  jubah hitamnya.  Sekali  dia  mengebutkan  tepi  jubah  hitam  itu,  hawa  yang sangat  pengap  menyambar  dahsyat  memapaki  angin  pukulan yang keluar  dari  sabuk  mutiara  si  orang  tua!  Si  orang  tua  merasa kepe-ngapan  menyambar  hidungnya.  Nafasnya  yang  memang  sudah tidak normal kini menjadi tambah tak teratur. Ternyata sabuk mutiara yang  sangat  diandalkannya  tiada  sanggup  menghariapi  kehebatan jubah  hitam  lawan!  Semakin  lama  tubuh-nya  semakin  lemah,  dadanya sesak dan pemandangannya mengabur!

“Pemuda keparat, lihat ini!” seru si orang  tua. Tangan  kananya lenyap  ke  dalam  saku  baju  dan  ketika  ke  luar  lagi  maka  selusin senjata rahasia yang menyilaukan menyambar ke arah si pemuda. Pendekar Pemetik Bunga tarik jubahnya ke atas tinggi-tinggi lalu mengebutkannya ke bawah dengan cepat. Angin pengap yang  dahsyat menyambar. Lima senjata rahasia lawan berpelantingan. Tujuh lainnya di  sapu  dan  membalik  menyerang  pemiliknya  sendiri!  Malangnya  si orang  tua  tak  menyangka dan tak sempat mengelak, Tubuhnya tak ampun lagi ditembusi ke tujuh  senjata rahasia miliknya sendiri! Orang tua itu mengeluarkan pekikan yang  menya-yat hati! Tubuhnya  tergelimpang di tanah. Dia mati dengan mata membeliak! Mati dengan sabuk mutiara masih di tangannya.

Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh. Betapa menjijikkan dan mengerikan.  Dia  melangkah  ke  hariapan  mayat  si  orang  tua  dan membungkuk,  Sabuk  mutiara  direnggutkannya  dari  tangan  kiri  mayat lalu dipakainya di pinggang.

Dibalikkannya  badannya.  Matanya  memandang  sekilas  pada  Ning Leswani  yang  berdiri  dengan  tubuh  gemeter  dan  muka  pucat  pasi. Kemudian  dia  memandang  berkeliling.  Dan  serunya  .  “Siapa  lagi  yang inginkan mampus silahkan maju dengan cepat.”

Tak satu orangpun yang bergerak dari tempatnya. Sambil  tertawa  panjang  Pendekar  Pemetik  Bunga  melangkah mendekat  Ning Leswani.  Si  gadis  cepat  menyurut  mundur.  “Gadis manis, kau tak perlu takut padaku! Kau harus tahu, kunyuk yang bernama Rana Wulung itu tidak pantas jadi suamimu. Lebih pantas jika kau ikut aku...”

“Manusia  biadab!  Pergi...!”  teriak  Ning  Leswani.  Pendekar  Pemetik Bunga  menyeringai.  Dia  maju  melangkah.  Ibu  Ning  Leswani  yang  coba menghalanginya  sambil  berteriak-teriak  dengan  sekali  tepis  saja tersungkur ke tanah.

“Pergi!” teriak Ning Leswani lagi.

“Ya, kita pergi sama-sama manisku!” sahut Pendekar Pemetik Bunga dengan  mata  yang  memancarkan  nafsu  menggelora.  Diulurkannya tangannya  untuk  meraih  pinggang  gadis  itu.  Justru  pada  saat  itulah terdengar bentakan yang sangat nyaring.

“Pendekar terkutuk! Tarik tanganmu...!”

***

 

DUA

 

PENDEKAR  Terkutuk  Pemetik  Bunga  hentikan  gerakan  tangannya yang  hendak  menja-mah  tubuh  Ning  Leswani.  Kepalanya  di  putar. Sepasang  matanya  membentur  sosok  tubuh  seorang  laki-laki  tua berbadan  bungkuk,  berambut  dan  berjanggut  putih.  Orang  tua  yang berselempang  kain  putih  ini  berdiri  dengan  sebatang  tongkat  bamboo kuning di tangan kanan.

“Siapa kau?” bentak Pendekar Pemetik Bunga.

Yang  ditanya  menyeringai  dan  ketuk-ketukkan  tongkat  bamboo kuningnya  ke  tanah.  Ketukan  ini  membuat  semua  orang  merasa bagaimana  tanah  yang  mereka  pijak  menjadi  bergetar.  Bambu  kuning  di tangan  si  orang  tua  pastiiah  satu  senjata  yang  sangat  hebat.  Dan  orang-orang yang masih ada di situ, yang membenci terhariap Pendekar Pemetik Bunga  merasa  punya  harapan  kembali  atas  kemunculan  si  orang  tua berselempangan kain putih ini.

“Lekas  jawab!”  bentak  Pendekar  Pemetik  Bunga.  “Kalau  tidak  kau akan mati percuma!”

Si  janggut  putih  ketuk-ketukkan  lagi  tongkat  bambu  kuningnya  ke arah tanah. Matanya yang kecil memandang tajam pada si pemuda jubah hitam.

“Ratusan  hari  turun  gunung,  puluhan  minggu  mengarungi  lembah dan  bukit,  berbulan-bulan  menyeberangi  sungai  memasuki  hutan belantara akhimya kau kutemui juga. Heh... he... he... he... he ...!”

“Kau masih belum mau beri tahu siapa namamu, orang tua? Jangan menyesal!”

“Namaku  tidak penting,  manusia  bejat.  Yang penting  ialah apa  kau masih ingat kebiadaban yang kau lakukan di desa Srintil beberapa bulan yang silam...?”

Pendekar  Terkutuk  Pemetik  Bunga kerutkan kening. Sepasang  alis matanya menaik.

“Sembilan  laki-laki  tak  berdosa  kau  bunuh.  Dua  diantaranya adalah muridku. Empat orang perempuan di desa itu kau bawa kabur, kau perkosa lalu kau bunuh! Kau lupa itu semua...?!”

“Hem....”  Pendekar  Pemetik  Bunga  manggut-manggut  beberapa kali. “Tidak, aku tidak lupa,” katanya dengan terus terang.

“Bagus  sekali  kalau  kau  tidak  lupa!”  ujar  si  orang  tua.  Dan bambu di tangan kanannya di ketuk-ketukkannya lagi. Tanah kembali bergetar.  “Orang-orang  desa  telah  datang  kepadaku  mengadukan kebiadabanmu itu....”

“Berapa  uang  suap  yang  diberikan  orang-orang  desa  padamu untuk mencariku orang tua?!” ejek Pendekar Pemetik Bunga.

Wajah si orang tua kelihatan menjadi merah. Dia tertawa dingin.

“Sekalipun  mereka  tidak  datang  ke  puncak  gunung  Bromo,  memang sudah  sejak  lama  aku  berniat  turun  tangan  membekuk  batang lehermu…!”

Pendekar  Pemetik  Bunga  tertawa  gelak-gelak,  “Oh  jadi  kau adalah Datuk Bambu Kuning dari gunung Bromo?!”

Si  orang  tua  kini  balas  tertawa  panjang-panjang  sambil  tangan kirinya mengusap-usap janggut putihnya yang panjang menjela sampai ke dada.

“Kalau  sudah  tahu  siapa  aku,  mengapa  tidak  lekas-lekas bertobat  dan  bunuh  diri?  Atau  masih  perlu  aku  memecahkan kepalamu dengan bambu kuning ini?!”

“Kentut!”  maki  Pendekar  Pemetik  Bunga  dengan  muka  membesi penuh marah.

“Kalau aku kentut, kau tahinya!” kata Datuk Bambu Kuning pula dan tertawa lagi panjang-panjang seperti tadi. Naiklah darah Pendekar Pemetik Bunga.

“Manusia  tolol  yang  tidak  tahu  gunung  Semeru  berdiri  di  muka hidung, terima kematian-mu dalam tiga jurus!” teriak Pendekar Pemetik Bunga sambil menyerbu dengan sabuk mutiara milik korbannya tadi. Datuk Bambu Kuning terkejut melihat sabuk itu. “Eh, itu adalah senjata  Kidal  Boga,  murid  Rah  Kuntarbelong.  Dari  mana  kau  dapat, manusia bejat?!”

“Tanya  pada  setan  di  neraka  nanti!”  sahut  Pendekar  Pemetik Bunga  seraya  sabetkan  sabuk  mutiara  ke  arah  lawan.  Angin  laksana gunung gelombang menerpa Datuk Bambu Kuning.

Datuk  Bambu  Kuning  cepat  menghindar.  “Rupanya  kau  bukan saja  manusia  bejat  tukang  bunuh  dan  tukang  perkosa  tapi  juga pencuri  kesiangan  huh!”  Datuk  Bambu  Kuning  kiblatkan  tongkat bambu  kuningnya.  Serangkum  angin  yang  bukan  main  dahsyatnya menyambar  dan  menahan  serangan  angin  sabuk.  Debu  dan  pasir beterbangan akibat angin kedua senjata sakti itu!

Pendekar  Terkutuk  Pemetik  Bunga  tak  kurang  kejutnya  ketika merasakan  serangan  sabuknya  menjadi  tak  berarti  sewaktu  tongkat bambu kuning di tangan lawan menyambuti gempurannya itu! Dengan serta  merta  pemuda  ini  percepat  gerakannya.  Dalam  sekejap  Datuk Bambu Kuning terbungkus oleh serangan sabuk mutiara.

Namun  sekali  si  orang  tua  memekik  keras  dan  sekali  dia  putar tongkat  bambunya  dalam  jurus  yang  aneh  maka  keluarlah  dia  dari kurungan  serangan  senjata  lawan!  Kini  gempuran  tongkat  bambu itulah yang membungkus tubuh Pendekar Pemetik Bunga!

Si  pemuda  tiada  habisnya  menggerutu  dan  memaki  dalam  hati sewaktu  mendapatkan  dirinya  terdesak  hebat  oleh  gempuran  lawan. Apalagi  sewaktu  jurus  kedua  berakhir  dan  sewaktu  Datuk  Bambu Kuning  tertawa  mengejek  dan  berkata.  “Jurus  ketiga  ini  adalah  jurus kematianmu,  manusia  bejat!  Bukan  jurus  kematianku!”  Dan permainan tongkat bambu kuningnya semakin dipercepat dan semakin dahsyat. Sinar kuning bergulung-gulung menyelimuti tubuh si pemuda!

“Setan  alas  keparat!”  maki  Pendekar  Pemetik  Bunga.  Dengan gerakan yang sulit sekali dia  membungkuk. Sabuk mutiara diputar  sebat melindungi  tubuh  sedang  tangan  kiri  diulurkan  untuk  menjangkau  tepi jubah hitamnya. Dengan dua senjata di tangan yaitu tepi jubah di tangan kiri dan sabuk mutiara di tangan kanan, Pendekar Pemetik Bunga berdiri kembali  menghadapi  lawannya.  Sabuk  mutiara  mengeluarkan  gelombang angin  yang  laksana  gunung  besarnya  sedang  tepi  jubah  hitam menghamburkan  angin  pengap  yang  sanggup  menyesakkan  jalan pernafasan yang menyendat tenggorokan serta liang hidung!

Dalam jurus ketiga itu kelihatanlah bagaimana  gempuran  Datuk Bambu  Kuning  menjadi lamban. Orang tua itu berteriak keras dan kerahkan seluruh tenaga  dalamnya.  Namun  sia-sia  saja.  Dirasakannya dadanya  menjadi  sesak,  lobang-lobang  hidungnya  laksana  tersumbat. Sukar  baginya  untuk  bernafas!  Menanggapi  hal  ini  si  orang  tua  segera atur jalan darah dan tutup pemafasannya. Tubuhnya lenyap sewaktu din mempercepat gerakannya!

Namun  kedahsyatan  angin  pengap  yang  menderu  dari  tepi  jubah memang  tidak  kepalang  tanggung.  Sebentar  saja  serangan-serangan bambu  kuning  lawan  sudah  diben-dungnya.  Gerakan  Datuk  Bambu Kuning  kembali  menjadi  lamban  sewaktu  orang  tua  itu  tidak  bisa mempertahankan  lagi  menutup  jalan  nafasnya  terus-terusan  sedang sementara itu pertempuran sudah berjalan lima jurus!

Pendekar  Pemetik  Bunga  kembali  keluarkan suara tertawa sewaktu dia  tahu  bahwa  dirinya  telah  berada  di  atas  angin.  “Ha…ha...!  Kau disuruh  turun  gunung  oleh  penduduk  desa  hanya  untuk  mencari kematian saja Datuk Bambu Kuning!”

“Pendekar  terkutuk  jangan  terlalu  besar  harapan!”  kertak  Datuk Bambu  Kuning.  Diam-diam  tiga  perempat  dari  tenaga  dalamnya dikerahkan ke dada.

Tiba-tiba, “Bluuss!”

Selarik  asap  kuning  menyembur  dari  mulut  si  orang  tua!  Pendekar Pemetik  Bunga  terkejut  bukan  main  dan  cepat  tutup  jalan  nafasnya. Keterkejutan  dan  saat  menutup  jalan  nafas  tadi  membuat  gerakannya mengendur. Sewaktu din menghindar ke samping sambil babatkan sabuk mutiaranya  memapasi  semburan  asap  kuning,  bambu  di  tangan  kanan lawan datang menderu!

Si  pemuda  kebutkan  tepi  jubahnya.  Celaka!  Asap  kuning  itu  tak sanggup dibikin buyar oleh angin pengap tepi jubah hitamnya! Pendekar  Pemetik  Bunga  menjerit  setinggi  langit.  Tubuhnya  lenyap dan sesaat kemudian dia berhasil ke luar dari serangan lawan yang bukan kepalang  dahsyatnya  tadi.  Sewaktu  berdiri  mengatur  jalan  darah  dan nafasnya kembali, diam-diam pemuda ini keluarkan keringat dingin juga!

“Kau  kira  kau  bisa  lari  dari  sini,  manusia  bejat?!”  hardik  Datuk Bambu  Kuning.  Mulutnya  membuka  dan  asap  kuning  rnenyembur  lagi kemuka  lawan.  Pendekar  Pemetik  Bunga  kembali  tutup  jalan  nafasnya dan  melompat  ke  samping.  Serangan  kebutan  tepi  jubah  dan  sambaran sabuk  mutiara  dilakukannya  berbarengan  sekaligus  ke  arah  lawan.  Si orang  tua  melompat  tiga  tombak  ke  atas  dan  sewaktu  turun  kembali menyemburkan  asap  kunign  dari   mulutnya!  Pendekar  Pemetik  Bunga menjadi  kewalahan  kini.  Kewalahan  dan  merutuk!  Di  samping  itu  tak habis  heran  kesaktian  apakah  yang  dikandung  oleh  asap  kuning  yang keluar dari mulut lawannya sehingga angin pengap jubah hitam dan angin sabuk mutiara tiada sanggup membuyarkannya!

Tiba-tiba  pemuda  itu  menggereng  macam  harimau.  Tubuhnya melesat  kemuka.  Angin  pengap  menyerang  ketenggorokan  Datuk  Bambu Kuning sedang sabuk mutiara menerpa dari atas ke bawah! Si  orang  tua  ganda  tertawa  menghardapi  serangan  ini  Bambu kuningnya diputar-putar, tiba-tiba dikiblatkan demikian rupa

“Sreet!”

Sabuk  mutiara  di  tangan  kanan  Pendekar  Pemetik  Bunga  kena disambar  den  terlepas  mental  dari  tangan  pemuda  itu!  Si  pemuda  sendiri dengan  jungkir  balik  susah  payah  baru  berhasil  ke  luar  dari  sambaran tongkat  bambu  serta  semburan  asap  kuning  yang  dile-paskan  lawan! Matanya  membeliak,  mulutnya  kornat  kamit.  Mukanya  mengelam  sewaktu si  orang  tua  melangkah  perlahan  mendekatinya  dengan  tertawa  sedingin salju!

“Nyawa  anjingmu  hanya  tinggal  beberapa  detik  saja,  pemuda terkutuk!” kata Datuk Bambu Kuning. “Sejak hari ini dunia persilatan akan bersih dari noda kekotoran manusia macam kau!”

“Aku  masih  belum  menyerah  keparat!”  bentak  Pendekar  Pemetik Bunga.  Mulutnya  masih  komat-kamit.  Matanya  dengan waspada memperhatikan setiap gerak yang dibuat Datuk Bambu Kuning.

“Aku memang tak suruh kau menyerah, “ sahut Datuk Bambu Kuning dengan tertawa sedingin tadi. “Aku cuma perlu nyawa anjingmu!”

“Soal  nyawa  soal  mudah,”  tukas  Pendekar  Terkutuk  Pemetik  Bunga.

Diam-diam dia salurkan seluruh tenaga dalamnya ke ujung jari telunjuknya. Sesaat  kemudian  ujung  jari  itu  menjadi  hitam  legam  dan  mengeluarkan sinar menggidikkan. “Orang tua edan, kau lihat jari ini?! “

Datuk Bambu Kuning memandang dengan kerenyit kulit kening pada jari  telunjuk  tangan  kanan  Pendekar  Pemetik  Bunga.  Darahnya  tersirap, mukanya berubah.

Pendekar  Pemetik  Bunga  tertawa  mengekeh.  “Kenapa  mukamu menjadi pucat, kunyuk tua?!”

Datuk  Bambu  Kuning  tidak  menyahut.  Mukanya  bertambah  pucat dan matanya melotot memandang tajam-tajam pada jari telunjuk si pemuda. Ketika  jari  telunjuk  itu dan ibu jari si pemuda  membuat  lingkaran.  Datuk Bambu Kuning berseru kaget. “Ilmu Jari Penghancur Sukma!” Dengan serta merta Datuk Bambu Kuning bagi dua aliran tenaga dalamnya. Sebagian ke ujung tongkat bambu den sebagian lagi ke dada!

“Makan  jariku  ini,  Datuk  keparat!”  seru  Pendekar  Pemetik  Bunga. Dikejap  itu  juga dia menjentikkan jari telunjuknya. Satu gelombang angin hitam menderu  laksana topan prahara, menyereng ke arah Datuk  Bambu Kuning. Di saat yang sama Datuk Bambu Kuning sapukan tongkat di tangan kanan dan semburkan asap kuning!

Datuk  Bambu  Kuning  berteriak  kaget  ketika  melihat  angin  pukulan bambu  kuning  dan  sambaran  asap  kuningnya  buyar  berantakan  dilanda angin hitam lawan. Dan angin hitam yang menggidikkan ini terus melesat ke arahnya. Datuk Bambu Kuning cepat menyingkir tapi kasip!

Orang  tua  itu  mencelat  beberapa  tombak  jauhnya  ketika  angin hitam  menyambar  tubuhnya.  Dan  terdengarlah  jeritnya  melengking  langit! Datuk  Bambu  Kuning  terguling-guling  di  tanah.  Sekujur  tubuhnya  hitam hangus! Nyawanya tidak ketolongan lagi, putus kejap itu juga!

Pendeker  Pemetik  Bunga  mengatur  jalan  nafas  dan  aliran  darahnya kembali. Sewaktu dia menggerakkan kakinya baru disadariya bahwa kedua kakinya itu telah tenggelam ke dalam tanah sedalam lima senti! Bila pemuda ini melangkah mendekati Ning Leswani, kembali terdengar makian gadis itu.

Makian yang kemudian disusul dengan jeritan. Tak ada satu orangpun yang berani  menghalangi  dan  berbuat  suatu  apa  ketika  Ning  Leswani  dipanggul oleh Pendekar Pemetik Bunga dan dilarikan!

Sampai  pagi,  sampai  ketika  matahari  muncul  di  utuk  timur  desa masih diselimuti oleh kehebohan atas apa yang telah terjadi! Ki Lurah Rantas Madan den Rana Wulung bersama kira-kira  selusin penduduk,  dengan  membawa  berbagai  senjata  dan  menunggangi  kuda coba  mencari  jejak  Pendekar  Pemetik  Bunga.  Namun  ke  mana  manusia durjana  itu  hendak  dicari?!  Menjelang  tengah  hari,  mereka  sudah berbisik-bisik sesama mereka bahwa tak mungkin mereka akan menemui Ning  Leswani.  Kalaupun  bertemu,  tentu  gadis  itu  sudah  rusak  kehormatannya!  Dan  seandainya  pula  mereka  berhasil  menyergap  Pendekar Pemetik Bunga, belum tentu mereka sebanyak itu bisa membekuk batang lehernya!

Rantas  Madan  tahu  suasana  yang  dirasakan  anggota-anggota rombongannya. Dia berunding dengan Rana Wulung dan akhirnya diambil keputusan untuk pulang saja.

Terik  matahari  membakar  kulit  di  siang  itu.  Rana  Wulung  dengan muka  pucat  menunggangi  kudanya  di  samping  Rantas  Madan.  Hati pemuda  ini  hancur  sudah!  Dendam  kesumatnya  terhadap  Pendekar Pemetik Bunga tak akan pupus selama hidupnya!

Ketika  rombongan  melalui  lereng  sebuah  bukit  dalam  perjalanan pulang  itu,  ada  sesuatu  yang  menarik  perhatian  Rana  Wulung.  Dia berpaling pada Rantas Madan.

“Bapak,  kau  lihat  burung-burung  gagak  yang  beterbangan  di puncak bukit itu.”

Ki  Lurah  Rantas  Madan  terkejut  lalu  memandang  ke  puncak  bukit di  atasnya.  Beberapa  burung  gagak  hitam  dilihatnya  terbang  berputar-putar  naik  turun  di  atas  puncak  sana.  Berdebar  hati  laki-laki  ini.  Lalu dihentikannya rombongan.

“Kita  ke  sana!”  mengambil  keputusan  Rantas  Madan.  Masing-masing  kemudian  memacu  kuda  mereka  ke  puncak  bukit.  Rana  Wulung di depan sekali. Di puncak bukit pemuda ini menghentikan kudanya dan meneliti  ke  mana  turunnya  burung-burung  gagak  tadi.  Diikuti  oleh anggota-anggota  rombongan  yang  lain  Rana  Wulung  bergerak  ke  arah serumpunan semak belukar lebat. Waktu dia mencapai semak itu, empat ekor burung gagak terbang ke udara. Rana  Wulung  melompat  dari  kudanya  dan  lari  ke  balik  semak belukar lebat.

“Tuhanku!”  seru  pemuda  itu.  Lututnya  goyah.  Matanya  membeliak.

Tiba-tiba  laksana  orang  kalap  dia  melompat  ke  muka  sambil  berseru nyaring . “Nining! Nining!”

Ning  Leswani  terhampar  di  atas  rerumputan.  Tak  selembar benangpun  yang  menutupi  auratnya.  Tubuh  yang  telanjang  ini  sudah tiada  nafas  lagi  dan  sebagian  sudah  berlubang-lubang  dipatuk  gagak-gagak  hitam  pemakan  bangkai!  Tubuh  yang  malang  itulah  yang  dipeluk Rana  Wulung.  Namun  cuma  sebentar  saja.  Sewaktu  Rantas  Madan  dan rombongan lainnya sampai ke situ, Rana Wulung sudah jatuh pingsan!

Rantas  Madan  sendiri  hampir-hampir  tak  kuat  pula  menyaksikan pemandangan  itu!  Hampir  tak  sanggup  melihat  anak  kandung  yang dikasihinya  menemui  kematian  dalam  cara  yang  mengenaskan  begitu rupa. Mulutnya komat kamit. Tenggorokannya turun naik.

“Anakku....”  desis  laki-laki  itu.  Dia  berlutut.  Beberapa  orang menarik Rana Wulung dari atas tubuh Ning Leswani. Rantas Madan cepat membuka  bajunya  dan  menutupi  aurat  anaknya  dengan  baju  itu.  Air matanya  berlinang.  Dendam  kesumat  seperti  mau  memecahkan  dadanya saat itu!

***

 

TIGA

 

MUNCULNYA  Pendekar  Pemetik  Bunga  menyebar  maut,  darah  dan noda  benar-benar  menggemparkan  dunia  persilatan.  Kekejaman  dan kebejatan terkutuk yang dilakukannya selama malang melintang beberapa bulan  belakangan  ini  benar-benar  merupakan  satu  tantangan  bagi  dunia persilatan,  terutama  mereka  dari  golongan  putih.  Hal  ini  tak  dapat dibiarkan  lama,  dan  berlarut-larut.  Beberapa  tokoh  silat  utama  dari golongan  putih  kabarnya  telah  turun  tangan  membuat  perhitungan dengan  Pendekar  Pemetik  Bunga.  Tapi  apa  yang  terjadi  kemudian  benar-benar membuat dunia persilatan tambah geger!

Bagaimanakah  tidak!  Semua  tokoh-tokoh  silat  yang  berani  bikin perhitungan  itu  disikat  mentah-mentah  oleh  Pendekar  Pemetik  Bunga. “Ilmu  Jari  Penghancur  Sukma”  yang  dimiliki  pemuda  terkutuk  itu  menjadi biang  momok  mengerikan  bagi  dunia  persilatan,  apalagi  bagi  orang-orang yang tidak mengerti silat sama sekali! Tiap kota dan desa, tiap kampung dan pelosok  diselimuti  rasa  ketakutan  dan  cemas.  Takut  dan  cemas  kalau Pendekar  Pemetik  Bunga  akan  muncul  mendadak  di  daerah  mereka, menyebar maut dan menebar noda di kalangan penduduk yang tak berdosa! Kejahatan,  kebejatan  dan  seribu  satu  macam    perbuatan  terkutuk yang  dilakukan  oleh  Pendekar  Pemetik  Bunga  itu  telah  sampai  pula  ke puncak gunung Merbabu.

Saat  itu  tengah  hari  tepat.  Matahari  berada  dititik  tertingginya. Keterikan sinar matahari tiada terasa di atas puncak gunung yang ditutupi halimun  sejuk  itu.  Asap  belerang  dari  kawah  gunung  bergulung-gulung  ke atas, bercampur jadi satu dengan halimun dan menutupi pemandangan.

Di  satu  bagian  dari  puncak  gunung  Merbabu,  di  dalam  sebuah ruangan  batu,  diterangi  oleh  sebuah  pelita  kecil  kelihatan  duduk  seorang laki-laki  tubuhnya  kurus  sekali,  hampir  tinggal  kulit  pembalut  tulang.

Tubuh yang kurus ini ditutupi dengan sehelai selempang kain putih. Melihat kepada  air  mukanya  yang  penuh  dengan  keriputan  itu  nyatalah  bahwa manusia  ini  umurnya  sudah  lanjut  sekali.  Tapi  anehnya,  rambut  dan janggutnya  yang  panjang  sampai  ke  pinggang  itu  masih  berwarna  hitam legam dan berkilat-kilat ditimpa sinar pelita.

Orang tua ini adalah Begawan Citrakarsa. Saat itu dia tengah bersemedi menghe-ningkan cipta rasa dan menutup semua inderanya. Ketika matahari  menggelincir  ke  titik  tenggelamnya,  ketika  sinar  kuning  emas berpalun  dengan  sinar  kemerahan  menyaputi  langit  di  ufuk  barat  barulah Begawan  itu  menyelesaikan  semedinya.  Dibukanya kedua matanya, dibukanya segenap inderanya. Kemudian perlahan-lahan Begawan ini berdiri dari duduknya dan melangkah ke pintu.

Dari pintu batu tempat dia berdiri itu dapat dilihatnya keseluruhan puncak Gunung Merbabu. Sebagian dari puncak Gunung Merbabu itu telah diselimuti  lagi  oleh kabut belerang dan halimun. Di kaki gunung menghampar sawah ladang. Jauh di sebelah selatan mengalir sebatang anak sungai. Begawan Citrakarsa menghela  nafas  dalam. Betapa indahnya bumi buatan Tuhan. Tapi betapa sayangnya, bumi yang indah dan suci itu telah dikotori  oleh  segala  macam  kemaksiatan,  segala  macam  kemesuman, kejahatan, kebejatan!

Begawan  Citrakarsa  masuk  kembali  ke  dalam  ruangan  batu.  Dari dinding  ruangan  batu  diambilnya  sebilah  keris  lalu  disisipkannya  ke  balik selempangan  kain  putih  di  pinggangnya.  Dengan  sedikit  lambaian  tangan Begawan  Citrakarsa  memadamkan  pelita  dalam  ruangan  batu  itu.  Dia melangkah  ke  pintu  kembali.  Di  luar  puntu  terdapat  sebuah  batu  besar.

Dengan  mempergunakan  tangan  kirinya  Begawan  ini  menggeser  batu  itu hingga menutupi pintu ruangan batu. Batu besar itu beratnya ratusan kaki, tapi  sang  Begawan  hanya  menggesernya  dengan  mempergunakan  tangan kiri! Sampai dimana kehebatan tenaga dalam Begawan bertubuh kurus yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu sungguh tak dapat dijajaki!

Bila angin  dari timur  bertiup  sejuk. Bila bola penerang jagat  hanya seperenam bagiannya saja lagi yang kelihatan di ufuk barat sana dan bila puncak  gunung  Merbabu  hampir  keseluruhannya  terselimut  halimun maka Begawan itupun menggerakkan kakinya. Sepasang kaki yang kurus kering itu dengan lincah dan dengan kecepatan yang luar biasa berlari di tepi  kawah  dengan  seenaknya.  Sekali-sekali  melompati  jurang  batu  yang lebarnya sampai tiga – empat tombak. Bersamaan dengan lenyapnya sang surya  ke  tempat  peraduannya  maka  bayangan  Begawan  Citrakarsa  pun tak kelihatan lagi di puncak gunung Merbabu itu.

*  *  *

Tikungan  jalan  itu  terletak  di  tempat  yang  ketinggian.  Sinar matahari  panasnya  seperti  mau  memanggang  kulit.  Burung-burung  kecil yang  berlindung  di  balik  daun-daun  pepohonan  berkicau  tiada  hentinya seakan-akan turut gelisah oleh panasnya hari sehari itu.

Pemuda  berambut  gondrong  di  atas  cabang  pohon  duduk  dengan sepasang mata yang terus menatap ke liku-liku jalan di kaki bukit. Sudah satu jam hampir dia berada di cabang pohon itu dan apa yang ditunggunya masih  juga  belum  muncul.  Kekesalan  hatinya  dicobanya  melenyapkan dengan bersiul-siul. Ada satu keluarbiasaan, cabang pohon yang diduduki pemuda itu kecil sekali. Jangankan manusia, seekor kucingpun bila duduk di situ pastilah cabang itu akan menjulai ke bawah. Tapi anehnya, diberati oleh tubuh pemuda berambut gondrong itu, jangankan menjulai, bergerak sedikitpun  cabang  pohon  itu  tidak!  Kalau  si  pemuda  bukannya  seorang sakti  mandraguna  yang  memiliki  ilmu  meringankan  tubuh  yang  hebat, pastilah hal itu tak bisa kejadian. Sepeminuman tah berlalu. Si pemuda memandang lagi ke kaki bukit, ke arah liku-liku jalan.

“Sialan, apa kunyuk-kunyuk itu tidak jadi melewati jalan ini?! Sialan be…”

Tiba-tiba  pemuda  itu  hentikan  makiannya.  Bola  matanya  membesar dan  dibibirnya  menggurat  seringai  tajam.  Jauh  di  bawah  bukit,  diantara pohon-pohon  di  liku-liku  jalan  dilihatnya  sebuah  kereta  yang  ditarik  oleh dua  ekor  kuda  putih,  dikawal  oleh  selusin  penunggang  kuda.  Debu menggebu  ke  udara.  Pemuda  itu  kini  tertawa-tawa  sendirian.  Hatinya gembira. Yang ditunggunya telah kelihatan di bawah sana, dan pasti akan melewati tikungan jalan dimana dia menunggu saat itu.

Kira-kira  dua  kali    peminuman  teh  maka  terdengarlah  derap  kaki-kaki kuda dan gemerataknya suara roda kereta mendekati tikungan jalan. Karena  tikungan  itu  mendaki,  maka  pengemudi  kereta  dan  penunggang-penunggang kuda agak memperlambat lari kuda masing-masing. Pada  saat  itulah  pemuda  rambut  gondrong  yang  duduk  di  cabang pohon mengeluarkan suara memerintah yang menggeledek!

“Berhenti!”

Beberapa  ekor  kuda  yang  di  muka  sekali  meringkik  terkejut. Pengemudi  dan  pengawal kereta kagetnya bukan main. Semua anggota rombongan menghentikan  kuda masing-masing. Dan melihat gelagat yang tidak baik, setiap anggota rombong-an bersikap waspada. “Semua  laki-laki  yang  ada  di  sini,  termasuk  pengemudi  kereta kuharap  segera  angkat  kaki  tinggalkan  tempat  ini.  Berlalu  dengan  cepat!”

Begitu si pemuda memerintah. Dan dia masih juga duduk di cabang pohon seenaknya.

Penunggangn  kuda  yang  paling  muka  yang  bertindak  sebagai pimpinan  rombongan  mendongak  ke  atas  dan  bertanya  dengan membentak.

“Orang asing! Kau siapa?!”

“Buset!  Kau  punya  nyali  membentak  aku  hah?  Apa  kau  punya  jiwa rangkap!”

Si  penunggang  kuda  mendengus.  “Caramu  memerintah  nyatalah bahwa kau mempunyai niat jahat!”

“Betut  sekali  sobat!  Karenanya  lekaslah  tinggalkan  tempat  ini  kalau kalian semua tidak mau cilaka!”

Penunggang  kuda  yang  bertindak  sebagai  pemimpin  rombongan melihat  sikap  dan  tempat  di  mana  pemuda  rambut  gondrong  itu  duduk sesungguhnya  sudah  sejak  tadi  mengetahui  bahwa  manusia  asing  itu seorang  yang  berilmu  sangat  tinggi.  Namun  dengan  mengandalkan  jumlah yang banyak, mengandalkan kawan-kawannya yang rata-rata memiliki ilmu silat,  nyalinya  tidaklah  menjadi  kendor  merghadapi  si  pemuda  rambut gondrong!

“Kalau  kau  seorang  perampok,  cari  saja  orang  lain  untuk  dirampok! Salah-salah riwayatmu bisa tamat sampai di sini, sobat”

Pemuda  di  atas  cabang  pohon  tertawa  gelak-gelak.  Suara  tertawanya menggetarkan  tikungan  jalan  itu,  juga  menggetarkan  hati  dua  belas penunggang  kuda!  Bahkan  suara  tertawa  itu  telah  membuat  satu  tangan halus  menyibakkan  tirai  kereta  den  memunculkan  sebuah  kepala perempuan muda belia berwajah cantik berkulit halus mulus.

“Manusia-manusia tolol! Orang sudah kasih ampun den kasih selamat kalian  punya  jiwa  tapi  malah  berlagak  jago!”  bentak  orang  di  atas  cabang pohon!  “Silahkan  cabut  senjata  kalian  agar  kalian  semua  tidak  mampus percuma!”

Habis  berkata  begitu  si  pemuda  laksana  seekor  alap-alap  melompat turun.  Tubuhnya  berkelebat  cepat  dan  terdengadah  jeritan  yang menggidikkan!  Tiga  penunggang  kuda  terpelanting  dari  punggung  kuda masing-masing.  Kepala  ketiganya  hancur  remuk  dimakan  tendangan  kaki kanan pemuda tadi!

Yang sembilan orang lainnya, tambah satu dengan pengemudi kereta dengan  serentak  segera  mencabut  golok  masing-masing.  Tanpa  menunggu lebih lama yang Sembilan orang  segera  menyerbu  sedang  pengemudi  kereta  dengan  golok melintang di muka dada tetap berada di atas kereta.

Sebentar  saja  hujan  golok  menyelubungi  si  pemuda.  Pemuda  itu berdiri di tengah-tengah siuran golok dengari bertolak pinggang dan sambil tertawa-tawa.  Sekali-sekali  dia  membuat  sedikit  gerakan.  Meskipun  sedikit gerakan  itu  sekaligus  berhasil  mengelakkan  sembilan  serangan  golok  yang menderu-deru.

Tiba-tiba  pemuda  itu  membentak  nyaring.  Tubuhnya  merunduk  di antara  bacokan dan  tebasan golok. Pekik  lolong  terdengar  susul  menyusul. Empat  pengeroyoknya  berpelantingan  dan  bergeletakan  tanpa  nyawa  di tengah jalan. Yang lima orang lainnya kejut serta kaget mereka bukan olah-olah.

'Tegal  Ireng!”  teriak  pemimpin  rombongan.  “Larikan  kereta  dari  sini cepat! Aku dan yang lain-lainnya menahan bangsat ini!”

Kusir kereta tak ayal lagi segera sentakkan tali kekang. Dua ekor kuda melonjak  dan  melompat  ke  muka.  Sementara  itu  lima  golok  menyerbu pemuda  rambut  gondrong  dengan  ganasnya.  Tapi  yang  diserbu  ganda tertawa.  Dia  membuat  lompatan  setinggi  tiga  tombak.  Dua  orang pengeroyoknya  jungkir  balik  di  makan  tendangan.  Bersamaan  dengan  Itu tangan kanannya dihantamksn ke arah dua ekor kuda penarik kereta yang segera hendak lari meninggalkan tempat itu. Gelombang angin yang sangat dahsyat Menghantam hancur delapan kaki binatang itu sehingga kuda dan kereta angsrok kejalanan. Ringkik kuda terdengar tiada hentinya sedang dari dalam kereta melengking jeritan perempuan!

Pemimpin  rombongan,  dengan sangat  penasaran  cabut  lagi  sebatang golok  dari  pinggangnya.  Dengan  sepassng  golok,  bersama  dua  orang kawannya dia menyerbu kembali!

“Kunyuk-kunyuk tolol! Nyali kalian memang patut kupuji! Tapi kalian adalah manusia-manusia tidak berguna! Karenanya pergilah ke neraka!”

Pemuda rambut gondrong kebutkan tepi jubah hitamnya. Serangkum angin  pengap  menyerang  ke  arah  tenggorokan  ketiga  lawannya.  Manusia-manusia  itu  mengelusrkan  suara  seperti  tercekik  sewaktu  tubuh  mereka mental  dilanda  angin  dahsyat.  Dari  mulut  masing-masing  menyembur darah  segar.  Nyawa  ketiganya  lepas  bersamaan  dengan  rubuhnya  tubuh mereka ke tanah!

Pemuda  berambut  gondrong  yang  mengenakan  jubah  hitam berbunga-bunga  kuning  tertawa  gelak-gelak.  Tiba-tiba  dirasakannya sambaran  angin  di  belakangnya.  Dibalikkannya  tubuhnya  dengan  cepat. Sebatang golok laksana anak panah melesat ke arah batok kepalanya!

***

 

EMPAT

 

Kurang ajar betul!” teriak pemuda berjubah hitam. Dia gerakkan tangan kanannya.  Lihai  sekali  golok  maut  itu  berhasil  ditangkapnya  lalu dilemparkannya ke arah kereta.

Laki-laki yang menjadi kusir kereta, yang tadi melemparkan golok itu kepada  si  pemuda  dengan  serta  merta  melompat  dari  kereta  yang  sudah angsrok  itu  dan  bergulingan  di  tanah.  Golok  menancap  di  bangku  kayu pada bagian depan kereta!

Kusir  kereta  yang  menyadari  bahwa  dirinya  kini  tinggal  sendirian, melihat  serangannya  tidak  mengenai  sasaran  jadi  lumer  nyalinya.  Tanpa banyak cerita kusir ini segera ambil langkah seribu seraya berteriak. “Den Ayu Galuh Warsih lekas lari selamatkan dirimu!”

“Kunyuk  tengik!”  teriak  pemuda  berjubah  hitam  sambil  keluarkan dengusan. “Kalau mau lari, larilah sendiri ke neraka!” 

Sekali  pemuda  ini  lambaikan  tangan  kanannya,  kusir  kereta  itu mental menghantam pohon dilanda angin dahsyat yang ke luar dari telapak tangan si pemuda!

Di saat itu pintu kereta sebelah kanan terbuka lebar-lebar dan seorang gadis bertubuh ramping, berkulit hitam manis yang memiliki wajah mempesona ke luar dengan paras pucat. Lututnya gemetar. Bulu kuduknya merinding  melihat  sosok-sosok  mayat  pengawalnya  yang  bertebaran  di mana-mana, mati dalam keadaan mengerikan! Gadis  itu  menyurut  beberapa  langkah  sewaktu  pemuda  berjubah hitam melangkah mendekatinya.

“Ah,  dewiku,  kenapa  takut  padaku?”  ujar  si  pemuda  dengan mengulum  senyum.  “Namamu  Galuh  Warsih  bukan?  Dan  kau  anaknya Sentot Sastra dari Kaliurang, betuL?”

Galuh Warsih menyurut lagi beberapa langkah. Pada tampang yang gagah  dari  si  pemuda,  pada  sunggingan  senyumnya  nyata  kelihatan  sifat kebuasan, sifat kejalangan! Gadis  ini  terpekik  sewaktu  sekali  lompat  saja  si  pemuda  sudah berada dihadapannya.

“Saudara, kau siapa? Mengapa membunuh pengawal-pengawalku?!”

Meski  takutnya  bukan  main  namun  Galuh  Warsih  masih  bernyali mengajukan pertanyaan itu. Yang ditanya tertawa.

“Ah..,  itu  satu  pertanyaan  yang  pantas  dijawab,”  katanya.  Tangan kirinya  ditopangkannya  ke  sanding  belakang  kereta.  “Namaku  tak seberapa perlu dewiku sayang. Aku cukup dikenal dengan gelar Pendekar Pemetik Bunga.”

Paras  Galuh  Warsih  laksana  kain  kafan,  putih  seperti  tiada berdarah.  Sebaliknya  pemuda  yang  mengaku  bergelar  Pendekar  Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak.

“Dan  kalau  dewiku  bertanyakan  mengapa  aku  membunuh pengawal-pengawalmu  itu  adalah  karena  mereka  sedeng  semua!  Disuruh angkat kaki dari sini agar selamat malah minta mati!”

“Ayahku Bupati Kaliurang pasti akan menyuruh pancung kepalamu atas semua kejahatan inil”

Pendekar  Pemetik  Bungs  tertawa  mengekeh.  “Sudahlah,”  katanya, “di  tempat  bangkai-bangkai  berserakan  ini  kita  tak  usah  banyak  bicara. Kau ikut aku, Galuh Warsih. Kita pergi ke bukit sebelah sana…”

'Tidak!”

“Di bukit sana ada sebuah pondok!”

'Tidak,  aku  tidak  mau!  Aku  tidak  sudi  ikut  sama  kau  manusia biadab!” teriak Galuh Warsih.

“Di situ, di pondok itu nanti kau akan merasakan sorga dunia yang tiada taranya dewiku manis....” Dengan tertawa gelak-gelak Pendekar Pemetik Bunga maju mendekati Galuh Warsih. Si gadis cepat menyambar kayu patahan papan kereta dan dengan kedua tangannya menghantamkan kayu itu kekepala Pendekar Pemetik  Bunga, Pemuda berhati bejat itu ganda tertawa. Dia merunduk dan begitu maju, sekaligus dia sudah merangkul pinggang Galuh Warsih.

Galuh  Warsih  menjerit  melolong-lolong.  Kedua  tangannya  tiada henti mendambuni punggung dan menjambaki rambut gondrong Pendekar Pemetik Bunga. Tapi pemuda itu tiada perduli. Malah dengan tertawa dan bersiul-siul  gembira  laksana  angin  cepatnya  tubuh  Galuh  Warsih dilarikan ke puncak sebuah bukit di sebelah timur!

Hampir  sepeminum  teh  kemudian  maka  pondok  kayu  itu  sudah kelihatan  dari  jauh.  Nafsu  yang  menghempas-hempas  pembuluh  darah dan  menegangkan  sekujur  tubuh  Pendekar  Pemetik  Bunga  membuat manusia terkutuk itu tancap gas tambah percepat larinya agar lekas-lekas sampai  ke  pondok  itu  dan  agar  lekas  pula  melampiaskan  nafsu  bejat terkutuknya!

Tapi  betapa  terkejutnya  Pendekar  Pemetik  Bunga  sewaktu  makin dekat  ke  pondok  itu  sepasang  telinganya  menangkap  suara  nyanyian. Yang  lebih  mengejutkan  ialah  karena  suara  nyanyian  itu  keluarnya  dari dalam pondok kayu dihadapannya itu!

 

Dua tahun dilepas pergi,

Dua tahun turun gunung,

Dua tahun berbuat keji,

Dua tahun tak tahu untung.

 

Lima tahun belajar percuma 

Lima tahun dididik tiada guna

Kehancuran dimana-mana

Pembunuhan di mana-mana

Semua karena buta hati dan buta mata

Semua karena buta rasa

 

Percuma bagusnya gunung 

Percuma tingginya gunung

Kalau meletus bencana di mana-mana

 

Anak manusia lupa daratan

Anak manusia membuat kebejatan

Apakah selusin nyawa di badan?

Apakah ilmu setinggi awan?

 

 

Pendekar Pemetik Bunga hentikan larinya. Galuh Warsih yang masih mendambun-dambun punggungnya, yang masih berteriak-teriak meskipun suaranya  parau  segera  ditotoknya.  Dipasangnya  telinganya  sedang  kedua matanya memandang tajam-tajam ke arah pintu pondok yang terbuka. Tak satu  sosok  manusiapun  yang  dapat  dilihatnya  dari  tempat  dia  berdiri. Namun  suara  nyanyian  tadi  kembali  terdengar.  Terdengar  dan  keluar  dari pondok itu!

 

Dua tahun dilepas pergi, 

Dua tahun turun gunung....

 

Ada suatu rasa aneh menyelinapi hati Pendekar Pemetik Bunga. Rasa aneh ini bukan saja hanya sekedar menyelinap, tapi juga membuat hatinya menciut-ciut dan dadanya berdebar. Dia melangkah kembali, pelahan kini. Mata  memandang  tajam,  ke  pintu  pondok  yang  terbuka,  sikap  penuh waspada.

Lima  tombak  dari  hadapan  pondok,  untuk  kedua  kalinya  Pendekar Pemetik  Bunga  hentikan  langkah.  Bayangan  seseorang  dapat  dilihatnya melangkah ke pintu. Dalam kejapan mata kemudiannya maka terbenturlah pandangannya  pada  tubuh  seorang  laki-laki  tua  bertubuh  kurus  kering berselempang  kain  putlh.  Janggut  dan  rambutnya  yang  hitam  menjelang panjang sampai ke pinggang.

“Guru!” seru Pendekar Pemetik Bunga.

Tubuh  Galuh  Warsih  segera  diturunkannya  dari  pundak, didudukkannya  di  bawah  sebatang  pohon  lalu  dia  sendiri  berlari  dan berlutut dihadapan orang tua yang berdiri di ambang pintu pondok. Si  orang  tua,  yang  bukan  lain  dari  Begawan  Citrakarsa  adanya menyapu  paras  muridnya  dengan  pandangan  mata  sedingin  salju  setajam pisau!

“Betulkah kau ini si Wirapati?”

Masih  berlutut,  Pendekar  Pemetik  Bunga  angkat  kepalanya.  “Betul guru.  Masakan  guru  lupa  sama  murid  sendiri!”  Diam-diam  Pendekar Pemetik  Bunga  atau  Wirapati  merasa  bergidik  jugs  melihat  cara memandang gurunya.

“Guru...!”

Begawan  Citrakarsa  tidak  perdulikan  seruan  kaget  muridnya melainkan  meneruskan,  “Mataku  masih  belum  kabur,  telingaku  masih belum tuli. Otakku masih belum tumpul! Wirapati yang pernah kegembleng lima tahun di puncak Gunung Merbabu sudah tidak ada di atas bumi ini...”

“Guru!” seru si murid sekali lagi.

Begawan  Citrakarsa  tetap  tak  ambil  perduli  seorang  pemuda terkutuk  yang  didelapan  penjuru  angin  dikenal  sebagai  Pendekar  Pemetik Bunga!

Berubahlah  paras  Pendekar  Pemetik  Bunga  alias  Wirapati.  Dia membathin, rupanya apa yang telah dilakukannya sejak turun gunung dua tahun yang silam sudah diketahui oleh gurunya. Dia berpikir-pikir mencari akal, apakah yang bakal dikatakannya pada Begawan itu.

“Selama  ini  aku  dikenal  sebagai  tokoh  silat  golongan  putih  yang mengutamakan  ilmu  untuk  kebaikan,  dan  welas  asih.  Dunia  persilatan menyegani  dan  menghormatiku!  Tapi  kini  dari  delapan  penjuru  angin umpat  dan  kutuk  serapah  dilontarkan  kepadaku!  Keningku  dicoreng cemoreng  oleh  rasa  malu  yang  tiada  terkira!  Semua  itu  adalah  akibat perbuatan bejatmu, Wirapati! Perbuatan terkutukmu!”

“Guru,” kata Pendekar Pemetik Bunga dengan cepat. Akal busuk sudah didapatnya  saat itu “Rupanya guru telah tertiup oleh segata fitnah yang dilontarkan manusia-manusia biang racun! Lima tahun murid dididik dan digembleng oleh guru masakan sesudahnya turun gunung murid mau membuat  kekotoran  yang  mencemarkan  nama guru itu?! Semua fitnah belaka, guru! Percayalah! Justru murid malang melin-tang di dunia persilatan untuk membasmi kaum penjahat dan golongan hitam...!”

Begawan Citrakarsa tertawa tawar. “Kaukah yang difitnah atau engkau yang memfitnah, Wirapati? Gadis yang kau sandarkan di  pohonitu cukup menjadi bukti! Kalau kau mau menipu aku, tunggulah sampai mataku buta!”

Pendekar Pemetik Bunga tidak kehabisan akal. Dia segera buka mulut pula, “Guru salah duga. Gadis itu adalah anak Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang yang barusan murid tolong dan lepaskan dari tanganpenculik-penculik dan perampok-perampok!”

Lagi-lagi Begawan Citrakarsa tertawa tawar.

“Lidah tidak bertulang memang biar diputar balik!” katanya. “Tapi mataku tidak bisa diputar baiik, Wirapati! Aku saksikan sendiri apa yang terjadi di tikungan jalan tadi! Masihkah kau mau berdusta di dalamkebejatanmu?!”

Kini  Wirapati  alias  Pendekar  Pemetik  Bunga  tak  bisa  berkata  apa-apa lagi. Mulutnya terkatup rapat-rapat

“Tak perlu kau berlutut dihadapanku Wirapati! Sejak arang cemar kau corengkan ke mukaku, sejak itu pula aku tak mengakuimu lagi sebagai murid!”

Rahang Pendekar Pemetik Bunga menonjol bergemeletak.

“Kejahatanmu laksana laut tidak bertepi! Dosamu sudah tak sanggup ditakar lagi! Sekarang berdirilah! Dan katakan cepat, cara mati bagaimana yang kau inginkan?!”

Kaget Pendekar Pemetik            Bunga bukan alang kepalang! Dipandangnya  paras  Begawan  Citrakarsa.  Mimik  dan  sorotan  mata  si orang  tua  jelas  menyatakan  bahwa  apa  yang  diucapkannya  itu  bukan main-main!

“Guru....”

“Aku bukan gurumu!” bentak Begawan Citrakarsa.

Perlahan-lahan Pendekar Pemetik Bunga berdiri.

“Guru,  kau  betul-betul  hendak  membunuhku?”  tanya  pemuda  itu, “atau cuma main-main saja ... ?”

“Bicara  soal  kematian  bukan  bicara  main-main  budak  terkutuk!” hardik Begawan Citrakarsa.

“Bersiaplah untuk mampus!”

Begawan  itu  angkat  tangan  kanannya.  Kemudian  laksana  kilat dipukulkan ke muka!

“Wuss!”

Asap  putih  mengepul  dahsyat  melanda  ke  arah  Pendekar  Pemetik Bunga.  Melihat  gurunya  mengeluarkan  ilmu  dahsyat  yang  tak  pernah dikenalnya  atau  diajarkan  kepadanya  sebelumnya,  yakinlah  Pendekar Pemetik  Bunga  bahwa  si  orang  tua  betul-betul  bertekat  hendak menghabisi nyawanya! Tak ayal, sebelum tubuhnya diserempet asap putih yang mengandung hawa sangat panas itu, si pemuda segera melompat ke samping sampai dua tombak!

“Bagus!  Kau  masih  bisa  mengelak!  Tapi  nyawamu  tetap  harus minggat  ke  neraka  murid  laknat!”  gertak  Begawan  Cirakarsa.  Tubuhnya berkelebat.  Kini  kedua  tangannya  yang  kurus  memukul  bersama-sama. Sinar putih berbuntal-buntal menyambar Pendekar Pemetik Bunga!

***

 

LIMA

 

Serangan  ganas  ini  membuat  Pendekar  Pemetik  Bunga  melompat sampai  tiga  tombak  ke  atas  dan  berseru  nyaring,  “Orang  tua  aku  masih menaruh hormat pada kau! Hentikan seranganmu!”

“Hormat  nenek  moyangmu!”  maki  Begawan  Citrakarsa  beringas.

Kedua  tangannya  kembali  melesatkan  buntalan  sinar  putih.  Pendekar Pemetik Bunga cepat-cepat menukik menyelamatkan diri. Wirapati  atau  Pendekar  Pemetik  Bunga  jadi  beringas  pula  kini. “Begawan!”  serunya  lantang,  “jika  kau  tak  hentikan  senuigan,  terpaksa aku mengadu jiwa dengan kau! Harap jangan menyesal!”

Begawan  Citrakarsa  tidak  perdulikan  ucapan  bekas  muridnya. Tubuhnya berkelebat cepat.  Angin bersiuran,  debu  beterbangan dan  atap rumbia  pondok  di  atas  bukit  itu  terbang  bertaburan  akibat  keras dahsyatnya angin serangan sang Begawan!

Pendekar Pemetik Bunga penasarannya bukan main. Kutuk serapah tiada henti-hentinya dikeluarkan dalam hati. Kalau saja dia tidak memiliki tenaga datam dan ilmu mengentengi tubuh yang tinggi sempurna, pastilah dalam dua jurus saja dirinya sudah konyol mati kena digebuk salah satu lengan sang Begawan atau tersambar asap putih yang panas beracun itu!

Dalam  tempo  yang  singkat,  murid  dan  guru  itu  sudah  bertempur delapan jurus. Keduanya kelihatan sama-sama gesit dan sama-sama lihai. Namun  memasuki  jurus  kedua  belas  walau  bagaimanapun  Pendekar Pemetik Bunga tiada sanggup lagi bertahan. Sekali tubuhnya kena dilanda jotosan  Begawan  Citrakarsa,  tubuhnya  mencelat  mental  membobolkan dinding kajang dan melingkar di tantai tanah dalam pondok! Begawan  Citrakarsa tidak  menunggu sampai di  situ  saja. Mulutnya berkomat  kamit.  Tangan  kanannya  diangkat  tinggi-tinggi.  Tangan  itu berwarna merah kini.

Dan  sewaktu  tangan  itu  dipukulkan  ke  muka,  lidah  api  yang dahsyat  menyambar  laksana  topan  prahara!  Dalam  sekejapan  mata  saja pondok  itu  tenggelam  dalam  kobaran  api!  ‘Tamatlah  riwayatmu  murid terkutuk!,’  Begitu  Begawan  Citrakarsa  membatin.  Tapi  si  orang  tua menjadi  kaget  bukan  main  sewaktu  matanya  melihat  sosok  tubuh  bekas muridnya  itu  berdiri  tak  jauh  dari  pondok  yang  tengah  terbakar.  Muka Pendekar  Pemetik  Bunga  kelihatan  agak  pucat  tanda  jotosan  Begawan Citrakarsa  tadi  telah  menyebabkan  luka  yang  cukup  parah  dibagian dalam tubuhnya!

Begawan  Citrakarsa  sendiri  diam-diam  merasa  heran  melihat pemuda  itu  masih  sanggup  berdiri  meski  dengan  muka  pucat  pasi. Jotosan  yang  dilancarkan  tadi  mempergunakan  hampir  setengah  bagian tenaga  dalamnya,  namun  pemuda  itu  tidak  menemui  ajalnya!  Apakah selama  turun  gunung  malang  melintang  berbuat  kejahatan  bekas muridnya itu juga telah memperdalam ilmu silat dan ilmu kesaktiannya?!

Begawan  Citrakarsa  tidak  mau  menunggu  lebih  lama.  Tidak  mau memberi kesempatan. Makin lekas dia berhasil membunuh muridnya itu, berarti makin cepat dia mencuci tangan dan membersihkan diri dari rasa malu yang melekat selama ini! Karenanya sang Begawan segera melompat ke muka kembali,  menyerbu laksana seekor singa  jalang yang kelaparan!

Dari  jarak  beberapa  meter  sebelum  tubuhnya  sampai  kehadapan  si pemuda,  Begawan  Citrakarsa  sudah  lancarkan  dua  pukulan  dan  dua tendangan jarak jauh yang hebat!

Pendekar  Pemetik  Bunga  saat  itu  tengah  alirkan  tenaga  dalam kebagian  dada  yang  terluka  dan  atur  jalan  darah  serta  nafas.  Melihat datangnya serangan ini dia terpaksa menghindar cepat sambil melepaskan pukulan “Tapak Jagat”.

Begawan  Citrakarsa  tertawa  mengejek.  Ilmu  pukulan  'Tapak  Jagat' itu  dialah  yang  menciptakan  dan  mewariskan  kepada  Wirapati,  masakan kini  mempan  dipakai  untuk  melawan  penciptanya  sendiri.  Namun  tawa mengejek si orang tua berubah dengan keterkejutan!

Begawan  Citrakarsa  sampai  mengeluarkan  seruan  tertahan.  Angin pukulan yang ditimbulkan oleh pukulan 'Tapak Jagat” itu dahsyatnya bukan main, lebih dahsyat daripada jika dia sendiri yang melepaskannya! Padahal Wirapati  saat  itu  diketahuinya  sedang  terluka  akibat  jotosannya  tadi! Jelaslah  si  pemuda  benar-benar  telah  menuntut  ilmu  kesaktian  pada  seorang tokoh utama dunia persilatan selama dia malang melintang dua tahun belakangan ini!

Si  orang  tua  kini  tidak  mau  memberi  ampun  lagi  dan  tak  mau memperpanjang  waktu!  Lengking  yang  menggidikkan  ke  luar  dari tenggorokannya.  Bumi  laksana  dilanda  lindu.  Telinga  Pendekar  Pemetik Bunga  laksana  ditusuk  dan  kepalanya  berdenyut  pusing!  Lengkingan  yang ke  luar  dari  mulut  Begawan  Citrakarsa  tiada  kunjung  henti  sedang  tubuh orang  tua  ini  boleh  dikatakan  sama  sekali  tidak  kelihatan  lagi  ujudnya, hanya  bayangannya  saja  yang  laksana  angin  bergulung-gulung  menyelimuti  tubuh  Pendekar  Pemetik  Bunga.  Dan  di  antara  angin  serangan yang  bergulung-gulung  itu  serangan  kaki  tangan  datang  laksana  hujan membadai! Inilah ilmu ciptaan Begawan Citrakarsa yang dinamakan “Seribu Angin Seribu Badai” Hebatnya memang bukan alang kepalang!

Tapi  sang  Begawan  jadi  komat  kamit  beringas  sewaktu  dua  jurus berlalu  dan  tak  satu  jotosan  atau  hantaman  lengan  ataupun  tendangan kakinya yang berhasil mengenai tubuh lawan. Malah tiba-tiba dirasakannya dia  laksana  menyerang  gunung  batu  yang  menjungkir  balikkan  kembali setiap serangannya sedang sambaran angin aneh terasa memengapkan liang hidung serta tenggorokannya! Orang tua ini terpaksa tutup jalan nafas dan melompat ke luar dari kalangan pertempuran.

Dilihatnya bekas muridnya itu berlutut di tanah sedang tangannya kiri kanan  tiada  hentinya  mengebut-ngebutkan  tepi  jubah  hitamnya.  Dari  tepi jubah  hitam  itulah  ke  luar  angin  pengap  yang  ganas,  membuat  sang Begawan tidak berani kembali menyerang atau mendekat!

Tiba-tiba Begawan ini ingat pada ilmu “Asap Putih Pencari Raga” yang dimilikinya  serta  diyakininya  selama  tujuh  tahun!  Cepat-cepat  dia melentingkan kedua telapak tangan ke muka.

Didahului oleh teriakan menggeledek maka dua larik asap putih yang  menyilaukan  melesat  ke  muka.  Setengah  jalan  dua  larikan  asap  itu berpencar  menjadi  dua  lusin  dan  kedua  lusinnya  menyerang  ke  arah  dua puluh empat jalan darah kematian di tubuh Pendekar Pemetik Bunga!

Pendekar  Pemetik  Bunga  kebutkan  tepi  jubahnya  sekencang-kencangnya  dan  cepat  bergulingan  di  tanah.  Untung  sekali  dia  telah berguling  menjauh  begitu  rupa  karena  angin  pengap  yang  dilepaskannya tadi  kali  ini  tiada  sanggup  menahan  serangan  “Asap  Putih  Pencari  Raga” yang  dilepaskan  Begawan  Citrakarsa.  Dan  ketika  pemuda  itu  berdiri  lalu menoleh cepat ke tanah bekas tempat dia berada waktu diserang tadi, mau tak  mau  keringat  dingin  memercik  dikuduknya!  Betapakah tidak!  Di  tanah mata  kepalanya  sendiri  menyaksikan  24  buah  lobang  sedalam  setengah jengkal  akibat  serangan  bekas  gurunya  tadi!  Sang  Begawan  mengeluarkan tertawa mengekeh.

“Kematianmu  sudah  hampir  dekat  murid  terkutuk!,”  katanya.  “Setan neraka  mungkin  sudah  tak  sabar  menunggumu.  Cacing-cacing  kuburan tentu ingin lekas-lekas menggerogoti dagingmu...!”

“Orang tua gendeng! Jangan bermulut besar bicara ngaco! Sekali aku bilang mengadu nyawa padamu, jangan harap kau bisa membunuhku tanpa kau  punya  nyawa  anjing  juga  turut  minggat  ke  neraka  jahanam!”  Habis berkata  begitu  Pendekar  Pemetik  Bunga  cabut  bunga  kuning  yang  terbuat dari kertas dari balik ikatan rambut di kepalanya!

“Ooo...  bunga  kertas  buruk  itukah  yang  kau  andalkan  untuk membunuhku?!” ejek Begawan Citrakarsa dengan memencongkan hidung.

“Kau  boleh  mengejek  kunyuk  keriput!”  serapah  Wirapati  alias Pendekar  Pemetik  Bunga.  “Sebentar  lagi  roh  busukmu  akan  terbang dibawa bunga maut ini!”

“Cuma  bunga  kertas  mainan  bocah-bocah  siapa  takutkan?!”  ejek Begawan  Citrakarsa  dan  dengan  serta  merta  dia  kiblatkan  kedua tangannya, kembali memancarkan serangan “Asap Putih Pencari Raga.”

Kali  ini  Pendekar  Pemetik  Bunga  tidak  menghindar.  Dia  berdiri menunggu.  Pada  saat  asap  putih  hendak  memancar  seperti  tadi,  dengan cepat pemuda itu menekan tangkai bunga kertas yang dipegangnya. Serta merta  bertaburanlah  gulungan  sinar  kuning.  Bila  asap  putih  dan  sinar kuning  itu  bertemu  di  udara  maka  terdengarlah  suara  berdentum  yang amat  dahsyat.  Jagat  laksana  goncang.  Asap  putih  dan  sinar  kuning berpalun-palun,  gelung  menggelung  laksana  beberapa  ekor  ular  raksasa yang  tengah  berkelahi  gigit  menggigit!  Asap  putih  lambat  laun  lenyap dirambas  dan  ditelan  sinar  kuning  untuk  kemudian  terus  menyerang Begawan Citrakarsa.  Kejut orang tua sakti ini  bukan  alang kepalang. Dia melompat ke samping tapi agak terlambat karena sebagian lengan kirinya kena  tersambar  sinar  kuning  itu!  Dengan  serta  merta  lengan  sang Begawan menjadi kuning pekat! Pendekar Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak.

“Sinar  kuning  itu  mengandung  racun  dahsyat!  Dalam  tempo  satu jam nyawamu pasti konyol!”

Begawan  Citrakarsa mengambil sebutir  pil dan menelannya  dengan cepat.

“Ha...  ha,  jangankan  pil  tahi  kambing  itu!  Obat  dari  kayanganpun tak bakal sanggup memunah racun dilenganmu itu. Begawan goblok!”

Naik  darah  si  orang  tua  meluap  sampai  ke  kepala.  Mukanya  kelam membesi.  Racun  kuning  ditangan  kirinya  dirasakannya  mulai  merambas mendekati  pangkal  bahu.  Tak  ayal  lagi  Begawan  Citrakarsa  pergunakan tangan kanannya memutar dan membetot lengan kirinya itu!

“Kraak!”

Sungguh  menggidikkan  sewaktu  persendian  bahu  itu  lepas  dan daging  berserabutan,  urat-urat  berbusaian  menyemburkan  darah! Pendekar  Pemetik  Bunga  sendiri  meremang  bulu  kuduknya  melihat perbuatan sang Begawan!

“Jangan  kira  meski  aku  cuma  dengan  satu  tangan  kini  kau  bisa lepas dari kematian, Wirapati keparat!” kata Begawan Citrakarsa.

“Otakmu memang sudah miring, Begawan!” kata Wirapati pula. “Tak satu kekuatanpun yang sanggup menandingi bunga kertas kuning ini!”

Begawan  Citrakarsa  tidak  menjawab  apa-apa  melainkan  tangan kanannya  menyelinap  ke  balik  selempang  kain  putih  di  pinggangnya. Sebilah  keris  bereluk  dua  belas  yang  memancarkan  sinar  sangat  merah kini  tergenggam  di  tangan  Begawan  itu.  lnilah  keris  “Pancasoka”  yang mempunyai  keampuhan  luar  biasa!  Jangankan  daging  manusia,  batu karang pun jika ditusuk pasti akan hancur lebur!

Sebagai  bekas  murid  Begawan  Citrakarsa  dengan  sendirinya Wirapati tahu betul kehebatan senjata ini. Dia meragu apakah kini bunga kertas  kuningnya  akan  sanggup  menghadapi  keris  Pancasoka  itu. Karenanya  untuk  menjaga  segala  kemungkinan  Pendekar  Pemetik  Bunga segera membuka  ikatan sabuk  mutiara  milik  Kidal  Boga yang tempo hari dibunuhnya. “Kau lihat keris ini Wirapati?!”

“Ah…  tak  usah  banyak  omong!  Majulah  biar  kau  juga  dapat kehebatan sabuk mutiara ini!” tukas Wirapati! Menggelegaklah kemarahan sang Begawan. Dia melompat ke muka. Keris  Pancasoka  berkiblat  kian  kemari.  Sinar  merah  laksana  lidah  api menyerang  ganas.  Setiap  serangan  merupakan  rangkaian  yang  sekaligus menjurus ke arah dua belas bagian tubuh lawan! Inilah kehebatan senjata itu!

Wirapati  tidak  pula  tinggal  diam.  Sabuk  mutiara  diputar  laksana kitiran.  Gelombang  angin  menderu-deru  sedang  bunga  kertas  ditangan kanan  tiada  hentinya  mengeluarkan  sinar  kuning  yang  mengandung racun  jahat!  Namun  dua  senjata  ditangan  Wirapati  hampir  tiada  daya menghadapi keris bereluk dua belas di tangan kanan Begawan Citrakarsa. Ditambah lagi dengan amukan si orang tua yang dahsyatnya bukan olah-olah.  Kalau  saja  satu  tangannya  tidak  cedera  buntung  pastilah amukannya itu tak akan tertahan-tahan oleh Wirapati.

Dengan  keris  ditangan  kanan  orang  tua  itu,  pertempuran  sudah berkecamuk  selama  enam  puluh  jurus!  Daya  tahan  dan  kegesitan Begawan  Citrakarsa  meski  dirinya  sudah  terlalu  parah  memang  patut dikagumi!  Dalam  pada  itu  dia  sudah  berhasil  pula  mendesak  dan memepet lawannya sampai kedekat reruntuhan pondok yang terbakar!

Dengan  kertakkan  geraham  kemudian  membentak  keras,  Wirapati percepat  gerakannya  dan  keluarkan  jurus-jurus  dahsyat  yang  mengandung  tipu-tipu  ganas  licik  mematikan!  Tapi  Begawan  Citrakarsa yang sudah makan asam garam pertempuran yang sudah puluhan tahun punya pengalaman dalam dunia persilatan mana bisa kena ditipu!

“Setan  alas!”  maki  Pendekar  Pemetik  Bunga.  “Kunyuk  tua  haram jadah,” makinya lagi dalam hati. Dengan mempergunakan jurus “Menyapu Awan  Menerjang  Mega,”  pemuda  ini  akhirnya  melompat  ke  luar  dari kalangan pertempuran!

“Pemuda  terkutuk!”  teriak  Begawan  Citrakarsa,  “Kau  mau  lari  ke mana?!”

“Aku  tidak  lari  iblis  tua!”  bentak  Pendekar  Pemetik  Bunga.  Dia cepat-cepat tusukkan kembali bunga kertasnya ke sela rambut di kepala, sabuk mutiara tetap dipegang di tangan kiri menjaga segala kemungkinan. Saat itu jarak antara mereka terpisah sejauh lima meter.

“Begawan  keparat!  Mari  kita  buat  perjanjian!”  Tiba-tiba  Pendekar Pemetik Bunga ajukan usul.

“Heh, sudah mau hampir mampus bikin segala macam usul! Apakah itu bukan cuma ulur waktu mencari kesempatan lari...?!” ejek Citrakarsa.

“Sompret  tua,  aku  berjanji!  Jika  kau  sanggup  terima  pukulanku, aku akan bunuh diri dihadapanmu!”

Begawan  Citrakarsa  tertawa  mengekeh-ngekeh.  “Bunuh  diri  terlalu enak buatmu, Pendekar terkutuk!”

Si  pemuda  penasaran  bukan  main.  Tapi  dia  berkata  lagi,  “Kalau begitu  kau  terpaksa  mampus  percuma  orang  tua!  Dunia  persilatan  akan gempar bila mengetahui, seorang tokoh silat bernama Citrakarsa dibunuh oleh muridnya sendiri...!”

Habis berkata begitu Pendekar Pemetik  Bunga tertawa panjang dan menggidikkan.  Tangan  kanannya  diacungkan  ke  muka,  mulut  berkomat kamit  sedang  ibu  jari  dan  telunjuk  mendadak  dengan  cepat  berobah menjadi hitam!

Teganglah  paras  Begawan  Citrakarsa.  Selama  di  puncak  Gunung Merbabu  dia  telah  mendengar  bahwa  bekas  muridnya  yang  murtad  itu telah  memiliki  sejenis  ilmu  yang  sangat  sakti  dan  berbahaya!  Apakah  ini agaknya  ilmu  kesaktian  yang  hendak  dilancarkannya,  hendak  dipakai menyerang?!

Jari  tetunjuk  dan  ibu  jari  Pendekar  Pemetik  Bunga  atau  Wirapati semakin  hitam  legam  dan  mengeluarkan  sinar  mengerikan  sedang  paras sang  Begawan  semakin  tegang,  sebaliknya  Pendekar  Pemetik  Bunga tertawa terus tiada hentinya! 

“Ilmu  Jari  Penghancur  Sukma  ini  sudah  menelan  puluhan  tokoh-tokoh  silat!”  kata  si  pemuda  yang  tiba-tiba  hentikan  tertawanya,  “tokoh-tokoh silat yang tolol geblek sengaja mencari mampus!”

“Hah!”  kejut  Begawan  Citrakarsa.  “Murid  murtad,  dari  mana  kau dapat ilmu bejat itu?!”

Wirapati  alias  Pendekar  Pemetik  Bunga  tertawa  lagi  panjang-panjang.  Jari  telunjuk  dan  ibu  jarinya  mulai  bergerak  membentuk lingkaran  siap  untuk  dijentikkan  ke  muka.  Begawan  Citrakarsa  cepat-cepat  alirkan  seluruh  tenaga  dalamnya  ke  keris  yang  ditangan  kanan sehingga  senjata  itu  menyinarkan  cahaya  merah  yang  sepuluh  kali menyilaukan dari semula!

Pendekar  Pemetik  Bunga  memperlahan  tertawanya.  “Selusin  keris Pancasoka  ditanganmu,  tiada  nanti  kau  sanggup  menahan  serangan jariku ini, Begawan keriput!”

“Laknat  terkutuk!  Jiwamu  atau  nyawaku!”  teriak  Begawan Citrakarsa.  Laksana  anak  panah  tubuhnya  melesat  ke  muka.  Keris Pancasoka  mengiblatkan  sinar  merah  yang  dahsyat!  Pohon-pohon  dan daun-daun di kiri kanan hangus berkepulan. Lidah api yang laksana naga raksasa  menyambar  dalam  kecepatan  luar  biasa  ke  arah  Pendekar Pemetik Bunga!

Yang  diserang  mendengus  mengejek.  Tubuhnya  tidak  sedikitpun bergerak! Kakinya tak satupun yang bergeser membuat langkah mengelak! Sebaliknya  hanya  jari  telunjuk  dan  ibu  jari  tangan  kanannya  saja  yang tiba-tiba  menjentik  ke  muka.  Maka  pada  detik  itu  juga  didahului  oleh angin  keras  laksana  topan  prahara,  menderulah  gelombang  sinar  hitam, menyapu dan menerjang lidah api keris Pancasoka!

Begawan  Citrakarsa  yang  melihat  gelombang  apinya  membalik menyerang  dirinya  sendiri  berteriak  kaget  dan  melompat  ke  samping sejauh  dua  tombak.  Tapi  dari  samping  sinar  hitam  melanda  dengan dahsyatnya!  Orang  tua  ini  terguling-guling  di  tanah.  Tubuhnya  hangus hitam  den  mengepulkan  bau  daging  yang  terpanggang!  Bahkan  keris Pancasoka  yang  saat  itu  masih  tergenggam  ditangan  kanannya  juga hangus menjadi hitam!

Pendekar  Pemetik  Bunga  meringkik  macam  kuda  menjadi  jalang melihat  dedemit!  Kemudian  dia  tertawa  gelak-gelak  menyaksikan  mayat gurunya yang menggeletak tanpa nyawa beberapa tombak di hadapannya itu!  Benar-benar  si  Wirapati  ini  murid  murtad  yang  tiada  tara kekejamannya!

Tiba-tiba  dia  memutar  tubuh  dan  tertawa  lagi  gelak-gelak  sewaktu melihat  tubuh  Galuh  Warsih  yang  masih  duduk  bersandar  di  batang pohon,  tiada  bergerak  karena  tadi  telah  ditotoknya.  Dia  melangkah mendekati gadis itu.

“Dewiku,”  katanya  seraya  berlutut  dihadapan  Galuh  Warsih,  “kau sudah lihat bagaimana kehebatanku bukan?” 

“Pemuda  keparat,  pergi!  Jangan  dekati  aku!”  teriak  Galuh  Warsih. Meski  dia  ditotok  dan  tubuhnya  tak  bisa  bergerak  sedikitpun  namun pendengarannya tetap terbuka dan mulutnya masih bisa bicara. Pendekar Pemetik Bunga menyeringai. Hidungnya kembang kempis. Nafasnya  panas  memburu,  diburu  oleh  nafsu  yag  menggejolak! Diulurkannya  tangannya  membelai  pipi  gadis  itu  dan  Galuh  Warsih memaki lagi, menjerit-jerit!

“Kulitmu halus sekali, Galuh.”

“Pemuda  setan!  Pergi,  jangan  sentuh  tubuhku!”  teriak  Galuh Warsih.

“Ah...  apakah  tampangku  betul-betul  seperti  setan?”  tanya  si pemuda  dengan  cengar-cengir.  Dan  dialusnya  lagi  pipi  gadis  itu.  Galuh Warsih yang karena tidak bisa menggerakkan tangan atau kakinya, penuh kegemasan  diludahinya  muka  pemuda  itu.  Pendekar  Pemetik  Bunga malah tertawa. Diambilnya ujung angkin Galuh Warsih, dengan angkin itu disekanya ludah yang membasahi mukanya.

“Ludahmu  seharum  bunga  semanis  madu,  kenapa  musti  disembur ke mukaku? Bukankah lebih baik disemburkan ke dalam  mulutku?  Ha... ha... ha...!”

“Kulit  pipimu  demikian  halusnya,  Galuh,”  kata  si  pemuda  dan dicuilnya dagu si gadis. “Tentu kulit tubuhmu lebih mulus lagi…”

Habis  berkata  begitu  Pendekar  Pemetik  Bunga  segera  elus  bahu Galuh  Warsih.  Berdiri  bulu  kuduk  si  gadis  sebaliknya  semakin menggejolak darah muda Pendekar Pemetik Bunga. Tangan yang mengelus bahu itu kini turun ke dada. Air mata berlelehan di pipi Galuh Warsih. Dia tahu,  tak  satupun  yang  bisa  dilakukannya  menghadapi  perlakuan  bejat itu.  Dia  sadar  apa  yang bakal terjadi dengan dirinya. Tak sanggup lagi dia menjerit, tak  kuasa lagi dia berteriak karena suaranya sudah habis ditelah keparauan!

“Gadis  manis,  kenapa  musti  menangis?”  tanya  Pendekar  Pemetik Bunga.

“Pemuda terkutuk...,” suara Galuh Warsih antara terdengar dan tiada, “aku rela dibunuh daripada diperlakukan begini rupa...”

“Heh...?!”  Pendekar  Pemetik  Bunga  hela  nafas  dan  kerutkan  kening tanda  heran.  “Kau  tahu  manis,  perempuan-perempuan  yang  mati  gadis kalau dia bisa bicara di liang kubur, pastilah dia minta dihidupkan kembali! Hidup  kembali  untuk  merasakan  kenikmatan  hidup  antara  laki-iaki  dan perempuan! Kau yang hidup kepingin mati...? Lucu.... Mari dewiku, kini ke balik semak-semak sana! Di situ ada rumput, biar kita bisa tidur bergulung lebih nikmat...!”

“Pergi!  Jangan  sentuh  aku!”  suara  Galuh  Warsih  mengandung keputusasaan.

“Oh,  kau  tak  mau  ke  balik  semak-semak  itu,  Galuh?  Tak  apa…  tak apa...  di  sinipun  aku  tak  keberatan!”  Pendekar  Pemetik  Bunga  ulurkan tangan kanannya kembali dan “breet!”

Kain  penutup  dada  Galuh  Warsih  robek  besar.  Dadanya  tersingkap lebar.  Sepuluh  jari  tangan  Pendekar  Pemetik  Bunga  dengan  terkutuknya laksana  gila  menggerayang  menjamahi  dada  itu.  meremas  seakan-akan hendak menghancur luluhkannya!

***

 

ENAM

 

Sejak  kemarin  senja  sampai  siang  hari  itu  Kadipaten  Kaliurang tampak  sibuk  sekali.  Senja  kemarin  lima  orang  pembantu  Bupati  Sentot Sastra  telah  dikirim  ke  Kaliprogo  wetan  untuk  menyelidiki  kenapa  Galuh Warsih sampai sesenja itu tidak kunjung muncul di Kaliurang. Pada tengah malam kelima pembantu Bupati yang menunggangi kuda itu berhenti di satu tikungan di lamping bukit. Di bawah penerangan bintang-bintang dan bulan sabit  mereka  menyaksikan  tebaran  mayat  pengawal-pengawal  Bupati  yang adalah  juga  kawan-kawan  mereka.  Semuanya  mati  dalam  cara  yang mengenaskan  dan  menggidikkan.  Sebagian  besar  hancur  kepalanya  atau bobol  dada  serta  perutnya.  Kereta  yang  menjadi  tumpangan  anak  gadis Bupati Sentot Sastra angsrok di tengah jalan sedang dua ekor kuda penarik kereta  hancur  keempat  kaki  masing-masing!  Ketika  seorang  diantara  yang lima itu meloncat turun dan memeriksa kereta, ternyata kereta itu kosong.

“Aku tidak melihat Tegal Ireng!” kata salah seorang dari mereka.

“Aku juga! Di mana kusir kereta itu?”

“Mungkin dia satu-satunya yang selamat... “

Tapi  ketika  menyelidik  ke  tikungan  yang  menurun  di  sebelah  sana mereka  kemudian  menemui  mayat  kusir  kereta  itu  menggeletak menelungkup di tanah tanpa nyawa!

“Aku tak dapat menduga apa yang sesungguhnya terjadi di sini! Kalau rombongan  Den  Ayu  Galuh  Warsih  dihadang  perampok,  mengapa  kawan-kawan  kita  mati  dalam  keadaan  demikian  rupa?  Dan  kaki-kaki  kuda  yang hancur itu?!”

“Aku  sendiri  tak  dapat  membayangkan  apa  yang  terjadi  dengan  Den Ayu Galuh Warsih,” menyahuti pembantu Bupati Kaliurang yarg lain,

“Dia diculik, itu pasti sudah!”

“Diculik dan dirusak kehormatannya?!” menambahkan yang lain.

“Kalau begitu kita harus cari jejak-jejak si penculik!”

“Di  malam  buta  begini  bukan  pekerjaan  mudah  mencari  jejak-jejak manusia!  Lagi  pula  siapapun  manusia-manusianya  yang  melakukan perbuatan biadab ini pastilah dia berilmu Tinggi! Orang berilmu tinggi tidak terlalu bodoh untuk mau tinggalkan jejak!”

“Lantas kita bikin apa kalau sudah begini?!”

“Kembali saja ke Kaliurang dan beri keterangan pada Bupati Sentot?”

“Kalau kau mau disemprot, kembalilah sendiri!”

Sepi beberapa lamanya. Kesepian yang membuat bulu kuduk kelima orang  itu  menggerinding,  ditambah  lagi  dengan  tiupan  angin  bukit  di malam buta yang dingin itu.

“Sebaiknya  kita  teruskan  saja  perjalanan  ke  Kaliprogo  wetan,” mengusulkan seseorang.

Tapi  tak  ada  seorangpun  yang  menerima  dan  menyetujui  usul  itu. Kelimanya  kemudian  mencari  tempat  yang  baik,  agak  jauh  dari  tikungan jalan, menyalakan api unggun, berkemah di situ menunggu sampai pagi.

Esok  paginya,  dengan  sedapat-dapatnya  kelima  orang  itu memperbaiki  kereta  yang  rusak.  Mayat  kawan-kawan  mereka  yang berjumlah  dua  belas  ditumpuk  sebisa-bisanya  di  dalam  dan  di  atas  atap kereta.  Dua  diantara  lima  pembantu  Bupati  itu  duduk  di  depan  kereta, satu  memegang  kendali.  Kuda  keduanya  dipakai  sebagai  kuda-kuda penarik  kereta  karena  kuda-kuda  milik  kawan-kawan  mereka  yang menemui ajal itu tak seekorpun yang hidup dan ada sekitar situ!

Kedatangan  kelima  orang  itu  dengan  membawa  kereta  yang ditumpuki  dua  belas  mayat  yang  mengerikan  tentu  saja  menggemparkan seisi Kadipaten, bahkan menggemparkan seluruh Kaliurang!

Wajah  Bupati  Sentot  Sastra  membeku  mengelam.  Kedua  tangannya mengepal.  Dia  melangkah  mundar  mandir.  Kepanikan  yaan  amat  sangat membuat  dia  tak  sanggup  membuka  mulut!  Sebaliknya  di  dalam  kamar istrinya terdengar menangis meraung-raung.

“Mana  anakku!  Mana  anakku!”  pekik  ratap  perempuan  itu.  “Galuh! Galuh  Warsih,  di  mana  kau  anak?  Oh  Galuh!  Tuhan!  Di  mana  anakku Tuhan”

Tenggorokan Bupati  Sentot Sastra turun naik. Dadanya menggelora. Kematian  kedua  belas  pengawal  Kadipaten  itu  membuat  kepalanya  serasa mau pecah oleh luapan darah! Di samping itu yang membuat dia tak bisa diam  dan  seperti  mau  gila  ialah  karena  tidak  mengetahui  di  mana  anak gadisnya saat itu atau apa yang telah terjadi dengan Galuh Warsih! Melihat  kepada  kenyataan  yang  terjadi,  pasti  nasib  Galuh  Warsih  tidak  lebih  baik dari  kedua  belas  anak  buahnya  itu!  Kepada  siapakah  kemarahan  yang meluap itu hendak dilepaskannya? Hendak dilampiaskannya?!

Laki-laki  ini  melangkah  terus  mundar  mandir!  Setahunya  sekitar perjalanan  antara  Kaliurang  dan  Kaliprogo  wetan  tak  ada  gerombolan rampok  jahat!  Lantas  siapakah  yang  telah  me  lakukan  kebiadaban terkutuk  itu?!  Siapa  yang  menculik  anak  gadisnya?  Anak  tunggal  satu-satunya  yang  menjadi  kesayangan  tambatan  hati?!  Dan  sementara  itu telinganya  tiada  henti  mendengar  ratap  tangis  istrinya  yang  bukan  saja menyayat  hati  tapi  juga  membuat  darah  di  dalam  tubuhnya  semakin bergejolak mendidih!

Di langkan kadipaten itu, pada sisi-sisi tangga sebelah atas terdapat masing-masing  sebuah  arca  Batara  Wisnu  yang  duduk  di  atas  seekor burung  rajawali  yang  tengah  mengembang-kan  sayapnya.  Mungkin  karena luapan  amarah  yang  tak  terkendalikan  dan  tak  tentu  ke-pada  siapa dilampiaskan,  ditambah  pula  mendengar  ratap  tangis  istrinya  di  dalam, maka  sewaktu  melawati  arca  itu  untuk  kesekian  kalinya,  tiba-tiba  Bupati Sentot Sastra menghantamkan tinju kanannya!

“Braak!”

Arca  Batara  Wisnu  hancur  berkeping-keping!  Itulah  ilmu  pukulan “Genta  Kematian.”  Kalau  arca  batu  yang  keras  itu  sekali  pukul  saja sanggup  dibikin  hancur  berkeping-keping,  maka  jika  dipukulkan  kepada manusia  tentulah  tak  dapat  dibayangkan  bagaimana  akibatnya!

Sementara  itu,  para  pembantu  Sentot  Sastra  yang  berdiri  dilangkan Kadipaten  itu  ma-sing-masing  sama  merasa  takut  dan  cemas.  Khawatir mereka  kalau-kalau  dalam  amarah  gelap  mata  seperti  itu,  diri  mereka pula yang bakal ketiban pulung dihantam sang Bupati!

Tiba-tiba  laksana  halilintar  di  siang  hari  layaknya  berteriaklah Sentot Sastra. Semua pembantu-pembantunya yang berjumlah lima belas orang diperintahkannya untuk bersiapsiap.

“Kita akan ulangi lagi penyelidikan!” teriaknya.

“Kau  Darjakumara,  bersama  enam  orang  lainnya  menyelidik kejurusan  Kaliprogo  wetan  den  sekitarnya.  Aku  dan  yang  lain-lain  ke timur! Kalian harus berhasil mencari jejak manusia yang telah melakukan kebiadaban  ini!  Harus  berhasil  membekuk  batang  lehernya!  Siapa  yang kembali sebelum dapatkan itu manusia durjana akan kubunuh! Sekarang siapkan kudaku!”

Seorang  pernbantu  Sentot  Sastra segera berlalu untuk  menyiapkan kuda  sang  Bupati  sedang  yang  lain-lainnya  segera  pula  meninggalkan langkan  Kadipaten  guna  mengambil  kuda  masing-masing  dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam perjalanan mencari manusia  biang  penimbul  malapetaka  itu.  Mereka  masing-masing menyadari  bahwa  pencarian  itu  tidak  akan  berhasil  dalam  tempo  yang singkat, tapi memakan waktu berhari-hari.

Selang  beberapa  ketika  lima  belas  penunggang  kuda  ditambah dengan  Sentot  Sastra  sendiri  sudah  berkumpul  di  halaman  Kadipaten. Mereka siap menunggu perintah dan langkah-langkah terakhir yang harus mereka lakukan.

Bupati  Sentot  Sastra  menyapu  paras  kelima  belas  orang  anak buahnya itu lalu berkata, “Sekali lagi kalian ingat baik-baik. Kalian musti temukan bangsat itu  dan  seret dia hidup-hidup ke sini! Jika tak berhasil menemuinya, lebih baik tidak usah kembali! Kalian menger....”

Bupati Sentot Sastra tidak teruskan ucapannya. Sepasang matanya kini  tidak  lagi  menyaputi  paras  pembantu-pembantunya  satu  demi  satu melainkan  dialihkan  ke  lereng  bukit  di  sebelah  selatan.  Sentot  Sastra seorang yang berilmu cukup tinggi sehingga meskipun jarak bukit dengan tempatnya  berada  saat  itu  terpisah  hampir  dua  ratus  tombak  namun sepasang  telinganya  lapat-lapat  mendengar  suara  siulan  aneh  yang menggelombang tiada nada dalam lagu tak menentu!

Lima  belas  pasang  mata  pembantu-pembantu  Sentot  Sastta  sama dialihkan  pula  ke  lereng  bukit  di  sebelah  selatan  itu.  Dan  dikejauhan kelihatanlah  sesosok  tubuh  laki-laki  berlari  sangat  cepatnya  laksana angin!  Yang  anehnya  ialah  pada  pundak  kiri  laki-laki  ini  terpanggul sebuah peti yang melihat kepada besarnya pasti puluhan kati beratnya!

Sewaktu semua orang itu pertama kali melihat manusia yang berlari cepat  tersebut,  jarak  mereka  demikian  jauhnya  namun  dalam  beberapa kejapan  mata  kemudian  tahu-tahu  si  manusia  pemanggul  peti  sudah berada  di  halaman  Kadipaten  dihadapan  Bupati  Sentot  Sastra  dan pembantu-pembantunya!

Ternyata  manusia  pemanggul  peti  kayu  itu  seorang  pemuda berambut  gondrong,  ber-tampang  keren  dan  punya  pandangan  mata  yang tajam  menyorot.  Peti  yang  dipundaknya  beratnya  puluhan  kati  tapi  dia berdiri seakan-akan peti itu sama sekali tidak ada di pundaknya! Pemuda tak dikenal ini kemudian hentikan siulannya. Begitu siulan berhenti maka dari  celah-celah  papan  peti  yang  tidak  begitu  rapat  menyebarkan  bau busuk  yang  seperti  mau  meranggas  bulu  hidung,  membuat  nafas  sesak dan  mau  muntah.  Lima  belas  pembantu  Sentot  Sastra  yang  tak  tahan segera  menutup  hidung  sedang  Sentot  Sastra  sendiri  dengan  ilmunya yang sudah tinggi tutup jalan pernafasannya.

Si  pemuda  rambut  gondrong  yang  tak  dikenal  menggaruk-garuk kepalanya  beberapa  kali.  Sikapnya  ini  membuat  Bupati  Sentot  Sastra kehilangan  kesabarannya  dan  hendak  mendamprat.  Namun  sebelum mulutnya terbuka si pemuda asing sudah buka suara bertanya.

“Apakah  aku  berhadapan  dengan  Bupati  Kaliurang  yang  bernama Sentot Sastra?”

“Jawab dulu kau siapa?!” sentak sentot Sastra.

“Siapa aku tidak penting, “ katanya. “Aku datang membawa peti ini untukmu.”

“Peti apa?! Apa isi peti itu!”

Si  pemuda  menghela  nafas  dalam  dan  rawan.  “Peti  ini  membawa berita buruk bagimu, Bupati.”

“Jangan  bicara  berbelit-belit!  Turunkan  peti  itu,  aku  mau  lihat isinya!”

Si  pemuda  garuk  lagi  kepalanya  yang  berambut  gondrong  lalu dengan  sikap  acuh  tak  acuh  turunkan  peti  kayu  yang  berat  dari pundaknya.

Bersamaan dengan itu Sentot Sastra melompat dari punggung kuda. Dia  maju  mendekati  peti.  Sebelum  melangkah  lebih  dekat  dia  tiba-tiba ajukan  satu  pertenyaan,  “Apakah  seseorang  menyuruhmu  mengirimkan peti ini padaku?!”

Si pemuda tertawa aneh dan angkat bahunya.

Sentot Sastra penasaran dan gusar sekali melihat sikap pemuda tak dikenal ini. Dia berpaling pada anak buahnya den memerintah, “Buka peti itu!”

Yang  diperintah  turun  dari  kudanya.  Dengan  masih  menutup hidung  karena  tak  tahan  dilanda  bau  busuk  yang  amat  sangat  itu  dia melangkah  mendekati  peti  kayu  lalu  dengan  tangan  kiri  yang  gemetaran dibukanya  kayu  penutup  peti!  Begitu  peti  terbuka  bau  busuk  yang  lebih dahsyat  menyambar  hidung.  Ketika  merhandang  ke  dalam  peti  kayu  itu semua orang mengeluarkan seruan tertahan dan mata masing-masing melotot besar laksana mau berlompatan dari rongganya!

Di  dalam  peti  itu  terbujur  sesosok  tubuh  manusia  bertelanjang bulat. Kulitnya sudah membiru dan memar. Di beberapa bagian kelihatan bekas  penganiayaan.  Dan  manusia  yang  sudah  menjadi  mayat  busuk  ini tiada  lain  adalah  Galuh  Warsih,  anak  kandung  Bupati  Sentot  Sastra sendiri! Maka menggunturlah bentakan Sentot Sastra!

“Kurung dan cincang sampai lumat manusia ini!”

Begitu  perintah  terdengar  begitu  lima  belas  golok  panjang  yang berkilauan  ditimpa  sinar  matahari  dicabut  dari  sarungnyai  Sentot  Sastra sendiri  audah  lebih  dahulu  melompat  ke  muka  dengan  senjatanya  yaitu sepasang pedang ungu!

Melihat  dirinya  diserang  mendadak  begitu  rupa,  pemuda  rambut gondrong segera berseru.

“Tunggu! Tahan dulu! Aku belum kasih keterangan!”

“Iblis bermuka manusia biadab terkutuk! Kasihlah keterangan pada hantu kuburmu nanti!” teriak Sentot Sastra! Dan sesudah itu tujuh belas senjatapun  berkiblatlah  menyerang  kesatu  sasaran  yaitu  tubuh  pemuda berambut gondrong!

***

TUJUH

 

Pemuda berambut gondrong membentak gusar.

“Manusia  tolol!  Geblek  sedeng!  Orang  datang  baik-baik.  Malah disambut dengan ujung senjata! Gila betul!”

Makian ini tentu saja membuat Sentot Sastra dan kelima belas anak buahnya menjadi semakin ganas dan kalap. Bagi mereka tidak bisa tidak pemuda  asing  itulah  yang  telah  membunuh  dan  merusak  kehormatan Galuh Warsih!

Tujuh belas senjata berlomba-lomba, menderu dahsyat menggempur si pemuda. Pemuda itu dalam setengah jurus saja sudah terkurung rapat!

“Manusia-manusia  tolol!  Apakah  kalian  tidak  mau  hentikan serangan dan beri kesempatan aku kasih keterangan?!”

“Anjing  kurap,  mampuslah!”  damprat  Sentot  Sastra  dan  sepasang pedangnya membacok  dari  dua jurus yang  berlawanan sedang  lima  belas golok anak buahnya saling berlomba mencari sasaran di tubuh si pemuda!

“Manusia-manusia  tak  tahu  diri!  Jika  kalian  tidak  mau  hentikan kegilaan ini, jangan menyesal!”

Si pemuda membentak laksana geledek, keluarkan satu siulan aneh yang  menusuk  dan  menyakitkan  liang  telinga.  Dalam  kejap  itu  pula tubuhnyapun  lenyap  dari  pemandangan.  Sepasang  pedang  Sentot  Sastra dan  lima  belas  golok  anak  buahnya  membabat  angin  kosong,  saling bentrokan satu sama lain dan menimbulkan suara nyaring, bunga-bunga api bergemerlapan!

Mendengar suara ributnya bentakan-bentakan,  mendengar  suara berkecamuknya  senjata  di  halaman  rumah,  Karsih  Wardah,  istri  Bupati Sentot  Sastra  terkesiap,  dia hentikan ta-ngisnya dan dengan senggak-sengguk lari ke langkan. Betapa  terke-jutnya  sewaktu  menyaksikan suaminya  dan  lima  belas  orang  pembantu Kadipa-ten tengah mengeroyok seorang pemuda berambut gondrong tak dikenal  yang  hahya  bertangan kosong dan terpaksa berkelebat kian kemari guna mengelakkan serangan-serangan yang sangat ganas itu!

Belum  habis  herannya  Karsih  Wardah  melihat  pertempuran  yang berkecamuk itu, maka dua matanya yang telah sembab karena menangis membentur pada sebuah peti besar yang terletak di tanah. Sementara itu Iobang  hidungnya  dirambas  oleh  bau  busuk  yang  tak  dapat  dipastikan dari mana asalnya!

Sentot  Sastra  dan  anak-anak  buahnya  mana  mau  ambil  perduli peringatan  si  rambut  gondrong  malah  dia  memerintahkan  agar menggempur pemuda rambut gondrong itu lebih hebat lagi!

“Dasar  bodoh,  dasar  geblek  buta  mata!”  maki  si  pemuda.  Sambil berguling di tanah disambarnya papan besar penutup peti. “Ayo manusia-manusia  keblinger,  majulah!”  Dan  ketika  Sentot  Saatra  bersama pembantu-pembantunya  masih  juga  kalap  menyerang  maka  si  pemuda lemparkan  penutup  peti  itu  ke  arah  mereka.  Sentot  Sastra  cepat melompat  ke  samping  tapi  tiga  orang  pembantunya  yang  tak  sempat mengelak  terjerongkang  di  tanah  sewaktu  dada mereka  dilabrak  penutup peti. Dengan  bertolak  pinggang  dan  sambil  tertawa-tawa  si  pemuda rambut gondrong berkata mengejek.

“Masih buta mata gelap pikiran, silahkan maju lagi!” Rahang Sentot Sastra  bergemeletakan.  Mulutnya  mengeluarkan  suara  menggeram. Bupati Kaliurang ini berteriak keras, “Bentuk barisan roda maut!”

Maka  kedua  belas  orang  anak  buahnya  segera  bergerak  cepat membentuk  lingkaran.  Sekali  Bupati  itu  berteriak  memberi  isyarat  maka kedua  belas  orang  itupun  bergeraklah  berlari  lari  cepat  dalam  lingkaran yang  makin  lama  makin  menciut  sedang  senjata  masing-masing membabat  dari  dua  beias  jurus,  diseling  dengan  tikaman  atau  tusukan dan  diperhebat  oleh  kiblatan  sepasang  pedang  Bupati  Sentot  Sastra.

Pakaian  putih  dan  rambut  gondrong  si  pemuda  berkibar-kibar  oleh sambaran  senjata.  Debu  dan  pasir  beterbangan  ke  udara  sedang  barisan roda maut semakin menciut juga!

“Orang tolol memang susah dikasih pelajaran kalau tidak digebuk!”

“Berbacotlah  sepuasmu  manusia  laknat!  Sebentar  lagi  tubuhmu akan berkeping cerai berai!” teriak Sentot Sastra. 

Baru  saja  ia  habis  berkata  begitu  si  pemuda  bersiut  nyaring. Tubuhnya  berkelebat  dua  kali.  Suara  seperti  orang  tercekik  terdengar susul menyusul! Dan sewaktu Sentot  Sastra merasa bahwa cuma  dirinya saja  kini  yang  sendirian  mencak-mencak  mengirimkan  serangan  maka laki-laki  ini  segera  melompat  ke  luar  dari  kalangan  pertempuran! Kemudian  bila  dilayangkannya  pandangannya  berkeliling  maka  tiada terkirakan kagetnya! Kedua  belas  pembantunya  berdiri  laksana  patung  tak  bergerak- gerak  karena  masing-masing  mereka  sudah  kena  ditotok  oleh  pemuda yang sangat lihai itu!

Nyatalah bagi Sentot Sastra bahwa pemuda itu tinggi sekali ilmunya dan bukan tandingannya. Kalau saja dia ingin mencelakai diri dan orang-orangnya pastilah tidak sukar bagi pemuda itu untuk melaksanakannya! Namun  gelap  mata  karena  menyangka  keras  bahwa  pemuda  itulah yang menjadi pembunuh anak kandungnya serta menamatkan pembantu-pembantunya  di  tikungan  jalan  antara  Kaliurang  dan  Kaliprogo  wetan, ditambah lagi saat itu istrinya Karsih Wardah dilihatnya lari menghambur den  menubruk  peti  di  mana  mayat  Galuh  Warsih  terbujur  dan  berteriak-teriak macam orang hilang ingatan, maka meski dua belas anak buahnya ditotok  tak  bergerak,  meski  tiga  lainnya  menggeletak  pingsan,  namun Sentot  Sastra  tetap  membara  dadanya,  tetap  berkobar  nyalinya  untuk dapat  membunuh  menamatkan  riwayat  si  pemuda!  Karenanya  disaat pemuda itu berdiri tolak pinggang, dan tertawa-tawa, Sentot Sastra segera menyerbu kembali dengan sepasang pedang ungunya.

Permainan  sepasang  pedang  Bupati  Kaliurang  itu  memang  patut dipuji.  Apalagi  kini  dia  mengeluarkan  jurus-jurus  simpanan  yang  sangat diandalkannya.  Dua  gulung  sinar  ungu  yang  laksana  sepasang  naga membungkus  sekujur  tubuh  pemuda  rambut  gondrong  dari  atas  ke bawah!

Namun agaknya, walau bagaimanapun kehebatan ilmu pedang sang Bupati,  walau  bagaimanapun  lihai  dan  sukar  diduga  tipu-tipu  ilmu silatnya  tetap  saja  dia  tak  dapat  menghajar  si  pemuda!  Jangankan menebas  atau  membacok  tubuh  lawannya,  menggores  atau  merobek bajunya sajapun Sentot Sastra tidak sanggup!

“Bupati  Sentot  Sastra!”  seru  si  pemuda.  “Apakah  kau  masih  gelap mata mau meneruskan pertempuran ini?!”

“Iblis  neraka  tutup  mulut!  Sebelum  kutebas  kau  punya  batang leher,  sebelum  kucungkil  kau  punya  jantung  dan  hati,  pertempuran  ini sampai kiamatpun tak akan kuhentikan!”

“Hebat  sekali  nyalimu!”  memuji  si  pemuda  sejujurnya  namun mimiknya  melontarkan  senyum  sinis!  “Tapi  aku  dan  kau  tiada permusuhan, mengapa musti bertempur begini rupa?!”

“Tidak  ada  permusuhan  bapak  moyang  setanmu!”  bentak  Sentot Sastra penuh beringas!

“Anakku kau rusak kehormatannya, kau bunuh!”

“Tobat... tobat!”

Si  pemuda  pukul-pukul  keningnya  dengan  telapak  tangan  kiri. “Justru aku datang ke sini untuk mengantar mayat anakmu yang kutemui di  bukit!  Eh,  malah-malah  aku  yang  dituduh  jadi  pembunuh!  Dituduh tukang perkosa! tobat!”

“Tak usah membual atau jual mulut!”

“Siapa membual, siapa jual mulut?!”

“Sesudah  melakukan  perbuatan  terkutuk,  kau  pura-pura  berbuat baik dan cuci tangan huh?!”

“Buset!” Si pemuda garuk-garuk kepata dan mengomel. “Kalau tahu bakal  ketiban  pulung  begini,  tidak  nanti  aku  mau  susah-susah  bawa mayat kau punya anak ke mari, Bupati!”

“Sudah!  tak  perlu  banyak  rewel!  Pokoknya  kau  harus  serahkan batang lehermu!” teriak Sentot Sastra dan serentak dengan itu kembali dia menyerbu si pemuda.

Yang diserang geleng-gelengkan kepala. Sewaktu pedang ungu itu dengan segala kehebatannya memapas dari kiri kanan, siap membabat putus tubuh si pemuda menjadi tiga kutungan maka  si  pemuda  geser  kakinya  satu  langkah.  Serentak  dengan  itu  kedua tangannya  bergerak  cepat  hampir  tak  kelihatan,  memukul  badan  kedua pedang  Sentot  Sastra  berseru  keras,  ia  merasa  terkejut  sewaktu menyaksikan  bagaimana  sepasang  pedangnya  lepas  dan  mental  dari tangannya!

Sebaliknya si pemuda tertawa gelak-gelak.

“Kalau  masih  punya  niat  main  amuk-amukan,  silahkan  ambil kembali pedangmu, Bupati!”

Mengelam  muka  Sentot  Sastra  mendengar  ejekan  yang  sekaligus merupakan  tantangan  itu.  Karena  malu  dia  tidak  ambil  kedua  senjata  itu melainkan kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kiri kanan terus ke ujung-ujung jari!

“Heemm...  pukulan  apakah  yang  kau  hendak  lancarkan?” mencemooh si pemuda!

Sentot Sastra merutuk dalam hatinya.

“Meski  kesaktianmu  setinggi  langit,  jangan  harap  kau  sanggup menerima pukulan Genta Kematian-ku ini!” kata Bupati Kaliurang itu pula.

Dengan  menyebutkan  nama  ilmu  pukulan  yang  diyakininya  selama  tujuh tahun itu dia berharap si pemuda akan kaget dan menciut nyalinya. Tapi  apa  lacur!  Malah  si  pemuda  tertawa  bekakakan  ketika mendengar nama ilmu pukulannya itu!

“Setahuku  genta  adalah  semacam  klenengan  yang  dikalungkan  di leher  sapi  atau  kerbau!  Itukah  nama  ilmu  pukulanmu?  Tentunya  kau berguru pada seekor sapi? Ha... ha... ha...!”

Kekalapan  Sentot  Sastra  bukan  alang  kepalang.  Bentakannya mengguntur.  Kedua  lengannya  bergetar  dan  terpentang.  Sekejapan  mata kemudian  tubuhnya  lenyap  dalam  lompatan  kilat  setinggi  tiga  tombak. Sewaktu  melewati  si  pemuda  dia  kirimkan  dua  tendangan  sekaligus!  Si pemuda  merunduk  dan  pada  waktu  itulah  gerakan  lihai  yang  mengandalkan  ilmu  mengentengi  tubuh  yang  sempurna,  Sentot  Sastra  balikkan tubuh dan hantamkan kedua kepalannya ke kepala lawan! Si  pemuda  yang  merasakan  angin  pukulan  sangat  keras  menerpa belakang  kepalanya  bersuit  nyaring,  rundukkan  kepala  dan  secepat  kilat putar tubuh!

Muka  Bupati  Sentot  Sastra  dari  Kaliurang  itu  mendadak  sontak menjadi  pucat  pasi  sewaktu  lima  jari  tangan  kanan  pemuda  lawannya laksana  japitan  baja,  sekaligus  mencekal  kedua  lengannya  sehingga  tak sedikitpun  dia  bisa  berkutik!  Dan  bukan  itu  saja,  dari  jari-jari  tangan  itu dirasakannya  aliran  aneh  yang  sejuk  dingin  menjalar  ke  lengannya,  terus ke  bahu  dan  sekujur  tubuhnya!  Luapan  amarah  yang  membakar  dan menggelorai  darahnya  kini  menggendur.  Pikiran  jemih  kini  muncul dibenaknya.  Tubuhnya  lemah  lunglai,  keringat  dingin  memercik dikeningnya.  Akhirnya  Sentot  Sastra  jatuh  duduk  menjelepok  di  tanah sewaktu pemuda itu lepaskan cekalan pada kedua lengannya!

“Orang muda, siapakah kau sebetulnya?” tanya Sentot Sastra. Nada suaranya kini tidak keras dan tidak bernada marah lagi seperti tadi-tadi.

Si pemuda tertawa.

“Aku  datang  ke  sini  bukan  untuk  mengobral  nama  atau  kasih keterangan siapa aku, tapi untuk menolong mengantarkan mayat anakmu.”

Sentot  Sastra  memutar  kepalanya  ke  arah  peti.  Istrinya  dilihatnya terkulai pingsan di tepi peti itu, sedang dua belas pembantu-pembantunya sampai itu saat masih berdiri mematung dalam keadaan tertotok!

Sang Bupati kembali palingkan kepala pada si pemuda. Lama dia menatap paras pemuda itu. Dan pada paras yang masih muda belia itu kini dapat dilihatnya sifat kesatria gagah perkasa dan kejujuran.

“Orang  muda,  kau  betul-betul  tidak  melakukan  perbuatan terkutuk terhadap anakku?”

Si pemuda gelengkan kepala. 

“Lantas siapa yang melakukannya?”

Si  pemuda  angkat  bahu.  “Akupun  tengah  mencarinya!  Dunia persilatan kini dihebohkan oleh munculnya seorang pendekar terkutuk berjubah  hitam  dengan  bunga-bunga  kuning.  Nama  aslinya  aku  tidak tahu tapi dia digelari sebagai Pendekar Pemetik Bunga!”

“Pendekar  Pemetik  Bunga!”  mengulang  Sentot  Sastra.  “Yaaa... aku  pernah  dengar  tentang  manusia  durjana  itu.  Tapi  dulu  dia  Cuma malang melintang di barat, kini tahu-tahu muncul di sekitar sini...!”

“Kunyuk lapar perempuan begitu, di mana ada perempuan cantik pasli di situ dia muncul unjuk tampang bikin kejahatan!” menyahuti si pemuda.

Perlahan-lahan  Sentot  Sastra  berdiri  kembali.  Kedua  tangannya mengepal.

“Aku  akan  cari  bangsat  itu  sampai  dapat  dan  habiskan nyawanya!”

Pemuda  rambut  gondrong  naikkan  kedua  alis  matanya.

“Jangankan  kau,  gurunya  sendiri  yang  jauh  lebih  sakti  sanggup dibunuhnya!”

“Lantas  apakah  aku  akan  berpangku  tangan  melihat  anakku dibunuh  dan  dirusak  begini  rupa?!”  tanya  Sentot  Sastra  hampir berteriak.

“Aku  hargai  keberanianmu,  Bupati,”  memuji  si  pemuda.  “Tapi keberanian  yang  hanya  mengendalikan  nafsu  besar  kekuatan  nihil, adalah keberanian buta. Kau akan mati sia-sia ditangannya!”

“Kematian bukan apa-apa bagiku! Semua manusia nantinya akan mati juga...”

“Terserah  padamu,  Bupati.  Aku  cuma  kasih  nasihat!  Mungkin nasihatku  tidak  ada  harganya.”  Sentot  Sastra  termangu-mangu beberapa lamanya.

Tiba-tiba  dia  berseru  sewaktu dilihatnya  pemuda  di  hadapannya putar tubuh hendak berlalu.

“Orang muda, tunggu! kau mau ke mana?”

“Aku masih ada urusan lain. Sampai jumpa Bupati.”

“Kau masih belum terangkan namamu.”

Pemuda  itu  tertawa  lagi.  Begitu  murah  tertawa  baginya.  “Aku sudah bilang namaku tidak penting.”

“Penting  atau  tidak  penting  itu  bukan  urusan.  Tapi  padaku  kau tetap  harus  kasih  tahu  Dan  pembantu-pembantuku  ini  kau  harus lepaskan totokannya kembali!”

“Pijit  saja  tengkuknya  satu-satu,  pasti  totokannya  lepas,” memberi tahu si pemuda.

“Sudahlah,  kalau  kau  penasaran  lihat  saja  bagian  kepala  dari peti  kayu  itu.  Di  situ  tertulis  namaku!”  kata  si  pemuda  pula.  Cepat-cepat  Sentot  Sastra  melangkah  ke  bagian  kepala  peti  di  dalam  mana mayat  anaknya  terbujur.  Yang  ditemui  Bupati  ita  di  sana  bukan tulisan  atau  huruf  yang  membentuk  nama,  melainkan  pada  kayu  di kepala peti itu tertera tiga buah angka yaitu 212.

“Dua  satu  dua!”  seru  Sentot  Sastra  kaget.  “Wiro  Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.”

Dipalingkannya kepalanya.

Kejutnya tertambah-tambah.  Pemuda  tadi  sudah  tak  ada  lagi di tempat  itu!  Sentot  Sastra  geleng-gelengkan  kepalanya  tiada  henti. Tidak  sangka  dia  akan  berhadapan  dengan  pendekar  bersifat  kocak yang  kadangkala  seperti  orang  sinting,  tapi  bertampang  keren  dan berhati  jujur,  penolong  manusia-manusia  yang  tertindas,  penghancur kejahatan, momok tokoh-tokoh silat golongan hitam!

“Pantas,  pantas...  kiranya  dia.  Pantas  mana  aku  sanggup menghadapinya!”  kata Sentot  Sastra  pula  dan  dia  melangkah mendapatkan istrinya yang pingsan di tepi peti.

***

 

DELAPAN

 

Dua puluh tahun yang silam....

Tak berapa jauh dari kaki Welangmanuk terdapat sebuah pedataran tinggi  yang  subur.  Kebun  sayur  mayur  terbentang  menghijau  di  mana-mana. Bila seseorang berdiri di atas pedataran tinggi ini dan memandang ke bawah maka  tampaklah pemandangan yang  sangat indah dari  lembah Manukwilis. Di atas pedataran tinggi itu terletaklah sebuah bangunan dari tembok  yang  selain  besar  juga  sangat  bagus  bentuknya.  Keseluruhan bangunan  ini  dicat  putih  dan  dipagari  dengan  tembok  setinggi  lima tombak.  Untuk  masuk  ke  halaman  dalam  bangunan  cuma  ada  sebuah pintu.  Pintu  ini  juga  terbuat  dari  batu  yang  hanya  bisa  dibuka  secara rahasia. Kalau bukan orang yang berilmu sangat tinggi jangan harap bisa masuk ke dalam halaman bangunan karena di atas tombak yang tingginya lima  tombak  itu  masih  ditancapi  lagi  dengan  besi-besi  runcing  berduri-duri panjang setinggi tiga tombak!

Bangunan  atau  gedung  apakah  sesungguhnya  yang  terdapat  di belakang  tembok  itu  dan  siapakah  pemiliknya?  Konon  kabarnya  gedung itu  adalah  sebuah  biara.  Biara  itu  kini  diketuai  oleh  seorang  Biarawati bernama  Wilarani.  Biarawati  ini  sudah  lanjut  usianya,  hampir  mencapai enam  puluh tahun. Dulunya  semasa  muda dia  merupakan seorang  gadis cantik yang tersiar harum ke mana-mana kecantikannya itu. Kebahagiaan hidup  muda  remajanya  hancur  luluh  sewaktu  kekasih  yang  dicintainya lari  meninggalkannya  dan  kawin  dengan  seorang  anak  bangsawan  kaya raya sedangkan Wilarani sendiri adalah anak petani miskin.

Keputus-asaan  karena  patah  hati  itu  membawa  akibat  yang mendalam  bagi  Wilarani.  Orang  tuanya  berusaha  mencarikan  jodoh  lain untuknya,  namun  kegetiran  percintaan  yang  telah  dialami  oleh  Wilarani, yang  membawa  dirinya  masuk  kedalam  lembah  makan  hati  dan kesengsaraan  bathin  tak  dapat  lagi  ditawar-tawar  dengan  obat  apapun, sekalipun  dengan  pemuda-pemuda  gagah  lainnya,  sekalipun  puluhan pemudapemuda  sekitar  tempat  kediamannya  dan  dari  jauh-jauh  datang melamar serta tergila-gila kepadanya!

Bagi Wilarani dunia ini sudah bukan apa-apa lagi. Di matanya cinta mumi  itu,  cinta  suci  sejati  hanya  ada  dalam  mulut,  tidak  dalam kenyataan!  Dalam  keputus-asaan  karena  patah  hati,  dalam  kehancuran bathin dan kegelapan pemandangan, apalagi sewaktu kedua orang tuanya meninggal dunia, maka Wilarani yang saat itu sudah berumur hampir tiga puluh  dan  pemuda-pemuda  yang  dulu  menggilainya  tapi  tak  kesampaian memetik  bunga  harum  sekuntum  itu  telah  mulai  menyiarkan  ejekan-ejekan  bahwa  dia  kini  sudah  menjadi  “perawan  tua”,  akhirnya  Wilarani mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah dan kampung halaman tempat kelahirannya.

Dia  pergi  tanpa  tujuan.  Hampir  satu  tahun  dia  malang  melintang tiada  karuan.  Keadaannya  sudah  demikian  menyedihkan,  pakaian compang  camping  dan  tubuh  kurus  sakit-sakitan.  Hanya  satu  bukti kehidupan  masa  mudanya  yang  sampai  saat  itu  masih  dimilikinya,  yaitu parasnya  yang  cantik.  Paras  itu  masih  belum  pupus  kejelitaannya  meski pada  tepi-tepi  matanya  telah  timbul  garis-garis  ketuaan  dan  pada  pipi yang agak cekung mulai membayang kerenyut-kerenyut.

Dan  kecantikan  yang  masih  belum  pupus  inilah  yang  membuatnya suatu ketika dihadang oleh segerombolan rampok-rampok buas di tengah rimba  belantara.  Dia  diseret  kesarang  rampok.  Pimpinan  rampok memerintahkan pembantu-pembantunya yaitu beberapa orang perempuan untuk  memandikan  dan  membersihkan  tubuh  Wilarani,  memberinya pakaian  yang  bagus  dan  harum-haruman.  Wilarani  tahu  apa  arti  itu semua,  namun  daya  apa  yang  akan  dibuatnya  untuk  mempertahankan diri serta kehormatannya?! Dia dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang sangat  bagus  dan  tak  lama  kemudian  pemimpin  rampok  bertampang buruk buas bercambang bawuk menjijikkan masuk ke dalam kamar itu! Si  kepala  rampok  bersinar-sinar  sepasang  bola  matanya. Dibasahinya  bibimya  dengan  ujung  lidah  dan  berkata  disertai  seringai buruk dan hidung kembang kempis.

“Ternyata kau seorang perempuan jelita! Ahh... kecantikanmu tidak kalah dengan gundik-gundikku yang paling cantik disini!”

Kepala  rampok  itu  melangkah  mendekati  Wilarani  yang  berdiri dengan lutut gemetar serta muka pucat pasi di sudut kamar.

“He...  he...  kenapa  menyudut  ketakutan?  Aku  bukan  macan  yang mau menelanmu bulat-bulat! Tapi laki-laki kuat yang akan merangkulmu penuh nikmat! Ha... ha... ha...!”

Kemudian  peluk  dan  ciumanpun  datang  bertubi-tubi  atas  diri Wilarani.  Perempuan  itu  menjeri-jerit  tiada  hentinya  dan  mendorong  si kepala rampok hingga terjerongkang ke tepi tempat tidur! Kepala  rampok  itu  duduk  di  tepi  tempat  tidur  dan  tertawa  cengar cengir. Wilarani lari ke pintu tapi pintu itu dikunci!

“Perempuan,”  kata  si  kepala  rampok.  “Parasmu  cantik,  tubuhmu halus mulus. Aku tak mau gunakan kekerasan padamu. Karenanya turut saja  apa  mauku!  Ayo  buka  pakaianmu  biar  aku  bisa  lekas-lekas  lihat keindahan tubuhmu!” 

“Laki-laki durjana! Lepaskan aku! Keluarkan aku dad sini!” 

Si kepala rampok tertawa gelak-gelak.

Dia bangkit dari tempat tidur.

“Kalau  tak  mau  buka  baju  sendiri  berarti  terpaksa  aku  yang telanjangi kau!” katanya.

Diterkamnya  Wilarani.  Jari-jari  tangannya  yang  besar-besar bergerak  kian  kemari  merobeki  seluruh  pakaian  yang  melekat  ditubuh Wilarani! Perempuan itu menjerit! Menjerit dan menjerit! Mendadak di luar terdengar pula suara jeritan. Terdengar lagi susul menyusul  tiada  henti  dan  dibarengi  dengan  suara  beradunya  senjata! Belum  habis  kejut  si  kepala  rampok  tahu-tahu  pintu  kamar  di  dalam mana  dia  berada  bersama  Wilarani  untuk  melampiaskan  nafsu terkutuknya  ditendang  bobol  dari  luar  dan  sesaat  kemudian  sesosok tubuh menerobos masuk ke dalam! Yang  masuk  ternyata  seorang  nenek-nenek  tua  berkepala  botak berjubah putih. Di tangannya sebelah kanan tergenggam seikat sapu lidi!

“Iblis  tua  dari  manakah  yang  berani  membuat  kekacauan  di  sini?!” bentak si kepala rampok dengan beringas!

Si nenek tertawa melengking-lengking.

“Iblis tua dari neraka, kunyuk berewok!” balasnya membentak. “Aku diutus oleh setan-setan neraka untuk minta kau punya jiwa!”

Dan  habis  berkata  begini  si  nenek  sapukan  sapu  lidi  di  tengan kanannya! Kepala rampok terkejut sekatil Dia tak menyangka kalau sapu lidi  itu  adalah  satu  senjata  ampuh  yang  dapat  melepaskan  angin pukulan laksana badai hebatnya!

Sambil  membentak  garang  laki-laki  itu  segera  cabut  goloknya  yang mempunyai panjang satu setengah meter dan lebar hampir satu jengkal! Si  nenek  ganda  tertawa  melihat  senjata  lawannya.  Dan  sewaktu kepala  rampok  itu  menerjang  dengan  satu  tebasan  lihai  mematikan,  si nenek  kepala  botak  melengking-lengking  lagl,  berkelebat  cepat  dan tebasan golok kepala rampok hanya melanda angin kosong! Kejut si kepala rampok bukan olah-olah. Jurus yang dilancarkannya tadi  adalah  jurus  “Ekor  Naga  Menabas  Gunung!”  Selama  ini  tak  satupun manusia  yang  selamat  dad  serangaonya  yang  dahsyat  itu.  Tapi  si  nenek kepala botak mengelakkannya dengan mudah dan sambil tertawa melengking-lengking!

Belum lagi habis kejut kepala rampok ini tahu-tahu ujung sapu lidi si  nenek  menusuk  laksana  kilat  ke  mukanya.  Kepala  rampok  berseru kaget dan mundur cepat ke belakang. Tapi punggungnya tertahan tembok kamar! Dan sementara itu ujung sapu lawan memburu terus ke mukanya! Terdengar jeritan laki-laki itu!

Seluruh  mukanya  hancur  berlubang-lubang  laksana  dipantek ratusan  paku.  Matanya  telah  buta  dan  darah  membanjir  membasahi mukanya  yang  mengerikan itu! Dia  melolong  laksana srigala haus darah. Kedua  telapak  tangan  menekap  muka.  Tubuhnya  kemudian  jatuh terjerembab ke lantai, menggelepar-gelepar beberapa kali lalu menggeletak tiada nyawa lagi!

“Perempuan  kau  lekas  ikut!”  berseru  si  nenek  kepala  botak  pada Wilarani.

Wilarani  yang  masih  dikungkung  rasa  terkejut  dan  ngeri  tidak segera  bergerak  mengikuti  kata-kata  si  nenek!  Sementara  itu  di  luar terdengar suara puluhan kaki datang berlari mendekati kamar itu!

“Ayo lekas!” teriak si nenek. “Nenek, kau siapakah? A... aaaku....”

“Perempuan  geblek!  Sekarang  bukan  saatnya  bertanya!”  Si  nenek kepala  botak  segera  sambar  tubuh  Wilarani,  memondangnya  dibahu  kiri lalu lari ke pintu dengan cepat.

Tapi begitu dia sampai di ambang pintu, kira-kira dua puluh orang anak buah rampok sudah menghadang dengan berbagai senjata di tangan!

“Ini dia  kunyuk tua  berkepala  botak  yang telah  membunuh sebelas orang kawan-kawan kita!” teriak rampok yang terdepan!

Beberapa  orang  dibarisan  terdepan  itu  yang  telah  memandang  ke dalam  kamar  sama  berteriak  kaget!  “Anjing  tua  ini  juga  telah  bunuh pemimpin kita!”

“Serbu!”

“Kalau  mau  mampus  cepatlah  maju!”  teriak  si  nenek.  Dibarengi dengan  suara  tertawanya  yang  melengking-lengking  maka  sapu  lidi  di tangan  kanannya  disapukan  ke  muka!  Lima  rampok  dibarisan  terdepan terpekik!  Tubuhnya  rebah  dengan  muka  berlumuran  darah!  Kawan-kawannya yang lain menjadi tambah kalap dan laksana air bah menyerbu menerobos  ambang  pintu,  dengan  serentak  kiblatkan  senjata  masing-masing  ke  arah  si  nenek  yang  sampai  saat  itu  masih  memondong  tubuh Wilarani  di  atas  pundak  kirinya.  Wilarani  sendiri  saat  itu  sudah  tidak sadarkan diri alias pingsan!

“Rampok-rampok  bejat!  Kalian  memang  tak  perlu  dikasih  hidup!” seru  si  nenek!  Didahului  dengan  tendangan  kaki  kanan  yang mengeluarkan  angin  dahsyat  si  nenek  putar  sapunya  sekeliling  tubuh! Maka  susul  menyusullah  suara  pekik  kematian  belasan  rampokl  Yang masih  hidup  tidak  punya  nyali  lagi  meneruskan  mengeroyok  si  nenek yang  mereka  anggap  bukannya  manusia  tapi  benar-benar  iblis!  Mereka yang  masih  hidup  ini  segera  ambil  langkah  seribu.  Tapi  si  nenek  mana mau  kasih  ampun!  Meski  rampok-rampok  itu  sudah  lari  beberapa jauhnya,  dengan  kebutan  sapu  lidinya  yang  sakti  itu  semua  perampok yang larikan diri jungkir balik berpelantingan den menemui kematiannya!

Sewaktu Wilarani siuman didapatinya dirinya berada dalam sebuah kamar  yang  bagus  dan  si  nenek  kepala  botak  berjubah  putih  dilihatnya duduk  di  sebuah  kursi  goyang,  duduk  asyik  menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil tertawa-tawa dan makan sepotong roti. Wiiarani bangkit dari pembaringan di mana dia ditidurkan. Sewaktu dia meneliti dirinya ternyata dia telah mengenakan baju jubah putih yang bagus berenda-renda setiap tepinya. Si  nenek  terus  juga  bergoyang-goyang  di  kursi  itu  terus  juga memakan rotinya.

“Nenek...”

“Akh... kau sudah siuman Wilarani? Bagus-bagus!”

Wilarani  terkejut  sewaktu  si  nenek  menyebut  namanya.  Darimana perempuan  tua  ini  tahu  dirinya.  Sedangkan  dia  sendiri  baru  kali  ini bertemu muka.

“Kau  tidak  perlu  heran  bila  aku  mengenal  namamu,”  bicara  lagi  si nenek.  Lalu  dicampakkannya  tepi  roti  yang  keras  lewat  jendela  kamar. Wilarani  memandang  sekilas  lewat  jendela  itu.  Di  luar  dilihatnya  tembok putih  yang  sangat  tinggi  menghalangi  pemandangan.  Pada  bagian  atas tembok  terdapat  besi-besi  berduri  setinggi  beberapa  tombak.  Kemudian perempuan ini alihkan kembali pandangannya pada si nenek yang duduk di  kursi  goyang,  lalu  berdiri  dan  melangkah  kehadapan  si  nenek. Dihadapan nenek kepala botak ini Wilarani menjura hormat dan berkata.

“Nenek,  meski  aku  tidak  kenal  kau  tapi  kau  telah  selamatkan  aku dari  perbuatan  terkutuk  dan  kebejatan!  Aku  yang  buruk  ini  haturkan terima kasih sedalam-dalamnya...”

Si  nenek  tertawa  gelak-gelak.  Dari  atas  meja  disampingnya  diambil lagi sepotong roti yang terletak di dalam piring. Wilarani menyadari betapa perutnya sangat  lapar  sewaktu dilihatnya roti yang di atas meja  itu.  Tapi si nenek tidak menawarkan kepadanya.

“Kau  duduk  saja  kembali  ke  pembaringan  itu,”  memerintah  si nenek.

Wilarani menurut dan duduk di tepi tempat tidur. Karena  si  nenek  tidak  berkata-kata  dan  asyik  terus  menggerogoti rotinya  maka  bertanyalah  Wilarani.  “Nenek,  apakah  aku  yang  rendah  ini boleh tahu siapa kau adanya dan di mana aku berada saat ini?!”

Si nenek habiskan dulu rotinya baru menjawab.

“Siapa aku?! He, itulah yang aku sendiri tidak tahu!” Lalu nenek itu tertawa terlengking-lengking.

Wilarani  tak  habis  heran.  Nenek  kepala  botak  ini  agaknya  seorang sakti yang aneh misterius.

Dalam pada itu si nenek membuka lagi mulutnya, berkata. “Orang-orang juga sering  bertanya  seperti  kau. Siapa aku?!  siapa  aku?!  Dan  aku selalu  bilang  pada  mereka  aku  sendiri  tidak  tahu  Kadang-kadang  ada yang  keliwatan  mendesak,  tanya  terus,  tanya  terus!  Lalu  aku  jawab  aku adalah  seorang  nenek-nenek  buruk  berkepala  botak!”  Kembali  si  nenek tertawa melengking-lengking!

Mau tak mau Wilarani ikut pula tertawa.

“Ha...,”  si  nenek  hela  nafas.  “Kau  bisa  juga  tertawa  ya?  Kata  orang kalau  banyak  tertawa  bisa  awet  muda!  Tapi aku  yang  sudah tua  semakin banyak tertawa semakin keriputan! Semakin jelek!”

Wilarani  tertawa  cekikikan.  Tapi  tertawanya  itu  ditahan-tahan karena  khawatir  si  nenek  akan  marah!  Terhadap  orang  bersifat  aneh musti berlaku hati-hati, demikian membathin Wilarani.

“Wilarani!” berkata si nenek  sesudah  roti kedua  dihabiskannya.  “Di mana  kau  berada  saat  ini  pun,  kau  tak  perlu  tahu!  Yang  penting  yang musti kau ketahui ialah bahwa kau harus diam di sini bersamaku selama dua puluh tahun!”

Kagetlah Wilarani.

“Nenek, apa maksudmu...?!” tanya Wilarani.

Lama  si  nenek  berdiam  diri,  memandang  lurus-lurus  ke  tembok kamar  dihadapannya  seakan-akan  pandangannya  itu  hendak  menembus ketebalan tembok itu.

“Selama  dua  puluh  tahun  itu  kau  sama  sekali  tidak  boleh meninggalkan tembok ini, tidak boleh keluar dari tembok yang membatasi gedung ini! Jika kau melanggar pantangan itu, hukuman yang berat akan jatuh  atas  dirimu  dan  kau  akan  disekap  selama  empat  puluh  tahun dipenjara di bawah tanah yang gelap gulita!”

Berubahlah  paras  Wilarani  mendengar  ucapan  si  nenek.  Dia membathin.  jika  si  nenek  membawanya  ke  sini  dengan  maksud  jahat mengapa  dia  telah  ditolong  dari  tangen  perampok-peramok  itu?  Tapi  kini sesudah  ditolong  kenapa  pula  dia  musti  tinggal  selama  dua  puluh  tahun dalam  gedung  itu  tak  boleh  keluar  dan  jika  melanggar  pantangan  akan disekap  dipenjara  bawah  tanah  selama  empat  puluh  tahun?!  Sungguh aneh!  Aneh  tapi  diam-diam  juga  menggidikkan  Wilarani!  Kalau  dia mengikuti  kehendak  si  nenek,  berarti  dua  puluh  tahun  kemudian  dia sudah  menjadi  nenek-nenek  pula  dan  dalam  keadaan  masih  perawan, perawan  tua!  Sebaliknya  bila  dia  membantah,  dia  akan  disekap  empat puluh  tahun  dalam  penjara  bawah  tanah,  ini  berarti  pada  saat  dia dibebaskan nanti usianya sudah mencapai tujuh puluh tahun!

“Aku tahu apa yang kau pikirkan dalam benakmu!” berkata tiba-tiba si  nenek.  “Dan  kau  juga  musti  tahu  banyak  hal  tentang  dunia  luar, tentang  dunia  persilatan!  Apa  yang  kau  ketahui  tentang  dunia  luar, tentang dunia persilatan?!”

“Banyak nenek....”

“Coba sebutkan!”

Wilarani  bungkam.  Dia  memang  banyak  mengetahui  seluk  beluk dunia  luar  semenjak  pengembaraannya  meninggalkan  kampung  halaman dan  tahu  pula  bahwa  dunia  luaran  itu  penuh  dengan  tokoh-tokoh persiiatan  kalangan  hitam  serta  putih  meskipun  dia  bukanlah  seorang yang telah mencemplungkan diri dalam dunia persilatan.

Si nenek menyeringai.

“Kau  bilang  tahu  banyak!  Tapi  kau  tidak  dapat  menuturkannya!” kata  si  nenek  kepala  botak  yang  sampai  saat  ini  masth  belum  diketahui namanya oleh Wilarani.

“Kau  tahu  Wilarani,  dunia  yang  sekarang  ini  tidak  sama  dengan sewaktu  mula-mula  Gusti  Allah  menjadikannya!  Dulu  dunia  ini  begitu suci!  Tapi  kini  keindahan  itu  telah  lenyap  tak  digubris  manusia-manusia bertangan kotor berhati jahat!  Kekotoran terjadi dimana-mana, kejahatan terjadi  di  mana-mana,  kemesuman,  ketidak  adilan,  penindasan, pembunuhan.  Dunia  kacau!  Apalagi  dalam  kalangan  persilatan.  Dunia persilatan telah terpecah dua menjadi dua golongan. Golongan putih atau golongan  yang  mengutamakan  kebaikan  serta  membantu  sesama manusia,  golongan  yang  bercita-cita  luhur  demi  menenteramkan  bumi Tuhan  ini!  Sebaliknya  golongan  hitam  mempunyai  tindakan  dan  cita-cita yang  berlawanan  dengan  golongan  putih!  Mereka  membuat  kejahatan, kemaksiatan,  kemesuman,  penindasan  sampai  kepada  pembunuhan.

Semakin  hari  semakin  banyak  juga  jumlah  golongan  hitam  ini  baik  yang menjadi  perampok,  maupun  yang  menjadi  bergundal-bergundal  kaum bangsawan  atau  kerajaan,  atau  yang  bertindak  malang  melintang seenaknya sendiri saja melakukan kejahatan tanpa pertanggungan jawab!

Demikian  banyaknya  penganut  golongan  hitam  hingga  golongan  putih menjadi  terdesak  dan  kewalahan  bahkan  boleh  dikatakan  kini  menjadi banyak  yang  tidak  berdaya  menghadapi  bergajul-bergajul  golongan  hitam itu. Dan hampir keseluruhan tokoh-tokoh silat golongan hitam atau putih itu  adalah  laki-laki!  Kaum  laki-laki  telah  mencoba  untuk  menentramkan dunia ini tapi tidak berhasil. Golongan hitam telah ntembuat keonaran di mana-mana.  Membuat  ribusan  manusia  rakyat  jelata  hidup  dalam kecemasan  dan  ketakutan  dalam  menghadapi  hari  besok  dan  besoknya lagi! Kaum laki-laki telah tidak berhasil menciptakan apapun di dunia ini demi  keselamabn  hidup  bersama.  Ketidak  adilan,  kekacauan,  segala macam  kejahatan,  pokoknya  seribu  satu  macam  kegagalan  telah  dibuat kaum laki-laki!

Melihat  kepada  kenyataan  itu  semua  maka  aku  yang  sudah  pikun ini  yang  sudah  tak  selembar  rambutpun  tumbuh  di  batok  kepalaku  ini, merasa  bahwa  kini  sudahlah  saatnya  bagi  kaum  perempuan  untuk bangun,  untuk  bangkit  menggantikan  kedudukan  kaum  laki-laki  yang telah  menemui  kegagalan  itu!  Kaum  perempuan  harus  bangun  sebagai penegak kaadilan, pembasmi kejahatan dan musti bisa menciptakan satu dunia yang aman tenteram dan damai!”

Lama si nenek terdiam, lama pula Wilarani termangu merenungkan ucapan-ucapan si nenek.

“Tapi nenek,” berkata Wilarani, “apakah cita-cita luhur itu mungkin berhasil..?”

Si nenek tertawa gelak-gelak dan menggoyang-goyangkan kursi yang didudukinya.

“Kenapa  tidak  mungkin  katamu?!  Apa  selama  ini  cuma  kaum  laki-laki  yang  bisa  menjagoi  dunia  persilatan?  Apa  cuma  orang  laki-laki  yang bisa  main  silat  dan  memiliki  iimu  kesaktian?!  Apa  cuma  orang  laki-laki yang  becus  mainkan  pedang  atau  keris  atau  golok?!  Kentut  semua  kalau orang berpikir begitu! Justru orang Iaki-laki kalau tidak dibrojotkan sama perempuan  pasti  tidak  ada  di  dunia  ini.  Bukan  begitu...?!”  Si  nenek tertawa melengking-lengking.

Wilarani  tak  dapat  pula  menahan  rasa  gelinya  lalu  tertawa cekikikan.

“Memang...  memang  untuk  melaksanakan  dan  mewujudkan  cita-cita itu tidak mudah, memakan waktu lama dan penuh pengorbanan! Kita haruslah  menghubungi  tokoh-tokoh  silat  wanita  golongan  putih  yang masih  hidup  saat  ini.  Mereka  pasti  mau  diajak  bersama.  Seperti  si  Sinto Weni  yang  diam  di  puncak  Gunung  Gede.  Dulu  dia  menjagoi  dunia persilatan  selama  puluhan  tahun,  ilmunya  tinggi,  dihormati  kawan  dan ditakuti  lawan!  Kabarnya  kini  dia  sudah  mengundurkan  diri  dari  dunia persilatan dan membersihkan diri di puncak gunung itu. Namun jika aku menyambanginya  dan  tuturkan  cita-citaku,  pasti  dia  mau  bergabung.

Sifatnya  sangat  aneh,  macam  orang  gila!  Karena  itu  di  dunia  persilatan dia  dikasih  gelar  si  Sinto  Gendeng!  Nah,  kalau  kita  punya  tokoh-tokoh wanita macam Sinto Gendeng itu, masakan aku tak sanggup mewujudkan cita-citaku?!”

Si  nenek  kepala  botak  memalingkan  kepalanya  pada  Wilarani.

“Bagaimana?  Kau  pilih  dua  puluh  tahun  tinggal  di  sini  dan  ikut bersamaku atau di sekap empat puluh tahun di bawah tanah?!”

Wilarani merenung lama sekali.

Hidupnya  di  dunia  luar  sana  sejak  ditinggal  kekasihnya  memang sudah  tak  punya  arti  apa-apa.  Di  dunia  ini  dia  hanya  sebatang  kara. Orang  tua  sudah  meninggal,  sanak  saudara  tidak  punya.  Dunia  penuh dengan kekalutan dan keiahatan yang selalu memburu manusia-manusia tak berdosa! Lagi pula sejak kekasihnya lari kawin itu keputus-asaan yang mendalam  membuat  Wilarani  kehilangan  kepercayaan  pada  laki-laki!

Baginya  laki-laki  tiada  lain  seorang  penipu  yang  bercinta  dengan  mulut dan  kemudian  melarikan  diri  bila  menemui  perempuan  lain  yang  lebih cantik!  Yang  keturunan  orang  baik-baik,  bangsawan  kaya  raya! Diingatnya pula pertolongan serta jasa besar yang telah diberikan si nenek kepadanya! Setelah merenung lagi beberapa lama maka akhirnya Wilarani membuka mulut bersuara.

“Baiklah nenek tua, aku akan tinggal bersamamu di sini selama dua puluh tahun!”

“Bagus!”  Si  nenek  kepala  botak  tertawa  dengan  gembiranya.  Dia bergoyang-goyang  beberapa  lamanya  di  atas  kursi  goyangnya  kemudian berkata.  “Besok  pagi  kau  akan  kumandikan  dengan  air  kembang  dua puluh  rupa!  Dan  mulai  besok  kau  ku  angkat  menjadi  muridku!  Ku  akan didik  kau  selama  dua  puluh  tahun!  Bila  otakmu  cerdas  dan  rajin,  punya kemauan,  kau  kelak  kuangkat  jadi  murid  kepala,  mengepalai  lima  puluh janda-janda dan gadis-gadis yang sudah kukumpulkan di sini.”

Wilarani berdiri dari pembaringan dan menjura dihadapan si nenek kepala botak.

“Nenek,  aku  haturkan  terima  kasih  karena  menaruh  kepercayaan padaku dan telah sudi mengambil aku jadi muridmu.”

Nenek itu manggut-manggut di kursi goyangnya.

Dia bertepuk tiga kali.

Pintu  kamar  terbuka.  Seorang  perempuan  muda  berparas  ayu, berjubah  dan  bertutup  (berkerudung)  kain  putih  masuk  ke  dalam  kamar itu, menjura di hadapan si orarg tua.

“Biarawati Sembilanbelas siap menunggu perintah,” kata perempuan ini.

“Umumkan  pada  seisi  Biara  Pensuci  Jagat  bahwa  besok  akan  ada upacara pemandian biarawati baru yang akan kuangkat menjadi muridku secara resmi!”

“Baik  Eyang,”  menjura  perempuan  berjubah  dan  berkerudung kepala kain putih kemudian berlalu.

Si  nenek  yang  dipanggil  Eyang  oleh  Biarawati  Sembilanbelas  tadi menepuk  tangannya  dua  kali.  Pintu  terbuka  lagi.  Seorang  perempuan muda  yang  berparas  cantik  dan  juga  mengenakan  jubah  serta  kerudung kepala kain putih memasuki ruangan.

Seperti  Biarawati  Sembilanbelas  dia  menjura  dan  berkata, “Biarawati Tigapuluhdua siap menunggu perintah.”

Dan  si  nenek  berkata,  “Perintahkan  biarawati-biarawati  di  bagian dapur menyediakan makanan untuk kawanmu yang baru ini!”

Biarawati  Tigapuluhdua  mengerling  pada  Wilarani  sebentar kemudian  mengangguk.  Setelah  menjura  dia  segera  pula  meninggalkan kamar itu.

***

 

SEMBILAN

 

Dua  puluh  tahun  sesudah  Wilarani  datang  pertama  kali  di  Biara Pensuci Jagat… Kamar  itu diselimuti kesunyian. Hampir tak ada  perbedaan  dengan masa-masa di duapuluh tahun yang silam. Hanya dua manusia yang ada di dalam kamar itulah yang kelihatan banyak berubah.

Nenek  kepala  botak  kelihatan  semakin  tua.  Kedua  mata  serta pipinya mencekung, keriput-keriput ketuaan sukar untuk dihitung berapa banyak  menggores  di  mukanya.  Umurnya  sudah  lebih  dari  sembilan puluh tahun. Namun suara dan tutur katanya  tetap keras dan tegas dan pandangan  matanya  setajam  ujung  pedang!  Dihadapan  nenek  tua  kepala botak  ini  duduk  seorang  permpuan  berusia  setengah  abad.  Rambutnya hampir putih semuanya. Pada parasnya juga  jelas  keliahatan gurat-gurat ketuaan.  Namun  gurat-gurat  ketuaan  ini  tiada  sanggup  memupus kecantikan yang dimilikinya sejak masa mudanya.

“Muridku  Wilarani,”  berkata  si  nenek.  “Dua  puluh  tahun  sudah berlalu,  dua  puluh tahun sudah lewat.  Rasanya cepat sekali. Kalau tidak melihat kepada tampang-tampang dan perubahan yang terjadi di diri kita rasanya  masa  dua  puluh tahun  itu seperti hari  kemarin  saja. Dua puluh tahun  mendidikmu  dan  memberi  banyak  tugas  padamu  tidak mengecewakanku!  Sebagian  besar  dari  cita-cita  yang  kita  rintis  sudah kelihatan  buahnya.  Telah  banyak  tokoh-tokoh  golongan  hitam  dan rampok-rampok  rimba  hijau  yang  kita  musnahkan.  Cuma  sayang beberapa  tokoh  silat  perempuan  golongan  putih  yang  kita  harapkan bantuannya  hilang  lenyap  tiada  kuketahui.  Entah  mati,  entah  sembunyi atau  bertapa  mempersuci  diri!  Eyang  Sinto  Gendeng,  itu  jago  perempuan yang  memiliki  kesaktian  luar  biasa  ketika  kusambangi  ke  Gunung  Gede, tak  ada  di  pertapaannya!  Tapi  kita  jangan  kecewa.  Cita-cita  kita  untuk meneteramkan  dunia  ini,  untuk  mensucikan  jagat  milik  Tuhan  ini  agar kembali  pada  keadaan  sewaktu  semulanya  dulu,  harus  kita  laksanakan!

Beberapa  tokoh  silat  perempuan  sudah  sepakat  dengan  kita  untuk mengambil  alih  penenteram  dunia  ini  dari  tangan  laki-laki.  Mereka diantaranya Dewi Kerudung Biru dan Dewi Lembah Bulan Sabit. Sekalipun  aku  tak  ada  nanti  usaha  dan  cita-cita  kita  musti  terus dijalankan  karena  selama  dunia  ini  berputar,  selama  itu  pula  kejahatan dan kekacaubalauan berlangsung! Sekarang jumlah biarawati yang ada di dalam  Biara  Pensuci  jagat  ini  sudah  berjumlah  seratus  orang.  Seratus satu dengan kau dan seratus dua dengan aku. Lima puluh dari biarawati-biarawati  itu  adalah  angkatan  tua  yang  seangkatan  dengan  kau  tapi dibandingkan  dengan  kau,  ilmumu  jauh  lebi  tinggi.  Kau  sudah mewariskan  seluruh  ilmuku,  Wilarani.  Yang  lima  puluh  lainnya  adalah biarawati  dari  golongan  baru,  yang  masih  muda-muda.  Kau  dan  kawan-kawanmu harus ajarkan ilmu kesaktian aku pernah ajarkan pada mereka. Bila  tiba  saatnya  mereka  harus  disebar  di  seluruh  pelosok  guna menjalankan tugas yang dibebankan oleh cita-cita kita bersama!”

Si  nenek  kepala  botak  memandang  ke  langit-langit  kamar.  Ketika kepalanya  diturnkan  kembali  dia  bicara  lagi  maka  suaranya  bernada rawan.

“Wilarani,  hari  ini  sudah  tiba  saatnya  bagiku  untuk  menerangkan siapa namaku.”

Wilarani memandang serius pada gurunya.

“Selama  ini  kau  memanggil  aku  dengan  sebutan  nenek.  Biarawati-biarawati lainnya memanggilku  dengan sebutan  Eyang, namun siapa aku tetap  tak  satupun  dari  kalian  yang  tahu!”  nenek  ini  terbatuk-batuk beberapa kali baru meneruskan.

“Namaku  Supit  Jagat.  Nama  Supit  Jagat  ini  bukan  ibu  atau bapakku  yang  memberikannya  tapi  guruku  sendiri  jadi,  nenek  guru bagimu! Guruku itu sendiri namanya adalah Supit Jagat pula! Ketika dia mau  meninggal  dunia  dia  memberi  pesan  agar  namanya  itu  kuambil sebagai  nama..!  sebelumnya  aku  tiada  bernama  dan  beliau  Cuma memanggilku  dengan  sebutan  “upik.”  Dan  beliau  juga  berpesan  agar  jika aku  mempunyai  murid  nanti,  maka  murid  itu  harus  menukar  namanya dengan Supit Jagat! Di samping aku, Biara Pensuci Jagat ini ada seratus orang  muridku.  Aku  tidak  membedakan  mereka  dengan  kau!  Tapi  dari kenyataan  kau  adalah  murid  yang  paling  cerdas,  rajin,  patuh  serta  yang paling  tinggi  ilmunya!  Karena  itulah  nama  Supit  Jagat  kuwariskan kepadamu dan musti kau pakai mulai detik ini juga. Kau mengerti?”

Wilarani mengangguk.

Supit  jagat  atau  nenek  berkepala  botak  itu  berdiri  dan  melangkah ke dinding di mana tergantung sapu lidi yang merupakan senjatanya yang sangat  sakti.  Diambilnya  sapu  itu  lalu  dia  melangkah  ke  hadapan Wilarani.

“Muridku,  seikat  sapu  lidi  ini  bernama  Sapu  Jagat.  Ini  merupakan senjata  sakti  yang  merupakan  salah  satu  senjata  utama  diantara  senjata yang termashyur di dunia persilatan! Senjata ini kuwarisi dari guruku dan hari ini kuwariskan kepadamu!”

Tentu saja Wilarani hampir tak percaya mendengar ucapan gurunya itu.

“Ayo, terimalah!,” kata Supit Jagat yang berkepala botak.

Dan  Supit  Jagat  yang  berambut  putih  (Wilarani)  ulurkan  kedua tangannya menerima seikat sapu lidi itu.

Sewaktu  telapak  tangannya  menyentuh  sapu  lidi  itu  Wilarani merasakan  adanya  satu  keanehan.  Pada  kedua  telapak  tangannya menjalar  hawa  yang  sangat  sejuk,  terus  ke  lengan,  terus  menjalar  ke seluruh kakinya. Dan pada detik itu pula tubuhnya terasa ringan laksana mengapung  di  awan!  Sapu  Jagat  ternyata  telah  memberikan  satu kekuatan  baru  yang  hebat  pada  Wilarani  sewaktu  kedua  tangannya menyentuh senjata itu!

“Terima  kasih,  guru,”  kata  Wilarani  dengan  penuh  khidmat  dan menjura sampai beberapa kali.

Si  nenek  tertawa  perlahan.  Ada  kelainan  pada  tertawanya  kali  ini. Paras yang tua keriput dimakan umur sembilan puluh tahun itu kelihatan rawan,  sepasang  mata  yang  biasanya  menyorot  tajam  kini  kelihatan sedikit redup.

Tiba-tiba Eyang Supit Jagat membentak.

“Sekarang tutup kedua matamu rapat-rapat, Supit!”

Supit  Jagat  atau  Wilarani  segera  menutup  kedua  matanya sebagaimana  yang  diperintahkan.  Dalam  dia  berpikir-pikir    apa  yang hendak  dilakukan  gurunya  tiba-tiba  laksana  petir  menyambar,  satu tamparan  keras  melanda  pipinya  sebelah  kiri!  Tak  ampun  lagi  Wilarani rebah ke lantai tiada sadarkan diri!

Sewaktu  dia  sadarkan  diri  dan  mengucek-ngucek  kedua  matanya, Wilarani terkejut bikan main. Eyang Supit Jagat dilihatnya menggeletak di lantai. Kedua matanya terpejam dan nafasnya tiada lagi!

“Guru!” pekik Wilarani.

Tapi  mana  sang  guru  bisa  mendengar  karena  memang  nyawanya sudah  putus.  Dan  membuat  Wilarani  atau  Supit  Jagat  baru  ini  lebih heran  ialah  ketika  merasakan  tubuhnya  enteng  luar  biasa  dan  tenaga dalamnya  berlipat  ganda  sampai  beberapa  kali!  Urat-urat  di  dalam tubuhnya  laksana  kawat  dan  pemandangan  serta  pendengarannya menjadi tajam sekali!

Ingatlah  Wilarani  kejadian  sewaktu  gurunya  menyuruh  dia memejamkan  mata!  Sang  guru  diam-diam  melakukan  satu  tamparan dahsyat  dan  disertai  dengan  tamparan  itu  sekaligus  dia  telah menyalurkan  seluruh  tenaga  dalam  ke  tubuhnya  untuk  kemudian  dia sendiri menghembuskan nafas penghabisan, meninggal dunia!

Supit  Jagat  mendukung  tubuh  Eyang  Supit  Jagat  ke  atas pembaringan.  Pada  waktu  itulah  di  lantai  dilihatnya  segulung  kertas. Supit Jagat  mengambil gulungan kertas itu. Di situ ada sebarisan kalimat yang berbunyi, “Surat ini baru boleh dibuka besok siang tengah hari tepat.

Esok harinya tepat  di  tengah  hari  ketika  sang  surya  bersinar  terik  di titik kulminasinya maka di dalam Biara Pensuci Jagat seratus satu biarawati berkumpul di ruangan besar. Sebelumnya pada pagi hari jenazah guru mereka telah dikuburkan di taman di bagian muka gedung Biara.

Suasana sunyi sepi dalam ruangan besar itu. Sunyi sepi serta masih diselimuti  rasa  duka  cita  karena  berpulangnya  guru  mereka  yang  juga merupakan Ketua Biarawati. Wilarani  yang  kini  sudah  mewariskan  nama  Supit  Jagat  tapi  belum diketahui oleh biarawati-biarawati di situ berdiri dari kursinya.

“Biarawati  Satu,”  katanya,  “Harap  datang  ke  sini  dan  bacakan  surat yang ditinggalkan oleh Ketua kita.”

Biarawati  Satu,  seorang  yang  sudah  lanjut  usianya  berdiri.  Dari Wilarani diterima segulung kertas. Dia melangkah ke mimbar dan membuka gulungan kertas itu. Kemudian terdengarlah suaranya membacakan isi surat yang dibuat Eyang Supit Jagat sebelum matinya.

 

Muridku sekalian,

Jika kalian membaca suratku ini maka aku sudah tidak ada, sudah  dikubur  di  dalam  tanah,  kembali  pada  Tuhan  yang menciptakanku dan kalian semua!

Meski  kini  cuma  kuburku  yang  kalian  lihat,  meskipun  aku tidak  berada  lagi  diantara  kalian  namun  cita-cita  kita  yang  luhur untuk  menenteramkan  dunia  ini  dari  segala  malapetaka  dan kegagalan  yang  dibuat  oleh  kaum  lakl-laki,  harus  tetap  kalian lanjutkan!

Selama aku hidup diantara kalian, kita semua berada dalam keadaan  rukun  tenteram  penuh  persatuan.  Bila  kini  aku  sudah tidak ada, kerukunan dan ketenteraman serta persatuan itu harus kalian  pupuk  terus.  Jika  kalian  pecah  dan  berselisih,  berarti hancurnya  cita-cita  yang  hendak  kita  laksanakan  dan  dalam kuburku aku akan mengutuk kalian sebagai murid-murid murtad!

Suratku  ini  juga  kutulis  untuk  menerangkan  sedikit  tentang diriku. Selama ini kalian memanggilku dengan sebutan Eyang atau guru  atau  nenek.  Puluhan  tahun  hidup  bersamaku  kalian  tidak tahu siapa namaku. Namaku adalah Supit Jagat.

Pada  hari  ini  namaku  itu  kuwariskan  kepada  Biarawati Wilarani. Untuk selanjutnya dia berhak memakai nama itu dan di hari  ini  pula  kuresmikan  dia  sebagai  Ketua  kalian  yang  baru!

Kepadanya telah kuwariskan senjata sakti bernama Sapu Jagat! Siapa-siapa  diantara  kalian  yang  kecewa  dengan keputusanku  ini,  siapa-siapa  diantara  kalian  yang  tidak  senang, sebelum kalian menjadi pengkhianat pengkhianat, lebih baik kalian angkat kaki tinggalkan Biara Pensuci Jagat ini atau rohku akan ke luar dari liang kubur untuk mencekik kalian semua!

 

Surat  itu  selesai  dibaca  oleh  Biarawati  Satu  kemudian  diserahkan kembali  kepada  Wilarani  atau  yang  kini  bernama  Supit  Jagat  dan  menjadi Ketua Biara Pensuci Jagat!

Supit  Jagat  menggulung  surat  itu  baik-baik.  Dia  berdiri  di  mimbar, memandang  berkeliling  kemudian  berkata,  “Mungkin  ada  diantara  saudara-saudaraku yang ingin bicara atau mengeluarkan pendapatnya?”

Tak ada satu orangpun yang menjawab. Tapi diantara para biarawati- biarawati  itu  terdengar  suara  saling  berbisik-bisik.  Supit  Jagat  bertanya sekali  lagi.  “Tidak  ada  yang  mau  bicara  dan  keluarkan  pendapat?  Terutama mengenai pengangkatanku oleh mendiang guru kita sebagai Ketua Biara?”

“Boleh aku bicara?”

Tiba-tiba  terdengar  suara  dari  balik  gang  besar  yang  menjadi  salah satu  ruangan  luas  itu.  Semua  biarawati  termasuk  Supit  Jagat  terkejutnya bukan main, karena suara itu adalah suara laki-laki! Dan seperti diketahui dalam  Biara  Pensuci  Jagat  itu,  tak  ada  satu  orang  laki-lakipun  yang  ada atau  diam  di  sana!  Semua  mata  dengan  serta  merta  merta  diarahkan  ke belakang tiang besar. Dan seorang laki-laki melangkah seenaknya menuju ke mimbar!

***

 

SEPULUH

 

LAKI-LAKI  ini  masih  muda  belia.  Rambutnya  gondrong  menjela-jela sampai ke bahu. Parasnya gagah, sikapnya waktu melangkah meski acuh tak  acuh  dan  seenaknya  namun  mengandung  kewibawaan  dan keperkasaan.  Enam  langkah dari mimbar  dia berhenti dan  menjura pada Supit  Jagat  kemudian  melayangkan  senyuman  pada  puluhan  biarawati-biarawati yang duduk di ruangan itu.

Semua  orang  membathin  siapakah  adanya  pemuda  ini  dan  cara bagaimanakah  dia  bisa  masuk  ke  dalam  gedung  Biara  Pensuci  Jagat?

Pintu  gerbang  dikunci,  seseorang  yang  tak  tahu  rahasia  membuka  pintu itu,  meski  bagaimanapun  hebat  serta  tinggi  ilmunya  niscaya  dia  tak sanggup  membukanya!  Melompati  tembok  juga  mustahil.  Tembok halaman  saja  tingginya  lima  tombak  dan  ditambah  besi-besi  panjang berduri  setinggi tiga  tombak!  Di samping itu apakah  kedatangan pemuda asing tak dikenal ini membawa maksud baik atau niat jahat?!

Akan tetapi Supit Jagat meski keterkejutannya serta rasa tidak enak menyelinapi  hatinya,  namun  melihat  si  pemuda  menjura  hormat kepadanya  dia  balas  menganggukkan  kepala,  tapi  tetap  tutup  mulut menunggu sampai si pemuda bicara duluan.

“Apakah  saat  ini  aku  berhadapan  dengan  Ketua  Biara  Pensuci Jagat?!” tanya pemuda itu.

Melihat  pada  pertanyaan  yang  diajukan  ini  Supit  Jagat  segera mengetahui  bahwa  pemuda  itu  belum  berada  lama  di  ruangan  tersebut. Paling  lama  sejak  ketika  Biarawati  Satu  membaca  bagian  terakhir  dari surat mendiang Ketua Biara yang lama.

“Betul  orang  muda,  kau  memang  berhadapan  dengan  Ketua  Biara Pensuci Jagat,” menjawab Supit Jagat.

“Ah...  syukur.  Syukur  kalau  begitu....'  Si  pemuda  garuk  kepalanya dua kali.

“Orang  muda  harap  terangkan  siapa  kau.  Bagaimana  caramu  bisa masuk ke gedung ini dan apakah membawa niat baik atau buruk?” tanya Supit Jagat.

Pemuda  itu  tertawa  malu  macam  anak  kecil.  “Namaku  buruk,” katanya, “jadi tak usahlah aku beri tahu pada Ketua Biara Pensuci Jagat. Mohon maaf. Apalagi aku orang tolol dan banyak mencap aku ini berotak miring.... “

Biarawati Lima, seorang  nenek-nenek berbadan sangat  gemuk yang punya  penyakit  darah  tinggi  lekas  naik  darah,  berdiri  dari  kursinya  dan membentak.

“Pemuda sedeng! Di sini bukan tempat melawak! Lekas katakan apa maksudmu menyelinap ke sini. Jika kau membawa niat jahat kupatahkan batang lehermu dan kulemparkan mayatmu ke luar tembok!”

Si pemuda naikkan kedua alis matanya.

“Galak  betul!  Galak  betul!”  katanya.  “Aku  datang  ke  sini  bukan untuk melawak. Kau lihat sendiri ibu tua, tak ada satu hal lucupun yang aku  buat.  Tak  ada  satu  orang  disini  yang  tertawa!  Bagaimana  kau  bisa bilang aku melawak?!”

Beberapa  arang  Biarawati  tertawa  sembunyi-sembunyi.  Biarawati Lima  merah  mukanya  lalu  berseru  pada  Supit  Jagat,  “ketua,  harap izinkan  aku  menghajar  pemuda  edan  ini!”  Ketua  Biara  Pensuci  Jagat lambaikan  tangan  memberi  isyarat  agar  mempersabar  diri.  Dia  maklum kalau  si  pemuda  bisa  menyelinap  masuk  ke  dalam  gedung,  pastilah  dia bukan sembarang orang!

“Orang  muda,  kuharap  kau  bisa  bicara  seperlunya  mengingat  di mana  kau  berada  saat  ini  dan  mengingat  pula  kau  adalah  tamu  yang tidak diundang,” berkata Supit Jagat.

“Sekarang harap terangkan apa maksud kedatanganmu ke sini.”

“Aku  datang  membawa  maksud  baik  dan  persahabatan,”  kata  si pemuda.

“Hem,  begitu?  maksud  baik  dan  persahabatan  macam  manakah kiranya?” tanya Ketua Biara Pensuci Jagat pula.

Si  pemuda  memandang  dulu  berkeliling  lalu  kembali  palingkan kepala  pada  Supit  Jagat.  “Ketua”,  katanya,  “kau  saksikan  sendiri, sebagian  besar  dari  biarawati-biarawati  di  sini  adalah  perempuan-perempuan muda dan cantik-cantik....”

“Pemuda  kurang  ajar!  Mulutmu  pantas  untuk  disumpal  dengan ujung  pedangku!”  bentak  seorang  biarawati.  Tapi  Ketua  Biara  Pensuci Jagat  kembali  lambaikan  tangan  memberi  isyarat  agar  anak  buahnya  itu tidak bertindak kesusu dan duduk kembali ke kursinya.

Kepada si pemuda sang Ketua berkata, “Teruskan ucapanmu!” Setelah  terbatuk-batuk  beberapa  kali  baru  si  pemuda  membuka mulutnya  kembali.  “Kerbau  sekandang  bisa  dikurung!  Harimau  berlusin-lusin  bisa  disekap!  Tapi  kecantikan  perempuan  tak  bisa  dikurung,  tak bisa disembunyikan, tak bisa disekap! Betul atau tidak...?!”

Diam-diam  Ketua  Biara  yang  baru  ini  menjadi  gemas  juga  dalam hatinya. “Orang muda, ucapanmu terlalu berbelit-belit! Bicara saja secara singkat tapi jelas!”

Si  pemuda  hela  nafas  dan  garuk  kepala  beberapa  kali.  Beberapa orang  biarawati  dari  golongan  tua  berdiri  dari  kursi  dan  berseru,  “Ketua, kehadiran  pemuda  ini  lebih  lama  tidak  menyenangkan  kami!  Harap  beri izin kami untuk mengusimya!”

Pemuda itu memandang pada beberapa orang biarawati itu. “Kalian punya hak untuk mengusirku! Tapi alangkah memalukan bila nanti kalian tahu kedatanganku secara baik-baik ini disambut dengan pengusiran!”

“Baik atau jahat maksud kedatanganmu, kami tidak suka kau hadir di sini.”

“Eh, apakah kau yang menjadi Ketua di sini?” ejek si pemuda.

Merahlah muka si biarawati.

Dia  segera  hunus  pedangnya  dan  melompat  mengirimkan  satu serangan  ganas.  Si  pemuda  sedikit  pun  tidak  bergerak!  Malahan  dengan sikap  acuh  tak  acuh  dia  berpaling  pada  Ketua  Biara  Pensuci  Jagat. Sementara  tebasan  pedang  datang  menyerangnya  dia  berseru,  “Ketua! Sungguh  penyambutan  yang  memalukan.  Bukannya  aku  disuguhi minuman malah dikasih tebasan pedang!”

Angin  pedang  menyambar  tanda  senjata  maut  sudah  berkelebat dekat  sekali!  Tapi  si  pemuda  masih  juga  memandang  pada  Ketua  Biara Pensuci  Jagat  seakan-akan  tak  perduli  atau  tak  tahu  apa-apa  kalau dirinya diserang!

Namun! Seruan  tertahan  bahkan  kaget  memenuhi  ruangan  itu.  Seratus pasang  mata  melotot.  Biarawati  yang  menyerang  si  pemuda  kelihatan berdiri  terhuyung-huyung  sedang  pedang  yang  tadi  dipakainya  untuk menyerang  kini  kelihatan  berada  dalam  tangan  si  pemuda!  Jurus  yang dimainkan Biarawati Tujuhbelas tadi adalah jurus yang cukup lihai dalam ilmu  pedang  Biara  Pensuci  Jagat.  Tapi  si  pemuda  menghancur  leburkannya  dalam  satu  gebrakan  saja  dan  dengan  sikap  acuh  tak  acuh, sambil bicara dengan Ketua mereka! Betul-betul hebat!

Biarawati  golongan  muda  yang  sejak  tadi  tertarik  akan  kecakapan tampang si pemuda kini semakin tertarik melihat ketinggian ilmu pemuda itu. Dan dalam hati masing-masing mereka membathin siapakah gerangan pemuda ini?!

“Ketua Biara Pensuci Jagat,” kata si pemuda, “kedatanganku ke sini dengan  maksud  baik  dan  bersahabat,  tapi  orangmu  telah  menyerangku! Orang  lain  mungkin  sudah  kalap  dan  tak  terima  perlakuan  ini!  Tapi  aku orang  tolol  dan  rendah,  tak  apa-apa.  Ini  soal  biasa!  Perempuan  kalau sudah beringas memang suka menyerang duluan!”

Dengan  tertawa-tawa  pemuda  itu  memutar  tubuhnya  dan melangkah  kehadapan  biarawati  yang  tadi  menyerangnya.  Dia membungkuk  sedikit  lalu  mengangsurkan  senjata  itu  seraya  berkata  .

“Harap kau suka terima pedangmu kembali dan maaf kalau aku bikin kau jadi kalap. “

Biarawati itu tak berkata apa-apa. Diambilnya pedangnya kemudian berlalu dengan cepat.

“Orang  muda,  jika  kau  betul-betul  datang  dengan  niat  baik  dan bersahabat, bicaralah seringkas mungkin!”

Pemuda itu mengangguk.

'Tadi  aku  sudah  bilang  bahwa  kecantikan  itu  tak  bisa  disembunyi- sembunyikan,  tak  bisa  dibendung  dengan  tembok  setinggi  apapun! Kecantikan sebagian besar biarawati biarawati di sini telah diketahui oleh dunia  luar  dan  tokoh-tokoh  persilatan!  Telah  sampai  ke  telinga  seorang tokoh golongan hitam bergelar Pendekar Pemetik Bunga.... “

Si  pemuda  tak  bisa  teruskan  keterangannya  karena  sampai  di  situ suasana  di  ruangan  tersebut  menjadi  ribut!  Terpaksa  Ketua  Biara memberi tanda untuk menenangkan suasana.

Dan si pemuda meneruskan keterangannya pula.

“Jika kalian di sini pada gaduh mendengar nama Pendekar Pemetik Bunga  berarti  kalian  sudah  tahu  manusia  macam  apa  dia  adanya!”

Pemuda  itu  palingkan  kepalanya  pada  Supit  Jagat.  “Ketua  Biara,”  dia berkata lagi, “aku mendapat kabar bahwa manusia terkutuk itu berada di sekitar sini akhir-akhir ini. Dan kabarnya lagi, dia akan mendatangi Biara ini untuk melaksanakan perbuatan-perubatan mesumnya selama ini!”

Suasana tegang dan sunyi laksana dipekuburan mencekam ruangan besar itu.

Di  dalam  kesunyian  yang  tegang  itu,  diam-diam  Biarawati  Satu berkata  kepada  Ketua  Biara  Biara  Pensuci  Jagat  dengan  ilmu menyusupkan suara.

“Ketua,  hatiku  tetap  bercuriga  pada  pemuda  ini.  Aku  yakin  dia datang bukan dengan maksud baik. Apa yang diucapkannya cuma omong kosong belaka.”

“Yang  aku  herankan  ialah  bagaimana  dia  bisa  masuk  kesini,” menyahuti  Supit  Jagat.  “Meski  ilmu  tinggi  tapi  selama  puluhan  tahun  tak ada  satu  tokoh  silatpun  yang  sanggup  masuk  ke  Biara  ini,  apalagi  tanpa setahu kita!”

Biarawati satu bertanya, “Apa perlu aku suruh beberapa orang-orang

“Lakukanlah!” kata Supit Jagat pula.

Maka  sepuluh  orang  biarawati  angkatan  muda  segera  keluar meninggalkan ruangan itu. Pemuda rambut gondrong tersenyum. Matanya tidak  buta.  Dia  telah  melihat  tadi  mulut  Biarawati  Satu  dan  Ketua  Biara Pensuci Jagat bergerak-gerak. Pasti ada yang dibicarakan kedua orang itu, dan pasti menyangkut dirinya.

“Ketua  Biara  Pensuci  Jagat,”  kata  sipemuda  seraya  rangkapkan kedua tangan di muka dada. “Rupanya kau dan biarawati-biarawati di sini sangat bercuriga padaku.”

“Tentu saja,” sahut Supit Jagat. “Kau datang tanpa diundang, masuk dan bicara seenaknya, tidak mau terangkan diri!”

“Apakah  kau  tidak  percaya  kalau  Pendekar  Pemetik  Bunga  akan mendatangi tempatmu ini...?”

“Dia  boleh  datang  dengan  maksud  jahat.  Tapi  dia  musti  tinggalkan kepala di sini!”

Sipemuda tertawa bergelak.

“Nama Biara Pensuci Jagat memang sudah lama dikenal dalam dunia persilatan. Ketuanya Supit Jagat memang sakti luar biasa. Tapi jangankan kau,  gurumu  sendiripun  tiada  sanggup  menghadapi  Pendekar  Pemetik Bunga!”

“Kau  menghina  guru  dan  Ketua  kami!”  teriak  beberapa  Biarawati. Mereka menyerbu si pemuda.

Supit Jagat tidak berusaha menahan. Dia ingin lihat sampai dimana kehebatan  pemuda  berambut  gondrong  itu.  Sepuluh  pedang  menyambar dengan  mengeluarkan  suara  angin  bersiuran.  Karena  yang  menyerang  itu adalah  biarawati-biarawati  dari  golongan  tua  yang  ilmunya  sudah sempurna  maka  kehebatan  serangan  itu  tidak  terkirakan  dahsyatnya. Dalam  sekejapan  mata  tidak  bisa  tidak  tubuh  si  pemuda  akan  tersatai! Atau akan terputus berkeping-keping!

“Sungguh memalukan!” seru si pemuda. “Di sarang sendiri biarawati-biarawati  yang  katanya  mau  mensucikan  dunia  ini  dari  segala  kekotoran, menyerang main keroyok!”

“Bagi  manusia-manusia  edan  tak  tahu  peradatan  dan  kurang  ajar, tak  perlu  merasa  malu!”  sentak  salah  seorang  dari  biarawati  yang menyerang.

Sekejap  kemudian  ruangan  besar  itu  bergemuruh  oleh  suara beradunya  sepuluh  badan  pedang  yang  menimbulkan  bunga  api  yang terang sekali!

Semua  orang  berseru  kaget.  Ketua  Biara  Pensuci  Jagat  membuka matanya  lebar-lebar.  Tapi  si  pemuda  yang  tadi  hendak  dikermus  lenyap dari pemandangan, entah kemana!

Tiba-tiba  terdengar  suara  salah  seorang  biarawati.  “Hei!  Lihat! Manusia itu sudah bergantung pada kawat lampu!”

Semua  kepalapun  mendongak  ke  langit-langit  di  atas  ruangan! Ternyata betul. Pemuda berambut gondrong itu bergantung di langit-langit ruangan  dengan  tangan  kirinya  memegangi  kawat  kecil  lampu  yang menerangi  ruangan  besar  itu!  Kalau  dia  tidak  memiliki  ilmu  mengentengi tubuh yang tinggi luar biasa, pastilah kawat itu akan putus!

“Pemuda  edan!”  pekik  seorang  biarawati,  “jangan  kira  aku  dan kawan-kawan tidak sanggup mengejar kau ke atas sana!”

Sepuluh tubuh berjubah putih laksana anak-anak panah melesat ke atas  dan  serentak  itu  pula  kirimkan  serangan  pedang  yang  lebih  ganas yaitu jurus “Menabas Gunung Menusuk Rembulan”

Terdengar  suara  bersiut-siut  dan  sedetik  kemudian  disusul  oleh suara  jatuhnya  lampu  minyak  besar  yang  tergantung  di  langit-langit ruangan!  Kacanya  dan  semprongnya  pecah  bertebaran,  minyak  tumpah membasahi lantai! Sepuluh pedang biarawati-biarawati tadi nyatanya telah menabas putus kawat lampu hingga jatuh pecah berantakan ke lantai. Dan  hebatnya  lagi  saat  itu  si  pemuda  sudah  berdiri  lagi  di tempatnya  semula  sebelum  diserang  pertama  kali  tadi.  Berdiri  diantara pecahan kaca dan minyak lampu sambil tertawa-tawa rangkapkan tangan di muka dada!

Penasaran  sekali  sepuluh  biarawati  segera  menukik  dan  hendak lancarkan serangan untuk ketiga kalinya! Tapi kali ini Ketua Biara Pensuci Jagat cepat berseru. “Tahan!” Meski  hati  gusar  tapi  sepuluh  biarawati  hentikan  serangan  namun ketika  turun  kelantai  kembali  tetap  membentuk  posisi  mengurung  si pemuda!

“Para  biarawati  harap  kembali  ke  tempat,”  perintah  Ketua  Biara Pensuci  Jagat.  Sepuluh  biarawati  turun  perintah  itu.  Mereka  sarungkan pedang masing-masing dan duduk kembali ke tempat semula. Disaat  itu  pula  sepuluh  biarawati  yang  tadi  disuruh  menyelidik keluar gedung kembali memasuki ruangan. Dengan  ilmu  menyusupkan  suara  Ketua  Biara  Pensuci  Jagat hendak  bertanya  pada  biarawati-biarawati  itu,  tapi  mendadak  si  pemuda sudah mendahului!

“Bagaimana?”  tanyanya.  “Apa  kalian  menemui  tembok  pagar  yang bobol atau pintu gerbang yang rusak?!”

Sepuluh  biarawati  itu  tiada  perdulikan  pertanyaan  si  pemuda melainkan  melangkah  ke  hadapan  Ketua  mereka  dan  melaporkan  bahwa tidak  ada  satu  tanda  yang  mencurigakanpun  di  luar  sana.  Semuanya beres  dan  rapi!  Ketua  Biara  Pensuci  Jagat  anggukkan  kepala  dan  suruh sepuluh biarawati itu kembali ke tempat masing-masing.

“Pemuda,”  berkata  sang  Ketua.  “Ilmu  yang  barusan  kau pamerkan...”

“Ah...!”  memotong  pemuda  itu.  “Siapa  yang  pamerkan  ilmu!” tanyanya. “Orang diserang  toh musti mengelak? Siapa sih  orangnya yang mau  ditusuk-tusuk  dengan  pedang?  Yang  mau  dicincang?  Kucing budukpun pasti larikan diri atau mengelak!”

Tenggorokan  Supit  Jagat  turun  naik  beberapa  kali.  Kemudian  dia berkata  lagi.  “Meski  ilmumu  setinggi  gunung  sedalam  lautan,  meski pengalamanmu  saluas  bumi,  tapi  jika  kau  datang  ke  sini  dengan membawa niat jahat, jangan harap kau bisa keluar hidup-hidup dari sini!”

Si pemuda menghela nafas.

“Apakah  kalian  di  sini  tuli  semua?  Apa  aku  sejak  tadi  cuma  bicara dengan tonggak-tonggak mati?!” katanya. Lalu dia  meneruskan. “Pertama datang  aku sudah bilang bahwa maksudku ke sini adalah membawa niat baik  dan  bersahabat!  Bahkan  aku  kasih  keterangan  pada  kalian  di  sini bahwa  Biara  ini  dan  kalian  semua  sedang  terancam  bahaya!  Bahaya  itu datangnya  belum  tentu  tapi  pasti  datang!  Bahaya  Pendekar  Pemetik Bunga!  Tapi  kalian  bukannya  percaya,  malah  bercuriga  padaku!  Malah menyerang aku! Aku yang edan apa kalian yang keblinger!”

“Kalau  kau  datang  betul  membawa  niat  baik  dan  bersahabat, mengapa datang tidak memberi tahu lebih dulu? Mengapa lancang masuk dengan diam-diam ke tempat orang?!” Si pemuda tertawa.

“Kalian sedang rapat! Sedang adakan pertemuan! Kalau aku datang dengan  mengetuk  pintu  gerbang  sana  atau  berteriak-teriak  memberi salam, pastilah akan mengganggu rapat kalian.”

“Kau  memang  sudah  mengganggu  kami!”  semprot  Biarawati  Lima yang memang sejak tadi belum habis rasa penasarannya.

Si pemuda angkat bahu.

Dipalingkannya  tubuhnya  pada  Ketua  Biara  Pensuci  Jagat,  dan berkata.

“Ketua,  jika  kau  dan  semua  orang  di  sini  menganggap  aku  telah mengganggu  kalian  dan  mengacaukan  suasana  pertemuan  ini  mohon dimaafkan. Aku tak akan mengganggu lebih lama.”

Pemuda itu menjura dua kali di hadapan Supit Jagat. “Cuma jangan menyesal kalau keteranganku nanti terbukti benar!”

Pemuda ini menjura satu kali pada barisan biarawati-biarawati yang duduk  berjejer-jejer  di  kursi  lalu  segera  hendak  putar  badan  tinggalkan ruangan itu!

Mendadak biarawati gemuk tadi berteriak.

“Ketua! Bukan mustahil pemuda ini sendiri Pendekar Pemetik Bunga itu!”

Supit  Jagat  tercekat  hatinya.  “Ya,  bukan  tak  mungkin,”  katanya membathin.  Cepat-cepat  dia  bertepuk  tiga  kali  dan  keseluruhan  biarawati yang  duduk  di  kursi  berdiri  cepat,  menyebar  di  seluruh  tepi  ruangan, menjaga jendela-jendela dan menjaga pintu-pintu!  Tak mungkinlah bagi si pemuda untuk meninggalkan tempat itu kini!

Lebih-lebih  ketika  terdengar  suara.  “Sret...  sret...,  sret...!”  Suara pedang  yang  dicabut  dari  sarungnya!  Seratus  pedang  kini  melintang  di tangan!

***

 

SEBELAS

 

Si pemuda memandang berkeliling ruangan dengan kerenyitkan kulit kening.

“Apa-apaan ini?!” tanyanya membentak.

“Jika kau tidak mengaku bahwa kau adalah Pendekar Pemetik Bunga sendiri, jangan harap kau bisa keluar hidup-hidup dari sini!” hardik Ketua Biara Pensuci Jagat.

“Eeeeee... kenapa memaksa aku yang bukan-bukan?!”

“Jangan  banyak  bacot!  Mengaku  atau  mampus?!”  Yang  membentak kali ini adalah Biarawati Lima.

Si  pemuda  geleng-geleng  kepala.  “Tidak  sangka  biarawati-biarawati yang berhati suci jujur bisa bicara membentak dan galak, serta agak kotor!”

Biarawati  Lima  melompat  ke  muka.  Pedangnya  diacungkan  tepat-tepat  ke  arah  hidung  si  pemuda.  Dia  berpaling  pada  Supit  Jagat.  “Ketua, tunggu apa lagi?!”

“Pemuda,  kau  sungguh  tidak  mau  mengaku  diri?!”  bertanya  Ketua Biara Pensuci Jagat.

“Kalau  aku  tidak  mengaku,  aku  mau  dibikin  mampus!  Kalau  aku mengaku  bahwa  aku  Pendekar  Pemetik  Bunga,  seribu  kali  lebih  mampus! Kuharap kalian semua suka berpikir pakai otak dan jangan galak-galakan! Tak  ada  perlunya!  Kalau  aku  Pendekar  Pemetik  Bunga  sudah  sejak  tadi terjadi kemesuman di ruangan ini!”

Ketua  Biara  Pensuci Jagat menimbang ucapan si pemuda. Memang betul juga, kalau pemuda ini adalah Pendekar Pemetik Bunga tentu sudah sejak tadi terjadi hal-hal yang mengerikan!

“Sekarang,  apakah  kalian  mau  memberi  jalan  padaku  untuk  keluar dari sini?!” terdengar si pemuda bertanya.

“Sebelum  kau  terangkan  siapa  kau  punya  nama,  berasal  dari  mana dan juga terangkan gelarmu, baru kami akan izinkan kau berlalu dari sini!” kata Supit Jagat pula.

Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. Tiba-tiba meledaklah tertawanya! Lantai, dinding, langit-langit den tiang ruangan bergetar  oleh kumandang tertawanya yang panjang ini. Setiap hati manusia yang ada di situ,  termasuk  Ketua  Biara  Pensuci  Jagat  sendiri  ikut  tergetar  oleh kehebatan suara tertawa si pemuda.

“Kenapa kau tertawa?!” bentak Ketua Biara Pensuci Jagat.

“Siapa  yang  tidak  bakal  geli  dan  ketawa!”  menyahut  si  pemuda.

“Mula-mula  kalian  tanya  siapa  aku?  Siapa  namaku.  Siapa  gelarku  dan sekarang  tanya  aku  berasal  dari  mana  atau  tinggal  di  mana?!  Persis pertanyaan-pertanyaan  begitu  macam  muda  mudi  yang  sedang  pacar-pacaran!”

Merahlah paras Ketua Biara Pensuci Jagat.

“Tak  dapat  dihindarkan  lagi  bahwa  lantai  ruangan  ini  akan  basah oleh  darahmu,  pemuda  bermulut  kurang  ajar!”  teriak  sang  Ketua.  Dia gerakkan tangan memberi isyarat. Dan selangkah demi setangkah, seratus biarawati  dari  angkatan  tua  dan  muda,  dengan  pedang  ditangan  masing-masing, maju mendekati si pemuda!

Gilanya  pemuda  itu  masih  juga  berdiri  tertawa-tawa  di  tengah ruangan,  memandang  berkeliling  dan  garuk-garuk  rambutnya  yang gondrong!

Tiba-tiba  seratus  pekikkan  laksana  guntur  yang  hendak meruntuhkan gedung biara itu berkumandang! Seratus pedang berkiblat!

“Buset!”  Si  pemuda  membentak  tak  kalah  nyaring.  Diiringi  dengan suitan  yang  memekakkan  telinga  dia  melompat  tinggi-tinggi  ke  atas, kepalanya  hampir  menyundul  langit-langit.  Dalam  tubuh  mengapung begitu  rupa  pemuda  ini  berseru,  “Ketua,  harap  kau  sudi  hentikan serangan ini dulu!”

“Serang terus!” sebaliknya Ketua Biara Pensuci Jagat berteriak.

“Aku  tak  mau  kesalahan.  tangan  dan  cari  permusuhan  dengan kalian! Kita adalah sama-sama satu golongan!”

“Jangan ngaco!” tukas Biarawati Lima.

“Ketua  Biara,  aku  betul-betul  tidak  mau  bikin  cilaka  orang-orangmu!” berseru lagi si pemuda.

Tapi  sang  Ketua  Biara  tak  mau  ambil  perduli  malah  membentak lebih  keras  agar  orang-orangnya  menggempur  pemuda  itu.  Puluhan biarawati melesat ke atas, puluhan pedang berkelebat!

Pemuda  itu  menggerendeng  dalam  hatinya.  Kedua  telapak tangannya  dikembangkan  dengan  cepat  kemudian  dipukulkan  ke  bawah! Maka  angin  dahsyat  laksana  topan  menderu  ke  bawah  memapasi serangan-serangan  lawan.  Betapapun  puluhan  biarawati-biarawati  itu bersikeras  menyerbu  ke  atas  dan  kerahkan  tenaga  dalam  serta  ilmu meringankan  tubuh  mereka  namun  tiada  berhasil.  Mereka  laksana tertahan oleh satu dinding baja yang tak kelihatan. setiap mereka melesat ke  atas,  tubuh  mereka  kembali  mental  ke  bawah  berpelantingan,  banyak yang mendeprok jatuh duduk!

Heranlah sang Ketua Biara Pensuci Jagat menyaksikan hal ini. Ilmu apakah gerangan yang dimiliki pemuda itu, demikian dia membathin. Melihat  betapa  orang-orangnya  mengalarni  kesia-siaan,  tiada  hasil melakukan  serangan  mereka  maka  Supit  Jagat  sendiri  segera  turun  dari mimbar dan berseru, “Pemuda, turunlah! Hadapi aku!”

“Ah... Ketua Biara, sungguh satu kehormatan yang kau sendiri juga mau  turun  tangan  pada  budak  hina  ini,”  dan  sementara  itu  sepasang mata  si  pemuda  melirik  ke  pintu  di  ujung  kanan  yang  kini  tiada  terjaga lagi karena keseluruhan biara di ruangan itu ambil bagian menyerangnya.

“Tapi,” melanjutkan si pemuda sementara kedua telapak tangannya masih  terus  juga  dipukulkan  berkali-kali  ke  bawah  memapasi  serangan-serangan lawan, “harap maaf, saat ini aku tidak punya kesempatan untuk main-main dengan kau! Lagi pula aku anggap kita semua ini adalah orang satu golongan! Sampai jumpa Ketua Biara!”

Pemuda  itu  melompat  ke  samping  lalu  menukik  ke  arah  pintu. Penasaran  sekali  Ketua  Biara  Pensuci  Jagat  lepaskan  satu  pukulan  jarak jauh yang dahsyat!

“Braak!”

Sebagian  tiang  pintu  yang  besarnya  lebih  dari  sepemeluk  tangan hancur lebur.

Tapi si pemuda sudah lenyap!

“Kejar!”  teriak  Supit  Jagat.  “Kita  musti  tangkap  manusia  itu  hidup atau mati!”

Maka  ruangan  besar  itupun  kosong  melomponglah  kini.  Semua biarawati  termasuk  Supit  Jagat  rnenghambur  ke  luar.  Seluruh  halaman diperiksa. Pintu gerbang dibuka dan belasan biarawati mengejar keluar dan belasan  iainnya  melompat  ke  atas  atap,  namun  si  pemuda  lenyap  tiada bekas!

Supit Jagat memerintahkan orang-orangnya untuk kembali masuk ke dalam  Biara.  Dan  waktu  mereka  memasuki  ruangan  pertemuan  tadi, semuanyapun terkejutlah! Di  lantai  ruangan,  dikursi-kursi  dan  di  beberapa  bagian  dinding ruangan sebelah bawah bertebaran puluhan deretan angka 212.

“Dua  satu.  Dua!”  desis  Supit  Jagat.  Ketua  Biara  Pensuci  Jagat  ini memandang  biarawati-biarawati  angkatan  tua.  Ya,  hanya  mereka  yang seumur  dengan  dialah  yang  mengerti  apa  arti  angka  212  itu  sedang biarawati-biarawati angkatan muda hanya melongo tak mengerti!

Ketua  Biara  Pensuci  Jagat  memberi  isyarat  pada  kira-kira  sepuluh orang  biarawati  angkatan  tua  agar  mengikutinya  masuk  ke  dalam  sebuah kamar. Ketua  Biara  ini  duduk  di  kursi  goyang  yang  dulu  menjadi  kursi kesayangan  Ketua  mereka  yang  telah  meninggal  dunia.  “Sekarang  kita sudah  tahu  siapa  adanya  pemuda  itu,”  berkata  Supit  Jagat.  “Dia  bukan lain dari Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, murid Eyang Sinto Gendeng dipuncak gunung Gede yang menurut guru kita tempo hari merupakan kawan baiknya!”

“Kalau  begitu,”  menyela  Biarawati  Lima  yang  bertubuh  gemuk pendek dan yang tadi paling gemas terhadap pemuda itu, “keterangan yang diberikannya bukan omong kosong belaka!”

“Betul!” Supit Jagat anggukkan kepala.

“Kalau  dia  mernang  golongan  kita  sendiri,  sama-sama  golongan putih,”  kata  Biarawati  Sembilan.  “Kenapa  tidak  siang-siang  dia  terangkan diri...?!”

“Pemuda  itu  memang  aneh,”  menyahut  Ketua  Biara  Pensuci  Jagat.

“Kadang-kadang orang menganggapnya pemuda gila, edan kurang ingatan!

Kalau kalian kenal pada gurunya, gurunya Eyang Sinto Gendeng itu lebih gila  lagi!  Gila  dan  edan,  bicara  seenaknya!  Bahkan  dalam  bertempur menyabung  nyawapun  dia  tertawa-tawa  atau  bersiul-siul  seperti  yang kalian  lihat  tadi!  Sinto  Gendeng  ataupun  muridnya  yang  tadi  memang bukan orang-orang yang suka agul-agulkan nama atau obral gelar di mana-mana.  Kurasa  itulah  sebabnya  pemuda  tadi  tidak  mau  kasih  keterangan siapa dia sebenarnya!”

Sunyi beberapa lamanya.

“Ketua,  bagusnya  kita  segera  bersiap-siap  menjaga  segala kemungkinan atas datangnya Pendekar Pemetik Bunga itu!”

“Ya. Biarawati Satu, kau atur semuanya. Perketat penjagaan! Tambah alat-alat rahasia di sekitar tembok dan pintu gerbang!”

“Perintah  akan  kami  jalankan,  Ketua,”  sahut  Biarawati  Satu,  lalu bersama  kawan-kawannya  yang  lain  segera  meninggalkan  tempat  itu setelah terlebih dahulu menjura memberi hormat.

Sementara itu dua orang biarawati muda yang kelelahan mencari-cari Wiro  Sableng  di  luar  tembok  halaman  dan  yang  bekerja di  bagian  dapur biara  segera  langsung  menuju  ke  bagian  dapur  itu.  Sesudah  minum melepaskan  dahaga  mereka  bermaksud  akan  meneruskan  pekerjaan mereka  sehari-hari  di  dapur.  Namun  betapa  terkejutnya  kedua biarawati  sewaktu  masuk  ke  dalam  dapur,  mereka  mendapatkan seorang  pemuda  yang  bukan  lain  Wiro  Sableng  Pendekar  Maut  Naga Geni  212  tengah  duduk  di  sebuah  kursi  dengan  angkat  kaki  dan melahap  nasi!  Asyik  makan  dan  menggeragoti  paha  ayam  goreng  sisa malam tadi!

Segera keduanya hendak berteriak. “Ssst…” .

Wiro  Sableng  letakkan  jari  telunjuknya  di  atas  kedua  bibirnya sedang  mulutnya  saat  itu  menggembung  penuh  nasi.  Tapi  mana  dua biarawati tak  mau  berdiam  diri.  Keduanya  sama hendak  berteriak  lagi dan  menghambur  dari  dapur.  Wiro  tak  dapat  berbuat  lain.  Dia hantamkan  dua  jari  tangan  kanannya  ke  muka!  Dengan  serta  merta tubuh  kedua  biarawati  itu  berhenti  mematung,  mulut  mereka  yang tadi hendak berteriak terbuka lebar-lebar tapi tak satu suarapun yang keluar!

Itulah ilmu totokan jarak jauh yang lihay sekali telah dilepaskan oleh  murid  Eyang  Sinto  Gendeng!  Dan  selanjutnya  seperti  tak  ada kejadian  apa-apa,  seperti  dirumahnya  sendiri  Wiro  Sableng meneruskan  melahap  makanannya!  Selesai  makan  dan  meneguk  air, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini segera tinggalkan dapur itu. Sewaktu  empat  orang  biarawati  yang  juga  bekerja  di  dapur memasuki  dapur,  keempatnya  terkejut  mendapatkan  dua  kawan mereka berdiri tak bergerak sedang mulut menganga. Nyatalah mereka telah ditotok. Segera totokan itu dilepaskan.

“Siapa yang menotok kalian?!”

“Pemuda itu!”

“Maksudmu Wiro Sableng?! Pendekar 212?!”

“Ya!” sahut yang seorang.

Yang  seorang  lagi  memberi  keterangan,  “Kami  haus  dan  mau minum  lalu  melanjutkan  tugas  sehari-hari.  Tahu-tahu  pemuda  itu sudah  nongkrong  di  kursi  sana,  melahap  nasi  dan  makan  daging ayam!”

“Pantas  dicari-cari  di  luar  gedung  tidak  ada!  tak  tahunya nongkrong di dapur! Pemuda lapar!”

Ketika  hal  itu  dilaporkan  kepada  Ketua  Biara  Pensuci  Jagat mula-mula  dalam  terkejut-nya  Supit  Jagat  setengah  tak  percaya.Namun  kemudian  tiba-tiba  meledaklah  suara  terta-wanya.  Biarawati-biarawati  yang  datang  melapor  itupun  akhirnya  ikut-ikutan  pula tertawa!

***

 

DUABELAS

 

Gadis  berbaju  kuning  ringkas  itu  menghentikan  larinya  di  tepi  kali berair  jernih  dengan  batu-batu  besar  di  tengah-tengahnya  bertebaran laksana  pulau-pulau  kecil.  Disibakkannya  rambutnya  yang  mengurai  di kening  dan  disekanya  keringat  yang  membasahi  kuduknya.  Dihelanya nafas  dalam,  nafas  yang  ditarik  dengan  disertai  rasa  keputusasaan  dan kegemasan!

Dua  hari  yang  lalu  dia  sudah  berhasil menemui  jejak  manusia  yang dicarinya.  Kemarin  dia  bahkan  telah  menguntit  manusia  itu  tapi  hari  ini, sesampainya  di  tepi  kali  itu,  ba-yangan  manusia  yang  dikejarnya  kembali lenyap laksana ditelan bumi, laksana amblas masuk ke dalam kali!

Penuh  letih  akhirnya  gadis  ini  dudukkan  diri  di  tepi  kali,  di  atas sebuah  batu  hitam.  Dia  memandang  ke  hulu  sungai.  Satu  pemandangan yang indah untuk disaksikan. Sementara itu angin bertiup pula sepoi-sepoi basah.  Di  luar  sepengetahuan  gadis  berbaju  kuning  ini,  menyelam  antara kelihatan dan tidak, berenang seekor ular kali sebesar lengan. Kaki-kaki si gadis  yang  berkulit  putih  mulus  dan  bagus,  yang  sebagiannya  masuk  ke dalam air, itulah yang telah menarik perhatian sang ular dan membuatnya segera berenang ke arah mangsanya ini!

Setengah  langkah  ular  itu  berada  dari  kedua  kakinya,  barulah  si gadis  sadar.  Cepat  dia  tarik  kedua  kaki  dari  dalam  air.  Sang  ular  dengan ganas  terus  mengejar  naik  ke  atas  batu.  Tapi  nasibnya  malang.  Kali  ini gadis baju kuning pergunakan kaki kirinya untuk menendang!

Binatang  itu  mencelat  mental.  Kepalanya  hancur.  Tubuhnya menggelepar-gelepar seketika lalu mati dan dihanyutkan arus sungai. Gadis baju kuning itu berumur sekitar 19 tahun. Sepasang matanya bening  dan  jeli.  Parasnya  bujur  telur  dan  ayu,  tak  membosankan  untuk dipandang. Di atas sepasang matanya yang bening jeli itu berpeta dua buah alis laksana bulan sabit bagusnya!

Namun di balik keayunan paras itu, di belakang kejelitaan wajah itu samar-samar  kelihatan  satu  rasa  duka  derita  yang  berpaut  dengan  rasa dendam kesumat!

Lima hari yang lalu dia masih berada di Goa Blabakan. Dan hari itu dia  berhadap-hadapan  dengan  gurunya.  “Empu,  murid  minta  diizinkan untuk meninggalkan pertapaan untuk beberapa waktu...”

Empu  Tumapel  memandangi  paras  muridnya  beberapa  lama.

“Pelajaran  yang  kuberikan  padamu  masih  belum  selesai,  Sekar,”  berkata sang guru, “Kau ingat bahwa lima tahun lagi baru kau boleh meninggalkan Goa Blabakan ini?”

“Murid ingat, guru. Murid tidak lupa,” sahut Sekar. “Tapi kabar yang murid  terima  dari  orang  desa  yang  datang  kemarin  siang....  Guru  tentu dapat memakluminya.”

Dan  gadis  itu  menyeka  air  mata  yang  meleleh  dipipinya.  “Aku  tidak mengajarkan  kau  menangis,  Sekar!  Aku  mengajarkan  kau  ilmu  silat,  Ilmu kesaktian,  ilmu  bathin,  Ilmu  menguatkan  jiwa,  lahir  dan  bathin!  Bukan Ilmu menangis!” Sekar seka lagi sisa-sisa air matanya dan hentikan tangis.

“Murid tahu, guru. Tapi guru juga musti maklum. Ayahku dibunuh. Ibuku dan  adik  perempuanku  diperkosa  lalu  dibunuh!  Dapatkah  hati  seorang perempuan  menghadapi  semua  ini  tanpa  air  mata?  Dan  karena  peristiwa itulah  murid  minta  izin  kepada  guru  untuk  meninggalkan  pertapaan  ini beberapa lamanya guna mencari manusia terkutuk itu!”

Empu Tumapel merenung dan setelah menghela nafas dalam diapun berkata,  “Sekalipun  kuizinkan  padamu  pergi,  sekalipun  kau  bertemu dengan  manusia  itu,  belum  tentu  kau  berhasil  menghadapinya  Sekar.  Belum tentu kau dapat membalaskan sakit hati dan dendam kesumatmu!”

'°Murid  tahu,  manusia  itu  sakti  luar  biasa!  Tapi  demi  menuntut kebenaran,  demi  arwah  orang  tua  dan  adikku,  dengan  doa  restu  guru serta  pertolongan  Tuhan,  murid  yakin  murid  akan  sanggup menghadapinya!  Tapi  guru,  apakah  ilmu  meskipun  sakti  luar  biasa jika  dipergunakan  untuk  kejahatan  akan  sanggup  menghadapi kebenaran dan kekuatannya Tuhan?!”

Empu  Tumapel  yang  berumur  enam  puluh  tahun  terdiam  oleh ucapan muridnya itu.

“Kau akan  mati  percuma  di  tangan manusia  itu, Sekar,” katanya setelah berdiam diri beberapa lama.

“Tidak,  guru.  Sekalipun  aku  mati,  aku  akan  mati  dengan  puas. Puas  karena  aku  telah  membela  keadilan,  menghancurkan  kejahatan. Aku akan mati syahid guru!”

“Baik...  baiklah  muridku,”  kata  Empu  Tumapel.  Dibelainya kepala  muridnya  itu.  Dan  dalam  jubahnya  dikeluarkan  seuntai  rantai baja  yang  panjangnya  dua  meter.  Pada  ujung  rantai  baja  ini  terdapat sebuah bola baja berduri. Keseluruhan senjata ini memancarkan sinar putih dan hawa dingin tanda senjata itu bukan senjata sembarangan.

“Kuizinkan kua pergi, Sekar. Dan bawalah senjata Rantai Petaka Bumi ini. Mudah-mudahan kau berhasil...”

Sekar berlutut di hadapan gurunya.

“Terima  kasih  guru...  Terima  kasih  guru  juga  mempercayakan dan meminjamkan senjata ini padaku....”

Lamunan  tentang  saat  lima  hari  itu  serta  merta  buyar  sewaktu dari  hulu  sungai  Sekar,  si  gadis  berbaju  kuning,  melihat  sesosok bayangan  putih  berlari  cepat  di  atas  kali,  hanya  sekali-sekali  kakinya menjejak batu-batu yang banyak bertebaran di atas kali.

Cepat  Sekar  berdiri  dan  menunggu  penuh  waspada.  Orang  yang berlari  hentikan larinya  dan berdiri  di  atas  sebuah  batu  besar sejarak satu-dua meter di hadapan gadis itu.

“Eh,  saudari,  kau  berada  sendiri  di  tepi  kali  ini,  ada  apakah?!”

Sekar  menatap  paras  pemuda  yang  tampan  itu.  Sewaktu  dia memperhatikan  rambut  gondrong  yang  menjela  sampai  ke  bahu  si pemuda,  berdetak  hatinya!  Bukan  tidak  mustahil  manusia  ini  adalah Pendekar Pemetik Bunga yang tengah dicarinya dan kini telah bertukar pakaian.  Dia  sendiri  memang  tidak  pernah  melihat  jelas  tampang Pendekar Terkutuk itu!

Menimbang begini. Sekar segera keluarkan “Rantai Petaka Bum!” dari  balik  pakaiannya,  terus  menyerang  dengan  ganas!  Si  pemuda terkejut!

“Gila  betul!  Ditanya  baik-baik  dijawab  dengan  serangan!”  Cepat-cepat  dia  menghindar.  Angin  dingin  menyambar  tubuhnya  sewaktu Rantai Petaka Bumi lewat di depan dadanya!

“Saudari, itu senjata sakti! Jangan dibuat main-main!”

“Tutup  mulut!  Justru  dengan  senjata  inilah  akan  kuhancurkan kepalamu pemuda bejat!”

Si  pemuda  keluarkan  siulan  dan  tertawa  gelak-gelak.  Inilah  ciri-ciri  khas  dari  pendekar  yang  tak  asing  lagi  yaitu  Wiro  Sableng  si Pendekar 212!

“Kenal  belum,  ketemupun  baru  kali  ini  sudah  bisa  menyumpahiku pemuda bejat! Kau mimpi atau apa?!”

“Keparat, terima kematianmu dalam tiga jurus!”

Sekar  menyerang  dengan  dahsyat. Rantai Petaka Bumi  menyapu dengan  mengeluarkan  suara  dahsyat  laksana  halilintar,  menebarkan angin  laksana  topan  hingga  air  kali  bermuncratan  dan  batu-batu  kali yang tersambar bola baja berduri itu hancur berantakan!

“Saudari!”  seru  Wiro  Sableng.  “Kau  ini  main-main  atau bagaimana?”  Pemuda  ini  terpaksa  jungkir  balik  di  atas  kali menghindari  serangan  senjata  lawan  yang  dahsyat.  Dan  sebelum kedua kakinya menjejak disalah satu batu kali. Rantai Petaka Bumi itu sudah menyapu lagi ke arah kakinya!

“Hebat!” seru Wiro Sableng benar-benar kagum.

“Ya,  hebat!  Memang  hebat!  Sebentar  lagi  kepalamu  akan  dibikin hebat oleh bola baja berduri ini!” tukas Sekar.

Wiro  Sableng  terpaksa  jungkir  balik  sekali  lagi.  Seorang  yang memiliki  ilmu  mengentengi  tubuh  sempurna  biasa  saja  pasti  tak  akan sanggup  melakukan  dua  kali  jungkir  balik  itu.  Tapi  Pendekar  212  ilmu mengentengi tubuhnya sudah lebih tinggi dari kesempurnaan!

Si  gadis  melihat  serangannya  melanda  angin  kosong  jadi  penasaran sekali.  Saat  itu  jurus  kedua.  Tanpa  tedeng  aling-aling  dia  melompat  ke muka  lebih  dekat  pada  si  pemuda  dan  putar  Rantai  Petaka  Bumi  dengan jurus “Bumi Dilanda Lindu!”

Jurus  ini  memang  hebat  luar  biasa,  padahal  si  gadis  baru  mewarisi setengahnya saja dari gurunya! Karena  tak ingin melawan dan karena tak mau membuat si gadis cilaka, lagi pula merasa tidak ada permusuhan apa-apa,  maka  Wiro  Sableng  sejak  tadi  hanya  mengelak,  sekalipun  tak  balas menyerang.  Gesit  sekali  Pendekar  dari Gunung  Gede  ini  melompat  ke  tepi kali.

“Saudari harap tahan dulu seranganmu!”

“Jangan banyak rewel Pendekar Terkutuk Pemetik Bungai Kau tetap musti kubunuh! Arwah orang tua dan adikku tak akan tenang di alam baka sebelum  nyawa  anjingmu  kurenggut  dari  tubuh  keparatmu!”  Lantas  si gadis melompat pula ke tepi kali.

“Hai!  Kalau  begitu  kau  salah  duga,  gadis  baju  kuning!”  kata  Wiro Sableng pula. “Aku bukannya Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga!”

“Tak  perlu  dusta!  Kau  kira  bisa  selamat  dengan  jual  mutut  begitu rupa?!”

“Aku  tidak  dusta!  Apa  kau  pernah  lihat  aku  memetik  bunga  dan bunga apa? Bunga matahari atau bunga mawar atau....”

“Bunga  bola  baja  kematianmu  ini,  laknat!”  sentak  Sekar.  Dan kembali dia menyerang secara ganas.

Pendekar kita terpaksa mengelak lagi dan lompat ke cabang sebatang pohon.

“Kalau  keliwat  kesusu  bisa  tidak  beres  saudari.  Aku  masih  belum habis  bicara!  Kuharap  kau  suka  simpan  itu  senjata  dan  mari  kita  bicara baik-baik...”

Bukannya  si  gadis  baju  kuning  simpan  senjata  meiainkan  bola  baja berduri  itu  diluncurkannya  ke  batang  pohon  di  atas  mana  Wiro  Sableng berada.

“Kraak!”

Batang  pohon  hancur  dan  tumbang.  Pendekar  212  sendiri  sudah lompat ke pohon yang lain!

Gemas  sekali  Sekar  segera  melompat  ke  pohon  itu!  Dan  di  atas cabang  pohon  yang  tak  seberapa  besar  itu  maka  kini  terjadilah pertempuran  yang  seru!  Namun  Wiro  Sableng  tetap  tidak  mengadakan perlawanan atau balas menyerang. Ini membuat si gadis jadi penasaran.

“Ayo,  pemuda  keparat!  Kenapa  diam  saja?!  Apa  nyalimu  sudah lumer?! Keluarkan senjatamu!”

Lama-lama  diserang  gencar  demikian  rupa  Wiro  Sableng  kewalahan juga.  Dia  Iompat  ke  bawah.  Sekar  sebatkan  rantai  baja  ke  pinggang  si pemuda.  Dengan  gesit  Wiro  Sabieng  mengelak  kesamping  lalu  gerakkan tangan kanannya!

Sekar  terpelanting  dari  cabang  pohon  akibat  betotan  Wiro  Sableng pada  rantai  bajanya.  Ketika  dia  turun  ke  tanah  dengan  jungkir  balik, Rantai Petaka Bumi sudah berada di tangan Wiro Sableng!

“Kembalikan senjataku!” teriak Sekar.

Wiro  Sableng  tertawa  dan  bersiul-siul.  Rantai  baja  yang  panjangnya dua meter itu dililitkannya di pinggangnya. Lalu dengan bertolak pinggang dia berkata. “Silahkan ambil sendiri, nona manis!”

Tiada  terkirakan  geramnya  murid  Empu  Tumapel  itu.  Tapi  dasar bernyali  besar,  dengan  tangan  kosong  dis  menerkam  ke  muka  dan lancarkan satu jurus aneh bernama “Kabut Pagi Menelan Embun.”

Jurus ini dilakukan dengan gerakan yang sangat cepat hingga waktu menyerang itu tubuh Sekar lenyap laksana kabut tipis! Tapi mata Pendekar Sakti  212  tak  dapat  ditipu.  Betapapun  cepatnya  gerakan  lawan  namun dalam  kelebatan  itu  masih  sanggup  dilihatnya  bagaimana  kedua  tangan lawan  terkembang  hendak  mencengkeram  muka  sedang  sepasang  kaki menendang ke dada dan ke selangkangan!

Murid  Eyang  Sinto  Gendeng  dari  Gunung  Gede  itu  dengan  gerakan kilat  miringkan  tubuhnya  ke  samping.  Sewaktu  tumit  lawan  masih  akan menyerempet  pinggulnya  dengan  cepat  di  tangkapnya  ujung  kaki  si  gadis dan dibantingkan ke atas! Sekar jungkir balik di udara! tapi jatuhnya tetap berdiri!  Hidung  gadis  ini  kembang  kempis.  Mukanya  merah  kelam  karena marah!  Hatinya  geram  karena  sadar  tiada  akan  sanggup  menghadapi pemuda yang sangat tinggi ilmu silatnya itu!

“Kau letih eh?!”

“Diam!” lengking Sekar.

“Saudari,  dalam  hidup  ini,  dalam  segala  hal  manusia  itu  tidak  boleh serba kesusu....”

“Jangan jual kentut!”

“Juga jangan suka lekas marah penasaran....”

“Diam!” teriak Sekar hingga suaranya menggema diseantero kali.

Si  pemuda  tertawa  dan  geleng-gelengkan  kepala.  Dia  berpikir bagaimana caranya menghadapi gadis galak macam yang satu ini. Tiba-tiba dia dapat akal.

“Saudari, kalau kau tetap keras kepala tak bisa bicara baik-baik aku akan pergi dari sini dan larikan senjatamu!”

“Ke ujung bumipun kau lari aku akan kejar!”

Wiro Sableng angkat bahu dan garuk-garuk kepala!

“Tak  pernah  aku  ketemu  gadis  yang  keras  kepala  dan  tak  mau mengerti macammu ini, saudari!”

“Kembalikan senjataku”

“Aku  akan  kembalikan.  Tapi  kalau  kau  pergunakan  lagi  untuk menyerangku...?”

“Kau tahu itu senjata milik, siapa?”

“Aku tidak tanya!”

Sekar memaki-maki!

“Kalau  guruku  Empu  Tumapel  tahu  senjatanya  dibuat  main  dan dihina, pasti nyawamu yang cuma selembar tak akan aman'“

“Heh... jadi kau muridnya Empu Tumapel?! Akh... orang tua itu adalah kawan main kelerengku sewaktu masih kecil. Dan kau tahu, dia suka main curang. He.... He... he...!”

Marahlah  Sekar.  Dia  menyerbu  dengan  kerahkan  seluruh  bagian tenaga  dalamnya  ke  lengan.  Tapi  kali  ini  Wiro  Sableng  tidak  tinggal  diam. Lebih  cepat  dari  serangan  si  gadis  baju  kuning,  lebih  cepat  pula  sepasang jari telunjuknya menotok jalan darah di tubuh si gadis! Maka mematunglah Sekar, tapi telinga masih bisa mendengar dan mulut masih bisa bicara! Wiro Sablang tertawa cengar cengir.

“Sebetulnya  aku  tidak  punya  waktu  banyak,  tapi  kau  bikin perjalananku terhalang! Menyerang membabi buta tanpa alasan....”

“Diam! Lekas lepaskan totokan ini!”

“Sabar gadis manis! Kalau kau marah dan membentak begitu parasmu makin cantik, tahu...?!”

Wajah Sekar bersemu merah.

“Kau  menyangka  bahkan  menuduh  aku  telah  membunuh  orang  tua serta adikmu! Apakah kau punya alasan? Punya bukti!”

Sekar diam.

“Kau bilang aku Pendekar Pemetik Bunga! Kau yakin betul?!”

Sekar tetap diam Wiro Sableng tertawa.

“Dengar saudari, semua tuduhanmu salah belaka! Justru aku tengah dalam  perjalanan  mencari  manusia  yang  bergelar  Pendekar  Pemetik  Bunga itu.”

“Kau dusta!” tukas Sekar.

“Terserah. Tapi aku tak punya waktu lama melayanimu! Pertumpahan darah akan segera terjadi di Biara Pensuci Jagat! Aku tak boleh terlambat!”

“Kembalikan  dulu  senjataku  dan  lepaskan  totokan  ini!”  Wiro Sableng buka lilitan Rentai Petaka Bumi dari pinggangnya. Dilepaskannya totokan  di  tubuh  Sekar  lalu  diserahkan  rantai  baja  itu  kepada  si  gadis kemudian segera balikkan tubuh.

“Tunggu!” seru Sekar.

Wiro Sableng hentikan langkah.

“Tadi  kau  bilang  bahwa  kau  dalam  perjalanan  mencari  Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga. Apa kau tahu di mana manusia itu berada...?”

“Tahu atau tidak tahu memangnya kenapa?!”

“Aku  juga  punya  urusan  yang  harus  diselesaikan  dengan  manusia bejat itu....”

“Ya,  kau  sudah  bilang  tadi.  Jadi  maksudmu  mau  sama-sama seperjalanan dengan aku heh?!”

Untuk  kesekian  kalinya  paras  si  gadis  jadi  bersemu  merah.

“Kuharap kau jangan bicara keliwat kurang ajar, saudara!” bentak Sekar.

“Sudahlah, kita tak banyak waktu! Kalau mau sama-sama memburu itu manusia biang racun penimbul bahala, lekaslah!”

“Kau  jalan  duluan,”  kata  Sekar  yang  hatinya  masih  bimbang  dan bercuriga  terhadap  si  pemuda.  Dia  khawatir  kalau  Wiro  Sableng  adalah benar-benar Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang hendak menipunya.

“Tak perlu tanya! Jalanlah!”

Pendekar  212  bersiul  dan  pencongkan  hidungnya.  Sekali  dia berkelebat maka tubuhnya sudah melompat lima tombak ke muka. Sekar tidak tinggal diam, segera pula dia kerahkan ilmu larinya untuk mengikuti Wiro Sabkng.

***

TIGABELAS

 

Ketua Biara Pensuci Jagat terkejut ketika melihat jarum alat rahasia di dalam kamarnya bergerak-gerak! Segera ditekankannya  sebuah tombol di  tepi  tempat  tidur.  Dua  buah  pintu  rahasia  terbuka  dan  delapan  orang biarawati  muncul.  Kedelapannya  menjura  lalu  berpaling  ke  arah  alat rahasia yang dituding oleh Ketua mereka.

“Atur  pengurungan!”  kata  Ketua  Biara  itu  pula.  “Lima  puluh  di dalam,  lima  puluh  di  luar!  Yang  datang  ini  mungkin  orang  yang  kita tunggu-tunggu!”

Delapan  biarawati  menjura  lagi  lalu  meninggalkan  kamar  Ketua mereka. Supit  Jagat, Ketua  Biara memandang  lagi  ke  jarum  alat  rahasia. Jarum  itu  kini  kelihatan  diam  tak  bergerak-gerak,  tapi  sesaat  kemudian kelihatan bergerak lagi. Kali  ini  ketua  Biara  itu  segera  membentak,  “Tamu  di  atas  atap, silahkan turun unjukkan diri!”

Baru  saja  Supit  Jagat  berkata  begini  maka  terdengarlah  suara menggemuruh!  Atap  dan  langit-langit  kamar  amblas  roboh!  Diiringi  oleh suara tertawa bekakakan sesosok  tubuh berjubah hitam melompat turun dalam  gerakan  yang  sangat  enteng!  Yang  datang  ternyata  betul  Pendekar Pemetik Bunga!

“Ha... he... sungguh satu kehormatan dapat berkunjung ke Biaramu ini, Supit Jagat!”

Baru saja Pendekar Pemetik Bunga berkata demikian empat dinding kamar  amblas  ke  dalam  lantai  dan  kini  terbukalah  satu  ruangan  besar. Disetiap tepi ruangan berbaris dua lapis biarawati-biarawati angkatan tua dan  angkatan  muda  berseling-seling!  Kesemuanya  dengan  pedang  di tangan!

“Hem...” Pendekar Pemetik Bunga memandang berkeliling. Tidak ada bayangan  rasa  terkejut  pada  parasnya.  “Rupanya  sudah  ada  persiapan untuk menyambut kedatanganku!” katanya.

Ketua Biara Pensuci Jagat tertawa mengekeh.

“Nama kotormu sudah lama kami dengar. Noda busuk yang kau tebar di mana-mana sudah sejak lama hendak kami putus! Nyawa bejatmu sudah  sejak  lama  ingin  kami  kirim  ke  neraka  jahanam!  Tapi  hari  ini agaknya kami tak perlu susah-susah turun tangan ke luar Biara! Malaikat maut rupanya telah membawamu ke sin!!”

Pendekar  Terkutuk  Pemetik  Bunga  rangkapkan  tangan  di  muka dada.

“Betapa  indahnya  susunan  kata-katamu.  Supit  Jagat!”  berkata Pendekar  Pemetik  Bunga.  “Tapi  ketahuilah,  aku  datang  ke  sini  bukan dibawa  oleh  malaekat  maut,  sebaliknya  justru  mengantarkan  malaekat maut  yang  ingin  cepat-cepat  naerenggut  nyawa  kalian!  Dan....”  Pendekar bertampang buas ini batuk-batuk beberapa kali. “Dan menyedihkan sekali, rupanya  hanya  kroco-kroco  tua  macammu  yang  ditakdirkan  mampus! Biarawati-biarawati muda belia musti dihadiahkan untukku!”

“Kurasa matamu belum buta Pendekar Terkutuk!” sahut Supit Jagat.

“Belum buta untuk melihat orang-orangku yang berdiri, dalam satu barisan maut, belum buta untuk melihat pedang-pedang yang melintang!”

“Aku memang tidak buta!” Pendekar Pemetik Bunga memandang lagi berkeliling. “Tapi sebaiknya biarawati-biarawati muda itu tak usahlah ikut-ikutan bertempur! Mereka akan mati percuma sebelum merasakan betapa nikmatnya hidup di dunia ini! Betapa nikmatnya berada dalam pelukanku! Betapa nikmatnya tidur bersa....”

Sebilah  pedang  meluncur  tepat  di  depan  hidung  Pendekar  Pemetik Bunga,  membuat  pemuda  ini  tersurut  satu  langkah  dan  terputus  kata-katanya!

“Apakah  lidahmu  kelu  hingga  tak  bisa  teruskan  buka  mulut?”  ejek Supit Jagat.

“Ketua  Biara  Pensuci  Jagat!  Kau  adalah  manusia  yang  musti  mati pertama kali di dalam gedung ini! Darahmu akan mensucikan lantai biara ini!”

Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga buka gulungan sabuk mutiara  di  pinggangnya  sedang  tenaga  dalam  dialirkan  tiga  perempat bagiannya ke tangan kanan! Dua tangaa itupun kemudian bergerak dengan serentak!

Pukulan”Tapak  Jagat”  menggebu  dahsyat  di  barengi  oleh  gelombang angin  yang  keluar  dari  sabuk  mutiara!  Gedung  bergoncang,  bumi  laksana dilanda  lindu!  Tapi  disaat  itu  Ketua  Biara  Pensuci  Jagat  sudah  berpindah tempat  dan  dengan  satu  lengkingan  keras  dia  memberi  isyarat  agar  lima puluh biarawati yang ada di ruangan itu segera menyerang!

Maka berkecamuklah pertempuran yang bukan olah-olah dahsyatnya!  Lima  puluh  pedang  menderu!  Satu-satunya  lawan  yang diserang  berkelebat  ganas  balas  menyerang!  Dan  dalam  setiap  kelebatan musti  ada  jatuh  korban  di  pihak  biarawati.  Yang  menemui  ajalnya  ini justru  biarawati-biarawati  angkatan  tua  yang  sudah  berumur!  Rupanya Pendekar  Pemetik  Bunga  benar-benar  hanya  akan  menumpas  biarawati-biarawati tua sebaliknya membiarkan hidup biarawati-biarawati muda belia untuk kemudian akan dilalap dirusak kehormatannya!

Ketika hampir separoh dari biarawati angkatan tua menemui ajalnya, ketika  lantai  diruangan  terbuka  itu  sudah  licin  dan  amis  oleh  baunya darah  maka  Supit  Jagat  segera  membentak.  Dia  tak  mau  lebih  banyak jatuh korban dipihaknya! “Semuanya mundur!”

Perintah  yang  laksana  geledek  ini  dipatuhi  oleh  setiap  biarawati. Semuanya  mundur  ke  tepi  dan  di  tengah  ruangan  besar  itu  kini  hanya Ketua  Biara  serta  Pendekar  Pemetik  Bunga  saja  yang  berdiri  berhadap-hadapan dalam jarak delapan tombak. Di lantai bertebaran belasan tubuh biarawati-biarawati tua yang telah menemui ajalnya!

“Kebinatanganmu  sudah  lebih  dari  binatang!  Kebejatanmu  sudah melewati  batas!  Kebiadabanmu  seluas  luatan!  Dosamu  setinggi  gunung! Segera keluarkan senjatamu, manusia terkutuk!”

Pendekar Pemetik Bunga menyeringai.

“Rupanya  Ketua  Biara  sendiri  yang  hendak  turun  tangan?!  Bagus!” ujar  Pendekar  Pemetik  Bunga.  “Tapi  kalau  tadi  aku  dikeroyok  puluhan bergundal-bergundalmu aku hanya bertangan kosong, masakan menghadapi kau seorang diri musti pakai senjata segala?!”

“Kau  akan  binasa  bersama  kecongkakanmu  manusia  dajal!”  Marah sekali  Ketua  Biara  Pensuci  Jagat  itu.  Maka  pada  saat  itu  juga dikeluarkannya senjatanya yaitu seikat sapu lidi yang bernama Sapu Jagat, warisan dari Ketua Biara yang terdahulu! Melihat  senjata  yang  dikeluarkan  lawannya  adalah  seikat  sapu  lidi maka Pendekar pemetik Bunga tertawa memingkal!

“Nenek  Ketua,  kau  mau  menyapu  atau  bertempur?  Sapu  lidi  buruk itukah  senjatamu?!  Lucu  sekali...  betul-betul  lucu!”  Supit  Jagat  maju  tiga langkah.

Tiba-tiba dia sapukan sapu lidinya ke arah lawan! Pendekar Pemetik Bunga  berseru  kaget.  Berubahlah  parasnya!  Angin  yang  ke  luar  dari  sapu lidi  itu  dahsyatnya  laksana  badai  prahara,  seperti  menghancur  leburkan sekujur  tubuhnya!  Secepat  kitat  dia  segera  melompat  ke  samping  sampai empat  tombak!  Tapi  Ketua  Biara  tidak  kasih  kesempatan,  segera  pula  dia memapas dengan senjatanya!

Ketika  lima  belas  jurus  dia  terkurung  rapat  oleh  sambaran  Sapu Jagat yang dahsyat itu, menggeramlah Pendekar Pemetik Bunga. Pukulan-pukulan  “Tapak  Jagat”  dan  kebutan  “Angin  Pengap”  tepi  jubahnya  sama sekali tidak mempan menerobos gulungan angin sapu lidi lawan! Pada  jurus  kedua  puluh  satu  Pendekar  Pemetik  Bunga  memekik tertahan  sewaktu  ujung  sapu  menyerempet  dadanya  dan  membuat  jubah hitamnya robek besar!

Tidak  tunggu  lebih  lama  Pendekar  Pemetik  Bunga  segera  cabut kembang  kertas  kuning  yang  menancap  di  kepalanya.  “Semua  tutup  jalan nafas atau ke luar dari sini!” teriak Supit Jagat karena dia maklum bahwa kembang  kertas  itu  mengandung  racun  yang  sangat  dahsyat!  Biarawati-biarawati  angkatan  muda  segera  tinggalkan  ruangan  sedang  biarawati-biarawati angkatan tua tetap di tempat.

Pertempuran  kini  telah  berjalan  tiga  puluh  empat  jurus  dan  yang memengkalkan  Pendekar  Pemetik  Bunga  ialah  racun  kuning  yang  setiap detik  menggebu  ke  luar  dari  bunga  kertasnya  sama  sekali  tidak  sanggup menerobos  angin  sapu  lidi  sang  ketua  Biara  malahan  kalau  dia  tidak berhati-hati,  racun  bunga  kertas  itu  sering  kali  dihantam  membalik  ke dirinya sendiri!

Di saat pertempuran berjalan semakin dahsyat, di saat tubuh kedua orang  itu  hanya  merupakan  bayang-bayang  yang  dibungkus  oleh  sinar kuning  serta  lingkaran-lingkaran  angin  Sapu  Jagat  maka  tiba-tiba terdengarlah suara siulan siulan nyaring yang tak menentu yang kemudian disusul oleh suara nyanyian seseorang!

Hanya biarawati-biarawati di tepi kalangan pertempuran yang berani mendongak ke atas, ke arah datangnya suara nyanyian itu sedang mereka yang  bertempur  meskipun  hati  masing-masing  tercekat  mendengar nyanyian ini namun tiada berani palingkan muka!

 

Anak laki-laki hamil dalam perut perempuan

Itu namanya anugerah Tuhan

Anak laki-laki lahir dari rahim perempuan

Itu namanya kuasa Tuhan

Anak laki-laki dibesarkan perempuan

Itu namanya kasih sayang

 

Laki membunuh perempuan

Itu namanya dosa besar

Laki-laki memperkosa perempuan 

Itu namanya terkutuk

 

Menuntut ilmu buat kebaikan 

Itu namanya bijaksana

Menuntut ilmu buat kejahatan 

Itu namanya kesetanan

 

 

Dua tahun turun gunung

Malang melintang kelantang keluntung 

Di timur membunuh

Di barat memperkosa

Di selatan membunuh dan memperkosa

Di utara memperkosa dan membunuh

 

Dosa setinggi gunung 

Dosa di mana-mana

Kejahatan sedalam lautan 

Kejahatan dimana-mana

Guru sendiri turun gunung 

Itu namanya laknat kualat

 

Pendekar Pemetik Bunga yang merasa bahwa nyanyian itu ditujukan kepadanya mengerling sekilas dan di atas loteng yang bobol dari mana dia menerobos masuk tadi dilihatnya dua orang duduk berjuntai di atas tiang palang. Yang seorang laki-laki berpakaian putih, dialah yang menyanyi tadi. Yang seorang lagi gadis cantik berpakaian kuning!

Biarawati-biarawati  yang  ada  di  tepi  ruangan  yang  juga  melihat  ke atas loteng segera mengenali pemuda yang bernyanyi itu yakni bukan lain daripada  Wiro  Sableng  Pendekar  Kapak  Maut  Naga  Geni  212!  Karenanya mereka  tidak  ambil  perduli.  Sementara  itu  dari  kalangan  pertempuran terdengar  lagi  pekik  Pendekar  Pemetik  Bunga.  Ujung  Sapu  Jagat  telah melanda  untuk  kedua  kalinya  bagian  dada,  sehingga  jubah  yang  sudah robek  kini  robek  tambah  besar.  Kulit  dada  pemuda  itu  sendiri  kelihatan tergurat merah, sakitnya bukan main!

Di  atas  loteng  Sekar  yanp  sudah  sejak  tadi  tak  dapat  menahan melompat turun, tapi lengannya dicekal erat-erat oleh Wiro Sableng. “Jangan bodoh! Jika kau mengetengahi pertempuran itu salah-salah kau  bisa  kena  gebuk  sapu  Ketua  Biara  atau  kena  tersambar  racun  jahat bunga kertas Pendekar Pemetik Bunga!”

“Aku  tidak  takut  mati!  Biar  mati  asalkan  pemuda  terkutuk  itu mampus ditanganku!”

Sekar  hendak  melompat  lagi  tapi  lengannya  tetap  dicekal  Pendekar 212 dan Wiro tak perdulikan rutukan yang dikeluarkan gadis itu.

“Lihat saja dulu, Sekar! Sekarang belum saatnya kita turun tangan!”

'Tapi  kalau  bangsat  itu  mampus  di  tangan  Ketua  Biara.  Aku  akan menyesal percuma seumur hidup!”

Wiro tertawa.

“Pendekar  Terkutuk  itu  belum  keluarkan  ilmu  simpanannya, jangankan  si  Ketua,  guru  Ketua  Biara  itupun  tak  bakal  sanggup menghadapinya!”

Sekar  ingat  akan  ucapan  Empu  Tumapel  yaitu  tentang  ilmu  “Jari Penghancur Sukma” yang dimiliki Pendekar Pemetik Bunga! Karenanya dia terpaksa ikuti nasihat Wiro dan tetap duduk di samping pemuda itu di atas loteng. Pertempuran  di  bawah  sana  sudah  berkecamuk  enam  puluh  empat jurus!

“Crass!”

Pendekar Pemetik Bunga lompat ke luar dari kalangan pertempuran sewaktu  sapu  lidi  senjata  lawan  membabat  putus  tangkai  bunga  kertas sedang bunganya sendiri robek-robek bertaburan!

“He... he... he... bersiaplah untuk menghadap setan kuburan pemuda terkutuk!” kata Ketua Biara Pensuci Jagat pula. Pendekar Pemetik Bunga, yang  biasanya  menyahuti  setiap  ejekan  lawannya  dengan  beringas  kini bungkam  seribu  bahasa.  Bola  matanya  bersinar  tapi  kelopak  matanya kelihatan  menyipit  dan mencekung  sedang  tampangnya  buas  dan  mulut-nya  berkemik!  Dia  berdiri  di  tengah  ruangan  dengan  sepasang  kaki merenggang.

Tiba-tiba  kelihatanlah  ibu  jari  dan  jari  telunjuk  tangan  kanannya memancarkan  sinar  hitam!  Pendekar  212  yang  berada  di  atas  loteng tersentak kaget dan berseru keras.

“Ketua  Biara  Pensuci  Jagat!  Lekas  menghindar!  Kau  tak  bakal sanggup  menghadapi  ilmu  Jari  Penghancur  Sukma  itu!”  Tapi  Supit  Jagat tidak ambil peduli. Malah dengan tubuh laksana gunung karang dia tetap berdiri  di  tempat  dan  kerahkan  seluruh  tenaga  dalamnya  ke  sapu  lidi  di tangan kanan! Ibu jari dan jari telunjuk Pendekar Pemetik Bunga mulai membentuk lingkaran. Sinar hitam jari-jari itu menggidikkan. 

“Ketua Biara, lekas menghindar!” seru Wiro sekali lagi. Namun tetap Supit Jagat tidak bergerak dan hadapi lawannya dengan penuh ketabahan! “Edan betul!” teriak Wiro Sableng!

Pendekar  212  bersuit  nyaring.  Tak  seorangpun  yang  melihat  kalau tangannya  sebelah  kanan  saat  itu  sudah  berubah  menjadi  putih  laksana perak menyilaukan!

Di lain kejap Pendekar Pemetik Bunga jentikkan jari telunjuknya. Dihadapannya Supit Jagat hantamkan pula sapu lidinya dalam satu jurus tusukan yang dahsyat!

Larikan sinar hitam yang menggidikkan menggebu ke arah Supit Jagat. Sinar hitam ini dipapasi oleh angin membadai yang berwarna putih agak kelabu dari sapu sang Ketua Biara! Hebatnya, sebelum dua sinar maut itu sama-sama berbenturan, dari atas loteng satu sinar putih yang panas dan sangat menyilaukan memapak di tengah-tengah  kedua sinar tadi! Itulah Pukulan Sinar Matahari yang telah dilancarkan oleh pendekar 212 dari atas loteng!

Tiga  dentuman  yang  berkumandang  secara  serentak  menggetarkan bumi.  Dunia  laksana  mau  kiamat!  Dinding-dinding  ruangan  pecah-pecah, banyak  yang  ambruk!  Tiang-tiang  gedung  biara  beberapa  diantaranya runtuh bergemuruh! Loteng amblas! Biarawati-biarawati yang ada di dalam gedung segera berlompatan ke luar termasuk Pendekar Pemetik Bunga dan Supit Jagat, Wiro Sableng sendiri sabelumnya telah melesat meninggalkan loteng bersama Sekar. Sewaktu kedua orang ini sampai di halaman muka, keduanya  mendapatkan  Ketua  Biara  dan  Pendekar  Pemetik  Bungs  telah berhadap-hadapan kembali!

Diam-diam  Pendekar  212  berunding  dengan  Sekar.  Kemudian  Wiro berseru, “Ketua Biara, harap kau suka memberi kesempatan padaku untuk turun  tangan  menjajal  pemuda  yang  katanya  berilmu  setinggi  gunung sedalam lautan dan congkak ini!”

Supit Jagat setelah melihat kehebatan ilmu Jari Penghancur Sukma lawannya  menyadari  bahwa  dia  tak  akan  sanggup  menghadapi  Pendekar Pemetik Bunga! Seruan Pendekar 212 tadi adalah kesempatan yang paling baik baginya untuk mengundurkan diri tanpa kehilangan muka.

“Pendekar  212,  jika  kau  memang  punya  urusan  tertentu  dengan manusia keparat ini silahkan maju!”

“Licik!”  teriak  Pendekar  Pemetik  Bunga.  Matanya  beringas memandangi Wiro Sabhng. Pendekar 212 sebaliknya tertawa mengejek!

“Dalam  kamus  kehidupanmu,  rupanya  kau  masih  kenal  arti  kata licik heh? Apakah kau juga tahu apa artinya kebejatan? Apa arti terkutuk dan apa arti kualat serta dosa?!”

Merah padam paras Pendekar Pemetik Bunga!

“Kunyuk  bermuka  manusia,  kau  siapa?  Apa  kepentinganmu mencampuri urusan orang lain?!”

“Apa  kepentinganku?  Banyak...  banyak sekali  sobat!  Kau  bisa  tanya nanti  pada  iblis-iblis  penjaga  kubur  atau  setan-setan  di  neraka...”  Habis berkata begini Wiro Sableng tertawa bekekekan.

“Anjing  kurap  yang  tak  tahu  diri,  makan  jariku  ini!”  Sinar  hitam berkiblat melanda Wiro Sableng!

Pendekar  212  yang  sudah  punya  rencana  tersendiri  tidak  memapasi serangan  lawan  dengan  seluruh  tenaga  dalamnya.  Dia  tak  ingin  manusia terkutuk itu mati dalam tempo singkat!

Sambil lancarkan pukulan sinar matahari dia melompat setinggi enam tombak.  Dari  bawah  Pendekar  Pemetik  Bunga  kebutkan  lengan  jubahnya! Dua  lusin  bola-bola  hitam  menderu  ke  arah  Wiro  Sableng.  Yang  diserang menyambut  dengan  pukulan  “Benteng  Topan  Melanda  Samudera.”  Dua puluh empat bola-bola hitam itu meledak dan udara tertutup kabut hitam! Pendekar  212  yang  tahu  maksud  licik  lawannya,  begitu  kabut  hitam menutupi  pemandangan  segera  jungkir  balik  dua  kali  berturut-turut.  Bila dalam  sekejapan  mata  kemudian  dia  sudah  ke  luar  dari  kabut  hitam  itu maka  kelihatanlah  Pendekar  Pemetik  Bunga  melarikan  diri  ke  arah  pintu gerbang biara. Lima orang biarawati yang menjaga pintu itu sekali jentikan jari  saja  segera  dibikin  meregang  nyawa  oleh  Pendekar  Pemetik  Bunga. Pemuda  ini  kemudian  bergerak  cepat  menekan  tombol  rahasia  pembuka pintu. Tapi Pendekar 212 tahu-tahu menghadang dihadapannya!

“Mau lari ke mana sobat?!” bentak Wiro Sableng. 

Sebenarnya  Pendekar  Pemetik  Bunga  bukanlah  seorang  pengecut. Namun  melihat  ilmu  “Jari  Penghancur  Sukma”  yang  dilancarkan  terhadap Wiro Sableng tiada mempan sama sekali maka lumerlah nyalinya! Kegusaran membuat Pendekar Pemetik Bunga menjadi kalap, apalagi dalam keadaan  kepepet  begitu  rupa.  Dia  menyerbu  membabi buta!  Tangan kiri  mengebutkan  sabuk  mutiara  sedang  tangan  kanan  kembali lancarkan ilmu “Jari Penghancur Sukma”

Wiro tetap tak mau sambuti serangan dahsyat itu dengan kekerasan. Dia  jatuhkan  diri  ke  tanah,  berguling-guling  cepat  mendekati  lawan  sebelum larikan sinar hitam menyerempet tubuhnya untuk kemudian tahu-tahu dia sudah berada di belakang Pendekar Pemetik Bunga!

Pendekar  Pemetik  Burga  membalikkan  badan  secepat  kilat.  Tapi begitu  tubuhnya  berbalik,  begitu  dua  ujung  jari  melanda  urat  besar dipangkal  lehernya!  Tak  ampun  lagi  pemuda  terkutuk  ini  menjadi  kaku tegang tubuhnya!

“He... he.... Apakah kini kau bisa jual tampang pamerkan segala ilmu silat dan kesaktianmu, manusia terkutuk?!” ejek Wiro Sableng.

“Bangsat rendah! Kelak kau akan rasakan pembalasanku...!”

Sementara  itu  Sekar  yang  melihat  musuh  besarnya  berada  dalam keadaan tertotok segera datang berlari dan keluarkan Rantai Petaka Bumi.

“Manusia bermuka iblis! Hari ini lunaslah hutang jiwa orang tua dan adikku!”

“Wuut!”

Rantai  baja  dengan  bola  baja  berduri  menderu  ke  arah  kepala Pendekar  Pemetik  Bunga!  Pendekar  ini  membeliak  besar  kedua  matanya, keringat  dingin  berbutir-butir  di  keningnya!  Dari  mulutnya  ke  luar  jerit ketakutan setinggi langit!

Sesaat  lagi  bola  berduri  itu  akan  menghantam  hancur  remukan kepala  Pendekar  Pemetik  Bunga, satu  tangan  memukul  ke  depan  dan  bola berduri  lewat  setengah  jengkal  di  alas  kepala  si  pemuda  yang  sudah ketakutan setengah mati.

“Wiro!  Apa-apan kau?!”  sentak  Sekar karena Wirolah  yang  membuat serangan mautnya tak mengenai sasaran!

“Jangan  bodoh,  Sekar!  Mati  dalam  tempo  yang  singkat  terlalu  enak buat  manusia  macam  dia!”  Wiro  berpaling  pada  Ketua  Biara  Pensuci Jagat dan beberapa biarawati yang ada di situ. “Bukankah demikian?” ujarnya.

Supit Jagat tertawa mengekeh.

“Kita  jebloskan  saja  dia  ke  dalam  sumur  binatang  berbisa!”, mengusulkan Supit Jagat.

Wiro tertawa dan gelengkan kepala. Dipegangnya  dagu  Pendekar  Pemetik  Bunga  lalu  tanyanya,

“Sobat,  apakah  kau  pernah  memikirkan  bagaimana  sakitnya  sekujur tubuhmu bila jalan darahmu menyungsang terbalik?!”

Pucat pasilah muka Pendekar Pemetik Bunga.

“Demi  Tuhan,  aku  minta  agar  dibebaskan!  Aku  bertobat.  Betul-betul  tobat...!  Aku  betul-betul  tobat...!  Aku  mohon  keadilan!”  kata Pendekar  Pemetik  Bunga.  Kepalanya  dipalingkan  pada  Supit  Jagat, mohon  belas  kasihan.  Dan  saat  itu  dia  mulai  menangis  merengek-rengek macam anak kecil! 

“Kau  mohon  keadilan  dan  mohon  pengampunan?”  tanya  Supit Jagat dengan tertawa-tawa.

“Ya, dan aku akan bertobat,” sahut Pendekar Pemetik Bunga.

“Baik, kami akan ampuni kau punya jiwa. Tapi ada syaratnya!”

“Apapun  syaratnya  akan  aku  terima,”  kata  Pendekar  Pemetik Bunga tanpa ragu-ragu.

Ketua  Biara  Pensuci  Jagat  tertawa,  “Syaratnya  mudah  saja. Cungkil  sendiri  kau  punya  jantung  dan  serahkan  padaku!”  Pendekar Pemetik  Bunga  menangis  meraung-raung  minta  diampuni.  Matanya menjadi bengkak dan merah.

“Pendekar  212,  sebaiknya  lekas  saja  dimulai  penjatuhan hukuman atas dirinya!” kata Supit Jagat.

“Betul, makin cepat makin baik!”

Wiro  membelai-belai  rambut  Pendekar  Pemetik  Bunga  dengan senyum-senyum.  “Kasihan..,  kasihan....”  katanya.  Kemudian  dua  jari tangannya  bergerak  melakukan  totokan  di  beberapa  bagian  tubuh Pendekar Pemetik Bunga.

Semua  orang  menunggu  apa  yang  bakal  terjadi.  Pendekar Pemetik  Bunga  sudAh  seputih  kain  kafan  tampangnya,  keringat mengucur  mulai  dari  kulit  kepala  sampai  ke  kaki!  Mula-mula  dia  tak merasakan  apa-apa.  Tapi  kemudian  kepalanya  terasa  sampai  sakit. Rasa  sakit  menjalar  ke  seluruh  tubuh!  Peredaran  darah  dalam tubuhnya  tidak  normal  lagi.  Berdenyut  membalik!  Dan  lolongan-lolongan  yang  mengerikan  ke  luar  tiada  hentinya  dari  mulut  laki-laki itu.  Beberapa  saat  kemudian  Wiro  lepaskan  totokan  di  tubuh  pemuda terkutuk  itu.  Kini  rasa  sakit  semakin  menjadi-jadi.  Dunia  ini  seperti menyungsang di mata Pendekar Pemetik Bunga. Dia lari sana lari sini, berteriak  tak  karuan,  mencak-mencak,  berguling  di  tanah!  Beberapa menit  berlalu  darah  mulai  mengucur  dari  kedua  lobang  hidung,  mata serta telinganya!

Wiro berpaling pada gadis baju kuning di sebelahnya “Sekar, jika kau  mau  turun  tangan  inilah  saatnya.  Tapi  jangan  bunuh  dia sekaligus!”

Rahang-rahang  Sekar  bergemeletakkan.  Dia  maju  satu  langkah. Rantai  Petaka  Bumi  diputar-putar.  Melihat  ini  Pendekar  Pemetik Bunga lari jauhkan diri.

Tapi “wuutt!” Bola baja berduri menderu.

Pendekar  Pemetik  Bunga  berteriak.  Kupingnya  yang  sebelah kanan  putus!  Darah  mengucur  lebih  banyak.  Sekali  lagi  bola  baja  itu berdesing  dan  kali  yang  kedua  ini  sasarannya  adalah  telinga  sebelah kiri  Pendekar  Pemetik  Bunga!  Keganasan  dendam  Sekar  tidak  sampai di situ saja, bola bajanya menderu lagi menghantam hidung si pemuda hingga  hidung  itu  hancur  melesak  dan  tampang  Pendekar  Pemetik Bunga sungguh mengerikan untuk dipandang!

“Sudah cukup, Sekar?!” tanya Wiro Sableng.

“Belum!”  jawab  gadis  itu  pendek  dan  beringas.  Sementara  itu Pendekar  Pemetik  Bunga  sudah  terhampar  di  tanah  dekat  tembok, megap-megap  dan  masih  menjerit-jerit!  Di  antara  jeritan  itu  terdengar lagi  deru  bola  baja  berduri  dua  kali  berturut-turut!  Yang  pertama menghantam  tangan  kanan  Pendekar  Pemetik  Bunga,  tangan  yang telah puluhan kali melakukan kejahatan membunuh manusia-manusia tak  berdosa!  Hantaman  yang  kedua  melanda  tepat  pada  anggota rahasia  di  antara  selangkangan  Pendekar  Pemetik  Bunga  yang  selama dua  tahun  telah  puluhan  kali  merusak  kehormatan  perempuan terutama gadis-gadis berparas cantik!

Tubuh Pendekar Pemetik Bunga mengegelepar-gelepar. Nyawanya masih belum putus, hampir diambang sekarat!

“Ketua  Biara    Pensuci  Jagat,  bagaimana  dengan  kau?,”  tanya Wiro.

Supit  Jagat  tertawa  sedingin  salju.  Ingat  dia  pada  orang-orangnya  yang  telah  menemui  ajal  di  tangan  pemuda  itu.  Dia  maju selangkah.

“Pendekar  terkutuk!  Apakah  kau  masih  bisa  mendengar suaraku?!”

“Uh…uh..”

“Hem bagus… Meski matamu tak dapat melihat karena genangan darah    tapi  dengarlah  aku  akan  lukis  parasmu  seindah  mungkin dengan sapu lidiku ini!”

Habis  berkata  demikian,  Supit  Jagat  tusukkan  ujung  sapu lidinya  ke  muka  Pendekar  Pemetik  Bunga!  Jeritan  pemuda  itu terdengar  lagi,  tapi  tidak  sekeras  tadi.  Suaranya  sudah  sember  dan mukanya  mengerikan  lebih  kini!  Tusukan  Sapu  Jagat  membuat mukanya itu laksana dipanteki dengan ratusan paku!

Pendekar  Pemetik  Bunga  menggelepar-gelepar.  Berguling  ke  kiri dan  ke  kanan,  bergelimang  darah  serta  debu.  Kematiannya  sungguh mengerikan.  Namun  mungkin  itu  belum  seimbang  dengan  kejahatan-kejahatan yang paling terkutuk yang pernah dilakukannya selama dua tahun.

 

T A M A T

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler