Skip to Content

NOVEL: UNANG ISOLSOLI (6/8)

Foto SIHALOHOLISTICK

ONOM[1])

 

DELITO menghempaskan pantatnya di atas sofa yang ada di ruang tamu, rumah kost yang selama tiga tahun ini di tempatinya bersama teman-temannya yang lain. Rumah itu milik Pak Sitohang yang terpisah dari rumah induk. Rumah kost itu sederhana namun asri. Dilengkapi fasilitas listrik dan air bersih.

Ada sepuluh mahasiswa yang tinggal di situ, namun hanya dengan Arby-lah ia paling akrab, karena mereka satu kampus, satu fakultas, satu tingkat ditambah lagi satu kamar. Jadi otomatis mereka sering bersama.

Di antara sepuluh mahasiswa, hanya Delito dan Arby yang memilih Fakultas Ekonomi, selain itu banyak yang memilih macam-macam. Galih, anak kedokteran yang selalu berpenampilan perlente dengan kaca mata minus yang selalu menempel di wajahnya. Kaca mata itu membuatnya semakin berkarisma. Dia calon hela [2]) Pak Sitohang yang satu fakultas dengannya.

Risto dan Frans anak Fakultas Sospol, yang kalo berdebat selalu menggebu-gebu. Neo, yang selalu berpenampilan seperti vokalis Letto ingin seperti Neo Letto yang asli, yang lebih akrab dengan rumus matematika dan Fisika, meski tidak bersekolah di Canada. Dia juga anak band namun bukan vokalis tapi pemain melody. Dion, Oen dan Leo, anak Fakultas Hukum, ingin menjadi pengacara kondang seperti Bang Ruhut ‘Poltak’ Sitompul, Si Raja Minyak dari Medan, yang mempunyai banyak klien, termasuk pejabat dan selebritis.

Lain lagi dengan Benny, ia lebih tertutup, nyentrik dan hobby menulis. Ia lebih senang mematuk-matuk mesin tik untuk menambah penghasilan. Ia jarang di rumah dan sering terjun ke lapangan dengan kartu pengenal jurnalistiknya di sebuah media massa. Di kampusnya, ia mengambil jurusan Sastra dan Jurnalistik sekaligus. Meskipun jadwalnya padat, tapi ia pandai mengatur waktunya dengan baik.

Seluruh penghuni kost tidak begitu kenal dengannya, siapa keluarganya dan dari mana asalnya, tidak seorang pun yang tau. Kesukaannya menulis membuatnya semakin kurus, karena waktu istirahatnya tersita lebih banyak untuk bekerja. Setelah seharian bekerja, pulang larut malam, bukannya langsung tidur, tapi masih menyempatkan mengetik berita untuk besok.

Akhir-akhir ini, Delito sering dekat dengannya, kalau Benny berada di rumah. Apalagi waktu semesteran, ia akan sering di rumah dan ambil cuti kerja. Kadang-kadang mereka hanya ngobrol, atau kadang-kadang Delito minjam mesin ketik Benny untuk menaskah ceritanya.

“To, kalau kamu bisa bikin cerita dan puisi sebagus ini, kenapa gak aktif aja menulis. Kamu bisa nitip naskah kamu ke aku, biar aku yang ngasih ke redaktur. Aku punya banyak teman yang bekerja sebagai redaktur. Itu makanya cerita aku banyak tersebar di mana-mana, bukan cuman di tempat aku kerja. Tuh, liat tumpukan koran itu, semua berisi  cerita  dan  puisi  aku.  Rencananya  mau dibukukan. Ceritanya biasa aja, kok, tapi selalu aja mereka maksa aku nulis cerpen dan puisi untuk koran mereka.” kata Benny setiap delito mendatanginya. Tapi, Delito hanya tersenyum menanggapinya, kadang menjawabnya juga.

“Aku bukan orang berpengalaman kek kamu, Ben. Untuk ngedapatin ide saja susah banget, meskipun sekali dapat kadang dua-tiga. Beda dengan kamu yang dapat ide kapan kamu mau. Tema cerita kamu juga beragam, sedang aku hanya percintaan dan idenya itu-itu juga. Sinetron juga berkisar di situ-situ juga, salah-salah malah gak original.”

“Makanya bikin target. Hidup punya beragam problem, bukan cuma cinta.”

“Target itulah yang sedang aku jajaki, makanya aku belum bisa aktif menulis seperti kamu.”

Begitulah setiap mereka bertemu. Sambil mengetik, keduanya terus ngobrol.

Tapi malam ini ia sedang kalut. Ia tak menyangka, hubungannya dengan Rani akan begini. Telah beberapa kali ia merenungkan hal ini. tapi, keputusan apapun tak mampu diambilnya, lanjut atau putus. Ia tau, Rani begitu mencintainya, begitu juga dengan perasaannya.

Di saat seperti ini, diingatnya kembali Nelita, entah di mana kini gadis itu ditempatkannya dalam hidupnya. Mungkin hanya kenangan yang ada pada bait-bait cerita dan puisi yang kini telah berujud hepeng [3]), dan bayangan gadis itu kini telah terkikis dengan kehadiran Rani. Meski pun bayangan Nelita selalu hadir setiap ia menaskah cerita itu, namun tak lagi membuatnya rindu. Bahkan, lebih hebatnya, cerita yang dulu dipersembahkan pada Nelita telah dipersembahkan pada Rani.

Sekarang, cinta yang telah membuatnya lupa pada Nelita, berubah begitu saja. Bukan karena Rani tak legi memperhatikannya, tapi malah sebaliknya, Rani selalu ada saat ia membutuhkannya. Tapi, cinta yang selama ini membuatnya berarti berubah jadi dendam karena hinaan orang tua Rani. Kehadirannya tidak disukai oleh orang tua Rani. Terlebih bokap Rani yang sangat mengecam hubungan mereka, dengan tuduhan macam-macam yang tak dapat diterimanya.

Beberapa malam yang lalu, tanpa sengaja, Delito mendengar percakapan Rani dan papanya. Di saat itu Delito mengantar Rani pulang setelah jalan. Mungkin keduanya menyangka Delito telah pergi.

“Rani, ada hubungan apa kamu dengan laki-laki itu? Keliatannya kamu selalu bersamanya. Pak Dul bilang, kalau dia tiap malam datang ke sini selama papa dan mama tidak di sini. Apa betul?”

Mendengar pertanyaan yang tak bersahabat itu, langkah Delito terhenti. Perasaan ingin tau membuatnya kembali mendekati pintu.

“Papa ini kenapa, sih?” balik Rani yang bertanya pada papanya, karena merasa heran meliat raut wajah papanya yang menggambarkan kemarahan, meski nada bicaranya datar saja. Ia juga heran, biasanya papanya fine-fine aja apa yang dilakukannya.

“Jawab dulu pertanyaan papa! Ada hubungan apa kamu dengan laki-laki tadi? Apa betul yang dikatakan Pak Dul?”

“Ih, Papa sirik, deh. Mau tau aja urusan anak.”

“Rani, jawab dulu pertanyaan papa kamu. Jangan mempermainkan papa kamu. Papa kamu lagi serius.” kata mamanya menegor Rani.

“Okey, deh, Bos! Yang dibilang Pak Dul itu 100% klip asli, gak pake bajakan. Original. Trus, soal hubungan kami, kami saling mencintai. Mungkin dia calon menantu di rumah ini, yang mungkin suatu saat bisa gantiin jabatan papa sebagai pemimpin perusahaan atau bisa nerusin usaha yang papa rintis dari nol. Dia itu anak Ekonomi. Ganteng kan Pa, Ma? Itu, lho, Ma, cowok yang Rani ceritakan. Tapi Rani gak hanya menyukai tampangnya, itu soal ke sekian. Kepribadiannya yang membuat Rani tergila-gila. Perilakunya selalu mengundang perhatian banyak orang. Dia juga yang telah bantu Rani berubah seperti ini. tidak anggap enteng pada hal sekecil apapun.”

Jawaban Rani membuat Delito  lega. Dia merasa beruntung punya kekasih seperti Rani, hingga rasa cintanya kian besar dan kokoh, bagai dinding-dinding cadas yang tidak takut oleh hempasan gelombang dan terpaan badai.

“Tapi, apa kamu tau siapa dia sebenarnya?”

“Kenapa tidak, Pa. Dia menceritakan kehidupan keluarganya yang mempunyai sebuah kebahagiaan yang tidak dimiliki oleh keluarga kita. Mereka memang orang miskin. Kedua orang tuanya hanya petani sayur dari Dolok Sanggul sana. Yang mesti menggelantung di atas bus untuk menjual hasil sayur mereka. Tapi, meskipun begitu, orang tuanya masih ingin menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya. Ayahnya pernah menghajarnya, ketika ia menolak untuk di kuliahkan dan bermaksud membantu ke ladang meringankan biaya sekolah keempat adiknya.

“Jadi, dia hanya anak petani sayur dari Dolok Sanggul?”

“Ya, tapi meskipun begitu, masih saja punya prinsip. Tidak seperti papa yang selalu menuruti kehendak Rani, meskipun permintaan itu keterlaluan dan papa gak nyadar, papa telah membentuk kepribadian Rani menjadi buruk. Memang tak ada yang keterlaluan buat papa, karena papa punya segalanya. Kini Rani telah berubah dan dia yang bantu Rani, Pa.”

“Tapi, itukan permintaan kamu. Papa hanya punya kamu selain mama kamu. Buat apa semua ini kalau papa tidak berikan padamu? Buat apa papa kerja keras banting tulang siang malam, kalau keinginan kamu tidak papa penuhi. Apa papa salah berbuat seperti itu?”

“Niat papa gak salah, cara papa yang salah. Apa papa pernah berpikir, jika esok papa meninggal, bekal apa yang telah papa berikan pada Rani? Harta ini? jika hanya mengandalkan harta ini dalam sekejap akan habis, lantas apa yang bisa Rani perbuat untuk bisa bertahan hidup? Apakah selama ini papa pernah menyisihkan sebagian harta papa pada orang yang berhak menerimanya? Pernahkah papa peduli dengan bocah-bocah yang ada di pinggir jalan yang semestinya mereka bersekolah? Sebagian dari harta papa adalah milik mereka yang membutuhkan.” terang Rani. “Tahu jugakah Papa, dua kali Rani dicoba diperkosa oleh orang jahat dan tahukah papa, siapa yang ada saat itu, hanya dia, Pa, hanya dia yang nyelamatin Rani, melindungi Rani dan memberikan ketenangan. Dia rela meneteskan darah demi Rani.”

“Dia mau meneteskan darah demi kamu, karena ada maunya. Kalau tidak, dia tidak akan mau.”

“Maksud papa?”

“Ya, karena dia tau kamu anak orang kaya. Anak tunggal, pewaris satu-satunya dan pada saatnya nanti dia akan menguasai harta ini, membuang kami ke Panti Jompo dan memperbudak kamu.”

“Cukup, Pa! Cukup! Dia tak sejahat yang papa kira. Rani lebih tau siapa dia dari papa.”

“Lebih tau atau sok tau? Buktinya saja dia tak mau menemui papa. dia takut akal bulusnya papa ketahui. Laki-laki macam apa dia, tidak mau terang-terangan.”

“Cukup, Pa! Rani bisa ngerasain ketulusan hatinya, karena Rani yang merasakan. Dia tidak seperti Ades, laki-laki brengsek yang selalu papa bela-bela. Sekarang, jika papa memang sayang pada Rani, papa pengen bahagiain Rani, Rani pengen papa ngabulin permintaan Rani yang terakhir. Setelah itu tak ada lagi tiket ke Eropa dan segala macam tetek bengek Rani....”

“Apa?”

“Restui kami!”

“Apa?”

“Restui hubungan kami. Jika perlu, nikahkan kami sesegera mungkin.”

“Tidak! Papa tidak akan merestui hubungan kalian. Apa kamu mau bikin papa malu? Anak seorang pengusaha sukses dari keluarga terpandang, anak Hadi Prawiro, menikah dengan anak petani sayur dari Dolok Sanggul sana, dari golongan rendah, miskin, menjijikkan, beradat kasar, beringas dan tidak tau sopan santun. Mau ditaruh di mana muka papa nanti, ha? Apa kata orang-orang nanti?”

Retak dada Delito mendengar hinaan yang menyakitkan itu. Ia tak menyangka, kalau orang yang terhormat dan berpendidikan seperti orang tua Rani masih mau menghina dan merendahkan orang lain.

Air matanya mengalir mendengar hinaan itu. Ingin rasanya ia mendobrak pintu dan masuk untuk menyobek mulut yang telah lancang menghina orang tuanya, menganggapnya orang yang tak beradat. Untunglah ia sadar siapa dirinya, hingga ia hanya bisa berdiri mematung di tempatnya dengan kaki bergetar. Dadanya kembang kempis menahan emosinya, darahnya terasa mendidih. Antara sadar atau tidak, sayup-sayup ia mendengar suara bokap Rani mengoceh.

“Papa sudah menjodohkan kamu dengan anak sahabat papa, ketika kalian masih kecil. Dia sekarang menjadi pemuda yang baik, sopan dan punya masa depan yang baik. Papa yakin, dia akan membahagiakanmu kelak. Sebentar lagi ia akan berangkat ke Prancis untuk melanjutkan studynya karena ia memenangkan seleksi beasiswa ke luar negeri. Papa juga berencana mengirim kamu ke Eropa. Pendidikan di Indonesia tidak terjamin lagi. Sebentar-sebentar ganti peraturan, sebentar-sebentar ganti teori, tapi pelaksanaannya nol sama sekali.”

“Apapun komentar papa tentang Indonesia, yang jelas aku masih lebih bangga dengan negeriku sendiri. Rani ingin tetap di Indonesia, ini tanah air Rani. Rani juga tak mau dijodohkan ini bukan zaman Sitinurbaya lagi. Rani ingin memilih dan menentukan masa depan Rani sendiri. Rani tau apa yang terbaik buat Rani, karena Rani yang menjalaninya kelak, bukan papa.” bantah Rani.

“Plak...!” sebuah tamparan telak mengenai wajah Rani.

“Hanya gara-gara dia kamu berani melawan papa. Durhaka pada orang tua. Sepertinya memang sudah saatnya papa tegas sama kamu. Selama ini papa menuruti permintaan kamu, tidak mengasari kamu, dengan harapan kamu memenuhi permintaan papa, satu saja, menikah dengan laki-laki pilihan papa, bukan laki-laki miskin yang kamu banggakan itu. Apa yang bisa kamu harapkan darinya? Apa...? Kamu mau jadi petani sayur pula? Memalukan! Dikasih tau malah membantah kamu.”

Dengan tenaga yang tersisa, Delito melangkahkan kakinya dari tempatnya berdiri. Sejuta penyesalan meremukkan dadanya.

“Maaf pon au damang dainamg. Dakian naeng marhallet au tu son, hape hamu burju naeng parsikkolaon au. Sai hu ingot doi damang dainang hata nai.”[4]) kata Delito lirih.

Penyesalan Delito berubah jadi dendam, hilang semua perasaan cintanya yang telah diberikan pada Rani. Hatinya juga membenci kepada setiap orang yang membeda-bedakan sesuatu.

Kenapa kebahagiaan selalu menghampiri orang-orang kaya seperti Rani, Arby dan Eza. Sedangkan Delito mesti terhina.

Salahkah hidup ini mencari nafkah dengan bertani sayur, rasanya tidak. Salahkah cinta yang mempertemukan hati anak petani sayur dengan hati anak seorang pengusaha sukses, rasanya tidak juga. Lantas, kenapa hinaan keluar dari mulut kesombongan pada anak petani sayur.

Penilaian dan pandangan seseorang pada perbedaan itulah yang sebenarnya salah.

Mulai hari itu, Delito terus menghindari Rani. Dia selalu berada di belakang kampus, tempat yang hampir tak pernah di datangi oleh mahasiswa lain. Di tempat itu Delito merenungi nasibnya, menyadari dirinya sendiri. Menyesali keteledorannya hingga orang tuanya menerima imbas dari semua keteledorannya itu.

Tak ada seorang pun yang ingin dihina, begitu juga Delito. Di saat termenung dan menyendiri tak seorang pun menemaninya, hanya rokok yang sedikit membuatnya tenang. Kadang ia beranjak dari situ ketika senja menyelimuti alam jagat raya. Di saat Arby mengomentarinya, ia menjawab cari kerja.

Di tempat kost, ia lebih sering di kamar Benny yang tinggal terpisah ke belakang dan seorang diri di situ. Dia mematuk-matuk mesin tik mencoba melupakan Rani.

Atas dorongan Benny, ia mencoba cari kerja paruh waktu untuk membiayai dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari seperti apa yang dilakukan Benny. Awalnya ia mencoba di sebuah perusahaan makanan ringan, tapi yang dibutuhkan hanya pekerja wanita. Delito melanjutkan ke beberapa perusahaan lain, namun pekerjaan yang diinginkan tetap tidak ada.

Delito hampir putus asa, namun niatnya untuk mendapatkan pekerjaan kian besar, sehingga pekerjaan yang diingininya mampu menepis segalanya, walau segalanya toh tidak ada hasil yang memuaskan. Sebulan berlalu dia hanya keluar masuk perusahaan besar dan kecil, namun hasilnya tetap sia-sia.

Sementara Rani mulai khawatir dengan keadaan Delito, sudah beberapa hari ia mencari Delito namun tidak ditemukannya. Ia merasa khawatir terjadi sesuatu pada Delito.

Sedangkan Delito terus menyibukkan diri mencari pekerjaan. Akhirnya Delito menerima tawaran Benny untuk menjadi jurnalis di tempat Benny bekerja yang kebetulan membutuhkan seorang jurnalis baru menggantikan jurnalis yang telah undur diri.

Awal pekerjaan selalu didampingi Benny, hingga sebulan sudah kesibukan baru ini digelutinya. Terus terang telah menyita perhatiannya dan segala waktu luangnya menjadi terisi, hingga tidak ada waktu untuk memikirkan Rani lagi. Keseriusan dan konsentrasinya di fokuskan pada pekerjaannya, ia tak lagi memikirkan Rani meski sekali-kali Arby terus menitipkan salam dari Rani, tapi tak pernah digubrisnya. Akhirnya Arby tak mau lagi menyinggung hal itu dan hanya menyampaikan kabar pada Rani kalau Delito baik-baik saja dan sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai jurnalis di sebuah media massa.

Siang itu ia menyerahkan hasil liputannya tentang mayat seorang wanita yang ditemukan di dalam parit di daerah Tembung ke bagian redaksi untuk berita esok. Setelah mengobrol-ngobrol sambil bercanda dengan redaktur yang kebetulan pacar Benny. Delito pun disuruh ke bagian tata usaha untuk mengambil gaji pertamanya. Dengan hati berbunga, ia bergegas ke bagian tata usaha. Pintu segera dibuka, dengan setengah berlari dan secara spontan, ia menabrak seorang wanita yang juga tergesa-gesa.

“Delito...!” kata wanita yang ditabrak Delito.

Mendengar suara yang begitu dikenalnya, Delito segera menatap wanita itu.

“Eza...? Lagi ngapain di sini?” tanya Delito heran. Selama ini ia tak pernah bertemu dengan Eza di tempat kerjanya.

“Lha, mestinya aku yang nanya kamu, lagi ngapain di sini? Kalau aku baru ketemu bokap.”

“Bokap kamu? Maksud kamu Pak Direksi?”

“Ya. Ini kantor bokap aku.” jelas Eza dengan menganggukkan kepalanya. “Lagi ngapain di sini?”

“Masukin hasil liputan tentang kejadian yang di Tembung dan sekarang mo ke ruang tata usaha.”

“Kamu jurnalis di sini? Pantas jarang keliatan.” balas Eza. “Eh, tau nggak, Rani kangen banget ama kamu.”

“Za, aku lagi berusaha ngelupain dia, makanya aku pilih jadi jurnalis, agar waktu luang aku keisi tanpa mesti mikirin dia lagi.”

“Kok, gitu? Emang napa? Dia sayang banget ama kamu, lho.”

“Aku tau, Za.”

“Trus, kenapa kamu mesti lupain dia?”

“Dia gak level aku, Za. Dia anak orang kaya, bokapnya pengusaha sukses, terpandang dan terhormat. Sementara aku hanya anak petani sayur dari Dolok Sanggul. Dia orang ningrat, sedang aku hanya orang Batak dari huta [5]). Aku gak bisa nerima hinaan bokapnya ke aku dan keluarga aku. Sakit rasanya, Za, ngedengar hinaan itu. Hinaan itu udah ngikis semua perasaan cinta aku, yang tertinggal hanya dendam. Aku pikir, menyingkir lebih baik dari pada terus-terusan di hina atau balas dendam. Aku takut ngelakuin sesuatu yang melukai Rani, karena jujur aku akui, aku sangat mencintainya dan aku gak pengen melukainya. Aku nyadar, Za, semua orang kaya itu identik dengan kesombongan, merasa diri paling hebat, tapi kamu jangan tersindir, emang gak semuanya, tapi sebagian besar.”

“Tapi, apa kamu gak kuliah lagi? Keliatannya kamu jarang nongol di kampus, bahkan sebulan terakhir ini kamu gak keliatan.”

“Aku kuliah, kok, cuma saat gak ada kuliah aku menyendiri, menikmati diri jadi orang yang gak berharga di mata orang lain. Menikmati dendamku pada semua orang yang membeda-bedakan sesuatu, orang yang suka memilah-milah kehidupan ini, kaya miskin, ningrat wong cilik. Meratapi kekejaman hidup. Meratapi dosa kepada kedua orang tuaku. Aku disekolahkan agar tidak terhina jadi anak petani sayur, malah sebaliknya, di sini aku terhina karena keteledoranku sendiri. Mestinya aku tak pacaran.”

“Sampai kapan kamu menjalaninya, To?”

“Entahlah, Za. Mungkin aku keluar dari kampus ini aja dan cari tempat kuliah yang mahasiswanya orang kek aku, miskin dan tak banyak impian. Udah, ya, aku ke ruang tata usaha dulu.” kata Delito. Di saat ia keluar, ia tak melihat Eza lagi hingga akhirnya ia memilih pulang.

* * *

MINGGU siang, Delito gak ke mana-mana, ia cuman baca koran milik tempatnya bekerja. Berita yang kemarin diliputnya jadi berita utama dan cerita yang ditulisnya di muat. Sedang asyiknya baca koran, hingga ia tak sadar kalau Arby sudah ada di dekatnya bersama Eza dan Rani.

“To!” kata Arby menegor Delito yang terus membaca. Delito hanya kaget melihat kehadiran Rani bersama Eza.

“Ada apa ini?”

“Maafin aku, To. Aku gak bisa liat hubungan  kalian jadi begini. Rani tersiksa atas sikap kamu. Kalo emang mau ngakhiri semuanya, aku pikir bisa diakhiri dengan indah dan senyuman.. kamu boleh marah ama aku, tapi nanti aja, kamu selesaikan dulu urusan kalian.”

“Arby, tolong bawa dia dari sini.” cegah Delito meliat Arby dan Eza beranjak meninggalkan mereka berdua.

“”To, jangan jadi pengecut gini.” kata Rani buka mulut.

“Heh, siapa yang pengecut?”

“Kamu. Sikap kamu itu sikap pengecut. Gak gentlement. Banci. Gak dewasa.”

“Siapa bilang?”

“Aku!”

“Enak saja kamu.”

“Emang, hanya anak kecil yang bersikap seperti sikap kamu itu. Kalau ada masalah, kenapa gak diomongi. Kamu malah ngilang, gak ,mau tau apa yang lagi aku rasakan. Apa salahku?”

“Salah kamu? Gak ada! Pak Hadi Prawiro yang terhormat, terpandang, dan terhebat itulah yang salah. Dia telah lancang menghina anak petani sayur yang miskin ini. orang Batak yang beradat kasar ini. jangan mentang-mentang dia hebat, kaya, sukses lantas seenaknya menghina keluargaku. Meskipun dia kaya tapi aku gak takut berhadapan dengannya. Kasih tau pada Hadi Prawiro yang sombong itu, kalau di atas langit masih ada langit.” kata Delito dengan penuh emosi dan amarah yang memuncak.

“To, sabar, To. Jangan bawa emosi kamu. Bicarakan dengan baik agar semua berakhir dengan baik dulu kamu setengah mati meyakinkan aku kalau Rani itu pilihan terbaik bagi kamu. Inilah yang dulu aku takutkan, kamu malah gak mau tau. Ya, udah. Aku bisa maklum perasaan kamu. Tapi, kemana semua keyakinan kamu itu? Mana, dulu cinta yang kamu bilang tugas suci? Mana? Kenapa hilang begitu aja.” kata Arby meredam amarah Delito.

“Persetan dengan cinta. Cinta yang aku punya udah dibakar dendam. Jangan tanya aku soal cinta lagi, percuma.”

“Jadi kamu dengar semua? Kamu gak perlu menggubrisnya. Aku aja gak peduli semua itu.”

“Tidak menggubrisnya katamu? Tidak! Aku malah gak terima semua itu. Keterlaluan menurutku.”

“Kalau gitu, aku minta maaf atas nama keluarga aku, atas nama Hadi Prawiro, bokap aku.”

“Tidak segampang itu memaafkannya, terlalu sakit. Untuk menebus dosaku pada mereka pun tak cukup.”

“Dosa apa?”

“Atas semua keteledoranku pacaran dengan kamu. Karena dari situlah semua bermula.”

“Kamu menyesal pacaran dengan aku?”

“Mungkin. Tapi aku tak ingin menyesalinya lagi. Cukuplah sudah!”

“Hubungan kita?”

“Untuk apa kita pertahankan lagi. Mungkin lebih baik sampai di sini saja....” kata Delito pahit, karena melawan hatinya, namun ia terpaksa mengatakannya. “...rasanya lebih baik kita mengambil jalan sendiri-sendiri. Moga kamu bisa terima kenyataan ini dengan tersenyum. Aku berharap kamu betah dengan semua perubahan kamu. Aku akan senang melihatmu tersenyum pada semua orang setiap saat.”

“To, aku gak bisa. Aku gak bisa melakukannya tanpa kamu, To. Gak bisa, To.”

“Jangan cengeng, Ran. Kamu harus bisa. Harus bisa, Ran.”

“Gak, To. Aku ingin kamu di sisi aku.”

“Kita gak selevel, Ran. Lagian kamu udah dijodohkan, jadi semua udah jelas kalau kita emang gak mesti bersama. Selama ini, orang tua kamu memenuhi semua permintaan kamu dengan harapan kamu memenuhi satu permintaannya.”

“Gak, To. Aku gak mau dijodohin, ini bukan zaman Sitinurbaya lagi. Aku pengen nentuin masa depan aku kelak, bukan papa.”

“Ran, kamu tau kan apa balasan bagi orang yang gak patuh sama orang tua. Kamu bisa mendapat celaka.”

“Persetan dengan perintah-perintah. Aku pengen bebas tanpa ada sedikitpun paksaan. Siapapun orangnya, gak juga papa.”

“Ran, kamu mencintai aku, kan?”

“Sangat!”

“Apa yang bisa kamu korbankan untukku?”

“Bila perlu aku siap ngorbanin nyawa aku.”

“Thank’s banget, Ran....” kata Delito meraih kepala Rani ke dalam dekapannya. “Tapi kali ini aku gak pengen kamu ngorbanin nyawa kamu untukku. Gimana kalau aku ganti dengan satu permintaan?”

“Kalau aku bisa penuhi. Kenapa nggak.”

“Bukan jawaban seperti itu yang aku minta, ya atau tidak. Itu saja”

“Apa, emang?”

“Jawab dulu pertanyaan aku!”

“Okey, aku siap.” balas Rani.

“Kamu harus nerima permintaan kedua orang tua kamu, terimalah laki-laki pilihan orang tua kamu. Kamu lupain aku. Jangan pernah ngerasa ngenal aku. Jangan pernah lagi ngarapin aku.”

“Kenapa mesti gitu, To?” tanya Rani menarik kepalanya dari dekapan Delito.

“Karena aku gak punya cinta lagi, yang tersisa hanya dendam. Aku takut, dendam ini kelak akan melumatkanmu. Aku gak mau itu terjadi, Ran.”

“Tapi, aku gak bisa menerima perjodohan itu. Aku gak bisa hidup tanpa kamu, To. Sungguh! Aku gak bisa.”

“Kalau gitu, kamu gak cinta sama aku, Ran.”

“Malah sebaliknya. Kamulah yang gak mencintai aku.”

“Jangan memutar balik fakta!”

“Bukan memutar balik fakta, tapi meluruskan. Kamu emang gak mencintai aku, karena kamu membiarkan aku dimiliki orang lain.”

“Gak. Aku cuman pengen bahagiain kamu, tapi aku gak bisa. Itulah sebabnya aku merelakan kamu dengan laki-laki pilihan orang tuamu.”

“Omomg kosong. Percuma, aku gak akan bahagia, sedang kamu menikmati lukamu sendiri.”

“Makanya lupakan aku.”

“Aku gak bisa.”

“Bisa. Harus bisa.” kata Delito. “Laki-laki itu bisa memberimu kebahagiaan. Sedang aku? Apa yang kamu harapkan?”

“Aku gak minta apa-apa, selain cintamu. Aku gak bisa hidup tanpamu. Kamu udah ngerobah segalanya dalam hidupku. Aku cukup bahagia dengan semua itu.” isak Rani.

“Jangan berdalih macam-macam. Lagian kita gak seaqidah.”

“Soal aqidah bukan penghalang bagiku. Buat aku, apapun agama kamu, bagaimanapun kamu, yang aku tau, kamu adalah orang yang telah membuat aku lebih baik. Kalau papa tak merestuinya, terserah. Aku akan tetap mencintai kamu. Aku gak takut kalau aku gak dianggap sebagai anak. Aku akan suruh papa nyari anak yang mau patuh sama dia untuk menggantiku.”

“Sudahlah. Jangan nekat. Sekarang lebih baik kamu pergi.”

“Gak!”

“Pergilah! Aku mohon! Jangan usik kehidupanku lagi!”

“Gak, To. Aku gak bakal pergi!” balas Rani kembali menangis sambil menutup wajahnya yang cantik dengan sedikit menunduk.

Delito menyodorkan sapu tangan yang dulu pernah diberikannya pada Rani. Sapu tangan yang bersulam namanya dengan nama Nelita.

“Tak perlu menangis. Kita tau apa yang terbaik buat kita. Tapi, tak perlu mengorbankan apa yang tak perlu dikorbankan dan perpisahan ini dan ini adalah yang terbaik buat kita. Ketika cinta harus memilih, maka pilihlah yang terbaik dan keluarga adalah yang terbaik dalam pilihan seperti apa dan kondisi bagaimana pun.” kata Delito menyodorkan sapu tangan itu.

Rani menerima sapu tangan itu dan mengusap air matanya. Delito hanya bisa menatap Rani dengan perasaan yang tak menentu. Ia sadar, aia masih mencintai Rani, namun ia hanya anak petani sayur. Delito akhirnya bangkit dan menuju kamar Benny.

Dalam kamar itu, Delito hanya bisa tertunduk, matanya terasa pedih, segalanya terasa menyesak ke dalam dadanya tanpa bisa ditahannya. Kesedihannya tak mampu dibendungnya dan air matanya mengalir membasahi pipinya. Di tatapnya foto Rani yang terletak di meja Benny, dari mulutnya terdengar sebuah kalimat yang terucap lirih, Dang levelmu au ito [6]), hanya itu.

Selanjutnya Delito berubah jadi pendiam, ia susah diajak bicara, sikapnya berubah jadi dingin. Berpuluh puisi ditulisnya tentang kelukaan hatinya. Beberapa cerita pun terlahir dari kesepian batinnya  yang terpaksa untuk mengalah.

Arby mengerti dengan ratapan-ratapan kosong di setiap tulisan sahabatnya. Arby juga selalu memberi tau setiap puisi Delito yang terbit di berbagai tempat, kepada Rani.

Rani pun tak bosan menanyakan kabarnya setiap hari. Mulai dari makan, tidur dan segala macam tentang Delito. Arby hanya menjawab, kalau Delito baik-baik saja, karena Arby meliatnya demikian. Kalau keadaan Delito, Arby tak tau pasti, karena Arby udah jarang ngobrol dengan Delito, karena kesibukan Delito dengan pekerjaannya sebagai jurnalis dan menulis.

Setiap Delito pulang, Arby udah terlelap dalam tidurnya, dan setiap Delito bangun, Arby telah berangkat. Hanya sesekali mereka bertemu, selebihnya mereka menekuni aktivitas masing-masing.

Sebuah cerpen terbaru Delito dimuat di tempatnya bekerja, dengan judul Dang Levelmu Au Ito, cerita tentang seorang laki-laki yang mencintai seorang gadis, namun cinta itu kandas ketika orang tua si gadis mengetahui hubungan mereka, bahkan orang tua si gadis menghinanya. Cinta yang selama ini bersemi, kini kering dan hatinya menjadi dendam. Dendam itu ditepisnya dan berusaha menjauhinya dan disadarinya, cintanya terhalang kasta.

Rani hanya bisa menangis ketika membaca cerita itu. Kesedihannya tumpah dalam dekapan Eza yang ada di sampingnya.

“Udahlah, Ran! Kamu harus bisa ngadapi ini semua. Yakinlah, ini hanya sementara. Mungkin saat ini dia lagi tarik ulur. Sikap Delito sebenarnya lembut, kalau kamu bisa ngajaknya bicara, kamu coba yakini dia. Yakinkan dia kalau ini bukanlah jalan satu-satunya. Cinta kalian bukan terhalang kasta, melainkan rasa bersalah. Dia belum bisa terima hinaan itu. Cinta kalian sedang diuji. Yakinlah! Semua akan segera berakhir.”

“Percuma, Za. Arby aja gak bisa ngajaknya bicara, apalagi aku.”

“Jangan pesimis dulu. Itu artinya mempersulit keadaan. Kamu tenang aja. Semua bisa diatasi.”

“Bisa diatasi bagaimana?”

“Aku akan coba ngomong ke dia.”

“Mau cari dia ke mana?”

“Ke tempat kost kalian. Hari Minggu dia pasti gak kerja, karena dia ke Gereja.”

“Kk..., dia udah pindah kost.’

“Apa?” tanya Rani kaget. “Pindah ke mana?”

“Gak tau. Dia gak kasih tau. Kemarin siang, pulang kuliah, aku liat barang-barangnya gak ada di kamar. Aku nyari ke kamar Benny, barang-barangnya juga gak ada, trus aku nanya Pak Tohang, beliau bilang keduanya cabut dari situ, Pak Tohang juga gak tau ke mana.”

“Dia gak kuliah lagi, ya?”

“Udah pindah. Dia satu kampus sama Benny sekarang.”

“Kok gitu?”

“Entahlah. Mungkin dia sengaja menghindar dari kita. Aku kecewa ama dia yang gak siap ngadapi kenyataan. Aku paling benci liat cowok yang lari dari masalah.”

“Udahlah! Mungkin dia berpikir, dengan begini ia bisa nyelesaikannya. Kita sabar aja dulu dan maklumi dia.”

“Gengsi gak boleh digede-gedeinlah. Dianya aja yang kelewat perasaan.”

“Trus, gimana sekarang? Gimana caranya agar aku bisa ketemu ama dia?”

“Kamu tenang. Sabar dulu. Serahin ama aku, semua pasti beres. Kebetulan dia kerja di tempat papa aku. Aku bakal ngomong ke dia dulu dan dalam waktu dekat aku bisa pastiin kalian bisa ketemu. Tenang aja, Eza, gitchu, loh!” janji Eza.

***

 

[1] Onom: Enam

[2] Hela: Menantu laki-laki

[3] Hepeng: Uang

[4] Maaf on au damang dainang. Dakian naeng marhallet au tu son, hape hamu burju naeng parsikkolaon au. Sai hu ingot doi damang dainang hata nai: Maafkan aku ayah ibu. Bukan ‘tuk pacaran aku kemari, padahal kalian berniat baik menyekolahkanku. Ayah ibu, akan kuingat semua kata-katanya itu.

[5] Huta: Desa

[6] Dang levelmu au ito: Aku bukan sederajatmu

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler