Skip to Content

POTRET; F. RAHARDI

Foto SIHALOHOLISTICK

Pertama kali berjumpa dengannya, orang tidak akan punya kesan khusus. Wajahnya biasa-biasa saja. Kulitnya gelap seperti umumnya kulit orang Indonesia. Perawakannya cenderung kecil dengan kaca mata selalu bertengger di atas hidungnya. Sebuah kesan umum yang biasa-biasa saja.

Tapi begitu kita mencoba membuka percakapan dengannya, suasana seolah-olah akan larut dan mencair dalam situasi yang sarat humor. Ya, kesan awal, setelah berdialog dengan laki-laki yang bernama F. Rahardi adalah lucu. F. Rahardi memang seorang humoris yang cerdik. “Hidup saya ini juga sebuah dagelan,” katanya kepada Wawasan ketika bertemu dengannya di IKIP Semarang pekan lalu. Siapakah dia?

Sulit memang mendefinisikan apa atau siapa F. Rahardi. Tapi yang jelas dia punya pengalaman hidup segudang. Saat ini dia dikenal sebagai wakil pemimpin redaksi majalah Trubus di Jakarta.

Selain itu dia juga dikenal sebagai salah seorang penyair terpenting di Indonesia. Barangkali orang jarang melihat wajahnya secara langsung. Karena, selain namanya jarang diperbincangkan secara khusus, F. Rahardi juga tergolong langka tampil di depan umum.

Sensor

Namun itu bukan berarti dia tidak dikenal. Kemunculannya yang senantiasa kontroversial, senantiasa melahirkan fenomena tertentu dalam dunia sastra Indonesia. Suatu hari (tahun 1984) dia berniat mengajak WTS (Wanita Tuna Susila) Kramat Tunggak untuk membacakan puisi-puisinya yang tergabung dalam buku puisinya yang pertama, Soempah WTS (1983), di TIM.

Upayanya itu ternyata mendapat tentangan dari Dewan Kesenian Jakarta. F. Rahardi dilarang baca puisi di TIM. Dan itu bukan pelarangan tampilnya F. Rahardi yang terakhir. Sebab ketika dia bermaksud membacakan puisinya pada tahun 1990 juga dilarang. Bahkan ketika tanggal 31 November lalu dia diundang Dewan Kesenian Semarang, Citra Pariwara Budaya dan IKIP Semarang untuk tampil, 4 dari 10 puisi yang akan dibacakannya juga disensor oleh yang berwajib.

Tapi pelarangan itu tidak membuat semangatnya kendor. Bahkan dia terus konsisten bergelut dengan persoalan-persoalan yang selama ini ditekuninya, yaitu kritik sosial. Empat buku puisinya yang telah terbit (Soempah WTS (1983), Catatan Harian Sang Koruptor (1985), Silsilah Garong dan Tuyul (1990) menunjukkan visinya yang jelas.

Meskipun F. Rahardi mengatakan bahwa konsep penulisan puisinya tak lebih dari main-main, tapi bagi yang serius mengamati puisi-puisi dalam 4 buah bukunya yang telah terbit, akan segera tahu bahwa F. Rahardi adalah seorang kritikus masyarakat yang gampang membuat merah kuping yang dikritiknya.

Apalagi dalam penulisan puisi-puisinya dia tidak menyukai ungkapan-ungkapan yang berbelit-belit atau berbunga-bunga. Bahkan tak jarang dia memakai perkataan sehari-hari yang sangat telanjang dan lansung menonjok kepada persoalan. Sehingga begitu membaca orang segera tahu apa yang diinginkannya. Barangkali karena kejujuran saya itulah banyak orang kurang menyukai saya, katanya.

Ajaib

Perjalanan hidup seseorang kadang aneh. Seperti penyair kelahiran Ambarawa, 10 Juni 1950 ini. Setelah keluar dari SMA Persiapan Negeri Ambarawa (kelas II), F. Rahardi sempat menjadi guru SD di kecamatan Limbangan, kabupaten Kendal, Jateng.

Dia kemudian mengikuti ujian persamaan SPG di Boja (Kendal) dan menjadi Kepala Sekolah di SD Peron II Dukuh Manggung, Desa Peron, Kecamatan Limbangan (1970). Tapi ketika dia berangkat ke Jakarta berkas-berkasnya hilang dan F. Rahardi memilih hidup sebagai penulis lepas.

Sajak-sajaknya dan tulisan-tulisannya mulai dimuat di berbagai media daerah dan ibu kota. Selain itu F. Rahardi juga meminati masalah-masalah pertanian sampai akhirnya dia berhasil menjadi wakil pemimpin redaksi majalah Trubus. Selain itu dia juga menulis beberapa buku tentang pertanian dan peternakan. Antara lain tentang hidroponik dan teknik beternak kodok. “Hidup ini memang penuh keajaiban,” komentarnya.

Kebebasan

Berbicara soal kebebasan berkreasi, menurut F. Rahardi para pelakunya harus pandai-pandai membaca diri. Soalnya di negara kita menurutnya sudah ada sistem yang mengaturnya. “Sudah ada yang berwenang dengan seperangkat kekuasaannya,” katanya.

Maka seorang seniman harus bisa menempatkan diri sedemikian rupa sehingga kebebasan kreatifnya tidak sampai berbenturan dengan sistem tersebut. “Tapi itu bukan berarti kompromi,” katanya. Sebab dalam berkarya seorang seniman itu harus benar-benar bebas dari tekanan apapun. “Karena karya itu lahir dari kebebasan berpikir. Dan berpikir itu tidak bisa dilarang,” katanya.

Mungkin saja yang berwenang bisa melarang sebuah buku yang terbit atau melarang acara kesenian. “Tapi melarang berpikir kan tidak mungkin. Sebab tidak kelihatan. Istri saya pun tidak bisa melarang saya berpikir, meskipun dia satu tempat tidur dengan saya. Dia juga tidak akan tahu, ketika saya tidur dengannya saya memikirkan wanita cantik lain. Iya, toh,” katanya.

Maka menghadapi kondisi semacam itu F. Rahardi lebih memilih diam. Dia tidak mau protes atau mendatangi DPR ala Rendra maupun seniman lain. “Toh juga nggak ada hasilnya. Lagi pula kasihan yang berwenang. Sebab yang berwenang itu baru berarti kalau mereka bisa menunjukkan kekuasaannya toh,” katanya.

Cuma dalam berkarya dia terus menerus berteriak. F. Rahardi masih terus konsisten mengangkat persoalan pungli, korupsi, penggusuran, kemiskinan  dan tema-tema semacam yang meletakkan kaum kecil dalam posisi sulit. Tak jarang F. Rahardi menunjukkan sikapnya yang jelas dalam membela kaum yang tertindas. Cuma itu semua disampaikan dengan gayanya yang khas dan sarat humor. “Kalau takut dilarang ya nulis dan baca saja puisi pembangunan,” katanya.

Selain itu dalam banyak puisinya F. Rahardi juga menunjukkan rasa cintanya kepada Tuhan dengan gaya yang unik. Dia mengadu kepada Tuhannya dengan jalan yang sangat vulgar bahkan terkesan kurang ajar.

Seperti dalam salah satu sajaknya yang cukup terkenal In Memoriam Tuhan (Tuyul, 1990). Begini katanya : Tuhan telah mati dan tak pernah/ bangkit-bangkit lagi/ kendati kodongkel tembok gereja/ dan kuguncang-guncang altarnya/ yang bangkit hanya satpam/ menyingsingkan lengan baju/ menyorotkan lampu senter/ dan menyodorkan pentungan/…./ di mana-mana Tuhan sudah mati/ benar-benar mati/ tapi aku terus saja berjalan/ sambil menghirup angin/ memandangi pohon-pohon/ dan kencing di ujung gang/ aku terus berjalan/ sampai akhirnya kutemukan Tuhan/ masih segar dan sexy/ sedang menunggu dalam batinku/ kucolek dia, lalu kupeluk dan kugandeng/ kuajak pulang.

“Saya ingin hidup saya tidak sia-sia,” katanya mengakhiri pembicaraan. (Beno Siang Pamungkas)

Sumber : Wawasan Minggu, 8 November 1993

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler