Skip to Content

LAUT, BANGSA, PUISI (Menarasikan Keindonesiaan di “Bawah-Sadar” Puisi Indonesia)

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/ARIF_BAGUS_PRASETYO.jpg
ARIF_BAGUS_PRASETYO.jpg

ARIF BAGUS PRASETYO

 

Menjelang dihukum mati oleh regu tembak tentara kolonial Spanyol, pahlawan nasional dan Bapak Nasionalisme Filipina, Jose Rizal (1861-1896), menulis puisi “Ultimo Adios”.[1] Puisi ini dikutip dalam buku terkenal Benedict Anderson tentang asal-usul nasionalisme, Imagined Communities (1983).[2] Dalam pandangan Anderson, puisi anak negeri jajahan yang ditulis dalam bahasa penjajah ini mencontohkan bagaimana bahasa mengilhamkan suatu keterikatan atau rasa cinta kepada “bangsa”, komunitas rekaan imajinasi itu. Merujuk pada “Ultimo Adios“, Anderson mencatat:

Sesuatu yang termasuk intisari cinta politis ini dapat dibaca pada cara-cara bahasa menuturkan obyeknya: entah dalam khazanah kata yang merujuk kekerabatan (ibu pertiwi, Vaterland, patria), atau yang mengacu kepada rumah (heimat atau tanah air). Dua idiom tadi mencandrakan sesuatu yang membuat seseorang terikat secara alami. Seperti telah kita saksikan sebelumnya, segala sesuatu yang “alami” pastilah mengandung sesuatu yang bukan-pilihan. Dengan begitu, kebangsaan dilebur ke dalam warna kulit, gender, keorangtuaan, serta zaman-kelahiran—alias segala hal yang tidak menolong sama sekali. Dan dalam “ikatan alami” ini orang merasakan apa yang mungkin bisa disebut sebagai “keindahan paguyuban (gemeinschaft)”.

Dalam formasi diskursif kebangsaan Indonesia pada awal abad ke-20, pandangan Anderson tersebut tampak berlaku pada sejumlah puisi Muhammad Yamin (1903-1962) yang sering dirujuk sebagai karya sastra Indonesia pelopor yang menyuarakan nasionalisme, aspirasi kebangkitan nasional dan persatuan keindonesiaan, terutama puisi “Tanah Air”, “Bahasa, Bangsa”, “Indonesia, Tumpah Darahku” dan “Bandi Mataram”.[3] Sekitar dua dasawarsa sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia dilahirkan di muka bumi, dalam sajak-sajak itu Yamin menyemaikan bayangan/perasaan keindonesiaan dengan mengoperasikan sederet idiom puitik yang menyiratkan ikatan-ikatan “alami” dan “kodrati” yang mengkonstitusi identitas seseorang: tanah, tanah air, tumpah darah, panorama alam tropis, ayah, ibu, istri, anak, ninik, keluarga, moyang, kawan, saudara, handai-tolan, kampung, badan, nyawa; seia sehidup semati, sekata sekumpul seikat sehati, senyawa sebadan sungguh sejati, sedarah-sebangsa. Inilah mata-mata rantai ikatan “alami-kodrati” yang terangkai menjadi “keindahan paguyuban” kebangsaan: “Perasaan serikat menjadi padu/Dalam bahasanya, permai merdu” (“Bahasa, Bangsa”). Yamin mengeksplisitkan sebuah ciri kesadaran nasionalis bahwa, dalam ungkapan Anderson, “sejak awal bangsa sudah dipahami dalam bahasa”: “Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri”, “Tiada bahasa, bangsa pun hilang” (“Bahasa, Bangsa”), “O, tanah, wahai pulauku / Tempat bahasa mengikat bangsa” (“Tanah Air”).

Dari Muhammad Yamin, mari sejenak kembali ke Jose Rizal. Ditulis untuk mengantisipasi elmaut yang segera datang menjemput, “Ultimo Adios” Jose Rizal mudah dibaca sebagai ucapan pamitan dari seseorang yang hendak pergi meninggalkan dunia fana ke alam baka. Tetapi, puisi ini juga terasa menyarankan bahwa tatapan sang penyair tidak semata-mata tertuju pada negeri kematian. Kita baca bait ke-13:

Tanah pujaan, dengarkan selamat tinggalku!

Filipina Cintaku, dukamu sangat laraku jua,

Kutinggalkan kalian semua, yang sangat kucintai;

‘Ku pergi ke sana, di mana tiada hamba tiada tiran berada,

Di mana Keyakinan tiada merenggut nyawa,

Dan Tuhan mahakuasa beradu.

Jose Rizal akan “pergi ke sana”, jelas ke negeri kematian, tapi mungkin yang terbayang di benaknya bukan akhirat, melainkan negara-bangsa Filipina pascakolonial: sebuah alamat politis yang menjanjikan kebebasan, keadilan dan kesetaraan (“di mana tiada hamba tiada tiran berada/Di mana Keyakinan tiada merenggut nyawa”), dan janji itu dijamin dengan segel ilahiah sehingga tak dapat diganggu-gugat oleh manusia fana, terutama penjajah (“Dan Tuhan mahakuasa beradu”). Dalam bayangan maut yang tak terelakkan dan kemahakuasaan Tuhan yang tak bisa dipatahkan, terwujudnya negara-bangsa Filipina pascakolonial seakan-akan kodrat yang pasti terjadi. Sang penyair dan bangsanya adalah satu (“Filipina Cintaku, dukamu sangat laraku jua”). Penjajah boleh mematikan raga Rizal, tapi tidak sukma sang penyair yang lebur dengan bangsanya, sebab mati hanyalah “tetirah”, istirahat, sebagaimana disimpulkan di akhir puisi. Jika kodrat menghendaki sang penyair “pergi ke sana” menuju alamat kemerdekaan di akhirat, maka kodrat yang sama meniscayakan bangsa Filipina “pergi ke sana” menuju alamat kemerdekaan di dunia. Inilah aspirasi nasionalisme yang menjadi terang-benderang dalam bait terakhir puisi “Bandi Mataram” Muhammad Yamin: “Kini bangsaku, insafkan diri / Berjalan ke muka, marilah mari / Menjelang padang ditumbuhi mujari / Dicayai Merdeka berseri-seri.

Motif “pergi ke sana” melatari puisi “Menuju ke Laut”[4] karya salah seorang tokoh perintis kesusastraan Indonesia lainnya, Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994). Kita tahu, Alisjahbana adalah pendiri dan pemimpin Poedjangga Baru, “Madjalah boelanan pembimbing semangat baroe jang dinamis oentoek membentoek keboedajaan baroe, keboedajaan persatoean Indonesia”, yang terbit pertama kali pada Juli 1933. Di bawah judul puisi “Menuju ke Laut”, yang dimuat di majalah Pembangunan pada September 1946, Alisjahbana membubuhkan frasa “Angkatan Baru”. Berkat sub-judul ini, ditambah dengan aktivitas menonjol Alisjahbana sebagai sastrawan-intelektual yang giat mempromosikan gagasan-gagasan tentang kiblat “kebudayaan baru, kebudayaan persatuan Indonesia” yang merupakan antitesis kebudayaan lama masyarakat pra-Indonesia, puisi “Menuju ke Laut” dapat dibaca sebagai bagian dari pembentukan wacana kebangsaan Indonesia. Puisi yang mengabarkan tentang hijrah fisik subyek dari gunung ke laut ini menjadi isyarat hijrah rohani dari kebudayaan lama ke kebudayaan baru, yakni kebudayaan persatuan Indonesia. Motif “pergi ke sana” yang diungkapkan dengan kiasan “menuju ke laut” dalam puisi ini mengisyaratkan gerak pencarian “kebudayaan persatuan Indonesia” yang didefinisikan oleh “kemajuan” di bawah debur-gelora proyek modernitas—sebuah bangsa Indonesia progresif yang berangkat menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi.

Bayangan keindonesiaan dalam puisi “Menuju ke Laut” dikonstruksi dengan memutus ikatan dengan sesuatu yang “alami” dan “kodrati”, sikap yang kontras dengan karakter ekspresi seni nasionalis Andersonian maupun puisi-puisi nasionalis Muhammad Yamin. Berbeda dari puisi nasionalis “Ultimo Adios” Jose Rizal, gerak “pergi ke sana” dalam puisi “Menuju ke Laut” Alisjahbana bukan didorong oleh kodrat, nasib atau takdir, melainkan oleh pilihan, kesadaran dan agensi subyek. Kontras dengan puisi nasionalis Yamin, puisi Alisjahbana ini menegasi sesuatu yang membuat seseorang “terikat secara alami”, bahkan sampai dua kali (pada bait pertama dan bait terakhir):

Kami telah meninggalkan engkau,

tasik yang tenang, tiada beriak,

diteduhi gunung yang rimbun

dari angin dan topan.

Sebab sekali kami terbangun

Dari mimpi yang nikmat.

Sementara Yamin melegitimasi keindonesiaan dengan menggaungkan ikatan-ikatan lama yang “alami” dan “kodrati”, Alisjahbana meluncurkan langkah retorik yang memutus ikatan-ikatan itu untuk menjalin identitas keindonesiaan baru. Nasionalisme Yamin berpijak pada genealogi kesinambungan dan persamaan, nasionalisme Alisjahbana bertumpu pada teleologi keterputusan dan perbedaan. Aspirasi nasional Yamin berbasis “muasal”, aspirasi nasional Alisjahbana berbasis “tujuan”. Lewat puisi “Menuju ke Laut”, Alisjahbana terasa menampik anggapan bahwa bangsa Indonesia tumbuh dari masa lampau ke masa kini, dan sebagai gantinya, ia menempatkan lokasi formatif keindonesiaan pada matriks yang terbentang dari masa kini ke masa depan. Sebab “ketenangan lama”, muasal silam itu, identik dengan “rasa beku” dan “rasa pengalang” bagi “berontak hati hendak bebas / menyerang segala apa mengadang”. Maka sang penyair modernis memilih hengkang dari “ketenangan lama”, menyongsong cakrawala masa depan, meski “betapa sukarnya jalan, badan terhempas, kepala tertumbuk, hati hancur, pikiran kusut”.

Dengan memutus “ikatan kodrati” dengan muasal silam, kemudian mengarungi laut luas nan ganas di hadapan, apakah berarti subyek melepaskan “keindahan paguyuban”? Tercerabut dari kolektivitas yang mengungkung dan menjadi individu yang bebas, dengan segala berkah dan kutuk kebebasan itu? Bagi Alisjahbana, tampaknya tidak demikian. Yang berbicara dalam puisi “Menuju ke Laut” adalah “kami”, subyek kolektif, dan suara paguyuban ini tetap solid dari awal sampai akhir puisi. “Menuju ke Laut” bersinonim dengan “Menuju kebudayaan dan masyarakat baru”—judul prosa-liris Alisjahbana bertahun 1939. Kolektivitas “beku” dan “pengalang” itu adalah masyarakat lama, yang ditinggalkan demi terciptanya kolektivitas baru, bagaikan senyawa lama yang terurai menjadi atom-atom yang membentuk senyawa baru. Persenyawaan baru ini dimungkinkan karena sang penyair dapat membayangkan bahwa di seberang lautan ada tanah, “ikatan kodrati”, yang menunggu. Dalam puisi “Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan” bertahun 1937, subyek otonom-bebas yang telah mengembara di lautan luas naik kapal dengan “layar compang-camping dan kemudi gila” pada akhirnya melihat pelabuhan dan memaklumkan, sampai dua kali: “Dari kapal beta tahulah beta, bahwa masih ada tanah daratan.” Demikian pula dalam puisi “Kerabat Kita” yang bertahun 1962. Setelah pergi merantau meninggalkan bunda, mengembara ke berbagai belahan dunia dan menghanyut dalam lautan manusia, subyek pulang ke ibunya dengan “berita girang” yang mengabarkan kolektivitas baru: “Bunda, / Alangkah luasnya dan dahsyatnya kerabat kita, / kaya budi kaya hati, / pusparagam ciptaan dan dambaan.” “Ikatan kodrati” lama memang diputus, tapi hanya sebagai syarat untuk menjalin “ikatan kodrati” baru: suatu komunitas terbayang di seberang “laut”.

Pemutusan dari “ikatan kodrati” itu menjadi tragis pada visi puitik Amir Hamzah (1911-1946), sang “Raja Penyair Pujangga Baru”, terutama dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi (1935).[5] Dalam puisi “Ibuku Dehulu”, Amir Hamzah tampak mengidentikkan figur ibu dengan “ikatan kodrati” yang mendudukkan dan menundukkan subyek di tengah tatanan sosial: “Demikian engkau: / Ibu, bapa, kekasih pula / Berpadu satu dalam dirimu / Mengawas daku dalam dunia”. Figur ibu dalam puisi ini dipandang sebagai bagian integral dari otoritas kolektif “engkau” yang mengontrol subyek di bawah tatapan kuasanya, menormalkan perversi subyek, dan menjamin status terhormat subyek:

Matanya terus mengawas daku

Walaupun bibirnya tiada bergera

Mukanya masam menahan sedan

Hatinya pedih karena lakuku

Terus aku berkesal hati

Menurutkan setan mengacau-balau

Jurang celaka terpandang dimuka

Kusongsong juga—biar cedera

Bangkit ibu dipegangnya aku

Dirangkumnya segera dikucupnya serta

Dahiku berapi pancaran neraka

Sejak sentosa turun ke kalbu

Dibaca sebagai personifikasi otoritas kolektif yang mengontrol individu, tokoh ibu dalam puisi “Batu Belah” dapat menyimbolkan masyarakat lama (adat), rahim sosio-kultural yang telah melahirkan sang penyair. Puisi ini menyiratkan kekecewaan sang penyair terhadap “ikatan kodrati” lama yang tidak mampu mengakomodasi keinginan individualnya. Kepada ibunya, si anak menuntut “Telur kemahang minta carikan / Untuk lauk di nasi sejuk”, tetapi si ibu tidak sanggup memenuhi permintaan itu: “Tiada sayang; / Dalam rimba telur kemahang / Mana daya ibu mencari / Mana tempat ibu meminta”. Masyarakat lama, yang membuat sang penyair terikat secara “kodrati” itu, tak punya tempat untuk menampung aspirasi baru individu, karena masyarakat ini telah lapuk, tinggal menunggu ambruk: si ibu akhirnya menemui ajal dimangsa batu belah.

Tetapi, Amir Hamzah berbeda dari Sutan Takdir Alisjahbana yang berani meninggalkan “ikatan kodrati” lama untuk menyongsong masyarakat baru. Menyaksikan kematian sang ibu kultural, Hamzah tidak melihat kemungkinan lain kecuali menyongsong mautnya sendiri. Si anak menyusul mati ibunya ke mulut batu belah, karena “sudah demikian kuperbuat janji”. “Ikatan kodrati” itu terlalu kuat untuk diputus. Dalam puisi “Terbuka Bunga”, Hamzah melihat “terbuka bunga dalam hati”, dan tahu bahwa “dengan mengelopaknya bunga ini, layulah bunga lampau”, tetapi ia sangsi bakal menemukan “bunga sejati yang tiadakan layu”. Dalam puisi “Taman Dunia”, sang penyair menyadari bahwa keterputusan dari “ikatan kodrati” yang membimbing, mengarahkan dan menata kehidupannya hanya membuatnya “termangu aku gilakan rupa”: terdampar sendirian di pulau subyektivisme radikal, medan daya-daya dan dorongan-dorongan subyektif yang saling bertentangan. Maka ia memilih untuk tak jadi terkutuk, “insyaf diriku dera durhaka”, sebagaimana dikatakannya dalam puisi “Insyaf”, meskipun itu berarti serasa binasa (“Tahu aku / Kini hari menuai api / Mengetam ancam membelam redam”): mati ditelan “ikatan kodrati” lama seperti dalam puisi “Batu Belah”, atau mati gila dan kesepian seperti dalam puisi “Padamu Jua”, di mana “Pulang kembali aku padamu / Seperti dahulu” berakhir tragis dengan “nanar aku, gila sasar” dan “menunggu seorang diri [. . .] Mati hari – bukan kawanku. . . .

Apakah keindonesiaan sebagai sebuah konsesus kekitaan baru serta-merta hadir tanpa masalah dengan dirombaknya konsensus kekitaan lama, teristimewa dengan mengikrarkan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” pada 28 Oktober 1928 di gedung Keramat 106 Jakarta Raya? Para penyair seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah, mungkin jauh di lubuk jiwa mereka, tampaknya menyadari bahwa soalnya tidaklah mudah. Integrasi kekitaan baru mempersyaratkan bukan transformasi, melainkan disintegrasi, kekitaan lama—dengan segala prosesnya yang menyakitkan. Senyawa lama harus diuraikan dulu menjadi atom-atom untuk kemudian, dengan upaya jatuh-bangun trial and error, ditempa kembali menjadi senyawa baru. Rangkaian integrasi-disintegrasi-reintegrasi kekitaan ini melibatkan pergolakan pikiran dan kemelut perasaan yang tidak mudah dinavigasi. Pada Alisjahbana, sesudah meninggalkan tasik yang tenang, jatuh, mengerang, keluh, badan terhempas, kepala tertumbuk, hati hancur, pikiran kusut (“Menuju ke Laut”), setelah mengembara dengan kapal yang layarnya compang-camping dan kemudinya gila yang akan terkandas hancur di karang (“Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan”), sepulang dari rantau menjelajah banyak selat-sungai-gunung-gurun, beragam warna-bahasa-budaya dan bersantap-bercengkerma-bercumbu-bertengkar-berselisih (“Kerabat Kita”), barulah subyek melihat “masih ada tanah daratan” (“Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan”) dan dapat kembali ke haribaan bunda dengan membawa “berita girang” (“Kerabat Kita”). Model disintegrasi kekitaan pada Alisjahbana adalah eksodus, dengan kemungkinan reintegrasi di seberang “laut”. Sementara pada Hamzah, proses disintegrasi kekitaan lama sebagai syarat pembentukan kekitaan baru terasa lebih telak dan total.

Jika “kita” terbentuk dari kesatuan/kesamaan/kebersamaan dari “aku” dan “kau”, maka Nyanyi Sunyi Amir Hamzah mengumandangkan keterpisahan/kebedaan/kesendiri-sendirian antara “aku” dan “kau”. Nyanyi Sunyi menandai krisis batin hebat yang mengiringi kelahiran subyek atomik-individual dari retakan senyawa kolektivitas. Dalam puisi “Hari Menuai”, Hamzah menulis:

Lamanya sudah tiada bertemu

Tiada kedengaran suatu apa

Tiada tempat duduk bertanya

Tiada teman kawan beberita

Lipu aku diharu sendu

Samar sapur cuaca mata

Sesak sempit gelanggang dada

Senak terhentak raga kecewa

Hibuk mengamuk hati tergari

Melolong meraung menyentak rentak

Membuang merangsang segala petua

Tiada percaya pada siapa

(Nyanyi Sunyi, 28)

Tiada percaya pada siapa”. Model disintegrasi kekitaan Hamzah adalah eksklusi/ekskomunikasi. Seperti Alisjahbana yang melihat “masih ada tanah daratan” (“Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan”), sebetulnya Hamzah juga membayangkan kemungkinan reintegrasi kekitaan baru dari puing-puing kekitaan lama. “Tiada bersua dalam dunia / Tiada mengapa hatiku sayang,” kata Hamzah dalam puisi “Astana Rela”. Sebab, meski bukan di dunia sekarang, masih ada kebersamaan yang membahagiakan di dunia kelak: “Disitu baru kita berdua / Sama merasa, sama membaca / Tulisan cuaca rangkaian mutiara”. Namun eksklusi/ekskomunikasi memang menyarankan pemisahan yang lebih radikal dari, dan tidak tertebus oleh, eksodus.

Alisjahbana bersemangat pergi ke laut karena tahu akan mencapai daratan kekitaan di seberang sana: “Dari kapal beta tahulah beta, bahwa masih ada tanah daratan” (“Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan”). Optimisme demikian tampaknya ditampik oleh Hamzah. Dalam puisi “Hanya Satu”, Hamzah melihat laut sebagai situs katastrofe yang membuat “manusia kecil lintang pukang”. Baginya, “Terapung naik jung bertundung / Tempat berteduh nuh kekasihmu” bukan saja menghasilkan “Bebas lepas lelang lapang / Ditengah gelisah, swara sentosa”, tetapi juga menimbulkan perpecahan baru: “Kini kami bertikai pangkai / Diantara dua, mana mutiara”. Lautan memang menjanjikan daratan kekitaan di seberang sana, tapi orang yang menyeberangi laut bisa mati tenggelam sebelum daratan itu tergapai, sebagaimana disuarakan dalam puisi “Hanyut Aku”:

Hanyut aku, kekasihku!

Hanyut aku!

Ulurkan tanganmu, tolong aku.

Sunyinya sekelilingku!

Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,

tiada air menolak ngelak.

Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku

sebabkan diammu.

Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam.

Tenggelam dalam malam.

Air diatas menindih keras.

Bumi dibawah menolak keatas

Mati aku, kekasihku, mati aku!

(Nyanyi Sunyi, 12)

Berbeda dari puisi “Hanya Satu” yang jelas-jelas berlatar kisah mitologis pelayaran Nuh mengarungi samudra-banjir, puisi “Hanyut Aku” tidak memberikan isyarat yang jelas apakah lanskap perairan yang ditunjuknya adalah laut, sungai atau danau. Tetapi, dari kuatnya energi alam yang digambarkan (langit menyerkap, air berlepas tangan, air diatas menindih keras, bumi dibawah menolak keatas) dan asosiasi tentang keluasan ruang yang disiratkan oleh frasa “tenggelam dalam malam”, lebih mudah membayangkan laut sebagai latar puisi “Hanyut Aku”. Selain itu, puisi ini juga tidak menginformasikan apakah kekitaan yang dibayangkan “aku” ketika berseru minta tolong kepada “kau” berada di masa silam atau masa depan. Hamzah tidak memberi tahu apakah “aku” membayangkan kolektivitas lama dengan menghasratkan “kau” yang telah ditinggalkan, atau membayangkan kolektivitas baru dengan menghasratkan “kau” yang akan dituju di seberang sana. Namun kita tahu, dengan cukup yakin, bahwa dengan berada di laut, subyek terputus dari “kau” yang (pernah/akan) membentuk ikatan “kita”; dan bahwa, secara paradoksal, justru kesendirian total yang ditemukan “aku” di laut itulah yang pada akhirnya, di ambang kematian, menghidupkan kembali “kita” (dalam seruan minta tolong kepada “kau”).

Dalam puisi “Hanya Satu” Hamzah, laut menceraiberaikan kolektivitas (“Manusia kecil lintang pukang”), lalu membentuk kembali kebersamaan (“Teriak riuh redam terbelam”) dan ikatan kekerabatan (“Juriat jelita bapaku iberahim / Keturunan intan dua cahaya / Pancaran putera berlainan bunda”); laut menghasilkan perpecahan (“Kini kami bertikai pangkai / Di antara dua, mana mutiara”), tapi juga mengantarkan ke persatuan ultim (“Hanya satu kutunggu hasrat / Merasa dikau dekat rapat / Serupa musa dipuncak tursina.”). Sementara dalam puisi Alisjahbana, “Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan” dan “Menuju ke Laut”, samudra—dengan segala dera dan bahayanya—memikat subyek untuk bercerai dari ikatan lama, dengan menjanjikan ikatan baru di seberang sana.

Sebagai kaum terpelajar, para penyair pada masa pra- maupun pascakemerdekaan tentu sangat menyadari bahwa Hindia-Belanda atau Indonesia adalah negeri kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan. Lautan bersama daratan membentuk kesatuan “tanah air” Indonesia, di mana laut menjadi bagian (dominan) dari lingkungan dalam negeri. Tetapi, sebagian besar tapal batas Indonesia yang bersinggungan dengan wilayah non-Indonesia juga berada di lautan, sehingga perbatasan teritorial itu hanya kasatmata dalam imajinasi, ketika ditarik sebagai garis imajiner pada peta. Sementara dalam kenyataan, batas lautan Indonesia selalu terlihat homogen dan bercampur dengan wilayah laut luar negeri. Laut seakan-akan berada di dalam dan sekaligus di luar “rumah” Indonesia.

Karakter geografis khas negeri kepulauan ini meresapi lanskap imajinasi puitik banyak penyair Indonesia pada masa sebelum maupun sesudah Perang Dunia Kedua. Laut tak pernah surut dari repertoar tema, metafora, simbol dan citra dalam khazanah puisi berbahasa Indonesia, sejak dulu sampai kini. Penyair Indonesia bahkan tak segan menyatakan secara lugas kecintaannya kepada laut, misalnya “aku cinta pada laut” (Abdul Hadi W.M., “Laut”, 1973), “aku ingin sendiri dengan laut / di mana kulontarkan cinta kelam” (Subagio Sastrowardoyo, “Soneta Laut”, 1989), “aku mencintai laut” (Adi Wicaksono, “Laut”, 1990-1993). Mirip dengan laut dalam realitas geografi Indonesia, laut dalam imajinasi puitik banyak penyair Indonesia cenderung menjadi situs diskursif untuk merepresentasikan daerah perbatasan, suatu frontier, yang membatasi dan sekaligus melebur kategori-kategori yang bertentangan: individualitas/kolektivitas, keterikatan/kebebasan, keakraban/keasingan, jauh/dekat, soliter/solider, perpecahan/persatuan, dulu/kini, tradisi/modern, kampung halaman/rantau, muasal/tujuan, nyata/maya, hidup/mati dan seterusnya.

Goenawan Mohamad, dalam esai “Melupakan: Puisi dan Bangsa, Satu Motif dalam Modernisme Sastra Indonesia Sesudah 1945”,[6] memasukkan “Laut” sebagai salah satu sub-tema pembahasan. Di sana ia mengutip, antara lain, puisi Chairil Anwar, “Kabar dari Laut” (1946),[7] yang lengkapnya sebagai berikut:

KABAR DARI LAUT

Aku memang benar tolol ketika itu,

mau pula membikin hubungan dengan kau;

lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu,

berujuk kembali dengan tujuan biru.

Di tubuhku ada luka sekarang,

bertambah lebar juga, mengeluar darah,

di bekas dulu kau cium napsu dan garang;

lagi aku pun sangat lemah serta menyerah.

Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi.

Pembatasan cuma tambah menyatukan kenang.

Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang.

Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji,

Atau di antara mereka juga terdampar,

Burung mati pagi hari di sisi sangkar?

Dalam pandangan Mohamad:

Apa yang menonjol mengenai puisi ini adalah bahwa yang ditinggalkan bukanlah suatu jalan untuk pulang, atau suatu pelayaran menuju asal-usul, melainkan ke ‘tujuan biru’. Laut adalah rumah si asing, atau mungkin malah antitesisnya. Si pelaut menjadi sosok yang romantik, seorang Sinbad kecil tanpa dongeng-dongeng mukjijat dan kekuatan magis, melainkan suatu kisah tentang perlawanan, tentang keberanian sendiri, tentang kesendirian yang membanggakan, tentang mobilitas tanpa kekang dan pengembaraan yang menggairahkan (Clearing A Space, 255).

Bagi Mohamad, gerak metaforis pergi ke laut merefleksikan tindak melupakan: suatu “pemberontakan dalam melupakan” (merujuk pada puisi “Cerita buat Dien Tamaela” Anwar, 1946); “suasana hati dari kehidupan tanpa titik pusat”, “perasaan hidup menggelandang yang hebat” (merujuk pada puisi “Perhitungan” Anwar, 1943); “terbang, lari, berharap tidak mencapai apa-apa pada akhirnya”, “melupakan secara aktif” (merujuk pada puisi “Buat Gadis Rasid” Anwar, 1948); bahwa “mempunyai alamat tidak penting lagi” (merujuk pada larik penutup menggetarkan, “Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!” dalam puisi “Pemberian Tahu” Anwar, 1946). Catat Mohamad: “[p]uisi Indonesia setelah Perang Dunia II, yang ditandai dengan lirikisme yang intens dan digarisbawahi oleh karya-karya Chairil Anwar, mendapatkan bahwa adalah hal alami untuk membebaskan diri dari ingatan dan memilih ‘laut’. Ada suatu kekuatan murni yang bisa dirasakan dalam tindak melupakan. Yang mengherankan mengenai hal ini adalah bahwa itu semua terjadi di suatu masa ketika para penyair sendiri secara tuntas dibaptis dalam suatu kesadaran tentang batas dan belonging yang muncul dari ‘materialitas’ bangsa ini.”

Tetapi puisi Chairil Anwar tampaknya juga menyarankan bahwa berbeda dari lupa, “melupakan”—sebagai sebuah aktivitas sadar—selalu berkorespondensi dengan tindak “mengingat”. Orang tak dapat melupakan apa yang tidak diingatnya. Begitu juga sebaliknya, orang tak bisa mengingat sesuatu tanpa melupakan sesuatu yang lain. Arus bolak-balik antara “melupakan” dan “mengingat” ini terekam pada puisi “Kabar dari Laut”, “Pemberian Tahu” dan “Buat Album D.S.”—tiga karya Chairil Anwar dari 1946 yang bersinggungan dengan wacana laut:

Melupakan: (Kabar dari Laut) Aku memang benar tolol ketika itu, / mau pula membikin hubungan dengan kau; / lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu, / berujuk kembali dengan tujuan biru. (Pemberian Tahu) Bukan maksudku mau berbagi nasib, / nasib adalah kesunyian masing-masing. / Kupilih kau dari yang banyak, tapi / sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring. (Buat Album D.S.) Seorang gadis lagi menyanyi / Lagu derita di pantai yang jauh, / Kelasi bersendiri di laut biru, dari / Mereka yang sudah lupa bersuka.

Mengingat: (Kabar dari Laut) Di tubuhku ada luka sekarang, / bertambah lebar juga, mengeluar darah, / di bekas dulu kau cium nafsu dan garang; / lagi aku pun sangat lemah serta menyerah. (Pemberian Tahu) Aku pernah ingin benar padamu, / Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali, // Kita berpeluk ciuman tidak jemu, / Rasa tak sanggup kau kulepaskan.(Buat Album D.S.) Kami rasa bahagia tentu ‘kan tiba, / Kelasi mendapat dekapan di pelabuhan / Dan di negeri kelabu yang berhiba / Penduduknya bersinar lagi, dapat tujuan.

 

[1]  Puisi ini pernah diterjemahkan oleh Rosihan Anwar dengan judul “Salam Terakhir”. Konon, puisi ini dibacakan oleh para pejuang kemerdekaan RI sebelum pergi ke medan perang

[2]  Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, terjemahan Omi Intan Naomi (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 2001), 217, dengan sejumlah perbaikan berdasarkan versi Inggris Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, Revised Edition (London, New York: Verso, tenth impression, 2000),143

[3]  H.B. Jassin, ed., Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (Jakarta: Gunung Agung, 1963),321-338

[4]  S. Takdir Alisjahbana, Lagu Pemacu Ombak (Jakarta: Dian Rakyat, cetakan kedua, 1984). Puisi-puisi Alisjahbana lainnya yang dibahas dalam tulisan ini termaktub dalam buku tersebut

[5]  Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi (Jakarta: Dian Rakyat, cetakan kedelapan, 1978), 25. Selanjutnya ditulis Nyanyi Sunyi. Puisi-puisi Hamzah yang dibahas dalam tulisan ini termaktub dalam buku tersebut. Pembahasan tentang puisi-puisi Hamzah di bawah ini berbasis pada Arif Bagus Prasetyo, “Membaca (Kembali) Nyanyi Sunyi”, makalah diskusi publik “Mendaras Amir Hamzah” di Freedom Institute, Jakarta, 24 Juni 2010

[6]  Goenawan Mohamad, “Melupakan: Puisi dan bangsa, sebuah motif dalam modernisme sastra Indonesia setelah tahuh 1945”, dalam Keith Foulcher dan Tony Day, ed., Clearing A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & KITLV-Jakarta, 2006), 224-280. Selanjutnya ditulis Clearing A Space.

[7]  Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: Koleksi Sajak 1942-1949, disunting oleh Pamusuk Eneste (Jakarta: Gramedia, cetakan keenam, 1993), 57. Selanjutnya ditulis Aku Ini Binatang Jalang. Puisi-puisi Anwar lainnya yang dibahas dalam tulisan ini termaktub dalam buku tersebut

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler